Pagi itu Agni sedang menonton acara gossip di ruang tengah kediamannya
sambil membaca majalah mode terbaru ketika terdengar bunyi derap langkah
seseorang. Agni lantas menutup majalahnya dan mengalihkan pandangan menuju
sumber suara.
“Oh, elo, Shil. Kirain Mami sama
Papi.” Agni pun kembali menonton televisi.
Shilla tersenyum pada Agni. Ia
kemudian meletakkan sebuah kotak makan di depan calon kakak iparnya itu. “Dari
Mama tuh, Mbak.”
“Apa ini, Shil?” tanya Agni.
Tangannya terulur untuk membuka kotak makan tersebut. “Lo nggak ada jadwal
nyanyi pagi ini?”
Shilla terkekeh begitu melihat Agni
yang tersenyum lebar ketika membuka kotak makan darinya. “Tadi Mama lagi masak sandwich isi tuna dan gue ingat lo suka
banget sama makanan ini. Jadi, ya.. Gue bawa buat lo, Mbak. Ada, kok. Ini gue
lagi jemput Cakka. Kemarin dia sudah janji mau temani gue.”
“Oh,” Agni mengangguk. “Cakka masih
molor, tuh. Bangunin aja.”
Shilla melambaikan tangannya
kemudian melangkah menuju kamar Cakka. Benar kata Agni, calon suaminya itu
masih belum juga bangun. Buktinya, pintu kamar lelaki itu masih tertutup.
Shilla ingat betul kebiasaan Cakka setiap paginya. Jika lelaki itu sudah
bangun, ia pasti membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
Shilla membuka pintu kamar Cakka tanpa
mengetuknya terlebih dahulu. Ia terdiam di tempat dengan berkaca pinggang
begitu melihat ruangan itu kosong. Tak ada sesosok tubuh yang sedang meringkuk
dibalik selimut, tak ada bunyi gemericik air dari kamar mandi yang terletak di
sudut ruangan, dan tak ada tanda-tanda bahwa Cakka ada di sini.
“Mbak Agni!” teriak Shilla kalap.
Shilla berlari menuju ruang tengah
dan ia mendapati Agni tengah memakan sandwich
darinya. Shilla berdiri di hadapan Agni dan menjauhkan kotak makan berisi sandwich itu dari perempuan di
hadapannya.
“Lo ngapain, Shil?” tanya Agni keki.
“Cakka, Mbak!” Shilla kembali
berteriak kalap. “Cakka nggak ada di kamarnya!”
Mata Agni membulat kaget. “Serius
lo?” Melihat Shilla yang menganggukkan kepalanya, Agni berlalu menuju kamar
Cakka. “Gue berani sumpah, Shil, kalau gue nggak lihat dia keluar rumah pagi
ini.”
Agni akhirnya melihat dengan mata
kepalanya sendiri bahwa Cakka tidak ada di kamarnya. Ia menggeleng tak
mengerti. Ia pun melangkah cepat menuju garasi mobil–diikuti Shilla.
“Mobilnya Cakka nggak ada,” desis
Agni bingung.
“Mbak, Cakka kemana?” tanya Shilla
dengan panik.
“Gue nggak tahu, Shil,” Agni berujar
lirih. Ia kemudian mendorong Shilla ke samping mobil gadis itu. “Nyokap lo
mana?”
“Udah di venue sama crew gue yang
lain.” Shilla menjawab pendek.
“Ya udah, lo ke venue aja.” Agni membukakan pintu kemudi untuk Shilla lantas
mendorong pelan tubuh gadis semampai itu untuk masuk ke dalam. “Lo tenang aja.
Gue telepon Cakka setelah ini. Gue juga akan kabarin lo secepatnya.”
“Janji, Mbak?”
Agni mengangguk menyanggupi.
Setelah Shilla mengendarai mobilnya
meninggalkan halaman rumah Agni, Agni langsung menuju kamarnya dan mengambil
ponselnya. Ia harus menghubungi Cakka sekarang juga!
**
Bunyi dering ponsel membangunkan Oik
pagi itu. Dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya, ia meraba-raba night stand. Sebuah ponsel bergetar di
sana. Oik agak mendekatkan tubuhnya pada night
stand dengan susah. Gadis itu mendengus sebal begitu menyadari lengan Cakka
yang masih memeluk erat pinggangnya.
Begitu mendapat ponsel yang tengah
meraung-raung, Oik baru menyadari bahwa ponsel itu bukan miliknya. Pasti milik
Cakka. Oik kembali mendengus. Ia melirik layar ponsel dan nama Agni tertera di
sana. Dengan ragu-ragu, Oik menerima panggilan tersebut.
“Kka!
Lo dimana? Pagi-pagi udang ngilang aja!”
Oik terkesiap. Pasti itu kakak atau
adik dari Cakka. Oik cepat-cepat mendekatkan ponsel itu ketelinga Cakka. Tangan
kirinya yang bebas segera menepuk-nepuk pipi Cakka agar lelaki itu terbangun.
“Hn,” Cakka berucap tak jelas.
“Cakka!
Jawab gue!”
Cakka mendadak membuka matanya
begitu mendengar suara nyaring dari ponselnya. Memanfaatkan kesempatan itu, Oik
menyingkirkan lengan Cakka dari pingganya. Keduanya pun segera menegakkan
punggung, duduk diatas ranjang.
“Iya, Mbak?” tanya Cakka.
“Lo
dimana, Cakka?” Suara di seberang sana terdengar tengah menahan amarahnya.
“Gue di....” Cakka melirik Oik yang
tengah menggelengkan kepalanya dengan tatapan tajam. “Di rumah temen gue, Mbak.
Kenapa?”
“Lo nginep?”
Cakka menangkap nada curiga dari
suara Agni barusan. “Nggak, Mbak. Gue berangkat tadi pagi-pagi banget. Jogging bareng.”
“Bikin
gue dan Shilla panik aja lo!”
“Shilla?” gumam Cakka bingung.
“Iya!
Tadi dia kesini jemput elo. Dia bilang lo sudah janji sama dia kalau bakalan
temeni dia manggung hari ini. Lo lupa?”
“Oh, iya!” Cakka menepuk jidatnya. “Gue
langsung ke venue aja, Mbak.”
Dan dalam sekejap sambungan telepon
pun terputus. Cakka segera menyusul Oik yang telah berada di dapur apartemen
gadis itu. Ia mendapati Oik yang sedang menyeduh secangkir teh hangat. Cakka bergerak
menghampiri.
“Buat gue mana?” tanya Cakka begitu
ia sudah berada di samping Oik.
“Buat elo?” tanya Oik balik dengan
dahi berkerut bingung. “Mending lo cepet susul Shilla aja. Gue juga nggak butuh
elo di sini.”
“Lala––,”
“Berhenti panggil gue Lala karena
gue bukan Lala!” potong Oik cepat.
Cakka menggeleng frustasi. “Gue
yakin elo itu Lala, Ik! Insting gue nggak mungkin salah menyangkut soal Lala! Semua
bukti ngarahin gue ke fakta kalau elo itu Lala, temen kecil gue!”
Oik menenggak habis teh hangatnya
lalu melemparkan cangkirnya pada tempat cuci piring. “Lebih baik elo angkat
kaki sekarang juga dari apartemen gue sebelum Alvin pergokin elo di sini.” Ujar
Oik, ia kemudian berlalu menuju kamar tidurnya dan membanting pintunya hingga
meninggalkan bunyi berdebam yang cukup memukul bagi Cakka.
**
Pada waktu yang sama, di kediamannya
di Kabupaten Bandung, kedua orangtua Oik tengah sibuk bersiap-siap. Keduanya telah
rapi dengan setelan batik bermotif pesisir Jawa. Kali ini, Papa Oik juga telah
menyewa seorang sopir khusus untuk mengantar dan menjemput keduanya.
Setelah selesai sarapan dengan nasi
goreng keju buatan Mama Oik, keduanya segera masuk ke dalam mobil. Sang sopir
mulai menyalakan mesin mobil dan mengendarai mobil tersebut menuju tempat yang
dituju.
Mama Oik mengeluarkan ponselnya dari
dalam tas, bermaksud untuk menelepon Oik. Setelah terdengar nada sambung
beberapa kali, akhirnya Oik mengangkat telepon dari beliau.
“Iya..
Kenapa, Ma?”
“Nggak, kok. Ini Mama sama Papa mau
jenguk dia, Ik.” Mama Oik menjawab pertanyaan
putrinya sambil melihat ekspresi suaminya dari ekor mata.
“Dia?” Terdengar Oik yang
menghembuskan napas diujung telepon. “Titipkan
salam Oik buat dia juga ya, Ma.”
“Pasti.” Mama Oik tersenyum sedih. “Kapan
kamu juga bisa ikut kami jenguk dia? Kamu terlalu sibuk sama galerimu, Ik.”
“Beberapa
bulan ini memang lagi banyak job, Ma.
Maaf ya, lagi-lagi Oik nggak bisa ikut jenguk dia.”
“Ya sudah, nggak apa-apa. Lain kali
kosongin jadwal kamu untuk jenguk dia, Ik. Sekarang kamu lagi di galeri?”
“Masih
di apartemen, Ma. Ini mau ke makam Dayat dulu. Mama mau titip doa?”
“Doakan dia tenang disana, ya. Minggu
depan Mama dan Papa usahakan ngunjungin makam Dayat.”
“Oke,
Ma. Talk to you later. Ini Oik sudah
di basement. Mau langsung ke makam Dayat.”
Mama Oik langsung menutup sambungan
teleponnya. Beliau kembali memasukkan ponsel ke dalam tas lebih merapatkan lagi
duduknya kearah suaminya.
“Oik hari ini ke makam Dayat, Pa.”
Mama Oik berujar pelan pada suaminya.
Papa Oik hanya tersenyum tipis. Beliau
melirik istrinya sekilas kemudian kembali memandangi hijaunya sawah di luar
sana melalui kaca mobil.
**
Oik baru saja masuk ke dalam
mobilnya ketika ia melihat bayangan tubuh seseorang yang dikenalnya melintas. Seorang
lelaki dengan pakaian serba hitam. Tak lupa juga, kaca mata hitam bertengger
dihidungnya.
“Gabriel?” desis Oik.
Gadis itu kemudian hanya mengangkat
bahunya cuek. Beberapa menit setelahnya, Oik sudah mengendarai mobilnya
membelah jalanan padat Jakarta. Perjalanan menuju TPU Kebon Jeruk membutuhkan
waktu sepuluh menit.
Begitu sampai di pelataran makam,
Oik dengan sigap mencari lahan parkir yang masih kosong. Ya! Dapat! Sebuah lahan
parkir yang pasti akan muat dibawah pohon rindang. Oik segera memarkirkan
mobilnya disana.
Setelah memastikan tak ada barang
yang tertinggal di dalam mobil, Oik turun, mengunci mobilnya, dan berjalan
memasukki area pemakaman. Dengan lupa-lupa ingat, Oik berjalan menuju arah
utara. Oik menemukan makam Dayat lima menit kemudian.
Dengan mata yang sudah berair, Oik
berjongkok di samping makam Dayat. Ia mengelus nisan bertuliskan Nur Wachid
Hidayat itu dengan sedih.
“Gue jenguk elo lagi, Day.” Oik tersenyum
tipis. “Gimana kabar lo di sana? Baik, kan? Gue kangen banget sama lo.”
Oik mengeluarkan sebuket bunga anggrek
dari dalam tasnya. Ia sudah mempersiapkan bunga anggrek itu dari kemarin sore. Dan
untungnya, belum layu juga hingga saat ini. Kemudian Oik meletakkan bunga
anggrek itu dengan hati-hati diatas makam Dayat.
“Ini, gue bawain bunga buat lo.”
Untuk beberapa menit, Oik sibuk
memanjatkan doa. Tentu saja ia mendoakan agar Dayat diterima di sisi-Nya, agar
Dayat tenang di sana, dan agar semua amal Dayat diterima. Setelah itu, Oik pun
berdiri.
“Gue nggak bisa lama-lama, Day. Ntar
siapa dong, yang jaga galeri gue?” Oik terkikik geli. “Besok-besok gue ke sini
lagi, Kok. Oh, ya.. Bokap sama nyokap gue kayaknya minggu depan bakal ke sini. Tapi
dia belum bisa ikut, Day.”
**
Shilla baru saja selesai menyanyikan
single terbarunya diatas panggung. Setelah sang pembawa acara mempersilahkannya
untuk turun, Shilla bergegas menuju ke backstage.
Ia yakin Cakka sudah menunggunya di sana. Tadi sebelum ia naik panggung, Agni
telah mengiriminya pesan singkat yang berisi Cakka sedang dalam perjalanan
menuju venue.
Begitu sampai di backstage, Shilla mendapati Cakka yang
tengah mengobrol bersama krunya. Dengan riang, Shilla menghampiri Cakka dan
duduk dipangkuan lelaki itu.
“Hay, dear,” sapa Shilla manja.
Cakka tersenyum memohon maaf pada
kru Shilla, ia kemudian berbisik pada gadis dalam pangkuannya itu. “Shil,
minggir. Nggak enak dilihat kru kamu.”
“Kenapa, sih?” tanya Shilla tak
suka.
“Minggir.” Cakka mulai hilang
kesabaran. Begitu melihat Shilla yang tetap bergeming dalam pangkuannya, Cakka
langsung berdiri. Ia tak memperdulikan Shilla yang menatapnya kesal campur
sedih.
“Kamu kenapa, sih?” serang Shilla. Kini
keduanya telah berada di dalam mobil Cakka. Shilla telah menitipkan mobilnya
pada salah satu kru sebelumnya.
“Kamu yang kenapa!” balas Cakka. “Aku
nggak suka kamu yang overprotektif. Kamu tahu sendiri aku bukan tipe orang yang
suka nunjukin kemesraan di depan publik.”
“Itu cuman kru dari management aku, Cakka. Mereka bukan publik.”
Shilla menatap Cakka kesal lalu melempar pandangannya pada keadaan di luar
sana.
“Kita udah mau nikah empat bulan
lagi dan kamu masih belum bisa ngertiin aku?” Cakka menatap Shilla tak percaya
kemudian menggeleng lesu. “Lebih baik kita undur aja semuanya.”
Shilla terkesiap. “Nggak bisa. Nggak
bisa, Kka. Kita udah persiapin semuanya. Kamu nggak bisa ngundur pernikahan
kita gitu aja!”
“Sesusah apa sih, Shil, ngertiin
aku?” tanya Cakka lirih. “Aku nggak suka kamu terlalu show off seperti tadi. Meskipun itu sama kru kamu sendiri.”
“Oke, oke. Nggak akan lagi. Aku janji.”
Shilla menyerah beragumen dengan Cakka. Pasalnya ia selalu kalah. Dan akhirnya,
ia selalu mengalah pada Cakka.
“Sekarang kita kemana?” tanya Cakka
dingin.
“Galeri Oik.”
**
Alvin menengok kearah galeri
Oicagraph, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Alvin kembali
mengarahkan pandangannya pada gadis berwajah riang yang berada di dalam mobil
di hadapannya.
“Kenapa? Takut ada yang mata-matain
dan aduin kamu ke Oik, ya?” canda gadis berwajah riang itu.
“Aku takut Rio, Ify, atau pegawai
lainnya lihat kita.”
“Rio dan Ify sudah masuk kerja lagi?
Bukannya minggu lalu mereka baru aja nikah? Nggak bulan madu mereka?” tanya
gadis itu beruntun.
Alvin terkekeh. Tangan kanannya
mencubit gemas pipi gadis itu. “Iya, mereka udah masuk kerja lagi. Iya, minggu
lalu baru aja nikah. Bulan madu? Mana aku tahu!”
Gadis itu mendadak melirik jam
tangannya. “Vin, udah siang. Aku kembali ke rumah sakit, ya. Ada jadwal cek
pasien.”
“Oke. Hati-hati di jalan, ya. Jadi dokter
yang berbakti!”
Alvin memandang mobil yang
dikendarai gadis berwajah riang itu perlahan meninggalkan pelataran parkir
Oicagraph, bergumul dengan mobil-mobil lainnya di jalan, dan menghilang dibalik
padatnya jalan siang itu.
Baru saja Alvin akan membalikkan
badannya untuk masuk ke dalam galeri, sebuah klakson mobil terdengar nyaring. Alvin
familiar betul dengan bunyi klakson itu.
“Oik!”
Sang pengemudi pun turun setelah
memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Ia langsung berpelukan sekilas dengan
Alvin. Alvin bersyukur dalam hati. Untung saja gadis berwajah riang tadi telah
meninggalkan Oicagraph sebelum Oik datang.
“Dari mana aja, Ik?” tanya Alvin. Tangannya
mulai melingkari bahu Oik.
“Dari makam Dayat. Biasa, kunjungan
rutin tiap bulan.” Oik tersenyum tipis. “Minggu depan Mama sama Papa mau
kesini. Kamu mau ketemu?”
“Oke. Kita bisa minta tolong Ify
untuk kosongin jadwal minggu depan.”
“Hay, Oik!” Sapa Ify dari balik
mejanya.
“Oik? Halo!” Rio pun ikut menyapa
dari balik layar komputernya. Rupanya lelaki itu tengah melakukan editting foto.
Oik hanya melambaikan tangan pada
keduanya. Ia dan Alvin langsung duduk di depan meja Ify. Gadis berbehel itu
tengah memasukkan foto-foto yang telah dicetak ke dalam beberapa amplop.
“Pasangan baru kenapa udah masuk
kerja aja?” sindir Oik.
“Tau tuh, si Ify. Gue ajakin bulan
madu nggak mau.” Rio menjawab cuek. Oik dan Alvin tertawa.
“Kita ada jadwal ketemu sama siapa
hari ini?” tanya Oik pada Ify.
Ify terlihat mengecek agenda
terlebih dahulu, kemudian ia melirik Oik dan Alvin. “Cakka dan Shilla. Janjian disini
jam sebelas.”
“Jam sebelas, ya? Oke.” Alvin menggumam.
Ia lantas berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruangan khusus pegawai Oicagraph.
“Mau kemana, Vin?” Oik berteriak
dari tempatnya.
“Mau ngerebus mie di dapur. Nggak sempat
sarapan tadi, Ik.”
Setelah mengira-ngira Alvin tak akan
bisa mendengar percakapannya dengan Ify, Oik memajukan kursinya. “Fy, gue mau
tanya.”
Ify menatap Oik sekilas dengan alis
terangkat sebelah. “Ya?”
“Alvin...” Oik menghela napasnya. “Alvin
ada tamu pagi ini? Atau, paling nggak, dia telepon siapa gitu hari ini?” tanya
Oik penasaran.
Begitu menyadari ada yang serius,
Ify meletakkan seluruh foto yang tadi menyita perhatiannya. “Ada apa, Ik?”
tanya Ify lembut.
“Gue nggak tahu, Fy.” Oik menyandarkan
punggungnya pada sandaran kursi. “Gue ngerasa Alvin beda akhir-akhir ini. Dia nggak
seperti biasanya.”
“Yup! Gue setuju! Gue ngerasa
perlakuan dia ke elo akhir-akhir ini beda.” Rio kembali menyahut.
Oik mengangguk. “Tuh, Fy.. Rio aja
sadar.”
Ify mengangguk mengerti.
“Beberapa minggu yang lalu, waktu
Cakka dan Shilla kemari, gue lihat Alvin ngobrol sama cewek di depan sana. Waktu
gue pingsan itu, Fy.” Oik melirik sekitar, Alvin tidak ada. “Beberapa kali
setelah itu, gue sering lihat cewek itu ada di sekitar Alvin.”
“Lo yakin lo nggak salah lihat?” Ify
memastikan.
“Nggak.” Oik menggeleng yakin.
“Apa yang lo maksud... cewek dengan
wajah riang dan kulit putih?”
Oik terperangah kemudian mengangguk
cepat. “Iya! Nggak salah lagi! Cewek itu!”
“Tadi sebelum elo dateng, cewek itu
ada di sini. Ngobrol di depan sama Alvin, Ik.”
Oik kembali terpekur. Siapa gadis
itu? Apa Alvin mengkhianatinya?
0 komentar:
Posting Komentar