Pagi itu, Oik sudah siap dengan blouse biru muda dan celana jeansnya. Setelah memasukkan
barang-barangnya ke dalam shoulder bag
berwarna senada, Oik melangkah keluar dari apartemennya. Ray dan Gabriel sudah
menunggu di apartemen mereka.
Setelah memastikan ruang
apartemennya terkunci, Oik bergegas menuju apartemen Ray dan Gabriel. Setelah
mengetuk pintu beberapa kali, Ray muncul dengan kemeja kotak-kotaknya. Lelaki
berambut cepak itu pun segera memanggil Gabriel. Ketiganya melangkah menuju basement dengan beriringan.
“Lo mau jenguk siapa, Ik?” tanya Ray
dengan alis bertaut bingung. Semalam Oik sudah mengiriminya sebuah pesan
singkat berisi alamat tujuan mereka saat ini.
“Saudara, Ray. Lo kaget?” tanya Oik
balik.
Ray menggeleng seraya mengangkat bahunya.
“Nggak juga. Gue pernah kesana sebelumnya. Lo harus tahu, Ik.. Salah satu
dokter disana ada yang cantik banget!” seru Ray dengan semangat.
“Serius lo?” Oik tertawa. Matanya
melirik Gabriel yang berjalan di sebelah kanannya –sementara Ray di sebelah
kirinya–. “Lo kok, diem aja?”
Gabriel terkesiap. Ia menatap Oik
dari ekor matanya dan segera menunduk, menghalangi bertatap mata langsung
dengan gadis itu. “Nggak. Nggak apa-apa. Cuman... ngantuk aja.”
Ketiganya telah sampai di samping
mobil Oik. Oik segera mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan
melemparkannya pada Ray. “Lo aja yang nyetir. Gabriel masih ngantuk.”
Setelah melihat Ray mengangguk dan
membuka kunci mobilnya, Oik segera masuk ke dalam mobil. Ia duduk di bangku
belakang, membiarkan Gabriel untuk duduk di depan menemani Ray. Tak lama
kemudian, Ray sudah mengendarai mobil Oik menuju sebuah tempat. Gabriel
bergerak-gerak gelisah di tempatnya.
**
Alvin baru saja kembali dari dapur
untuk membuat kopi ketika ia melihat ponselnya yang tergeletak diatas sofa
ruang tengah bergetar. Ia segera meletakkan secangkir kopinya diatas meja dan
beralih pada ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk.
From: Honeyy
Maaf,
vin. Aq gk bs skrg.
Mnddk dimintain tlg bwt gntiin dkter yg jaga pg.
Gnti ntar mlm aj ya? :-)
Alvin menghela napasnya, kecewa. Ia
sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin dan gadis itu
membatalkannya begitu saja. Dengan perasaan yang berangsur memburuk, Alvin
membalas pesan singkat tersebut.
To: Honeyy
Ok.
Nnti mlm km lsg ke tmpt jnjian qt aj ya.
Aq tkt oik tw kl km ke apartmnku dl.
Alvin melirik sebuah kotak beludru
yang tergeletak diatas meja–di samping kopinya. Ia mengambilnya lalu
membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni menyilaukan mata Alvin.
Namanya terukir dalam cincin tersebut.
Alvin menatap tangan kirinya. Sebuah
cincin tersemat dijari manisnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan cincin
dalam kotak beludru tersebut. Hanya satu perbedaannya. Dalam cincin yang dipakai
Alvin, nama yang terukir adalah... nama gadis itu. Alvin tersenyum menatapnya.
**
Cakka terlambat bangun pagi ini. Ini
semua gara-gara Bundanya yang tak kunjung pulang dari Solo bersama Ayahnya.
Cakka berjalan menuju kamar Agni sambil merapikan kemejanya. Dasi tak berbentuk
tergantung dilehernya.
“Mbak Agni!” panggil Cakka.
Tangannya bergerak membuka pintu kamar Agni.
Cakka terdiam diambang pintu kamar
Agni. Kakaknya itu berdiri mematung di hadapan meja yang berisikan
berbingkai-bingkai foto. Fokus matanya tertuju pada satu bingkai. Bingkai foto
dengan sosok dua orang bocah kecil yang masing-masing menggenggam sebuah
lollipop dan tersenyum pada kamera.
