Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [06]

            Sore hari yang cerah. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua tengah duduk disebuah bangku dekat tempat bermain anak-anak. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya dengan badge kelas 4 SD.
            Ia menengok ke samping. Adiknya –yang hanya berbeda satu tahun dengannya– rupanya tengah bermain perosotan dengan teman-temannya. Ia mendengus kesal karena tak diajak bermain bersama dengan adiknya.
            “Halo!”
            Gadis itu menengok cepat ke samping dan menemukan seorang lelaki kecil seumuran dengannya telah duduk manis. Gigi ompong lelaki itu membuat sang gadis kecil terkekeh pelan. Tiba-tiba saja rasa kesal kepada adiknya hilang entah kemana.
            “Kamu dari mana aja, sih?” tanya gadis kecil itu dengan sedikit merajuk. “Aku nggak punya temen, tau!”
            “Tadi Mama bilang nggak boleh kesini dulu. Disuruh nunggu sebentar. Mama lagi bikin ini,” Lelaki kecil itu menyodorkan sebuah kotak makan pada gadis di sampingnya. “Mama bikin buat kamu.”
            Gadis kecil itu meliriknya sekilas dan tanpa basa-basi membuka kotak makan yang telah berada dalam genggamannya. “Sandwich isi tuna?!” pekiknya gembira.
            “Iya.” Lelaki kecil di sampingnya mengangguk.
            Dengan lahap, disantapnya sandwich-sandwich tersebut. “Kamu mau main perosotan juga?” tanya gadis kecil itu dengan mulut penuh makanan.
            Lelaki itu menggeleng lesu. “Nggak, deh. Kayaknya habis ini hujan.”
            Sang gadis kecil mendongak menatap langit. Gumpalan awan kelabu menggantung diatas sana. “Oh, iya! Lagi mendung, ya!” serunya dengan suara cempreng khas anak kecil.
            “Gimana kalau kita pulang aja? Nanti kita kehujanan, lho!” Wajah sang lelaki kecil mendadak panik membayangkan ia aka terserang flu berhari-hari hanya karena kehujanan. Seperti beberapa minggu yang lalu.
            “Tapi adikku gimana? Dia masih main perosotan sama temen-temennya,” gadis kecil itu mengedik pada sekumpulan anak kecil lainnya yang tengah mengantri bermain perosotan.
            “Udah, biarin aja. Biarin mereka nanti pilek soalnya kehujanan!” sungut sang lelaki kecil.
            “Yang udah, deh,” Sang gadis kecil hanya mengangguk pasrah.
            Keduanya pun bangkit berdiri lalu menyusuri jalanan taman dalam diam. Sang gadis kecil menyantap sandwich isi tunanya sambil berjalan. Tangan kirinya menggenggam erat sebuah kotak makan dan tangan kanannya menggenggam sandwich isi tuna yang sudah tinggal setengah bagian.
            Begitu sampai di pinggir jalan, keduanya diam sejenak. Melihat gadis kecil berambut pendek yang tengah gelisah di seberang jalan sana, keduanya saling pandang bingung. Gadis di seberang jalan berancang-ancang untuk menyebrang.
            “Hey! Kamu kenapa?” tanya sang lelaki kecil.
            Gadis kecil di seberang jalan menatap sang lelaki kecil dengan sedih. “Kalungku hilang. Mungkin jatuh.” Suaranya bergetar, seperti ingin menangis.
            “Jatuh dimana?” tanya sang gadis kecil yang baru saja menelan bulat-bulat sandwich isi tuna yang belum sempat ia kunyah.
            “Nggak tahu,” gadis kecil berambut pendek itu merajuk, seperti ingin menangis. Ia kembali menengok ke kanan dan ke kiri, mengambil ancang-ancang untuk menyebrang.
            “Eh! Kamu mau nyebrang?” tanya sang lelaki kecil. Begitu gadis di seberang sana mengangguk, ia tersenyum senang dan beralih pada gadis kecil di sampingnya. “Aku mau bantu dia nyebrang dulu, ya! Kamu tunggu sini aja!”
            Gadis kecil di sampingnya menggenggam kuat-kuat kotak makan. “Hati-hati ketabrak motor atau mobil, ya!”
            Lalu lelaki kecil itu tersenyum mantap dan berlari ke tengah jalan raya. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, menyuruh segala macam kendaraan untuk berhenti sejenak. Begitu melihat sudah tak ada lagi kendaraan yang akan melintas, ia menengok pada gadis kecil berambut pendek dan memberikan kode agar segera menyebrang.
            Dengan takut-takut, gadis kecil berambut pendek itu menyebrang jalan. Begitu ia telah sampai di seberang, ia melambaikan tangan pada sang lelaki kecil. Lelaki kecil itu berlari kencang menuju kearah dua gadis kecil.
            “Debo awaaaaaassss!!!!!” pekik sang gadis kecil yang tengah menggenggam sebuah kotak makanan.
            BRAK!

**

            Cakka dan Shilla baru saja tiba di pelataran Oicagraph. Keduanya segera turun dari mobil dan masuk ke dalam galeri. Ada Alvin, Oik, Rio, dan Ify yang tengah berkumpul di meja Ify. Aroma mie kuah langsung menyergap hidung mereka.
            Suara derap langkah keduanya menarik perhatian Ify. “Hay!” sapanya.
            Cakka dan Shilla mengangguk sopan dan segera menghampiri keempatnya. Rupanya Alvin dan Oik tengah makan semangkuk berdua. Hal itu membuat Cakka menautkan alisnya, mengingat apa yang terjadi semalam di apartemen Oik.
            “Kita duduk mana, nih?” tanya Shilla dengan tersenyum kikuk. Pasalnya, dua bangku yang biasanya diperuntukkan pada tamu di depan meja Ify kini tengah didudukki Alvin dan Oik.
            “Oh, iya. Bentar, Shil. Gue sama Alvin pindah aja.” Oik segera meletakkan sendok yang digenggamnya diatas mangkuk dan hendak berdiri jika saja suara Rio tidak menahannya.
            “Nggak usah! Lo duduk aja, Ik. Pamali makan sambil berdiri. Biar gue ambilin kursi di belakang.”
            Beberapa detik setelahnya, Rio datang dengan membawa dua buah kursi plastik yang ia ambil dari dapur Oicagraph. Ia meletakkannya di samping meja Ify. Cakka dan Shilla mengangguk berterima kasih dan segera duduk.
            “Makan dulu, Kka, Shill,” seru Alvin. Ia mengangkat mangkuknya sedikit, menawarkan pada Cakka dan Shilla. “Mau? Biar gue suruh office boy bikin.”
            “Nggak usah. Makasih.” Tolak Shilla halus. Ia harus mengontrol asupan makanannya jika ingin suara indahnya tetap terkontrol. Ia hanya makan makanan rumahan yang dimasak oleh Mama atau pembantunya saja, atau –sekali-kali– makanan resto mahal.
            Cakka tertarik untuk bertanya makanan apa yang sedang Alvin dan Oik santap ketika melihat keduanya sangat menikmati makanan tersebut. “Makan apa, Vin, Ik?”
            “Mie kuah,” jawab Oik singkat.
            Cakka kembali mendapatkan sentakan keras dalam hatinya. Pikirannya kembali berkecamuk. Satu lagi fakta yang yang mengganggu pikirannya. Apalagi ini?
            Mie kuah? Lala sama sekali nggak suka mie instant, apalagi mie kuah.

**

RADAR BANDUNG ––– 28 September 2008
REM BLONG, YAARIS MASUK JURANG

Satu Penumpang Tewas, Empat Luka

     BANDUNG – Kecelakaan maut terjadi di Ciburial, Kabupaten Bandung, kemarin (27/9). Sebuah Toyota Yaaris bernomor polisi B 5413 AI yang berisi empat penumpang dan satu sopir masuk ke dalam jurang sedalam 20 meter karena remnya blong. Akibat kecelakaan itu, satu penumpang meninggal di lokasi.
     Korban tewas adalah Nur Wachid Hidayat, 18. Sementara itu, empat penumpang mobil lainnya selamat. Yakni, Dadang Iskandar (sopir) beserta ketiga penumpang lainnya yang belum diketahui identitasnya. Semua adalah warga Bandung.
     Radar Bandung (Jawa Pos Group) melaporkan, kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.00. Udin, salah seorang saksi, mengungkapkan, kecelakaan bermula saat Yaaris melaju dari arah utara. Sesampai di jalan berkelok turun, kecepatan mobil tidak menurun. Tak ayal, mobil pun jatuh ke jurang karena oleng.
     Camat setempat menyatakan, pihaknya prihatin atas kecelakaan tersebut. Apalagi, itu bukan yang pertama. “Sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan di jalan berkelok ini sejak 2005.” ujarnya.

**

            Alvin dan Oik tengah berjalan menuju lobby apartemen ketika senja menjelang. Mereka baru saja selesai membantu Rio dalam proses editting foto pukul lima tadi. Dengan lesu, keduanya jalan beriringan menuju lift.
            “Mau makan malam di luar atau aku masakin?” tanya Oik sambil melirik Alvin.
            Alvin merangkul pinggang Oik dan tersenyum tipis. “Kamu aja yang masak. Udah lama kamu nggak masak buat aku.”
            “Oke,” Oik mengedikkan bahunya cuek. “Kamu mau makan apa? Biar aku ke minimarket dulu.”
            Keduanya berhenti di depan lift. Alvin melepaskan rangkulannya dan memencet tombol panah ke atas. Ia menatap anga empat di atas pintu lift. Menyadari lift masih berada di lantai empat, Alvin kembali menghadap Oik.
            “Terserah kamu aja,” ujarnya sambil memencet pelan ujung hidup Oik.
            Oik tersenyum malu-malu dan menyingkirkan telunjuk Alvin yang masih bertengger di telunjuknya. “Nasi goreng jamur aja, ya? Aku lagi malas masak yang macem-macem.”
            Alvin mengangguk.
            Kemudian pintu lift terbuka. Alvin mengusap puncak kepala Oik sejenak dan mencium sekilas kening gadis itu dan masuk ke dalam lift. Oik masih terbengong-bengong di tempatnya dengan wajah bersemu merah.
            “Alvin! Jahil banget?!” seru Oik dengan suara tertahan, membuat Alvin terkekeh.
            Pintu lift mulai tertutup. Oik seakan teringat sesuatu. Ia segera menyelipkan tangan kirinya pada ruang sisa pintu lift, mencegah agar pintu lift tak tertutup sekarang. Sedangkan tangan kanannya membongkar isi tas, mencari-cari sesuatu.
            “Ngapain, Ik?” tanya Alvin bingung.
            Oik bergumam tak jelas. Lalu, ia menyodorkan kartu apartemennya pada Alvin. “Kamu langsung ke apartemenku aja. Buatkan aku coklat hangat, ya.”
            Alvin mengangguk mengerti dan menerima kartu apartemen Oik. Pintu lift pun tertutup. Alvin seorang diri berada dalam lift. Ia menimang-nimang kartu apartemen Oik sambil bersiul. Begitu lift tiba di lantai apartemennya dan Oik, Alvin melangkah keluar.
            Lelaki bermata sipit itu melangkah menyusuri koridor apartemen. Pada persimpangan jalan, Alvin berbelok kanan. Ia berhenti pada pintu apartemen keempat di sebelah kiri–apartemen Oik. Setelah menempelkan kartu apartemen Oik pada sensor pintu, ia masuk ke dalam.
            Alvin segera menuju pantry. Ia menemukan sebuah teko untuk memanaskan air tergeletak diatas kompor. Ia segera mengambilnya dan berjalan menuju dispenser. Setelah mengisinya hingga penuh, Alvin kembali meletakkannya diatas kompor dan menyalakan kompr tersebut.
            Tiba-tiba saja ponsel dalam saku celananya bergetar. Alvin berdecak kesal begitu melihat notifikasi bahwa baterai ponselnya telah habis. Dengan menggerutu, ia berjalan ke kamar Oik. Dinyalakannya lampu tidur pada night stand dan ia duduk dibibir ranjang Oik.
            Alvin membuka laci night stand dan mencari-cari charger ponsel Oik, meminjamnya. Begitu menemukan benda yang dicari, Alvin segera mengambilnya. Ketika ia hendak mematikan lampu tidur Oik, matanya terantuk pada sebuah wristband berwarna biru yang tergeletak diatas night stand. Tangan Alvin terulur untuk mengambilnya.
            Setelah mematikan night stand, Alvin segera keluar dari kamar Oik. Begitu ia akan melangkahkan kaki menuju dapur, terdengar ketukan pintu. Alvin memutar tubuhnya dan membukakan pintu. Ia mendapati Oik yang tengah membawa sebuah tas plastik kecil telah menatapnya.
            “Hay,” sapanya.
            “Kayak nggak ketemu berhari-hari aja, Vin,” ejek Oik. Gadis itu lalu melangkah menuju pantry, Alvin mengekor di belakangnya.
            “Aku pinjem charger kamu, Ik,” kata Alvin begitu keduanya telah sampai di pantry. Alvin duduk dimeja counter, menunjukkan charger yang tadi telah diambilnya pada Oik yang tengah mengeluarkan isi tas plastik tersebut.
            “Ya,” Oik menjawab singkat seraya mengangguk.
            Alvin lalu bangkit dan men-charge baterai ponselnya di ruang tengah apartemen Oik. Setelah itu, ia kembali ke pantry dan menemukan Oik yang tengah memanaskan wajan penggorengan.
            Alvin bergerak ke samping Oik. Lelaki itu mematikan kompor dan membawa membawa teko panas itu ke meja counter. Ia telah menyiapkan dua cangkir berisikan bubuk coklat sebelumnya. Dengan berjingkat karena takut terkena tetesan air panas, Alvin menuangkannya pada kedua cangkir itu.
            Sepuluh menit kemudian, Alvin dan Oik telah duduk berhadapan dimeja counter. Dua piring nasi goreng jamur dan dua cangkir coklat hangat telah menunggu untuk disantap. Alvin dan Oik berdoa terlebih dahulu baru menyantap makan malam mereka.
            “Vin, besok bisa temani aku?” tanya Oik sambil mengunyah nasi goreng jamurnya.
            “Kemana?” tanya Alvin balik.
            “Jenguk dia,” lirih Oik. “Apa aku naik taxi aja, ya?”
            Alvin meletakkan sendok dan garpunya. Ia menatap Oik dingin. “Nggak. Nggak boleh. Kamu nggak boleh pergi jauh-jauh tanpa aku. Aku nggak mau kejadian lima tahun lalu terulang lagi.”
            “Alvin,” Oik merajuk dengan wajah sedihnya. “Ayolah..”
            “Besok lusa aja, Ik. Kamu tahu sendiri aku besok ada pemotretan buat year book SMA Karitas.” Alvin kembali menyantap nasi goreng buatan Oik.
            “Aku maunya besok, Vin. Aku udah kangen dia.” Oik tetap bersikeras.
            “Rio mungkin besok nggak ada jadwal editting foto. Biar aku telepon dia.” Alvin bangkit, hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio.
            “Nggak usah,” Oik juga ikut bangkit. Ia kembali mendudukkan Alvin dikursinya. “Aku nggak mau ganggu dia dan Ify. Biar aku tanya ke tetangga sebelah aja. Siapa tahu besok mereka free.” Oik mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan keluar apartemen, menuju apartemen si lima sekawan.
            Baru saja Oik mengetuk pintu apartemen sang lima sekawan, sudah terdengar teriakan untuk menunggu sebentar dari dalam. Oik terkikik geli mendengar suara cempreng Ray yang tak ubahnya anak kecil.
            “Hay!” sapa Ray begitu ia melihat Oik tengah berdiri di depannya. “Masuk, masuk..” ajaknya. Ia mundur selangkah dan mempersilahkan Oik masuk. Begitu Oik masuk, ia langsung menutup kembali pintu apartemennya.
            “Halo, Oik!” sapa empat lelaki lainnya yang tengah menonton DVD di ruang tengah.
            Oik melambaikan tangan pada mereka dan duduk diatas sofa, di antara Gabriel dan Deva. “Lagi nonton apa?” tanyanya.
            “The Bay, Ik,” jawab Ozy sambil melahap popcorn-nya.
            “Mau minta tolong apa, Ik?” tanya Patton tanpa mengalihkan pandangannya dari TV plasma yang sedang menayangkan film keluaran terbaru tersebut.
            “Tahu aja lo kalau gue mau minta tolong,” ujar Oik seraya tertawa malu.
            “Karena kita berlima udah sehati sama lo,” sambung Deva lalu nyengir lebar.
            “Besok ada yang free ga?” tanya Oik langsung. Ia menatap Ray, Deva, Ozy, Patton dan Gabriel bergantian. Begitu matanya bertemu dengan mata Gabriel, Oik menelan ludah entah karena apa.
            “Wah, gue besok ada kuliah, Ik. Sorry, sorry..” Patton melirik Oik sekilas sambil tersenyum meminta maaf. Besok ia harus menjalani UAS di kampusnya.
            “Gue UAS besok, Ik,” lanjut Deva. “Mungkin lo bisa minta tolong Gabriel, Ozy, atau Ray. Kayaknya tiga orang itu besok free.”
            “Besok gue kerja. Cadangan cuti gue udah habis buat tahun ini.” Ozy tersenyum memaksa. Ia menggaruk tengkuknya begitu ingat bahwa cadangan cutinya telah habis.
            “Besok gue sama Gabriel free kok, Ik.” Ujar Ray yang baru saja kembali dari pantry. Ia menyerahkan tiga bungkus popcorn pada Ozy. “Mau minta tolong apa memangnya?”
            “Bisa anter gue ke Serpong?”
            Tiba-tiba saja Gabriel yang tengah mengunyah popcorn terbatuk-batuk. Ia melirik Oik dengan pandangan yang sulit diartikan lalu segera meneguk colanya. “Serpong? Untuk apa?”
            “Jenguk... saudara,” lirih gadis itu. “Pakai mobil gue. Salah satu dari kalian yang nyetir. Bisa? Alvin nggak ngebolehin gue keluar jauh-jauh sendirian dan besok dia ada jadwal motret.” Oik menatap Ray dan Gabriel dengan wajah memelas.
            “Oke, deh!” Ray menyanggupi sambil mengangguk mantap. “Besok berangkat jam berapa, Oik?”

**

            “Selamat malam. RS Khusus Jiwa Dharma Graha. Ada yang bisa dibantu?”
            “Halo, Sayang.”
            “Kamu? Astaga! Untung bukan suster atau dokter lain yang angkat!”
            “Karena aku tahu kalau pasti kamu yang bakal angkat teleponnya.”
            “Untuk apa malam-malam begini telepon?”
            “Aku kangen, Sayang. Besok ada jadwal praktek?”
            “Besok aku dinas siang. Mau ketemu?”
            “Boleh. Jam tujuh pagi ya, Sayang?”
            “Oke. Di tempat biasa, kan?”
            “Iya. Dandan yang cantik, ya. Aku ada kejutan buat kamu.”
            “Apa? Tiket untuk pergi ke Paris berdua?”
            “Aku serius, Sayang.”
            “Oke, oke.. Eh, Sayang, udahan dulu, ya. Ada pasien yang ngamuk, nih.”
            “Oke. Ketemu besok, ya.”


**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar