Pagi-pagi sekali Alvin sudah berada
di kantin kampusnya. Ia sengaja berangkat pagi-pagi buta karena ia yakin
jalanan pasti macet. Beruntung Alvin sudah sampai di kampusnya tiga puluh menit
sebelum kuliahnya dimulai.
Sambil menyantap gado-gadonya, Alvin
mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kantin. Kemana keempat sahabatnya
itu? Bukannya mereka sama-sama mengambil kuliah pagi pada semester ini?
“Hay, Vin,” sapa sebuah suara lembut.
Alvin menengok ke samping dan mendapati Sivia di sana.
Alvin tersenyum sekilas lalu menelan
gado-gadonya. “Sendirian aja? Pricilla mana?”
Sivia mengangkat bahunya dengan
cuek. “Mungkin terlambat bangun lagi. Atau, kalau nggak, berarti dia––,”
“Cari aku?” sela sebuah suara. Tiba-tiba
saja Pricilla sudah berada di antara mereka. Ia baru saja datang bersama dengan
Ray.
“Ada yang kurang,” gumam Ray. Ia melirik
satu-persatu sahabatnya. “Oik?”
Pricilla meletakkan map yang sedari
tadi ia peluk didepan dada. Binar dimatanya mulai meredup. “Oik kemana? Dia...
masih marah?”
Alvin menghembuskan napasnya dengan
berat. “Oik sudah putus dengan Gabriel. Kemarin.” Alvin tersenyum kaku ketika
menyadari ketiga sahabatnya tengah menahan napas.
“Tapi dia baik-baik aja, kan?”
todong Ray langsung.
“Nggak tau, Ray,” Alvin menggeleng
lemas. Ia menundukkan kepalanya, bermaksud mengecek ponselnya apakah Oik sudah
membalas pesan singkatnya atau belum. Tetapi matanya terantuk pada map milik
Pricilla. Wajahnya pias.
“Kenapa, Vin?” tanya Pricilla. Ia menatap
Alvin dan mapnya bergantian.
“Itu map punya kamu?” tanya Alvin
tak percaya.
“Iya,” jawab Pricilla bingung. “Kenapa?
Ada yang salah dengan mapku?”
Rahang Alvin mengeras menatap milik
Pricilla. “Bukan map punyamu yang salah. Tapi kamu.” Alvin tersenyum miring. Pantas
saja ia merasa mengenal nama itu. Ternyata... “Elizabeth Agatha Pricilla
Soekamto.” Alvin mengeja nama Pricilla yang tertera pada map berwarna biru itu
dengan penekanan pada nama belakang sang pemilik.
“Vin...” Sivia memegang lengan
Alvin. Ia belum pernah melihat Alvin semarah ini sebelumnya. Ia menatap
Pricilla penuh tanya yang hanya dibalas tatapan bingung gadis berbehel itu.
“Kalian tahu kenapa Gabriel
memutuskan Oik?” tanya Alvin.
“Orangtua Gabriel nggak pernah
menyetujui hubungan mereka. Iya, kan?” tanya Ray balik. Insting Ray mulai
bekerja. Ia menyadari ada yang tidak beres dalam nada bicara dan ekspresi wajah
Alvin.
“Bukan cuma itu,” balas Alvin
singkat. Matanya menatap Pricilla tajam.
Pricilla bergedik ketakutan ditatap
Alvin sebegitu tajamnya. “Apa la––,”
“Gabriel dijodohkan dengan anak
keluarga Soekamto.”
Hening.
“Apa?!” Pricilla memekik tertahan. Lelucon
dari mana ini?
Sivia menatap Alvin tajam. Ia tidak
suka Alvin bercanda disaat seperti ini. Lagipula, ia tahu betul Pricilla sama
sekali tak mengenal Gabriel. Pricilla hanya sebatas tahu bahwa adalah pacar
Oik, dulu. Bagaimana bisa Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?
“Alvin, jangan bercanda,” tegas
Sivia.
Alvin beralih menatap Sivia. “Apa
aku kelihatan bercanda?”
“Kamu tahu dari mana Gabriel
dijodohkan dengan Pricilla, Vin?” tanya Ray, menengahi. Ia yakin perang dunia
ketiga akan berlangsung diantara ketiga sahabatnya itu jika tak ia tengahi
sekarang juga.
Alvin memandang Pricilla dengan
sinis. Bibirnya terbuka, menguntai cerita semalam tanpa ada yang dikurangi dan
dilebihkan. Mulai dari surat yang diterima Oik, ajakan Oik untuk mengantarkan
gadis itu, pertemuan Oik dengan Gabriel beserta Angel, Gabriel yang memutuskan
hubungan secara sepihak, hingga alasan mengapa Gabriel memutuskan Oik.
“Sudah cukup jelas, Nona Soekamto?”
tanya Alvin sinis.
Pricilla menelan ludahnya lalu
menggelengkan kepala dengan lemas. “Aku nggak tahu,” lirihnya. Kemudian ia
menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Bagaimana bisa kamu nggak tahu,
Pris?!” bentak Alvin.
“Alvin!” Sivia menatap Alvin tajam. “Kalau
memang Pricilla nggak tahu, mau bagaimana lagi? Sudahlah. Lagipula, kenapa kamu
jadi sebegini peduli dengan Oik?”
Alvin terdiam mendengar kalimat
terakhir Sivia. “Aku peduli dengan Oik karena dia sahabatku.”
“Pricilla juga sahabat kamu, Vin!”
seru Sivia sebal.
“Tapi dalam kondisi ini Oik yang
terluka. Bukan Pricilla.” Alvin tak mau kalah.
“Teman-teman, berhenti..” Ray
mengingatkan dengan suara rendahnya.
“Apa, Ray?” tantang Sivia. Gadis itu
kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Alvin. “Tapi kamu juga nggak
seharusnya menyalahkan Pricilla! Namanya juga perjodohan. Pasti itu kehendak
orangtua mereka. Bukan kehendak Gabriel dan Pricilla. Pricilla belum tahu soal
ini.”
“Apa kamu bilang, Siv? Pricilla belum
tahu?” Alvin tertawa sumbang. “Bagaimana Pricilla belum tahu, sedangkan Gabriel
sudah tahu?”
“Alvin, Sivia.. Stop!” Ray kembali
menengahi.
Alvin menatap Ray tajam, menyuruh
lelaki itu untuk diam saja. “Aku nggak percaya Pricilla sama sekali nggak tahu
soal ini.” Alvin mendengus kesal.
“Aku nggak tahu, Vin. Sama sekali
nggak tahu.” Pricilla berujar lirih.
“Bohong!” seru Alvin.
“Seminggu ini Mama dan Papa memang
selalu ngajak aku keluar untuk makan malam bareng. Karena aku yang memang sibuk
sama tugas kuliah, aku selalu nolak. Mungkin itu...” aku Pricilla.
“Teman-teman...” Ray kembali
mengingatkan.
“Apa, Ray?” tanya Sivia dengan
galak. Ia sebal karena Ray terus saja menyuruh mereka untuk berhenti. Padahal ini
hal serius. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai dan Sivia mau pembicaraan
mengenai ini harus selesai secepatnya.
“Ada Oik...” Ray menengok pada
seorang gadis yang tengah berdiri menatap mereka berempat dengan datar. Bibirnya
bergetar.
“Kenapa nggak bilang dari tadi, Ray?”
bisik Alvin.
Ray menatap ketiga sahabatnya dengan
menggelengkan kepalanya. “Aku sudah ingatkan dari tadi tapi kalian tetap nggak
mau berhenti.”
“Ik...” Pricilla mendongakkan
kepalanya. Menatap Oik dengan pandangan memohon maaf.
“Jadi gini...?” tanya Oik datar. Gadis
itu berusaha menekan luapan emosinya dalam-dalam. Ia tak mau menangis dan
marah-marah di tempat umum. Sama sekali tidak sopan.
“Aku bisa jelasin, Ik.” Pricilla bersuara
dengan nada memohon.
“Apalagi yang perlu dijelasin?”
tanya Oik. Suaranya sudah mulai bergetar. “Kalau kamu mau tahu gimana rasanya
jadi aku yang diputusin karena pacarku dijodohkan dengan sahabat sendiri..
Rasanya sakit. Banget.”
Alvin, Ray, Sivia, dan Pricilla
dapat melihat Oik yang berusaha mati-matian agar genangan kecil dipelupuk
matanya tidak tumpah. Tapi gagal. Tetesan itu mulai turun satu-persatu. Oik cepat-cepat
mengusapnya, menghilangkan jejaknya.
“Lebih sakit lagi karena sahabatku
nggak pernah cerita soal perjodohan ini sebelumnya.” Oik terisak. Dengan berlari-lari
kecil, ia meninggalkan keempat sahabatnya.
“Pris, kamu...” Alvin menggelengkan
kepalanya tak paham. “Apa susahnya cerita dari awal?” bentaknya. Alvin kemudian
berlari menyusul Oik.
**
“Oik!” Alvin berteriak memanggil Oik
yang sudah berlari jauh di depannya.
Alvin menengok kesana-kemari. Untung
saja koridor telah sepi. Itu berarti, ia dan Oik tak perlu jadi tontonan para
mahasiswa lainnya karena berlari saling mengejar sambil berteriak-teriak. Alvin
menyadari sesuatu. Ia menengok pada jam tangannya. Mata kuliah pertama sudah
dimulai lima menit yang lalu. Alvin tak peduli. Sekarang, yang penting, ia
harus menenangkan Oik.
“Oik! Tunggu!” teriak Alvin lagi.
Alvin melihat Oik yang mulai
menurunkan kecepatan berlarinya hingga akhirnya berhenti. Gadis itu terduduk di
parkiran mobil, dibawah sebuah pohon trembesi rindang. Oik terduduk dengan
melihat lututnya. Ia membenamkan wajahnya pada lututnya.
“Ik?” panggil Alvin lagi.
Alvin berjongkok di hadapan Oik. Ia mengusap
puncak kepala Oik dengan lembut. “Gimana perasaanmu?” tanyanya.
Oik bergeming. Tak mengindahkan
usaha Alvin untuk menghiburnanya dan menenangkannya. Alvin mendesah putus asa. Lelaki
itu mendengar derap langkah yang semakin lama semakin terdengar keras. Ia menengok
ke belakang dan mendapati Pricilla telah berada di belakangnya.
“Mau apa kamu?” tanya Alvin dingin.
Pricilla tak menggubris pertanyaan
Alvin. Ia melewati lelaki itu dan duduk bersila di samping Oik. “Oik?”
Mendengar suara Pricilla, Oik
mendongakkan kepalanya. “Mau apa kamu?”
“Aku... minta maaf,” Pricilla
menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak tega menatap ekspresi terluka Oik.
“Rasanya sakit, Pris,” seru Oik
dengan suara bergetar. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan
Alvin serta Pricilla dalam keheningan yang membunuh.
“Oik!” panggil Alvin. Lelaki itu
berdiri, bersiap untuk menyusulnya kembali.
Oik mengangkat tangan kanannya tanpa
menengok ke belakang. “Nggak usah cari aku dulu, Vin.”
Pricilla segera berdiri dan
menghampiri Oik. Gadis itu mencekal lengan Oik, mencegah gadis itu pergi. “Aku
minta maaf, Ik. Sungguh.”
Rahang Oik kembali mengeras. Ia kibaskan
lengannya. Dengan sekali sentakan keras, tangan Pricilla telah menyingkir dari
lengannya. “Kasih aku waktu untuk sendiri,” ujarnya dingin. Dan tanpa
berpamitan pada Alvin dan Pricilla, Oik kembali melangkah pergi.
0 komentar:
Posting Komentar