Cakka berjalan pelan menghampiri
Agni. “Mbak..” Cakka menepuk bahu Agni dari belakang.
Agni terkesiap kaget. Ia menengok ke
belakang dan memijit keningnya begitu mengetahui Cakkalah tersangka utama yang
membuatnya terkesiap. “Apa, Kka?” tanyanya dengan nada lelah.
“Dasi..” lirih Cakka. Ia melirik
dasi yang tergantung sembarangan dilehernya.
Agni tersenyum tipis dan maju
selangkah, tangannya mulai merapikan dasi Cakka. Membentuk simpul-simpul –yang
menurut Cakka– rumit. Beginilah keseharian Cakka bila tak ada Bundanya. Ia
belum bisa memasang dasinya sendiri.
“Kangen Mas Debo, Mbak?” tanya
Cakka. Matanya menatap tajam mata Agni yang seperti menghindarinya.
Agni menggeleng kecil. “Sudah
sarapan?”
“Mbak, nggak perlu mengalihkan topik
pembicaraan.” Cakka mulai menatap Agni lembut. Kedua tangannya ia letakkan
dibahu Agni. “Mbak Agni, kangen Mas Debo?”
“Iya,” jawab Agni singkat. “Selalu.”
Cakka menghembuskan napasnya berat.
“Mbak Agni masih nggak bisa terima kematian Mas Debo? Udah hampir dua puluh
tahun, Mbak.”
“Debo nggak mati, Kka.” Agni
mengangkat wajahnya dari dasi Cakka. Ia menatap Cakka tajam. Nada bicaranya
mendadak dingin begitu Cakka menyinggung soal kematian Debo enam belas tahun
silam.
“Terima kenyataan, Mbak! Mbak Agni
nggak bisa hidup dalam masa lalu terus. Hidup ada untuk dijalani, Mbak.” Cakka
benci melihat kakaknya rapuh. Cakka benci melihat Agni yang seolah ikut mati
jika seseorang membicarakan kematian Debo.
“Mbak masih dendam... dengan gadis
kecil itu?” tanya Cakka ragu.
“Itu sudah jelas. Lo nggak perlu
tanya lagi.” Agni telah selesai memasangkan dasi Cakka. Gadis itu berbalik,
memunggungi Cakka. Ia tak ingin Cakka meneruskan pembicaraan mengenai hal ini.
Cakka kembali menghela napas. “Gue
ngantor, Mbak,” pamitnya.
**
Plang besar bertuliskan RS Khusus
Jiwa Dharma Graha menyambut kedatangan Oik, Ray, dan Gabriel pagi itu. begitu
memasuki area parkir mobil dan mendapatkan tempat kosong, Ray langsung
memarkirkan mobil Oik disana. Setelah itu, ketiganya turun dari mobil.
“Saudara lo namanya siapa, Ik?”
tanya Gabriel dengan suara tercekat.
Oik bergumam tidak jelas kemudian berlari-lari
kecil, meninggalkan Ray dan Gabriel di belakangnya. Gadis itu tampak sedang
bercakap-cakap dengan seorang suster di belakang meja resepsionis. Gabriel memandang
Ray dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Gab...?” tanya Ray bingung. “Maksud
lo... yang ini?”
Gabriel mengangguk lesu. “Iya.”
Tak lama kemudian, Oik kembali
menghampiri keduanya bersama dengan seorang suster. “Ayo! Kita bakal dianter
suster ini ke ruang rawat saudara gue.” Oik menarik-narik lengan Ray dan Gabriel
agar cepat-cepat mengekor suster tersebut yang sudah memasukki lorong-lorong
rumah sakit.
“Saudara lo? Kakak? Adik? Sepupu?”
tanya Ray penasaran.
“Adik gue sih, sebenernya. Namanya Raissa
Safanah Arif. Gue biasa panggil dia Acha.” Oik mulai bercerita sambil berjalan
mengikuti suster tersebut.
Ray mengangguk mengerti. Ia kembali
melirik Gabriel yang hanya menatap lurus ke depan–kearah suster tersebut. “Kenapa
dia bisa masuk sini?”
Oik tersenyum miris. “Gara-gara
pacarnya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Gue sama Acha juga ada
disana waktu itu. Kami berdua juga kecelakaan bareng pacarnya Acha. Tapi keadaan
pacarnya Acha waktu itu parah banget. Dia meninggal di tempat.”
Tiba-tiba suster tersebut berhenti
di depan sebuah ruang rawat yang pintunya tertutup. Ada sebuah papan kecil
bertuliskan nama pasien yang tergantung dipintu. Nama Acha terukir disana,
beserta penjelasan keadaannya secara singkat.
Suster itu perlahan membuka pintu
kamar Acha dan melongokkan kepalanya, melihat keadaan di dalam. Lalu ia kembali
menatap Oik beserta Ray dan Gabriel. “Tunggu sebentar, ya. Nona Raissa masih
diperiksa dokter. Nanti setelah sarapan, kalian boleh jenguk. Takutnya Nona Raissa
mengamuk lagi seperti tadi malam.”
“Acha ngamuk?” tanya Gabriel dengan
napas tertahan.
“Iya.” Suster di hadapannya
mengangguk. “Tadi malam ada suster baru disini. Waktu suster itu mengantarkan
Nona Raissa untuk tidur, suster itu lantas juga mengambil boneka beruang yang
selalu ia peluk.”
Oik mengangguk mengerti. “Jadi kita
tunggu di lobby aja?”
“Iya. Mari, saya antar ke lobby lagi.”
Ketiganya kembali melangkah menuju lobby, beserta sang suster. Baru saja
ketiganya berjalan beberapa langkah, terdengar suara pintu dibuka kemudian
ditutup dan disusul suara lembut seseorang. “Sus!”
Sang suster menengok ke belakang dan
mendapati dokter yang tadi memeriksa Acha. “Kalian bertiga ke lobby saja duluan. Tahu jalannya, kan?”
Setelah mendapat anggukan dari Ray, suster itu berbalik badan untuk menemui
sang dokter.
Sementara Oik, Ray, dan Gabriel
kembali ke lobby, suster tersebut
berbincang dengan dokter muda itu. “Siapkan sarapan untuk pasien Raissa, ya. Saya
periksa pasien yang lainnya dulu.”
Oik berhenti melangkah. Ia menengok
ke belakang, penasaran seperti apa wajah dokter yang senantiasa memeriksa
adiknya. Tapi yang didapatinya ketika ia telah menengok ke belakang hanyalah
siluet seorang dokter wanita yang tengah memasukki ruang rawat lainnya.
**
“Bagaimana
keadaannya?”
“Baik. Sudah nggak pernah
menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian itu. Sudah nggak pernah bertanya-tanya
juga.”
“Bagus.
Tetap jaga dia. Jangan sampai orang itu kembali masuk kedalam kehidupannya. Saya
nggak mau itu terjadi.”
“Kenapa?”
“Saya
nggak mau dia menderita lagi. Seperti dulu. Orang itu nggak baik.”
“Tapi menurut penglihatan saya, dia
baik-baik saja.”
“Turuti
ucapan saya!”
“Baik.”
“Satu
lagi. Jangan ceritakan apapun dulu padanya.”
“Itu pasti.”
**
Udara
Bandung sore itu terbilang sejuk. Seorang gadis yang baru saja lulus dari
bangku Sekolah Dasar, tengah meniup-niup soap bubbles di pekarangan rumahnya yang luas. Deru suara kendaraan bermotor yang
lalu-lalang di jalanan depan rumahnya sama sekali tak ia hiraukan.
“Lala!
Lala!”
Tiba-tiba
saja sebuah suara mengagetkannya. Gadis kecil itu segera meletakkan botol
beserta peniup soap
bubblesnya disebuah meja di teras
rumahnya dan berjalan menghampiri sumber suara, seorang lelaki beserta gadis
kecil lainnya yang berdiri di belakang pagar rumahnya.
“Aga?
Cila? Kalian lulus juga, kan?” tanya Lala sembari membuka pagar rumahnya.
Lelaki
kecil di hadapannya mengangguk dengan bersemangat. “Iya! Kita berdua juga
lulus. Kamu mau lanjut sekolah dimana, La?”
“Aga!”
Gadis kecil di samping lelaki itu mulai merajuk. “Aga nggak boleh panggil dia
Lala lagi! Lala itu aku, Ga. Nggak boleh ada Lala lainnya.”
“Tapi
kamu nama kamu kan, Cila... bukan Lala.” Lala –yang merasa namanya disebut-sebut–
ikut angkat suara. Ia menatap Cila sebal. “Lala itu aku!”
Kedua
gadis kecil itu mulai berdebat –lebih tepatnya, bertengkar– hanya karena
masalah sepele. Aga mulai kebingungan memisah kedua gadis itu. Dengan paksa,
ditariknya lengan Cila menjauh dari Lala.
“Cil,
kita pulang aja, yuk?! Aku nggak suka kamu bertengkar cuman karena nama aja,”
Aga menatap Cila sebal kemudian beralih pada Lala. “La, kami pulang dulu. Dadah!”
Setelah
kembali menutup pagarnya, Lala mendengar kedua orangtuanya memanggilnya. Dengan
berlari, gadis itu masuk ke dalam rumah. Seluruh barang-barang sudah masuk kedalam
kardus. Kedua orangtuanya juga sudah siap.
“Kita
berangkat sekarang, Ma, Pa?” tanya gadis kecil itu dengan raut wajah sedih. “Aku
mau disini aja. Nggak mau pindah. Lala udah punya banyak teman disini.”
“Papa
nggak nyaman tinggal disini. Kita pindah ke rumah yang lebih besar, dekat kebun
teh. Mau, ya?” bujuk Papanya. Akhirnya gadis itu hanya dapat mengangguk pasrah.
**
Sudah lima belas menit terduduk
bosan di sofa lobby tetapi sang
suster tak kunjung memperbolehkan mereka menjenguk Acha. Sudah tak terhitung
Oik menguap berapa kali selama menunggu di lobby.
Kebosanan dan kantuk menyergapnya.
Ketika Oik telah mendongakkan
kepalanya, ia melihat siluet seorang gadis yang mengenakan jas putih bersih
tengah berdiri membelakanginya–bercakap-cakap dengan seorang suster. Oik merasa
mengenali siluet tubuh tersebut.
“Sus, saya keluar sebentar, ya. Nanti
sebelum makan siang saya pasti kembali lagi. Pasien Raissa juga sudah selesai
sarapan. Ada yang mau jenguk dia, kan?” celoteh gadis itu.
“Iya, Dok. Tadi ada tiga kerabatnya
mau menjenguk.”
“Ya udah, saya pamit dulu.”
Gadis itu berbalik, hendak keluar
menuju area parkir. Sekelebat, Oik dapat melihat wajahnya. Wajah itu sangat
dikenalnya. Oik mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Ray dan
Gabriel menarik lengannya untuk mengikuti suster tersebut menuju ruang rawat
Acha.
Nggak
mungkin. Itu... gadis yang biasa gue lihat sama Alvin, kan? Jadi.. Dia dokter? Dan
dia kerja disini? Dan dia sebut-sebut nama Acha? Itu berarti... dia dokter yang
merawat Acha.
Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak
mungkin. Ini pasti salah. Tidak mungkin gadis yang biasa ia lihat di sekitar
Alvin itu adalah dokter. Terlebih lagi, dokter yang merawat Acha. Dunia memang
selebar daun kelor.
“Kenapa, Ik?” bisik Gabriel. Ia menangkap
gelagat aneh Oik semenjak beberapa menit yang lalu.
Oik menggelengkan kepalanya. “Sus?”
panggilnya pada suster yang berjalan di depannya.
“Ya?” Suster tersebut menengok
kepada Oik dengan alis terangkat sebelah.
“Itu tadi dokter yang ngerawat Acha?”
tanya Oik ragu-ragu.
“Iya. Dia dokter muda tapi sudah
dipercaya para senior untuk merawat Nona Raissa. Dia dokter muda kesayangan
para senior.” Suster tersebut tersenyum dan kembali menghadap depan.
Oik merasakan dunianya mendadak
runtuh.
**
From:
Honeyy
Vin,
aq otw ya.
Ini sdh bs keluar RS. Tp sbntr aj.
Sblm jm mkn siang aq sdh hrs kmbli.
To:
Honeyy
Ok. Km
ke apartmnku aj. Kbtln oik gak ada.
Dy ke rmh skt, jnguk acha. Km smpt ktmu dy?
**
Gadis berwajah riang itu baru saja
turun dari mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartemen
Alvin. Ia pun bergegas memasuki bangunan apartemen megah di hadapannya. Setelah
tersenyum pada seorang satpam paruh baya yang berjaga dipintu masuk, gadis itu
segera berlari menuju lift.
