Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [05]

            Pagi-pagi sekali Alvin sudah berada di kantin kampusnya. Ia sengaja berangkat pagi-pagi buta karena ia yakin jalanan pasti macet. Beruntung Alvin sudah sampai di kampusnya tiga puluh menit sebelum kuliahnya dimulai.
            Sambil menyantap gado-gadonya, Alvin mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kantin. Kemana keempat sahabatnya itu? Bukannya mereka sama-sama mengambil kuliah pagi pada semester ini?
            “Hay, Vin,” sapa sebuah suara lembut. Alvin menengok ke samping dan mendapati Sivia di sana.
            Alvin tersenyum sekilas lalu menelan gado-gadonya. “Sendirian aja? Pricilla mana?”
            Sivia mengangkat bahunya dengan cuek. “Mungkin terlambat bangun lagi. Atau, kalau nggak, berarti dia––,”
            “Cari aku?” sela sebuah suara. Tiba-tiba saja Pricilla sudah berada di antara mereka. Ia baru saja datang bersama dengan Ray.
            “Ada yang kurang,” gumam Ray. Ia melirik satu-persatu sahabatnya. “Oik?”
            Pricilla meletakkan map yang sedari tadi ia peluk didepan dada. Binar dimatanya mulai meredup. “Oik kemana? Dia... masih marah?”
            Alvin menghembuskan napasnya dengan berat. “Oik sudah putus dengan Gabriel. Kemarin.” Alvin tersenyum kaku ketika menyadari ketiga sahabatnya tengah menahan napas.
            “Tapi dia baik-baik aja, kan?” todong Ray langsung.
            “Nggak tau, Ray,” Alvin menggeleng lemas. Ia menundukkan kepalanya, bermaksud mengecek ponselnya apakah Oik sudah membalas pesan singkatnya atau belum. Tetapi matanya terantuk pada map milik Pricilla. Wajahnya pias.
            “Kenapa, Vin?” tanya Pricilla. Ia menatap Alvin dan mapnya bergantian.
            “Itu map punya kamu?” tanya Alvin tak percaya.
            “Iya,” jawab Pricilla bingung. “Kenapa? Ada yang salah dengan mapku?”
            Rahang Alvin mengeras menatap milik Pricilla. “Bukan map punyamu yang salah. Tapi kamu.” Alvin tersenyum miring. Pantas saja ia merasa mengenal nama itu. Ternyata... “Elizabeth Agatha Pricilla Soekamto.” Alvin mengeja nama Pricilla yang tertera pada map berwarna biru itu dengan penekanan pada nama belakang sang pemilik.
            “Vin...” Sivia memegang lengan Alvin. Ia belum pernah melihat Alvin semarah ini sebelumnya. Ia menatap Pricilla penuh tanya yang hanya dibalas tatapan bingung gadis berbehel itu.
            “Kalian tahu kenapa Gabriel memutuskan Oik?” tanya Alvin.
            “Orangtua Gabriel nggak pernah menyetujui hubungan mereka. Iya, kan?” tanya Ray balik. Insting Ray mulai bekerja. Ia menyadari ada yang tidak beres dalam nada bicara dan ekspresi wajah Alvin.
            “Bukan cuma itu,” balas Alvin singkat. Matanya menatap Pricilla tajam.
            Pricilla bergedik ketakutan ditatap Alvin sebegitu tajamnya. “Apa la––,”
            “Gabriel dijodohkan dengan anak keluarga Soekamto.”
            Hening.
            “Apa?!” Pricilla memekik tertahan. Lelucon dari mana ini?
            Sivia menatap Alvin tajam. Ia tidak suka Alvin bercanda disaat seperti ini. Lagipula, ia tahu betul Pricilla sama sekali tak mengenal Gabriel. Pricilla hanya sebatas tahu bahwa adalah pacar Oik, dulu. Bagaimana bisa Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?
            “Alvin, jangan bercanda,” tegas Sivia.
            Alvin beralih menatap Sivia. “Apa aku kelihatan bercanda?”
            “Kamu tahu dari mana Gabriel dijodohkan dengan Pricilla, Vin?” tanya Ray, menengahi. Ia yakin perang dunia ketiga akan berlangsung diantara ketiga sahabatnya itu jika tak ia tengahi sekarang juga.
            Alvin memandang Pricilla dengan sinis. Bibirnya terbuka, menguntai cerita semalam tanpa ada yang dikurangi dan dilebihkan. Mulai dari surat yang diterima Oik, ajakan Oik untuk mengantarkan gadis itu, pertemuan Oik dengan Gabriel beserta Angel, Gabriel yang memutuskan hubungan secara sepihak, hingga alasan mengapa Gabriel memutuskan Oik.
            “Sudah cukup jelas, Nona Soekamto?” tanya Alvin sinis.
            Pricilla menelan ludahnya lalu menggelengkan kepala dengan lemas. “Aku nggak tahu,” lirihnya. Kemudian ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
            “Bagaimana bisa kamu nggak tahu, Pris?!” bentak Alvin.
            “Alvin!” Sivia menatap Alvin tajam. “Kalau memang Pricilla nggak tahu, mau bagaimana lagi? Sudahlah. Lagipula, kenapa kamu jadi sebegini peduli dengan Oik?”
            Alvin terdiam mendengar kalimat terakhir Sivia. “Aku peduli dengan Oik karena dia sahabatku.”
            “Pricilla juga sahabat kamu, Vin!” seru Sivia sebal.
            “Tapi dalam kondisi ini Oik yang terluka. Bukan Pricilla.” Alvin tak mau kalah.
            “Teman-teman, berhenti..” Ray mengingatkan dengan suara rendahnya.
            “Apa, Ray?” tantang Sivia. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Alvin. “Tapi kamu juga nggak seharusnya menyalahkan Pricilla! Namanya juga perjodohan. Pasti itu kehendak orangtua mereka. Bukan kehendak Gabriel dan Pricilla. Pricilla belum tahu soal ini.”
            “Apa kamu bilang, Siv? Pricilla belum tahu?” Alvin tertawa sumbang. “Bagaimana Pricilla belum tahu, sedangkan Gabriel sudah tahu?”
            “Alvin, Sivia.. Stop!” Ray kembali menengahi.
            Alvin menatap Ray tajam, menyuruh lelaki itu untuk diam saja. “Aku nggak percaya Pricilla sama sekali nggak tahu soal ini.” Alvin mendengus kesal.
            “Aku nggak tahu, Vin. Sama sekali nggak tahu.” Pricilla berujar lirih.
            “Bohong!” seru Alvin.
            “Seminggu ini Mama dan Papa memang selalu ngajak aku keluar untuk makan malam bareng. Karena aku yang memang sibuk sama tugas kuliah, aku selalu nolak. Mungkin itu...” aku Pricilla.
            “Teman-teman...” Ray kembali mengingatkan.
            “Apa, Ray?” tanya Sivia dengan galak. Ia sebal karena Ray terus saja menyuruh mereka untuk berhenti. Padahal ini hal serius. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai dan Sivia mau pembicaraan mengenai ini harus selesai secepatnya.
            “Ada Oik...” Ray menengok pada seorang gadis yang tengah berdiri menatap mereka berempat dengan datar. Bibirnya bergetar.
            “Kenapa nggak bilang dari tadi, Ray?” bisik Alvin.
            Ray menatap ketiga sahabatnya dengan menggelengkan kepalanya. “Aku sudah ingatkan dari tadi tapi kalian tetap nggak mau berhenti.”
            “Ik...” Pricilla mendongakkan kepalanya. Menatap Oik dengan pandangan memohon maaf.
            “Jadi gini...?” tanya Oik datar. Gadis itu berusaha menekan luapan emosinya dalam-dalam. Ia tak mau menangis dan marah-marah di tempat umum. Sama sekali tidak sopan.
            “Aku bisa jelasin, Ik.” Pricilla bersuara dengan nada memohon.
            “Apalagi yang perlu dijelasin?” tanya Oik. Suaranya sudah mulai bergetar. “Kalau kamu mau tahu gimana rasanya jadi aku yang diputusin karena pacarku dijodohkan dengan sahabat sendiri.. Rasanya sakit. Banget.”
            Alvin, Ray, Sivia, dan Pricilla dapat melihat Oik yang berusaha mati-matian agar genangan kecil dipelupuk matanya tidak tumpah. Tapi gagal. Tetesan itu mulai turun satu-persatu. Oik cepat-cepat mengusapnya, menghilangkan jejaknya.
            “Lebih sakit lagi karena sahabatku nggak pernah cerita soal perjodohan ini sebelumnya.” Oik terisak. Dengan berlari-lari kecil, ia meninggalkan keempat sahabatnya.
            “Pris, kamu...” Alvin menggelengkan kepalanya tak paham. “Apa susahnya cerita dari awal?” bentaknya. Alvin kemudian berlari menyusul Oik.

**

            “Oik!” Alvin berteriak memanggil Oik yang sudah berlari jauh di depannya.
            Alvin menengok kesana-kemari. Untung saja koridor telah sepi. Itu berarti, ia dan Oik tak perlu jadi tontonan para mahasiswa lainnya karena berlari saling mengejar sambil berteriak-teriak. Alvin menyadari sesuatu. Ia menengok pada jam tangannya. Mata kuliah pertama sudah dimulai lima menit yang lalu. Alvin tak peduli. Sekarang, yang penting, ia harus menenangkan Oik.
            “Oik! Tunggu!” teriak Alvin lagi.
            Alvin melihat Oik yang mulai menurunkan kecepatan berlarinya hingga akhirnya berhenti. Gadis itu terduduk di parkiran mobil, dibawah sebuah pohon trembesi rindang. Oik terduduk dengan melihat lututnya. Ia membenamkan wajahnya pada lututnya.
            “Ik?” panggil Alvin lagi.
            Alvin berjongkok di hadapan Oik. Ia mengusap puncak kepala Oik dengan lembut. “Gimana perasaanmu?” tanyanya.
            Oik bergeming. Tak mengindahkan usaha Alvin untuk menghiburnanya dan menenangkannya. Alvin mendesah putus asa. Lelaki itu mendengar derap langkah yang semakin lama semakin terdengar keras. Ia menengok ke belakang dan mendapati Pricilla telah berada di belakangnya.
            “Mau apa kamu?” tanya Alvin dingin.
            Pricilla tak menggubris pertanyaan Alvin. Ia melewati lelaki itu dan duduk bersila di samping Oik. “Oik?”
            Mendengar suara Pricilla, Oik mendongakkan kepalanya. “Mau apa kamu?”
            “Aku... minta maaf,” Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak tega menatap ekspresi terluka Oik.
            “Rasanya sakit, Pris,” seru Oik dengan suara bergetar. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Alvin serta Pricilla dalam keheningan yang membunuh.
            “Oik!” panggil Alvin. Lelaki itu berdiri, bersiap untuk menyusulnya kembali.         
            Oik mengangkat tangan kanannya tanpa menengok ke belakang. “Nggak usah cari aku dulu, Vin.”
            Pricilla segera berdiri dan menghampiri Oik. Gadis itu mencekal lengan Oik, mencegah gadis itu pergi. “Aku minta maaf, Ik. Sungguh.”

            Rahang Oik kembali mengeras. Ia kibaskan lengannya. Dengan sekali sentakan keras, tangan Pricilla telah menyingkir dari lengannya. “Kasih aku waktu untuk sendiri,” ujarnya dingin. Dan tanpa berpamitan pada Alvin dan Pricilla, Oik kembali melangkah pergi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar