Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [07]

            Pagi itu, Oik sudah siap dengan blouse biru muda dan celana jeansnya. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam shoulder bag berwarna senada, Oik melangkah keluar dari apartemennya. Ray dan Gabriel sudah menunggu di apartemen mereka.
            Setelah memastikan ruang apartemennya terkunci, Oik bergegas menuju apartemen Ray dan Gabriel. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ray muncul dengan kemeja kotak-kotaknya. Lelaki berambut cepak itu pun segera memanggil Gabriel. Ketiganya melangkah menuju basement dengan beriringan.
            “Lo mau jenguk siapa, Ik?” tanya Ray dengan alis bertaut bingung. Semalam Oik sudah mengiriminya sebuah pesan singkat berisi alamat tujuan mereka saat ini.
            “Saudara, Ray. Lo kaget?” tanya Oik balik.
            Ray menggeleng seraya mengangkat bahunya. “Nggak juga. Gue pernah kesana sebelumnya. Lo harus tahu, Ik.. Salah satu dokter disana ada yang cantik banget!” seru Ray dengan semangat.
            “Serius lo?” Oik tertawa. Matanya melirik Gabriel yang berjalan di sebelah kanannya –sementara Ray di sebelah kirinya–. “Lo kok, diem aja?”
            Gabriel terkesiap. Ia menatap Oik dari ekor matanya dan segera menunduk, menghalangi bertatap mata langsung dengan gadis itu. “Nggak. Nggak apa-apa. Cuman... ngantuk aja.”
            Ketiganya telah sampai di samping mobil Oik. Oik segera mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan melemparkannya pada Ray. “Lo aja yang nyetir. Gabriel masih ngantuk.”
            Setelah melihat Ray mengangguk dan membuka kunci mobilnya, Oik segera masuk ke dalam mobil. Ia duduk di bangku belakang, membiarkan Gabriel untuk duduk di depan menemani Ray. Tak lama kemudian, Ray sudah mengendarai mobil Oik menuju sebuah tempat. Gabriel bergerak-gerak gelisah di tempatnya.

**

            Alvin baru saja kembali dari dapur untuk membuat kopi ketika ia melihat ponselnya yang tergeletak diatas sofa ruang tengah bergetar. Ia segera meletakkan secangkir kopinya diatas meja dan beralih pada ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk.

     From: Honeyy
     Maaf, vin. Aq gk bs skrg.
     Mnddk dimintain tlg bwt gntiin dkter yg jaga pg.
     Gnti ntar mlm aj ya? :-)

            Alvin menghela napasnya, kecewa. Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin dan gadis itu membatalkannya begitu saja. Dengan perasaan yang berangsur memburuk, Alvin membalas pesan singkat tersebut.

     To: Honeyy
     Ok. Nnti mlm km lsg ke tmpt jnjian qt aj ya.
     Aq tkt oik tw kl km ke apartmnku dl.

            Alvin melirik sebuah kotak beludru yang tergeletak diatas meja–di samping kopinya. Ia mengambilnya lalu membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni menyilaukan mata Alvin. Namanya terukir dalam cincin tersebut.
            Alvin menatap tangan kirinya. Sebuah cincin tersemat dijari manisnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan cincin dalam kotak beludru tersebut. Hanya satu perbedaannya. Dalam cincin yang dipakai Alvin, nama yang terukir adalah... nama gadis itu. Alvin tersenyum menatapnya.