Tak sampai lima menit, ia telah
sampai di depan pintu ruang apartemen Alvin. Akhirnya ia bisa leluasa berada
dalam apartemen lelaki bermata sipit itu karena Oik sedang tidak ada. Ia patut
menghela napas lega karena itu.
Secarik kertas yang menempel pada
pintu ruang apartemen Alvin menyambutnya. Tangannya terulur untuk mengambil
secarik kertas yang hanya tertempel seadanya dengan selotip tersebut. Ia tersenyum.
Itu tulisan tangan Alvin.
Masuk aja. Pintu nggak dikunci :-)
Gadis itu mendorong pintu di
hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berada dalam ruang apartemen Alvin. Keadaan
di dalam benar-benar gelap. Tak ada penerangan dari apapun. Begitu pintu
ditutup, semakin gelaplah ruangan itu.
“Vin?” panggil gadis itu. Tak ada
sahutan.
Gadis itu melangkah. Tiba-tiba saja
kakinya mengantuk sesuatu. Ia berjongkok, mengambil barang yang telah mengantuk
kakinya. Sebuah senter kecil dan –lagi-lagi– secarik kertas. Ia menyalakan
senter dan menyorotkan cahayanya pada secarik kertas itu.
Jalan
terus, ke kamarku ya.
Jangan lupa arahkan terus senternya ke dinding di sebelah kanan kamu ;-)
Gadis itu tersenyum. Jadi ini yang
dimaksud Alvin dengan kejutan?
Menuruti kata-kata Alvin dalam
secarik kertas barusan, ia menyorotkan cahaya senter yang digenggamnya pada
dinding di sebelah kanannya. Hal pertama yang ia lihat adalah foto. Fotonya bersama
Alvin. Ia menyorotkan senternya pada sepanjang dinding menuju kamar Alvin. Ada dua
puluh tiga foto yang tertempel disana. Masing-masing dengan tagline yang berbeda pada pojok bawah
kiri foto.
Seluruhnya adalah fotonya bersama
Alvin. Mulai dari perayaan anniversary satu bulan hubungan mereka, hingga bulan
ke-dua puluh tiga. Tak terasa, sudah dua puluh tiga bulan ia menjalin hubungan
bersama Alvin–tanpa sepengetahuan Oik.
Akhirnya ia pun tiba di depan pintu
kamar Alvin. Ada secarik kertas yang tertempel didaun pintu tersebut. Gadis itu
kembali menyorotkan cahaya senternya pada tulisan tangan Alvin yang tertera
disana.
Matikan
aja senternya ;-)
Gadis itu kembali menurut. Ia mematikan
senternya. Setelah itu, ia membuka pintu kamar Alvin perlahan-lahan. Ia menangkupkan
kedua telapak tangannya didepa dada. Merasa tersanjung dengan perlakuan Alvin
padanya.
Kamar Alvin telah dihias sedemikian
rupa. Ranjang yang tadinya hanya berisi bantal, guling, dan selimut kini telah
penuh dengan kelopak bunga mawar merah. Jalan menuju ranjang Alvin pun telah
dilengkapi dengan lilin.
Gadis itu menundukkan kepalanya. Ada
barisan lilin di kanan dan kirinya yang membimbingnya menuju ranjang Alvin. Dengan
wajah merona bahagia, ia mengikuti cahaya lilin tersebut dan duduk diatas
ranjang Alvin.
“Alvin?” panggilnya lagi.
Tiba-tiba saja terdengar derap
langkah pelan seseorang. Siluet tubuh seorang lelaki kini berada di hadapan
gadis itu. Dengan bantuan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil itu, gadis itu
dapat mengenali bahwa lelaki di hadapannya kini adalah Alvin.
Siluet lelaki di hadapannya itu
tengah membawa sebuket bunga mawar pada tangan kanannya dan sesuatu –entah apa–
ditangan kirinya.
“Happy
two years anniversary, Sayang..” ujar Alvin seraya menyerahkan buket bunga
mawar tersebut pada gadis berwajah ceria itu.
Lalu, tiba-tiba saja, Alvin
berjongkok. Ia memindahkan sesuatu yang ternyata sebuah kotak beludru itu
ketangan kanannya. Perlahan, ia membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian
itu kini telah berada dalam tangan Alvin.
“Would
you marry me, Sivia?”
0 komentar:
Posting Komentar