Sore
hari yang cerah. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua tengah duduk
disebuah bangku dekat tempat bermain anak-anak. Gadis kecil itu masih
mengenakan seragam sekolahnya dengan badge kelas 4 SD.
Ia
menengok ke samping. Adiknya –yang hanya berbeda satu tahun dengannya– rupanya
tengah bermain perosotan dengan teman-temannya. Ia mendengus kesal karena tak
diajak bermain bersama dengan adiknya.
“Halo!”
Gadis
itu menengok cepat ke samping dan menemukan seorang lelaki kecil seumuran
dengannya telah duduk manis. Gigi ompong lelaki itu membuat sang gadis kecil
terkekeh pelan. Tiba-tiba saja rasa kesal kepada adiknya hilang entah kemana.
“Kamu
dari mana aja, sih?” tanya gadis kecil itu dengan sedikit merajuk. “Aku nggak
punya temen, tau!”
“Tadi
Mama bilang nggak boleh kesini dulu. Disuruh nunggu sebentar. Mama lagi bikin
ini,” Lelaki kecil itu menyodorkan sebuah kotak makan pada gadis di sampingnya.
“Mama bikin buat kamu.”
Gadis
kecil itu meliriknya sekilas dan tanpa basa-basi membuka kotak makan yang telah
berada dalam genggamannya. “Sandwich isi tuna?!” pekiknya gembira.
“Iya.”
Lelaki kecil di sampingnya mengangguk.
Dengan
lahap, disantapnya sandwich-sandwich
tersebut. “Kamu mau main perosotan juga?”
tanya gadis kecil itu dengan mulut penuh makanan.
Lelaki
itu menggeleng lesu. “Nggak, deh. Kayaknya habis ini hujan.”
Sang
gadis kecil mendongak menatap langit. Gumpalan awan kelabu menggantung diatas
sana. “Oh, iya! Lagi mendung, ya!” serunya dengan suara cempreng khas anak
kecil.
“Gimana
kalau kita pulang aja? Nanti kita kehujanan, lho!” Wajah sang lelaki kecil
mendadak panik membayangkan ia aka terserang flu berhari-hari hanya karena
kehujanan. Seperti beberapa minggu yang lalu.
“Tapi
adikku gimana? Dia masih main perosotan sama temen-temennya,” gadis kecil itu
mengedik pada sekumpulan anak kecil lainnya yang tengah mengantri bermain
perosotan.
“Udah,
biarin aja. Biarin mereka nanti pilek soalnya kehujanan!” sungut sang lelaki
kecil.
“Yang
udah, deh,” Sang gadis kecil hanya mengangguk pasrah.
Keduanya
pun bangkit berdiri lalu menyusuri jalanan taman dalam diam. Sang gadis kecil
menyantap sandwich isi tunanya sambil berjalan. Tangan kirinya
menggenggam erat sebuah kotak makan dan tangan kanannya menggenggam sandwich
isi tuna yang sudah tinggal setengah bagian.
Begitu
sampai di pinggir jalan, keduanya diam sejenak. Melihat gadis kecil berambut
pendek yang tengah gelisah di seberang jalan sana, keduanya saling pandang
bingung. Gadis di seberang jalan berancang-ancang untuk menyebrang.
“Hey!
Kamu kenapa?” tanya sang lelaki kecil.
Gadis
kecil di seberang jalan menatap sang lelaki kecil dengan sedih. “Kalungku
hilang. Mungkin jatuh.” Suaranya bergetar, seperti ingin menangis.
“Jatuh
dimana?” tanya sang gadis kecil yang baru saja menelan bulat-bulat sandwich isi tuna yang belum sempat ia kunyah.
“Nggak
tahu,” gadis kecil berambut pendek itu merajuk, seperti ingin menangis. Ia
kembali menengok ke kanan dan ke kiri, mengambil ancang-ancang untuk
menyebrang.
“Eh!
Kamu mau nyebrang?” tanya sang lelaki kecil. Begitu gadis di seberang sana
mengangguk, ia tersenyum senang dan beralih pada gadis kecil di sampingnya.
“Aku mau bantu dia nyebrang dulu, ya! Kamu tunggu sini aja!”
Gadis
kecil di sampingnya menggenggam kuat-kuat kotak makan. “Hati-hati ketabrak
motor atau mobil, ya!”
Lalu
lelaki kecil itu tersenyum mantap dan berlari ke tengah jalan raya. Ia
merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, menyuruh segala macam kendaraan
untuk berhenti sejenak. Begitu melihat sudah tak ada lagi kendaraan yang akan
melintas, ia menengok pada gadis kecil berambut pendek dan memberikan kode agar
segera menyebrang.
Dengan
takut-takut, gadis kecil berambut pendek itu menyebrang jalan. Begitu ia telah
sampai di seberang, ia melambaikan tangan pada sang lelaki kecil. Lelaki kecil
itu berlari kencang menuju kearah dua gadis kecil.
“Debo
awaaaaaassss!!!!!” pekik sang gadis kecil yang tengah menggenggam sebuah kotak
makanan.
BRAK!
**
Cakka dan Shilla baru saja tiba di
pelataran Oicagraph. Keduanya segera turun dari mobil dan masuk ke dalam
galeri. Ada Alvin, Oik, Rio, dan Ify yang tengah berkumpul di meja Ify. Aroma
mie kuah langsung menyergap hidung mereka.
Suara derap langkah keduanya menarik
perhatian Ify. “Hay!” sapanya.
Cakka dan Shilla mengangguk sopan dan
segera menghampiri keempatnya. Rupanya Alvin dan Oik tengah makan semangkuk
berdua. Hal itu membuat Cakka menautkan alisnya, mengingat apa yang terjadi
semalam di apartemen Oik.
“Kita duduk mana, nih?” tanya Shilla
dengan tersenyum kikuk. Pasalnya, dua bangku yang biasanya diperuntukkan pada
tamu di depan meja Ify kini tengah didudukki Alvin dan Oik.
“Oh, iya. Bentar, Shil. Gue sama
Alvin pindah aja.” Oik segera meletakkan sendok yang digenggamnya diatas
mangkuk dan hendak berdiri jika saja suara Rio tidak menahannya.
“Nggak usah! Lo duduk aja, Ik.
Pamali makan sambil berdiri. Biar gue ambilin kursi di belakang.”
Beberapa detik setelahnya, Rio
datang dengan membawa dua buah kursi plastik yang ia ambil dari dapur
Oicagraph. Ia meletakkannya di samping meja Ify. Cakka dan Shilla mengangguk
berterima kasih dan segera duduk.
“Makan dulu, Kka, Shill,” seru
Alvin. Ia mengangkat mangkuknya sedikit, menawarkan pada Cakka dan Shilla.
“Mau? Biar gue suruh office boy bikin.”
“Nggak usah. Makasih.” Tolak Shilla halus.
Ia harus mengontrol asupan makanannya jika ingin suara indahnya tetap
terkontrol. Ia hanya makan makanan rumahan yang dimasak oleh Mama atau
pembantunya saja, atau –sekali-kali– makanan resto mahal.
Cakka tertarik untuk bertanya
makanan apa yang sedang Alvin dan Oik santap ketika melihat keduanya sangat
menikmati makanan tersebut. “Makan apa, Vin, Ik?”
“Mie kuah,” jawab Oik singkat.
Cakka kembali mendapatkan sentakan
keras dalam hatinya. Pikirannya kembali berkecamuk. Satu lagi fakta yang yang
mengganggu pikirannya. Apalagi ini?
Mie
kuah? Lala sama sekali nggak suka mie instant, apalagi mie kuah.
**
RADAR BANDUNG ––– 28 September 2008
REM
BLONG, YAARIS MASUK JURANG
Satu Penumpang Tewas, Empat Luka
BANDUNG –
Kecelakaan maut terjadi di Ciburial, Kabupaten Bandung, kemarin (27/9). Sebuah
Toyota Yaaris bernomor polisi B 5413 AI yang berisi empat penumpang dan satu
sopir masuk ke dalam jurang sedalam 20 meter karena remnya blong. Akibat
kecelakaan itu, satu penumpang meninggal di lokasi.
Korban tewas adalah Nur Wachid Hidayat,
18. Sementara itu, empat penumpang mobil lainnya selamat. Yakni, Dadang
Iskandar (sopir) beserta ketiga penumpang lainnya yang belum diketahui
identitasnya. Semua adalah warga Bandung.
Radar
Bandung (Jawa Pos Group) melaporkan, kecelakaan terjadi sekitar pukul
09.00. Udin, salah seorang saksi, mengungkapkan, kecelakaan bermula saat Yaaris
melaju dari arah utara. Sesampai di jalan berkelok turun, kecepatan mobil tidak
menurun. Tak ayal, mobil pun jatuh ke jurang karena oleng.
Camat setempat menyatakan, pihaknya
prihatin atas kecelakaan tersebut. Apalagi, itu bukan yang pertama. “Sudah
lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan di jalan berkelok ini sejak 2005.”
ujarnya.
**
Alvin dan Oik tengah berjalan menuju
lobby apartemen ketika senja
menjelang. Mereka baru saja selesai membantu Rio dalam proses editting foto pukul lima tadi. Dengan
lesu, keduanya jalan beriringan menuju lift.
“Mau makan malam di luar atau aku
masakin?” tanya Oik sambil melirik Alvin.
Alvin merangkul pinggang Oik dan
tersenyum tipis. “Kamu aja yang masak. Udah lama kamu nggak masak buat aku.”
“Oke,” Oik mengedikkan bahunya cuek.
“Kamu mau makan apa? Biar aku ke minimarket dulu.”
Keduanya berhenti di depan lift. Alvin melepaskan rangkulannya dan
memencet tombol panah ke atas. Ia menatap anga empat di atas pintu lift. Menyadari lift masih berada di lantai empat, Alvin kembali menghadap Oik.
“Terserah kamu aja,” ujarnya sambil
memencet pelan ujung hidup Oik.
Oik tersenyum malu-malu dan menyingkirkan
telunjuk Alvin yang masih bertengger di telunjuknya. “Nasi goreng jamur aja,
ya? Aku lagi malas masak yang macem-macem.”
Alvin mengangguk.
Kemudian pintu lift terbuka. Alvin mengusap puncak kepala Oik sejenak dan mencium
sekilas kening gadis itu dan masuk ke dalam lift.
Oik masih terbengong-bengong di tempatnya dengan wajah bersemu merah.
“Alvin! Jahil banget?!” seru Oik
dengan suara tertahan, membuat Alvin terkekeh.
Pintu lift mulai tertutup. Oik seakan teringat sesuatu. Ia segera
menyelipkan tangan kirinya pada ruang sisa pintu lift, mencegah agar pintu lift
tak tertutup sekarang. Sedangkan tangan kanannya membongkar isi tas,
mencari-cari sesuatu.
“Ngapain, Ik?” tanya Alvin bingung.
Oik bergumam tak jelas. Lalu, ia
menyodorkan kartu apartemennya pada Alvin. “Kamu langsung ke apartemenku aja.
Buatkan aku coklat hangat, ya.”
Alvin mengangguk mengerti dan
menerima kartu apartemen Oik. Pintu lift
pun tertutup. Alvin seorang diri berada dalam lift. Ia menimang-nimang kartu apartemen Oik sambil bersiul. Begitu
lift tiba di lantai apartemennya dan
Oik, Alvin melangkah keluar.
Lelaki bermata sipit itu melangkah
menyusuri koridor apartemen. Pada persimpangan jalan, Alvin berbelok kanan. Ia
berhenti pada pintu apartemen keempat di sebelah kiri–apartemen Oik. Setelah
menempelkan kartu apartemen Oik pada sensor pintu, ia masuk ke dalam.
Alvin segera menuju pantry. Ia menemukan sebuah teko untuk
memanaskan air tergeletak diatas kompor. Ia segera mengambilnya dan berjalan
menuju dispenser. Setelah mengisinya hingga penuh, Alvin kembali meletakkannya
diatas kompor dan menyalakan kompr tersebut.
Tiba-tiba saja ponsel dalam saku
celananya bergetar. Alvin berdecak kesal begitu melihat notifikasi bahwa
baterai ponselnya telah habis. Dengan menggerutu, ia berjalan ke kamar Oik. Dinyalakannya
lampu tidur pada night stand dan ia
duduk dibibir ranjang Oik.
Alvin membuka laci night stand dan mencari-cari charger ponsel Oik, meminjamnya. Begitu menemukan
benda yang dicari, Alvin segera mengambilnya. Ketika ia hendak mematikan lampu
tidur Oik, matanya terantuk pada sebuah wristband
berwarna biru yang tergeletak diatas night
stand. Tangan Alvin terulur untuk mengambilnya.
Setelah mematikan night stand, Alvin segera keluar dari
kamar Oik. Begitu ia akan melangkahkan kaki menuju dapur, terdengar ketukan
pintu. Alvin memutar tubuhnya dan membukakan pintu. Ia mendapati Oik yang
tengah membawa sebuah tas plastik kecil telah menatapnya.
“Hay,” sapanya.
“Kayak nggak ketemu berhari-hari
aja, Vin,” ejek Oik. Gadis itu lalu melangkah menuju pantry, Alvin mengekor di belakangnya.
“Aku pinjem charger kamu, Ik,” kata Alvin begitu keduanya telah sampai di pantry. Alvin duduk dimeja counter, menunjukkan charger yang tadi telah diambilnya pada
Oik yang tengah mengeluarkan isi tas plastik tersebut.
“Ya,” Oik menjawab singkat seraya
mengangguk.
Alvin lalu bangkit dan men-charge baterai ponselnya di ruang tengah
apartemen Oik. Setelah itu, ia kembali ke pantry
dan menemukan Oik yang tengah memanaskan wajan penggorengan.
Alvin bergerak ke samping Oik. Lelaki
itu mematikan kompor dan membawa membawa teko panas itu ke meja counter. Ia telah menyiapkan dua cangkir
berisikan bubuk coklat sebelumnya. Dengan berjingkat karena takut terkena
tetesan air panas, Alvin menuangkannya pada kedua cangkir itu.
Sepuluh menit kemudian, Alvin dan
Oik telah duduk berhadapan dimeja counter.
Dua piring nasi goreng jamur dan dua cangkir coklat hangat telah menunggu untuk
disantap. Alvin dan Oik berdoa terlebih dahulu baru menyantap makan malam
mereka.
“Vin, besok bisa temani aku?” tanya
Oik sambil mengunyah nasi goreng jamurnya.
“Kemana?” tanya Alvin balik.
“Jenguk dia,” lirih Oik. “Apa aku naik taxi
aja, ya?”
Alvin meletakkan sendok dan
garpunya. Ia menatap Oik dingin. “Nggak. Nggak boleh. Kamu nggak boleh pergi
jauh-jauh tanpa aku. Aku nggak mau kejadian lima tahun lalu terulang lagi.”
“Alvin,” Oik merajuk dengan wajah
sedihnya. “Ayolah..”
“Besok lusa aja, Ik. Kamu tahu
sendiri aku besok ada pemotretan buat year
book SMA Karitas.” Alvin kembali menyantap nasi goreng buatan Oik.
“Aku maunya besok, Vin. Aku udah
kangen dia.” Oik tetap bersikeras.
“Rio mungkin besok nggak ada jadwal editting foto. Biar aku telepon dia.” Alvin
bangkit, hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio.
“Nggak usah,” Oik juga ikut bangkit.
Ia kembali mendudukkan Alvin dikursinya. “Aku nggak mau ganggu dia dan Ify. Biar
aku tanya ke tetangga sebelah aja. Siapa tahu besok mereka free.” Oik mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan keluar
apartemen, menuju apartemen si lima sekawan.
Baru saja Oik mengetuk pintu
apartemen sang lima sekawan, sudah terdengar teriakan untuk menunggu sebentar
dari dalam. Oik terkikik geli mendengar suara cempreng Ray yang tak ubahnya
anak kecil.
“Hay!” sapa Ray begitu ia melihat
Oik tengah berdiri di depannya. “Masuk, masuk..” ajaknya. Ia mundur selangkah
dan mempersilahkan Oik masuk. Begitu Oik masuk, ia langsung menutup kembali
pintu apartemennya.
“Halo, Oik!” sapa empat lelaki
lainnya yang tengah menonton DVD di ruang tengah.
Oik melambaikan tangan pada mereka
dan duduk diatas sofa, di antara Gabriel dan Deva. “Lagi nonton apa?” tanyanya.
“The Bay, Ik,” jawab Ozy sambil
melahap popcorn-nya.
“Mau minta tolong apa, Ik?” tanya
Patton tanpa mengalihkan pandangannya dari TV plasma yang sedang menayangkan
film keluaran terbaru tersebut.
“Tahu aja lo kalau gue mau minta
tolong,” ujar Oik seraya tertawa malu.
“Karena kita berlima udah sehati
sama lo,” sambung Deva lalu nyengir lebar.
“Besok ada yang free ga?” tanya Oik langsung. Ia menatap Ray, Deva, Ozy, Patton dan
Gabriel bergantian. Begitu matanya bertemu dengan mata Gabriel, Oik menelan
ludah entah karena apa.
“Wah, gue besok ada kuliah, Ik. Sorry, sorry..” Patton melirik Oik
sekilas sambil tersenyum meminta maaf. Besok ia harus menjalani UAS di
kampusnya.
“Gue UAS besok, Ik,” lanjut Deva. “Mungkin
lo bisa minta tolong Gabriel, Ozy, atau Ray. Kayaknya tiga orang itu besok free.”
“Besok gue kerja. Cadangan cuti gue
udah habis buat tahun ini.” Ozy tersenyum memaksa. Ia menggaruk tengkuknya
begitu ingat bahwa cadangan cutinya telah habis.
“Besok gue sama Gabriel free kok, Ik.” Ujar Ray yang baru saja
kembali dari pantry. Ia menyerahkan
tiga bungkus popcorn pada Ozy. “Mau
minta tolong apa memangnya?”
“Bisa anter gue ke Serpong?”
Tiba-tiba saja Gabriel yang tengah
mengunyah popcorn terbatuk-batuk. Ia melirik
Oik dengan pandangan yang sulit diartikan lalu segera meneguk colanya. “Serpong? Untuk apa?”
“Jenguk... saudara,” lirih gadis
itu. “Pakai mobil gue. Salah satu dari kalian yang nyetir. Bisa? Alvin nggak
ngebolehin gue keluar jauh-jauh sendirian dan besok dia ada jadwal motret.” Oik
menatap Ray dan Gabriel dengan wajah memelas.
“Oke, deh!” Ray menyanggupi sambil
mengangguk mantap. “Besok berangkat jam berapa, Oik?”
**
“Selamat
malam. RS Khusus Jiwa Dharma Graha. Ada yang bisa dibantu?”
“Halo, Sayang.”
“Kamu?
Astaga! Untung bukan suster atau dokter lain yang angkat!”
“Karena aku tahu kalau pasti kamu
yang bakal angkat teleponnya.”
“Untuk
apa malam-malam begini telepon?”
“Aku kangen, Sayang. Besok ada
jadwal praktek?”
“Besok
aku dinas siang. Mau ketemu?”
“Boleh. Jam tujuh pagi ya, Sayang?”
“Oke.
Di tempat biasa, kan?”
“Iya. Dandan yang cantik, ya. Aku ada
kejutan buat kamu.”
“Apa?
Tiket untuk pergi ke Paris berdua?”
“Aku serius, Sayang.”
“Oke,
oke.. Eh, Sayang, udahan dulu, ya. Ada pasien yang ngamuk, nih.”
“Oke. Ketemu besok, ya.”
**
0 komentar:
Posting Komentar