**

            Cakka terlambat bangun pagi ini. Ini semua gara-gara Bundanya yang tak kunjung pulang dari Solo bersama Ayahnya. Cakka berjalan menuju kamar Agni sambil merapikan kemejanya. Dasi tak berbentuk tergantung dilehernya.
            “Mbak Agni!” panggil Cakka. Tangannya bergerak membuka pintu kamar Agni.
            Cakka terdiam diambang pintu kamar Agni. Kakaknya itu berdiri mematung di hadapan meja yang berisikan berbingkai-bingkai foto. Fokus matanya tertuju pada satu bingkai. Bingkai foto dengan sosok dua orang bocah kecil yang masing-masing menggenggam sebuah lollipop dan tersenyum pada kamera.
            Cakka berjalan pelan menghampiri Agni. “Mbak..” Cakka menepuk bahu Agni dari belakang.
            Agni terkesiap kaget. Ia menengok ke belakang dan memijit keningnya begitu mengetahui Cakkalah tersangka utama yang membuatnya terkesiap. “Apa, Kka?” tanyanya dengan nada lelah.
            “Dasi..” lirih Cakka. Ia melirik dasi yang tergantung sembarangan dilehernya.
            Agni tersenyum tipis dan maju selangkah, tangannya mulai merapikan dasi Cakka. Membentuk simpul-simpul –yang menurut Cakka– rumit. Beginilah keseharian Cakka bila tak ada Bundanya. Ia belum bisa memasang dasinya sendiri.
            “Kangen Mas Debo, Mbak?” tanya Cakka. Matanya menatap tajam mata Agni yang seperti menghindarinya.
            Agni menggeleng kecil. “Sudah sarapan?”
            “Mbak, nggak perlu mengalihkan topik pembicaraan.” Cakka mulai menatap Agni lembut. Kedua tangannya ia letakkan dibahu Agni. “Mbak Agni, kangen Mas Debo?”
            “Iya,” jawab Agni singkat. “Selalu.”
            Cakka menghembuskan napasnya berat. “Mbak Agni masih nggak bisa terima kematian Mas Debo? Udah hampir dua puluh tahun, Mbak.”
            “Debo nggak mati, Kka.” Agni mengangkat wajahnya dari dasi Cakka. Ia menatap Cakka tajam. Nada bicaranya mendadak dingin begitu Cakka menyinggung soal kematian Debo enam belas tahun silam.
            “Terima kenyataan, Mbak! Mbak Agni nggak bisa hidup dalam masa lalu terus. Hidup ada untuk dijalani, Mbak.” Cakka benci melihat kakaknya rapuh. Cakka benci melihat Agni yang seolah ikut mati jika seseorang membicarakan kematian Debo.
            “Mbak masih dendam... dengan gadis kecil itu?” tanya Cakka ragu.
            “Itu sudah jelas. Lo nggak perlu tanya lagi.” Agni telah selesai memasangkan dasi Cakka. Gadis itu berbalik, memunggungi Cakka. Ia tak ingin Cakka meneruskan pembicaraan mengenai hal ini.
            Cakka kembali menghela napas. “Gue ngantor, Mbak,” pamitnya.

**

            Plang besar bertuliskan RS Khusus Jiwa Dharma Graha menyambut kedatangan Oik, Ray, dan Gabriel pagi itu. begitu memasuki area parkir mobil dan mendapatkan tempat kosong, Ray langsung memarkirkan mobil Oik disana. Setelah itu, ketiganya turun dari mobil.
            “Saudara lo namanya siapa, Ik?” tanya Gabriel dengan suara tercekat.
            Oik bergumam tidak jelas kemudian berlari-lari kecil, meninggalkan Ray dan Gabriel di belakangnya. Gadis itu tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang suster di belakang meja resepsionis. Gabriel memandang Ray dengan tatapan yang sulit diartikan.
            “Gab...?” tanya Ray bingung. “Maksud lo... yang ini?”
            Gabriel mengangguk lesu. “Iya.”
            Tak lama kemudian, Oik kembali menghampiri keduanya bersama dengan seorang suster. “Ayo! Kita bakal dianter suster ini ke ruang rawat saudara gue.” Oik menarik-narik lengan Ray dan Gabriel agar cepat-cepat mengekor suster tersebut yang sudah memasukki lorong-lorong rumah sakit.
            “Saudara lo? Kakak? Adik? Sepupu?” tanya Ray penasaran.
            “Adik gue sih, sebenernya. Namanya Raissa Safanah Arif. Gue biasa panggil dia Acha.” Oik mulai bercerita sambil berjalan mengikuti suster tersebut.
            Ray mengangguk mengerti. Ia kembali melirik Gabriel yang hanya menatap lurus ke depan–kearah suster tersebut. “Kenapa dia bisa masuk sini?”
            Oik tersenyum miris. “Gara-gara pacarnya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Gue sama Acha juga ada disana waktu itu. Kami berdua juga kecelakaan bareng pacarnya Acha. Tapi keadaan pacarnya Acha waktu itu parah banget. Dia meninggal di tempat.”
            Tiba-tiba suster tersebut berhenti di depan sebuah ruang rawat yang pintunya tertutup. Ada sebuah papan kecil bertuliskan nama pasien yang tergantung dipintu. Nama Acha terukir disana, beserta penjelasan keadaannya secara singkat.
            Suster itu perlahan membuka pintu kamar Acha dan melongokkan kepalanya, melihat keadaan di dalam. Lalu ia kembali menatap Oik beserta Ray dan Gabriel. “Tunggu sebentar, ya. Nona Raissa masih diperiksa dokter. Nanti setelah sarapan, kalian boleh jenguk. Takutnya Nona Raissa mengamuk lagi seperti tadi malam.”
            “Acha ngamuk?” tanya Gabriel dengan napas tertahan.
            “Iya.” Suster di hadapannya mengangguk. “Tadi malam ada suster baru disini. Waktu suster itu mengantarkan Nona Raissa untuk tidur, suster itu lantas juga mengambil boneka beruang yang selalu ia peluk.”
            Oik mengangguk mengerti. “Jadi kita tunggu di lobby aja?”
            “Iya. Mari, saya antar ke lobby lagi.”
            Ketiganya kembali melangkah menuju lobby, beserta sang suster. Baru saja ketiganya berjalan beberapa langkah, terdengar suara pintu dibuka kemudian ditutup dan disusul suara lembut seseorang. “Sus!”
            Sang suster menengok ke belakang dan mendapati dokter yang tadi memeriksa Acha. “Kalian bertiga ke lobby saja duluan. Tahu jalannya, kan?” Setelah mendapat anggukan dari Ray, suster itu berbalik badan untuk menemui sang dokter.
            Sementara Oik, Ray, dan Gabriel kembali ke lobby, suster tersebut berbincang dengan dokter muda itu. “Siapkan sarapan untuk pasien Raissa, ya. Saya periksa pasien yang lainnya dulu.”
            Oik berhenti melangkah. Ia menengok ke belakang, penasaran seperti apa wajah dokter yang senantiasa memeriksa adiknya. Tapi yang didapatinya ketika ia telah menengok ke belakang hanyalah siluet seorang dokter wanita yang tengah memasukki ruang rawat lainnya.

**

            “Bagaimana keadaannya?”
            “Baik. Sudah nggak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian itu. Sudah nggak pernah bertanya-tanya juga.”
            “Bagus. Tetap jaga dia. Jangan sampai orang itu kembali masuk kedalam kehidupannya. Saya nggak mau itu terjadi.”
            “Kenapa?”
            “Saya nggak mau dia menderita lagi. Seperti dulu. Orang itu nggak baik.”
            “Tapi menurut penglihatan saya, dia baik-baik saja.”
            “Turuti ucapan saya!”
            “Baik.”
            “Satu lagi. Jangan ceritakan apapun dulu padanya.”
            “Itu pasti.”

**

            Udara Bandung sore itu terbilang sejuk. Seorang gadis yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar, tengah meniup-niup soap bubbles di pekarangan rumahnya yang luas. Deru suara kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalanan depan rumahnya sama sekali tak ia hiraukan.
            “Lala! Lala!”
            Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkannya. Gadis kecil itu segera meletakkan botol beserta peniup soap bubblesnya disebuah meja di teras rumahnya dan berjalan menghampiri sumber suara, seorang lelaki beserta gadis kecil lainnya yang berdiri di belakang pagar rumahnya.
            “Aga? Cila? Kalian lulus juga, kan?” tanya Lala sembari membuka pagar rumahnya.
            Lelaki kecil di hadapannya mengangguk dengan bersemangat. “Iya! Kita berdua juga lulus. Kamu mau lanjut sekolah dimana, La?”
            “Aga!” Gadis kecil di samping lelaki itu mulai merajuk. “Aga nggak boleh panggil dia Lala lagi! Lala itu aku, Ga. Nggak boleh ada Lala lainnya.”
            “Tapi kamu nama kamu kan, Cila... bukan Lala.” Lala –yang merasa namanya disebut-sebut– ikut angkat suara. Ia menatap Cila sebal. “Lala itu aku!”
            Kedua gadis kecil itu mulai berdebat –lebih tepatnya, bertengkar– hanya karena masalah sepele. Aga mulai kebingungan memisah kedua gadis itu. Dengan paksa, ditariknya lengan Cila menjauh dari Lala.
            “Cil, kita pulang aja, yuk?! Aku nggak suka kamu bertengkar cuman karena nama aja,” Aga menatap Cila sebal kemudian beralih pada Lala. “La, kami pulang dulu. Dadah!”
            Setelah kembali menutup pagarnya, Lala mendengar kedua orangtuanya memanggilnya. Dengan berlari, gadis itu masuk ke dalam rumah. Seluruh barang-barang sudah masuk kedalam kardus. Kedua orangtuanya juga sudah siap.
            “Kita berangkat sekarang, Ma, Pa?” tanya gadis kecil itu dengan raut wajah sedih. “Aku mau disini aja. Nggak mau pindah. Lala udah punya banyak teman disini.”
            “Papa nggak nyaman tinggal disini. Kita pindah ke rumah yang lebih besar, dekat kebun teh. Mau, ya?” bujuk Papanya. Akhirnya gadis itu hanya dapat mengangguk pasrah.

**

            Sudah lima belas menit terduduk bosan di sofa lobby tetapi sang suster tak kunjung memperbolehkan mereka menjenguk Acha. Sudah tak terhitung Oik menguap berapa kali selama menunggu di lobby. Kebosanan dan kantuk menyergapnya.
            Ketika Oik telah mendongakkan kepalanya, ia melihat siluet seorang gadis yang mengenakan jas putih bersih tengah berdiri membelakanginya–bercakap-cakap dengan seorang suster. Oik merasa mengenali siluet tubuh tersebut.
            “Sus, saya keluar sebentar, ya. Nanti sebelum makan siang saya pasti kembali lagi. Pasien Raissa juga sudah selesai sarapan. Ada yang mau jenguk dia, kan?” celoteh gadis itu.
            “Iya, Dok. Tadi ada tiga kerabatnya mau menjenguk.”
            “Ya udah, saya pamit dulu.”
            Gadis itu berbalik, hendak keluar menuju area parkir. Sekelebat, Oik dapat melihat wajahnya. Wajah itu sangat dikenalnya. Oik mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Ray dan Gabriel menarik lengannya untuk mengikuti suster tersebut menuju ruang rawat Acha.
            Nggak mungkin. Itu... gadis yang biasa gue lihat sama Alvin, kan? Jadi.. Dia dokter? Dan dia kerja disini? Dan dia sebut-sebut nama Acha? Itu berarti... dia dokter yang merawat Acha.
            Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Ini pasti salah. Tidak mungkin gadis yang biasa ia lihat di sekitar Alvin itu adalah dokter. Terlebih lagi, dokter yang merawat Acha. Dunia memang selebar daun kelor.
            “Kenapa, Ik?” bisik Gabriel. Ia menangkap gelagat aneh Oik semenjak beberapa menit yang lalu.
            Oik menggelengkan kepalanya. “Sus?” panggilnya pada suster yang berjalan di depannya.
            “Ya?” Suster tersebut menengok kepada Oik dengan alis terangkat sebelah.
            “Itu tadi dokter yang ngerawat Acha?” tanya Oik ragu-ragu.
            “Iya. Dia dokter muda tapi sudah dipercaya para senior untuk merawat Nona Raissa. Dia dokter muda kesayangan para senior.” Suster tersebut tersenyum dan kembali menghadap depan.
            Oik merasakan dunianya mendadak runtuh.

**

     From: Honeyy
     Vin, aq otw ya.
     Ini sdh bs keluar RS. Tp sbntr aj.
     Sblm jm mkn siang aq sdh hrs kmbli.

     To: Honeyy
     Ok. Km ke apartmnku aj. Kbtln oik gak ada.
     Dy ke rmh skt, jnguk acha. Km smpt ktmu dy?

**

            Gadis berwajah riang itu baru saja turun dari mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartemen Alvin. Ia pun bergegas memasuki bangunan apartemen megah di hadapannya. Setelah tersenyum pada seorang satpam paruh baya yang berjaga dipintu masuk, gadis itu segera berlari menuju lift.
            Tak sampai lima menit, ia telah sampai di depan pintu ruang apartemen Alvin. Akhirnya ia bisa leluasa berada dalam apartemen lelaki bermata sipit itu karena Oik sedang tidak ada. Ia patut menghela napas lega karena itu.
            Secarik kertas yang menempel pada pintu ruang apartemen Alvin menyambutnya. Tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas yang hanya tertempel seadanya dengan selotip tersebut. Ia tersenyum. Itu tulisan tangan Alvin.

     Masuk aja. Pintu nggak dikunci :-)

            Gadis itu mendorong pintu di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berada dalam ruang apartemen Alvin. Keadaan di dalam benar-benar gelap. Tak ada penerangan dari apapun. Begitu pintu ditutup, semakin gelaplah ruangan itu.
            “Vin?” panggil gadis itu. Tak ada sahutan.
            Gadis itu melangkah. Tiba-tiba saja kakinya mengantuk sesuatu. Ia berjongkok, mengambil barang yang telah mengantuk kakinya. Sebuah senter kecil dan –lagi-lagi– secarik kertas. Ia menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya pada secarik kertas itu.

     Jalan terus, ke kamarku ya.
     Jangan lupa arahkan terus senternya ke dinding di sebelah kanan kamu ;-)

            Gadis itu tersenyum. Jadi ini yang dimaksud Alvin dengan kejutan?
            Menuruti kata-kata Alvin dalam secarik kertas barusan, ia menyorotkan cahaya senter yang digenggamnya pada dinding di sebelah kanannya. Hal pertama yang ia lihat adalah foto. Fotonya bersama Alvin. Ia menyorotkan senternya pada sepanjang dinding menuju kamar Alvin. Ada dua puluh tiga foto yang tertempel disana. Masing-masing dengan tagline yang berbeda pada pojok bawah kiri foto.
            Seluruhnya adalah fotonya bersama Alvin. Mulai dari perayaan anniversary satu bulan hubungan mereka, hingga bulan ke-dua puluh tiga. Tak terasa, sudah dua puluh tiga bulan ia menjalin hubungan bersama Alvin–tanpa sepengetahuan Oik.
            Akhirnya ia pun tiba di depan pintu kamar Alvin. Ada secarik kertas yang tertempel didaun pintu tersebut. Gadis itu kembali menyorotkan cahaya senternya pada tulisan tangan Alvin yang tertera disana.

     Matikan aja senternya ;-)

            Gadis itu kembali menurut. Ia mematikan senternya. Setelah itu, ia membuka pintu kamar Alvin perlahan-lahan. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya didepa dada. Merasa tersanjung dengan perlakuan Alvin padanya.
            Kamar Alvin telah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang tadinya hanya berisi bantal, guling, dan selimut kini telah penuh dengan kelopak bunga mawar merah. Jalan menuju ranjang Alvin pun telah dilengkapi dengan lilin.
            Gadis itu menundukkan kepalanya. Ada barisan lilin di kanan dan kirinya yang membimbingnya menuju ranjang Alvin. Dengan wajah merona bahagia, ia mengikuti cahaya lilin tersebut dan duduk diatas ranjang Alvin.
            “Alvin?” panggilnya lagi.
            Tiba-tiba saja terdengar derap langkah pelan seseorang. Siluet tubuh seorang lelaki kini berada di hadapan gadis itu. Dengan bantuan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil itu, gadis itu dapat mengenali bahwa lelaki di hadapannya kini adalah Alvin.
            Siluet lelaki di hadapannya itu tengah membawa sebuket bunga mawar pada tangan kanannya dan sesuatu –entah apa– ditangan kirinya.
            “Happy two years anniversary, Sayang..” ujar Alvin seraya menyerahkan buket bunga mawar tersebut pada gadis berwajah ceria itu.
            Lalu, tiba-tiba saja, Alvin berjongkok. Ia memindahkan sesuatu yang ternyata sebuah kotak beludru itu ketangan kanannya. Perlahan, ia membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian itu kini telah berada dalam tangan Alvin.

            “Would you marry me, Sivia?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar