Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [06]

            Matahari baru saja tenggelam diufuk barat dan Alvin masih tetap setia duduk diatas motornya di pelataran tempat kos Oik. Matanya menatap jendela kamar Oik. Sudah sejam lebih ia memandang jendela tersebut dan ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa Oik ada di dalam.
            “Mas, cari siapa?” tanya sebuah suara dari belakangnya.
            Alvin cepat-cepat menengok ke belakang dan mendapati seorang gadis mungil berkulit sawo matang tengah menatapnya curiga. “Oiknya ada?” tanya Alvin balik.
            “Ada,” jawab gadis itu dengan alis berkerut. “Mas ini siapa?”
            Alvin segera turun dari motornya dan mengulurkan tangannya pada gadis itu. “Aku Alvin. Teman kuliah Oik. Kamu teman kos Oik?”
            Gadis itu mengangguk sambil menerima ulura tangan Alvin. Keduanya berjabat tangan untuk beberapa detik. “Aku Osa. Mari, Mas..” Osa memberi kode pada Alvin untuk mengikutinya berjalan menuju teras.
            “Sa, Oiknya ada?” tanya Alvin lagi.
            Osa duduk pada sebuah kursi kayu di teras kosnya. “Ada, Mas. Tadi sekitar jam sembilan Oik udah pulang kuliah. Tapi keadaannya berantakan.”
            Alvin –yang telah duduk di hadapan Osa– menghela napasnya dengan lesu. “Dia belum keluar kamar dari pagi tadi?”
            “Belum, Mas,” Osa menggeleng kecil. “Dia tadi pagi belum sarapan juga sebelum berangkat kuliah. Mungkin tadi siang dia juga nggak makan. Kan, Oik nggak keluar kamar sama sekali. Ibu kos tadi juga tanya tapi nggak saya jawab, saya nggak tahu.”
            Alvin bangkit dari duduknya. “Kamu coba bujuk Oik keluar kamar, ya. Aku minta tolong. Aku keluar dulu, carikan makan buat Oik.”
            Osa mengangguk patuh dan Alvin pun melangkah meninggalkannya. Setelah melihat Alvin yang berlalu menggunakan motornya, Osa pun berdiri hendak menuju kamar Oik. Pintu kamar Oik masih tertutup rapat.
            “Oik, kamu kenapa lagi?” gumamnya sedih.
            Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar Oik. Sudah hampir lima menit ia mengetuk pintu kamar Oik tapi tak ada jawaban dari dalam. “Oik! Buka pintunya, dong. Aku tahu kamu di dalam.”
            Osa berhenti mengetuk pintu kamar Oik setelah menyadari jemarinya telah memerah karena mengetuk daun pintu di hadapannya. “Ik, buka pintunya. Aku nggak bisa ketuk pintu kamu lagi, tanganku udah merah-merah karena ketuk pintu kamu terus dari tadi.”
            Osa mendengar bunyi benda jatuh dari dalam, disusul dengan suara saklar lampu yang ditekan. Ia dapat melihat cahaya lampu berpendar dari celah-celah pintu kamar Oik. Benar. Oik ada di dalam.
            “Ik, buka, dong. Tadi ada temanmu kesini. Namanya Alvin. Kamu kenapa, Ik?”
            Pintu mendadak dibuka dari dalam. Muncul Oik dengan rambut berantakan dan mata yang berair serta memerah. “Alvin kesini, Sa?” tanyanya dengan suara serak.
            “Iya.” Osa mengangguk. “Ayo, cuci muka dulu.”
            Osa menuntun Oik menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang rumah kos tersebut. Oik membasuh wajahnya dengan air, merapikan penampilannya, lalu keluar dari kamar mandi. Rupanya Osa masih menungguinya.
            “Alvin sekarang mana, Sa?” tanya Oik lagi.
            “Udah ada di dalam kamarmu. Barusan dia sampai waktu kamu di dalam. Aku suruh masuk ke kamarmu tadi.”
            Keduanya pun berjalan menuju bangunan utama rumah kos tersebut. Osa berhenti di depan pintu kamarnya dan segera masuk, meninggalkan Oik yang berjalan menuju kamarnya seorang diri. Ia melihat pintu kamarnya terbuka.
            “Vin?” sapa Oik pada seorang lelaki yang tengah duduk diatas ranjangnya.
            “Sini, Ik..” Alvin menepuk-nepuk tempat di sampingnya, menyuruh agar Oik duduk di situ. Oik melangkah dan duduk di sebelah Alvin.
            “Kamu kenapa kesini?” tanya Oik sambil menatap Alvin bingung.
            “Aku khawatir sama kamu.” Alvin menyerahkan sebuah kantung plastik berwarna hitam pada Oik. “Ini nasi padang kesukaan kamu. Kamu makan dulu, ya.”
            Oik mengangguk. Ia membuka bungkusan makanan tersebut dan mulai melahapnya. Ia melirik Alvin yang tengah berdiri menatap seluruh penjuru kamarnya. Tak ia hiraukan lelaki itu yang mulai berceloteh mengenai betapa berantakannya kamarnya.
            “Kamu makan aja, biar aku yang bereskan kamarmu.”
            Alvin mulai dengan mengumpulkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan dilantai kamar Oik. “Aku tadi udah ngomong dengan Pricilla. Dia bilang dia sama sekali nggak tahu soal perjodohannya dengan Gabriel.”
            Oik menelan nasi padangnya. “Iya. Jangan salahkan Pricilla seperti tadi lagi, Vin. Aku sadar perjodohan itu sepenuhnya orangtua mereka yang ngatur, bukan Gabriel dan Pricilla sendiri.”
            Alvin tersenyum. Ia membuang seluruh bungkus makanan ditangannya pada sebuah tong sampah di sudut kamar Oik. “Pricilla juga minta maaf soal ini. Dia masih belum berani bilang ke kamu langsung, takut kamu histeris, katanya.”
            “Sampaikan ke dia kalau aku juga minta maaf.” Oik tersenyum tipis, pandangannya menerawang.
            Alvin menepuk bahu Oik sambil terkekeh. “Jangan ngelamun terus, Oik. Ayo, lanjutkan makannya!” perintahnya.
            Oik pun kembali melahap makanannya, sedangkan Alvin kembali merapikan kamar Oik. Lelaki itu kini tengah merapikan meja belajar Oik yang dipenuhi buku-buku dalam keadaan berantakan.
            “Kamu ngobrol apalagi sama Pricilla, Vin?” tanya Oik penasaran.
            Alvin menghentikan aktivitasnya. “Tadi Pricilla langsung telepon Mamanya...”
            “Iya. Terus?” tanya Oik gemas. Pasalnya Alvin tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Instingnya mengatakan Alvin akan mengatakan sesuatu yang akan membuatnya sakit hati lagi.
            “Beliau bilang pertunangan Gabriel dan Pricilla akan dilaksanakan secepatnya. Mungkin bulan depan.” Alvin membalikkan badannya, melihat reaksi Oik.
            Oik telah selesai melahap nasi padangnya. Ia kemudian membuang bungkus makanannya pada tong sampah dan kembali duduk diatas ranjang. “Aku udah coba merelakan Gabriel buat Pricilla tapi itu bukan berarti aku sanggup datang ke acara pertunangan mereka.”
            Alvin tersenyum tipis. Dalam sekejap Alvin sudah berada dalam pelukannya. Alvin mengelus puncak kepala gadis itu dengan sayang. “Kamu kuat, Ik. Kamu bener-bener kuat. Dan kamu memang harus kuat.”
            “Rasanya lega, Vin. Aku memang belum merelakan mereka sepenuhnya tapi, paling nggak, aku udah merelakan keputusan Gabriel untuk putus. Itu pun rasanya udah lega banget. Seperti ada beban yang diangkat.”
            Alvin melepaskan pelukannya, membiarkan Oik kembali bernapas setelah sebelumnya –ia yakin– gadis itu sulit bernapas karena dekapan eratnya. “You’re fine, aren’t you?”
            “Aku baik-baik aja,” ujar Oik seraya tersenyum ragu-ragu. “No. I’m not fine at all.”
            Alvin sudah berancang-ancang akan kembali memeluknya jika saja Oik tidak menahannya. “Stop, Vin. Berhenti peluk aku. Aku susah napas!” serunya lalu terkekeh pelan.
            Alvin ikut tertawa karena Oik sudah bisa tertawa kembali. Lelaki itu kembali mengusap puncak kepala Oik. Dan Oik, senang sekali diperlakukan begitu oleh Alvin. Entah mengapa, Oik senang jika ada yang mau mengelus puncak kepalanya. Itu seperti mengalirkan energy tersendiri padanya.
            “Vin,” panggil Oik, suaranya mulai terdengar serius. “Jangan salahkan Pricilla seperti tadi, ya. Aku nggak mau para sahabatku jadi musuhan cuma gara-gara aku.”
            Alvin mengangguk mantap. “Aku janji aku nggak akan menyalahkan Pricilla seperti tadi. Kamu bisa pegang janjiku, Oik.”
            Oik bergerak-gerak gelisah di tempatnya. Ia sudah memikirkan hal ini dari tadi pagi tapi ia tak punya cukup keberanian untuk menanyakannya langsung pada Alvin. Ia takut hal ini benar adanya.
            “Kenapa, Ik? Mau ngomong sesuatu?” tanya Alvin. Oik menggeram, Alvin terlampau mengenal dirinya.
            “Aku mau tanya sesuatu..” Oik melirik Alvin takut-takut. Melihat Alvin yang mengangkat sebelah alisnya –mempersilahkannya untuk melanjutkan perkataan–, Oik pun kembali berujar. “Kenapa reaksi kami sebegitu marahnya begitu tahu Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?”
            Alvin terdiam di tempat. Tak menyangka pertanyaan macam itu terlontar dari bibir mungil Oik. Alvin segera mengalihkan pandangannya dari Oik. “Aku...”
            “Selama ini kamu anggep aku apa, Vin? Cuma sahabat, kan? Nggak lebih, kan? Ataupun kalau lebih, kamu anggap aku sebagai adik kamu. Iya, kan?” cecar Oik. Rupanya gadis itu telah menemukan keberaniannya untuk mengemukakan hal yang berkecamuk dihatinya.
            “Aku...” Alvin tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengatakannya pada Oik.
            “Kamu nggak menyimpan rasa buat aku, kan?” tanya Oik. Kali ini tepat menohok ulu hati Alvin.
            “Aku anggap kamu adik,” ujar Alvin dalam satu helaan napas. Rasa nyeri langsung menyergap hatinya.
            “Untung aja perkiraanku sejak tadi pagi salah.” Oik tersenyum senang dan segera menghambur dalam pelukan Alvin. “Aku nggak ngebayangin gimana jadinya kalau kamu nyimpen rasa buat aku, Vin.”
            “Iya.” Alvin mengangguk dengan berat hati. “Lagipula, kita berdua beda. Sama seperti kamu dan Gabriel. Nggak akan pernah jadi satu.”
            “Iya!” Oik mengangguk dengan bersemangat. “Pasti reaksi Oma kamu sama seperti reaksi kedua orangtua Gabriel jika tahu kita berpacaran. Sama sekali nggak lucu.” Oik tertawa geli.
            Alvin benci perbedaan. Alvin benci ada sekat pembeda yang menghampar abstrak tetapi tak tertembus antara dia dan Oik. Alvin benci perbedaan karena hal itulah yang memaksanya untuk berbohong pada Oik. Alvin benci perbedaan karena perbedaan itu membuat Alvin mengingkari perasaannya sendiri selama ini. Sungguh, Alvin ingin menghapus perbedaannya dengan Oik jika ia bisa.
            “Iya, aku cuman nganggap kamu sebagai adik. Nggak lebih.” Alvin bergumam seraya memeluk Oik. Ia menujukan gumaman tersebut lebih kepada dirinya sendiri, bukan kepada Oik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar