Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [05]

            Pagi itu Agni sedang menonton acara gossip di ruang tengah kediamannya sambil membaca majalah mode terbaru ketika terdengar bunyi derap langkah seseorang. Agni lantas menutup majalahnya dan mengalihkan pandangan menuju sumber suara.
            “Oh, elo, Shil. Kirain Mami sama Papi.” Agni pun kembali menonton televisi.
            Shilla tersenyum pada Agni. Ia kemudian meletakkan sebuah kotak makan di depan calon kakak iparnya itu. “Dari Mama tuh, Mbak.”
            “Apa ini, Shil?” tanya Agni. Tangannya terulur untuk membuka kotak makan tersebut. “Lo nggak ada jadwal nyanyi pagi ini?”
            Shilla terkekeh begitu melihat Agni yang tersenyum lebar ketika membuka kotak makan darinya. “Tadi Mama lagi masak sandwich isi tuna dan gue ingat lo suka banget sama makanan ini. Jadi, ya.. Gue bawa buat lo, Mbak. Ada, kok. Ini gue lagi jemput Cakka. Kemarin dia sudah janji mau temani gue.”
            “Oh,” Agni mengangguk. “Cakka masih molor, tuh. Bangunin aja.”
            Shilla melambaikan tangannya kemudian melangkah menuju kamar Cakka. Benar kata Agni, calon suaminya itu masih belum juga bangun. Buktinya, pintu kamar lelaki itu masih tertutup. Shilla ingat betul kebiasaan Cakka setiap paginya. Jika lelaki itu sudah bangun, ia pasti membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
            Shilla membuka pintu kamar Cakka tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia terdiam di tempat dengan berkaca pinggang begitu melihat ruangan itu kosong. Tak ada sesosok tubuh yang sedang meringkuk dibalik selimut, tak ada bunyi gemericik air dari kamar mandi yang terletak di sudut ruangan, dan tak ada tanda-tanda bahwa Cakka ada di sini.
            “Mbak Agni!” teriak Shilla kalap.
            Shilla berlari menuju ruang tengah dan ia mendapati Agni tengah memakan sandwich darinya. Shilla berdiri di hadapan Agni dan menjauhkan kotak makan berisi sandwich itu dari perempuan di hadapannya.
            “Lo ngapain, Shil?” tanya Agni keki.
            “Cakka, Mbak!” Shilla kembali berteriak kalap. “Cakka nggak ada di kamarnya!”
            Mata Agni membulat kaget. “Serius lo?” Melihat Shilla yang menganggukkan kepalanya, Agni berlalu menuju kamar Cakka. “Gue berani sumpah, Shil, kalau gue nggak lihat dia keluar rumah pagi ini.”
            Agni akhirnya melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Cakka tidak ada di kamarnya. Ia menggeleng tak mengerti. Ia pun melangkah cepat menuju garasi mobil–diikuti Shilla.
            “Mobilnya Cakka nggak ada,” desis Agni bingung.
            “Mbak, Cakka kemana?” tanya Shilla dengan panik.
            “Gue nggak tahu, Shil,” Agni berujar lirih. Ia kemudian mendorong Shilla ke samping mobil gadis itu. “Nyokap lo mana?”
            “Udah di venue sama crew gue yang lain.” Shilla menjawab pendek.
            “Ya udah, lo ke venue aja.” Agni membukakan pintu kemudi untuk Shilla lantas mendorong pelan tubuh gadis semampai itu untuk masuk ke dalam. “Lo tenang aja. Gue telepon Cakka setelah ini. Gue juga akan kabarin lo secepatnya.”
            “Janji, Mbak?”
            Agni mengangguk menyanggupi.
            Setelah Shilla mengendarai mobilnya meninggalkan halaman rumah Agni, Agni langsung menuju kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia harus menghubungi Cakka sekarang juga!

**

            Bunyi dering ponsel membangunkan Oik pagi itu. Dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya, ia meraba-raba night stand. Sebuah ponsel bergetar di sana. Oik agak mendekatkan tubuhnya pada night stand dengan susah. Gadis itu mendengus sebal begitu menyadari lengan Cakka yang masih memeluk erat pinggangnya.
            Begitu mendapat ponsel yang tengah meraung-raung, Oik baru menyadari bahwa ponsel itu bukan miliknya. Pasti milik Cakka. Oik kembali mendengus. Ia melirik layar ponsel dan nama Agni tertera di sana. Dengan ragu-ragu, Oik menerima panggilan tersebut.
            “Kka! Lo dimana? Pagi-pagi udang ngilang aja!”
            Oik terkesiap. Pasti itu kakak atau adik dari Cakka. Oik cepat-cepat mendekatkan ponsel itu ketelinga Cakka. Tangan kirinya yang bebas segera menepuk-nepuk pipi Cakka agar lelaki itu terbangun.
            “Hn,” Cakka berucap tak jelas.
            “Cakka! Jawab gue!”
            Cakka mendadak membuka matanya begitu mendengar suara nyaring dari ponselnya. Memanfaatkan kesempatan itu, Oik menyingkirkan lengan Cakka dari pingganya. Keduanya pun segera menegakkan punggung, duduk diatas ranjang.
            “Iya, Mbak?” tanya Cakka.
            “Lo dimana, Cakka?” Suara di seberang sana terdengar tengah menahan amarahnya.
            “Gue di....” Cakka melirik Oik yang tengah menggelengkan kepalanya dengan tatapan tajam. “Di rumah temen gue, Mbak. Kenapa?”
            “Lo nginep?”
            Cakka menangkap nada curiga dari suara Agni barusan. “Nggak, Mbak. Gue berangkat tadi pagi-pagi banget. Jogging bareng.”
            “Bikin gue dan Shilla panik aja lo!”
            “Shilla?” gumam Cakka bingung.
            “Iya! Tadi dia kesini jemput elo. Dia bilang lo sudah janji sama dia kalau bakalan temeni dia manggung hari ini. Lo lupa?”
            “Oh, iya!” Cakka menepuk jidatnya. “Gue langsung ke venue aja, Mbak.”
            Dan dalam sekejap sambungan telepon pun terputus. Cakka segera menyusul Oik yang telah berada di dapur apartemen gadis itu. Ia mendapati Oik yang sedang menyeduh secangkir teh hangat. Cakka bergerak menghampiri.
            “Buat gue mana?” tanya Cakka begitu ia sudah berada di samping Oik.
            “Buat elo?” tanya Oik balik dengan dahi berkerut bingung. “Mending lo cepet susul Shilla aja. Gue juga nggak butuh elo di sini.”
            “Lala––,”
            “Berhenti panggil gue Lala karena gue bukan Lala!” potong Oik cepat.
            Cakka menggeleng frustasi. “Gue yakin elo itu Lala, Ik! Insting gue nggak mungkin salah menyangkut soal Lala! Semua bukti ngarahin gue ke fakta kalau elo itu Lala, temen kecil gue!”
            Oik menenggak habis teh hangatnya lalu melemparkan cangkirnya pada tempat cuci piring. “Lebih baik elo angkat kaki sekarang juga dari apartemen gue sebelum Alvin pergokin elo di sini.” Ujar Oik, ia kemudian berlalu menuju kamar tidurnya dan membanting pintunya hingga meninggalkan bunyi berdebam yang cukup memukul bagi Cakka.

**

            Pada waktu yang sama, di kediamannya di Kabupaten Bandung, kedua orangtua Oik tengah sibuk bersiap-siap. Keduanya telah rapi dengan setelan batik bermotif pesisir Jawa. Kali ini, Papa Oik juga telah menyewa seorang sopir khusus untuk mengantar dan menjemput keduanya.
            Setelah selesai sarapan dengan nasi goreng keju buatan Mama Oik, keduanya segera masuk ke dalam mobil. Sang sopir mulai menyalakan mesin mobil dan mengendarai mobil tersebut menuju tempat yang dituju.
            Mama Oik mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, bermaksud untuk menelepon Oik. Setelah terdengar nada sambung beberapa kali, akhirnya Oik mengangkat telepon dari beliau.
            “Iya.. Kenapa, Ma?”
            “Nggak, kok. Ini Mama sama Papa mau jenguk dia, Ik.” Mama Oik menjawab pertanyaan putrinya sambil melihat ekspresi suaminya dari ekor mata.
            “Dia?” Terdengar Oik yang menghembuskan napas diujung telepon. “Titipkan salam Oik buat dia juga ya, Ma.”
            “Pasti.” Mama Oik tersenyum sedih. “Kapan kamu juga bisa ikut kami jenguk dia? Kamu terlalu sibuk sama galerimu, Ik.”
            “Beberapa bulan ini memang lagi banyak job, Ma. Maaf ya, lagi-lagi Oik nggak bisa ikut jenguk dia.”
            “Ya sudah, nggak apa-apa. Lain kali kosongin jadwal kamu untuk jenguk dia, Ik. Sekarang kamu lagi di galeri?”
            “Masih di apartemen, Ma. Ini mau ke makam Dayat dulu. Mama mau titip doa?”
            “Doakan dia tenang disana, ya. Minggu depan Mama dan Papa usahakan ngunjungin makam Dayat.”
            “Oke, Ma. Talk to you later. Ini Oik sudah di basement. Mau langsung ke makam Dayat.”
            Mama Oik langsung menutup sambungan teleponnya. Beliau kembali memasukkan ponsel ke dalam tas lebih merapatkan lagi duduknya kearah suaminya.
            “Oik hari ini ke makam Dayat, Pa.” Mama Oik berujar pelan pada suaminya.
            Papa Oik hanya tersenyum tipis. Beliau melirik istrinya sekilas kemudian kembali memandangi hijaunya sawah di luar sana melalui kaca mobil.

**

            Oik baru saja masuk ke dalam mobilnya ketika ia melihat bayangan tubuh seseorang yang dikenalnya melintas. Seorang lelaki dengan pakaian serba hitam. Tak lupa juga, kaca mata hitam bertengger dihidungnya.
            “Gabriel?” desis Oik.
            Gadis itu kemudian hanya mengangkat bahunya cuek. Beberapa menit setelahnya, Oik sudah mengendarai mobilnya membelah jalanan padat Jakarta. Perjalanan menuju TPU Kebon Jeruk membutuhkan waktu sepuluh menit.
            Begitu sampai di pelataran makam, Oik dengan sigap mencari lahan parkir yang masih kosong. Ya! Dapat! Sebuah lahan parkir yang pasti akan muat dibawah pohon rindang. Oik segera memarkirkan mobilnya disana.
            Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal di dalam mobil, Oik turun, mengunci mobilnya, dan berjalan memasukki area pemakaman. Dengan lupa-lupa ingat, Oik berjalan menuju arah utara. Oik menemukan makam Dayat lima menit kemudian.
            Dengan mata yang sudah berair, Oik berjongkok di samping makam Dayat. Ia mengelus nisan bertuliskan Nur Wachid Hidayat itu dengan sedih.
            “Gue jenguk elo lagi, Day.” Oik tersenyum tipis. “Gimana kabar lo di sana? Baik, kan? Gue kangen banget sama lo.”
            Oik mengeluarkan sebuket bunga anggrek dari dalam tasnya. Ia sudah mempersiapkan bunga anggrek itu dari kemarin sore. Dan untungnya, belum layu juga hingga saat ini. Kemudian Oik meletakkan bunga anggrek itu dengan hati-hati diatas makam Dayat.
            “Ini, gue bawain bunga buat lo.”
            Untuk beberapa menit, Oik sibuk memanjatkan doa. Tentu saja ia mendoakan agar Dayat diterima di sisi-Nya, agar Dayat tenang di sana, dan agar semua amal Dayat diterima. Setelah itu, Oik pun berdiri.
            “Gue nggak bisa lama-lama, Day. Ntar siapa dong, yang jaga galeri gue?” Oik terkikik geli. “Besok-besok gue ke sini lagi, Kok. Oh, ya.. Bokap sama nyokap gue kayaknya minggu depan bakal ke sini. Tapi dia belum bisa ikut, Day.”

**

            Shilla baru saja selesai menyanyikan single terbarunya diatas panggung. Setelah sang pembawa acara mempersilahkannya untuk turun, Shilla bergegas menuju ke backstage. Ia yakin Cakka sudah menunggunya di sana. Tadi sebelum ia naik panggung, Agni telah mengiriminya pesan singkat yang berisi Cakka sedang dalam perjalanan menuju venue.
            Begitu sampai di backstage, Shilla mendapati Cakka yang tengah mengobrol bersama krunya. Dengan riang, Shilla menghampiri Cakka dan duduk dipangkuan lelaki itu.
            “Hay, dear,” sapa Shilla manja.
            Cakka tersenyum memohon maaf pada kru Shilla, ia kemudian berbisik pada gadis dalam pangkuannya itu. “Shil, minggir. Nggak enak dilihat kru kamu.”
            “Kenapa, sih?” tanya Shilla tak suka.
            “Minggir.” Cakka mulai hilang kesabaran. Begitu melihat Shilla yang tetap bergeming dalam pangkuannya, Cakka langsung berdiri. Ia tak memperdulikan Shilla yang menatapnya kesal campur sedih.
            “Kamu kenapa, sih?” serang Shilla. Kini keduanya telah berada di dalam mobil Cakka. Shilla telah menitipkan mobilnya pada salah satu kru sebelumnya.
            “Kamu yang kenapa!” balas Cakka. “Aku nggak suka kamu yang overprotektif. Kamu tahu sendiri aku bukan tipe orang yang suka nunjukin kemesraan di depan publik.”
            “Itu cuman kru dari management aku, Cakka. Mereka bukan publik.” Shilla menatap Cakka kesal lalu melempar pandangannya pada keadaan di luar sana.
            “Kita udah mau nikah empat bulan lagi dan kamu masih belum bisa ngertiin aku?” Cakka menatap Shilla tak percaya kemudian menggeleng lesu. “Lebih baik kita undur aja semuanya.”
            Shilla terkesiap. “Nggak bisa. Nggak bisa, Kka. Kita udah persiapin semuanya. Kamu nggak bisa ngundur pernikahan kita gitu aja!”
            “Sesusah apa sih, Shil, ngertiin aku?” tanya Cakka lirih. “Aku nggak suka kamu terlalu show off seperti tadi. Meskipun itu sama kru kamu sendiri.”
            “Oke, oke. Nggak akan lagi. Aku janji.” Shilla menyerah beragumen dengan Cakka. Pasalnya ia selalu kalah. Dan akhirnya, ia selalu mengalah pada Cakka.
            “Sekarang kita kemana?” tanya Cakka dingin.
            “Galeri Oik.”

**

            Alvin menengok kearah galeri Oicagraph, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Alvin kembali mengarahkan pandangannya pada gadis berwajah riang yang berada di dalam mobil di hadapannya.
            “Kenapa? Takut ada yang mata-matain dan aduin kamu ke Oik, ya?” canda gadis berwajah riang itu.
            “Aku takut Rio, Ify, atau pegawai lainnya lihat kita.”
            “Rio dan Ify sudah masuk kerja lagi? Bukannya minggu lalu mereka baru aja nikah? Nggak bulan madu mereka?” tanya gadis itu beruntun.
            Alvin terkekeh. Tangan kanannya mencubit gemas pipi gadis itu. “Iya, mereka udah masuk kerja lagi. Iya, minggu lalu baru aja nikah. Bulan madu? Mana aku tahu!”
            Gadis itu mendadak melirik jam tangannya. “Vin, udah siang. Aku kembali ke rumah sakit, ya. Ada jadwal cek pasien.”
            “Oke. Hati-hati di jalan, ya. Jadi dokter yang berbakti!”
            Alvin memandang mobil yang dikendarai gadis berwajah riang itu perlahan meninggalkan pelataran parkir Oicagraph, bergumul dengan mobil-mobil lainnya di jalan, dan menghilang dibalik padatnya jalan siang itu.
            Baru saja Alvin akan membalikkan badannya untuk masuk ke dalam galeri, sebuah klakson mobil terdengar nyaring. Alvin familiar betul dengan bunyi klakson itu.
            “Oik!”
            Sang pengemudi pun turun setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Ia langsung berpelukan sekilas dengan Alvin. Alvin bersyukur dalam hati. Untung saja gadis berwajah riang tadi telah meninggalkan Oicagraph sebelum Oik datang.
            “Dari mana aja, Ik?” tanya Alvin. Tangannya mulai melingkari bahu Oik.
            “Dari makam Dayat. Biasa, kunjungan rutin tiap bulan.” Oik tersenyum tipis. “Minggu depan Mama sama Papa mau kesini. Kamu mau ketemu?”
            “Oke. Kita bisa minta tolong Ify untuk kosongin jadwal minggu depan.”
            “Hay, Oik!” Sapa Ify dari balik mejanya.
            “Oik? Halo!” Rio pun ikut menyapa dari balik layar komputernya. Rupanya lelaki itu tengah melakukan editting foto.
            Oik hanya melambaikan tangan pada keduanya. Ia dan Alvin langsung duduk di depan meja Ify. Gadis berbehel itu tengah memasukkan foto-foto yang telah dicetak ke dalam beberapa amplop.
            “Pasangan baru kenapa udah masuk kerja aja?” sindir Oik.
            “Tau tuh, si Ify. Gue ajakin bulan madu nggak mau.” Rio menjawab cuek. Oik dan Alvin tertawa.
            “Kita ada jadwal ketemu sama siapa hari ini?” tanya Oik pada Ify.
            Ify terlihat mengecek agenda terlebih dahulu, kemudian ia melirik Oik dan Alvin. “Cakka dan Shilla. Janjian disini jam sebelas.”
            “Jam sebelas, ya? Oke.” Alvin menggumam. Ia lantas berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruangan khusus pegawai Oicagraph.
            “Mau kemana, Vin?” Oik berteriak dari tempatnya.
            “Mau ngerebus mie di dapur. Nggak sempat sarapan tadi, Ik.”
            Setelah mengira-ngira Alvin tak akan bisa mendengar percakapannya dengan Ify, Oik memajukan kursinya. “Fy, gue mau tanya.”
            Ify menatap Oik sekilas dengan alis terangkat sebelah. “Ya?”
            “Alvin...” Oik menghela napasnya. “Alvin ada tamu pagi ini? Atau, paling nggak, dia telepon siapa gitu hari ini?” tanya Oik penasaran.
            Begitu menyadari ada yang serius, Ify meletakkan seluruh foto yang tadi menyita perhatiannya. “Ada apa, Ik?” tanya Ify lembut.
            “Gue nggak tahu, Fy.” Oik menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Gue ngerasa Alvin beda akhir-akhir ini. Dia nggak seperti biasanya.”
            “Yup! Gue setuju! Gue ngerasa perlakuan dia ke elo akhir-akhir ini beda.” Rio kembali menyahut.
            Oik mengangguk. “Tuh, Fy.. Rio aja sadar.”
            Ify mengangguk mengerti.
            “Beberapa minggu yang lalu, waktu Cakka dan Shilla kemari, gue lihat Alvin ngobrol sama cewek di depan sana. Waktu gue pingsan itu, Fy.” Oik melirik sekitar, Alvin tidak ada. “Beberapa kali setelah itu, gue sering lihat cewek itu ada di sekitar Alvin.”
            “Lo yakin lo nggak salah lihat?” Ify memastikan.
            “Nggak.” Oik menggeleng yakin.
            “Apa yang lo maksud... cewek dengan wajah riang dan kulit putih?”
            Oik terperangah kemudian mengangguk cepat. “Iya! Nggak salah lagi! Cewek itu!”
            “Tadi sebelum elo dateng, cewek itu ada di sini. Ngobrol di depan sama Alvin, Ik.”

            Oik kembali terpekur. Siapa gadis itu? Apa Alvin mengkhianatinya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar