“Kenapa sih? Kok pada ngeliatin gue sama Alvin sampek segitunya?” Tanya Sivia polos. Teman-temannya hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum sangat lebar.
“Selalu, ya.. Emang dasar ga jelas!” desis Alvin, tampak ia langsung tersenyum miring.
“Udah! Nunggu apa lo berdua, hah? Cepetan duduk! Ga enak dilihat tetangga. Ntar dikiranya gue, lagi, yang ga nyuruh kalian berdua duduk..” ujar Deva, matanya menatap Alvin dan Sivia bergantian.
Dan.. Alvin dan Sivia mengangguk berbarengan! Keduanya pun langsung duduk. Berbarengan pula! Tunggu! Ada apa ini? Semesta-kah yang merencanakannya? Merencanakan sedemikian rupa agar hari ini Alvin dan Sivia tampak seritme dalam melakukan apapun itu?
Acha, Cakka, Dea, Deva, Oik, Ozy, dan Ray tergagap heran menyadari serentet ‘kebetulan’ yang Alvin dan Sivia lakukan. Untung saja Ozy menyadarkan keenam temannya dari keheranan mereka.
“Besok hari pertama UNAS! Bahasa Indonesia.. Doa dulu, yuk, biar besok kita dikasih kelancaran..” ajaknya, kedelapan temannya mengangguk.
Mereka semua berpindah formasi. Dari yang tadinya mereka duduk di atas sofa, kini mereka duduk bersila di atas selembar karpet impor dari Italia milik Deva. Kesembilannya saling menautkan tangan satu sama lain dan menundukkan kepala dalam-dalam.
“Ya Allah, berikan kami kelancaran dalam mengerjakan soal-soal UNAS untuk empat hari kedepan, ya Allah. Mudahkanlah kami melewatinya. Berikanlah kami hasil yang terbaik nantinya. Amin..”
Ozy mengakhiri sesi doa pendek yang ia pimpin. Kesembilannya pun sudah kembali mengangkat masing-masing dengan senyum mengambang di bibirnya. Buku-buku tebal dan berbagai latihan soal ber-subjek Bahasa Indonesia telah menanti kesembilannya untuk dikerjakan dan didiskusikan bersama pagi ini.
“Kerjain aja dulu masing-masing. Sebisanya. Ngerjainnya satu latihan soal aja. Sama semua, kan?” tanya Acha, yang lainnya mengangguk, “Oke.. Setelah selesai ngerjain, baru kita bahas bareng-bareng”
Suasana mendadak senyap. Kesembilannya telah sibuk dengan soal latihan di tangan masing-masing. Ada yang mengerjakan dengan tetep duduk di atas karpet, ada yang mengerjakan sambil rebahan di atas sofa, dan ada pula yang mengerjakan di teras rumah Deva. Kesembilannya tengah berkonsentrasi penuh mengerjakannya.
^^^
Rio terus mengemudikan mobilnya menuju daerah Jakarta Pusat. Kebetulan, gerai yang khusus menjual hadiah langganannya berada di sana. Biasanya ia selalu membelikan Oik sebuah hadiah, apapun itu, di sini. Kali ini lain. Hadiah ini, rencananya, bukan untuk Oik..
Ia putar musik kencang-kencang. Ia lantunkan lagu-lagu yang terputar itu keras-keras pula. Rupanya hatinya sedang berbunga-bunga. Seulas senyum terus terukir di bibirnya.
“Gila! Gue ga nyangka banget bakalan bias ngomong kayak tadi ke Dea. Sumpah, ini kayak mimpi! Bahkan, sebenernya gue ga pernah berani mimpi kalau gue bakalan bisa ngomong kayak tadi ke Dea!”
Perkataan panjang-lebar Rio tadi sudah cukup menjelaskan mengapa seulas senyum manis it uterus terukir di bibirnya, bukan? Bahkan, sudah dua puluh menit berlalu semenjak kejadian antara dirinya dan Dea tadi. Tapi senyum itu belum hilang. Oh! Atau bahkan, tak akan pernah hilang?
Gerai hadiah khas untuk gadis-gadis muda telah berada di kiri jalan. Rio segera membelokkan mobilnya ke sana. Ia pun mematikan mesin mobilnya dan berjalan santai memasukki gerai dengan warna pink yang mendominasi itu.
“Selamat datang..” sapa seorang pramusaji gerai tersebut, Rio tersenyum membalasnya.
Rio kembali berjalan menuju rak-rak pemajang boneka beruang. Karena setaunya, Dea sangat menyukai boneka berbentuk beruang. Tak menunggu lama, Rio segera mengambil sebuah boneka beruang yang berkuran relatif besar dan membawanya menuju kasir. Ia menyerahkan boneka beruang besar tadi kepada penjaga kasir dengan seulas senyum.
“Mbak, sekalian dibungkus yang rapi, ya.. Pakai kotak warna pink aja. Ada?” tanya Rio.
“Ada.. Sebentar, biar saya bungkuskan dulu”
Penjaga kasir tadi segera mengambil sebuah kotak dengan ornamen unik berwarna merah muda, seperti yang Rio minta, dan memasukkan boneka beruang tadi ke dalamnya. Selesai. Rapi. Ia berikan kotak berisi boneka itu kepada Rio.
“Totalnya 78.500” ujar sang penjaga kasir.
Rio mengeluarkan dompet dari saku celananya dan menyerahkan selembar uang berwarna merah, “Kembalinya ambil aja..” kata Rio, sebelum dirinya kembali keluar dan masuk ke dalam mobilnya dengan menenteng kotak tersebut.
^^^
Shilla sedang bersiap-siap dengan segala pernak-pernik ‘rencananya’ ketika Nova mengetuk pintu kamar gadis semampai tersebut. Shilla mengedik sebentar ke arah pintu kamarnya dan kmbali berbenah.
“Masuk aje.. Kagak dikunci!” teriaknya lantang.
Nova pun langsung masuk dan duduk di atas ranjang Shilla. Shilla membelakanginya. Gadis semampai itu sedang mengoleskan berbagai macam ‘pernak-pernik’ serupa kosmetik agar kantung matanya terlebih lebih legam.
“Jadi, nih, kak?” tanya Nova dengan nada suara malas.
Shilla meliriknya dari cermin di hadapannya, “Jadi, dong! Gila aja kalau ga jadi! Gue udah ‘dandan’ begini! Gih, cepetan lo nagis! Bikin seolah-olah suara lo parau ntar..” pekik Shilla tak kenal volume.
Nova memutar bola matanya malas.. “Gampang itu, mah. Terus, kalau ntar temen-temen lo pada curiga gara-gara lo kagak koit, gimana? Kan, mereka taunya lo bakalan koit beberapa hari setelah UNAS..”
Shilla tampak mengamati lagi wajah ‘pucatnya’ dan tersenyum sinis. Ia segera memutar kursi riasnya agar dapat berhadapan langsung dengan Nova, “Bisa diatur..” jawabnya, santai.
“Caranya? Lo mau ngeles gimana emang, kak?” tanya Nova sekali lagi.
“Apa aja.. Bilang kalau gue udah berobat di luar negeri, kek. Pengobatan alternatif, kek. Apa, kek! Banyak cara, Nov!” jawab Shilla kemudian, senyum sinis terus terukir di bibirnya.
Nova hanya mendesah dalam hati. Kini ia telah menyadari bagaimana kakaknya ‘sebenarnya’. ’Topengnya’ telah tersingkap dan tampaklah Shilla yang sebenarnya. Kenapa, juga, gue dulu mau ngebantuin rencana busuk Kak Shilla?!
Shilla membalikkan badannya sekilas dan mengoreksi kembali ‘dandanannya’. Sempurna. Ia kembali berbalik menghadap Nova dan menyerahkan ponselnya. Nova diam tak bereaksi.
“Ambil, nih, HP gue. Telpon Cakka!” perintahnya.
Tangan kanan Nova terulur dan mengambil ponsel Shilla dari pemiliknya. Ia nampak ragu-ragu, “Sekarang, nih?” tanyanya memastikan.
Shilla mengangguk lugas, “Masa mau tahun depan?!” sergahnya cepat, “Eh, gimana? Udah kelihatan ‘pucet’, kan, gue?” tanya Shilla.
Nova mengangguk jengah, “Pucet banget! Kayak orang hampir mampus!” desisnya tajam. Bermaksud menyindir Shilla.
Tapi sayangnya, Shilla salah mengartikan desisan Nova tadi. Shilla malah menganggap bahwa desisan Nova tadi adalah pujian atas keterampilan dirinya memuas wajah agar terlihat sangat pucat. Dilihatnya Nova yang sudah mulai berkutat dengan ponselnya.
^^^
45 menit berlalu semenjak mereka bersembilan mulai mengerjakan soal latihan ber-subjek Bahasa Indonesia tersebut. Kesembilannya telah selesai. Ray, yang selesai mengerjakan paling akhir, segera merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan menguap.
“Gimana? Udah selesai, kan? Dibahas sekarang aja, gimana?” tanya Dea, melirik kedelapan temannya satu-persatu. Semuanya kontan mengangguk.
Baru saja Dea membuka mulutnya untuk membahas soal pertama, terdengar ringtone dari salah satu ponsel. Cakka segera mengambil ponselnya dan berkerut heran ketika membaca siapa penelponnya.
“Kenapa, Cakk?” tanya Oik heran.
Cakka mengedik pada gadis manis tersebut dan menggelengkan kepalanya, “Shilla telpon..”
“Angkat, Cakk! Loudspeaker!” perintah Sivia.
Refleks, Cakka segera mengangkat panggilan tersebut dan me-loudspeaker-nya. Alhasil, kedelapan temannya juga dapat mendengar pembicaraan tersebut. Kesembilannya segera merapat agar dapat lebih jelas mendengarkannya.
“.....Halo? Kak Cakka?.....”
Kesembilannya tercenung kaget mendengar suara tersebut. Bukan suara Shilla! Melainkan, suara Nova! Kesembilannya beradupandang sejenak..
“.....Halo? Nova? Ngapain lo nelpon gue pakai nomernya Shilla?.....” tanya Cakka langsung.
“.....Kak Shilla pingsan, Kak Cakka! Di rumah lagi ga ada orang! Gue bingung! Ini Kak Shilla gimana? Kak Cakka cepetan ke sini, dong! Please, kak.....”
Suara Nova di seberang sana terdengar kalut. Cakka melotot kaget. Jantungnya berdebar kencang ketika mendengar bahwa Shilla sedang pingsan dengan kedua orang tuanya tak ada di samping gadis semampai tersebut.
“.....Lo jangan ke mana-mana! Jaga Shilla! Gue sekarang ke sana!.....”
Cakka segera memutuskan sambungannya dengan Nova. Cepat-cepat ia mengambil kunci motornya dan bergegas bangkit dari duduknya. Oik, yang menyaksikan langsung betapa sebenarnya Cakka masih peduli dengan Shilla, hanya tersenyum miris.
Alvin mencekal lengan Cakka dengan kencang, “Mau ke mana lo, hah?!” tanyanya dengan nada tinggi.
Cakka melepaskan cekalan Alvin dari lengannya dengan kasar, “Ke rumah Shilla! Lo ga tau dia lagi pingsan, hah?! Dia sekarat, Vin! Gue mau ke sana! Orang tuanya lagi ga di rumah!”
Alvin mendengus keras dan tersenyum sinis, “Lo mau ke rumah Shilla? Ninggalin Oik di sini? Ngelupain Oik gitu aja? Tau bakalan begini jadinya, gue ga bakalan ngelepas Oik demi lo!” serunya sengit.
Oik menahan bahu Alvin dari samping kanan laki-laki oriental itu. Ia kembali tersenyum miris, tepat ketika Alvin dan Cakka memandangnya, “Gue ga kenapa-napa, kok..” lirihnya.
“Sorry, Ik, Vin. Bukan gitu maksud gue. Bukan maksud gue mau ngelupain Oik. Tapi ini kejadiannya beda! Shilla sakit! Kanker rahim! Dan kalian tau, kan, umurnya tinggal beberapa hari lagi?!” seru Cakka, terus meninggi hingga di akhir kalimatnya.
Sivia, yang sebenarnya dari tadi telah menahan amarahnya, segera berdiri dan menarik kerah baju Cakka. Ia naikkan dagunya dengan mata berkilat-kilat, “Pergi sana lo! Pergi ke rumah Shilla! Tinggalin Oik di sini! Jangan ganggu dia lagi!” maki Sivia.
Cakka menunduk lesu. Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipinya. Sivia kini tengah tersenyum sinis, “Masih kurang? Itu belum seberapa, ya, sama seberapa sakitnya Oik! Pergi lo sana!” hardik Sivia kencang.
Acha, Dea, Deva, Ozy, dan Ray hanya mampu menatap kemarahan Alvin dan Sivia yang meluap-luap tanpa melakukan apapun. Sivia terus mendorong tubuh Cakka agar keluar dari rumah Deva. Sivia juga terus mendorong Cakka agar Cakka segera melesat menuju rumah Shilla dengan motornya.
“Jangan harap kita bakalan respect lagi sama lo kalau lo ga minta maaf sama Oik!” tegas Sivia.
Cakka menatap Oik dari celah pintu kediaman Deva yang terbuka dengan mata sayu. Entah kenapa, ia ingin sekali menolong Shilla. Sudut hatinya yang telah lama beku karena ulah Shilla yang menjengkelkan, kali ini hidup lagi. Cakka segera meng-gas motornya menjauhi kediaman Deva. Sivia menatapnya dengan menggelengkan kepala heran. Ia pun kembali masuk ke kediaman Deva dan duduk di samping kiri Oik.
“Sabar, Ik..” hibur Sivia, ia mengusap pelan bahu Oik yang agak tergoncang.
Acha dan Dea pun segera menghampiri Oik dan Sivia. Keempatnya berpelukan hangat. Sivia, Acha, dan Dea berlomba-lomba menghapus bulir-bulir yang terjatuh dari mata Oik, yang seolah tak ada habisnya, itu.
Alvin, Ray, Deva, dan Ozy berdiri bersendekap sambil menatap keempat gadis itu. Rahang keempatnya mengatup rapat melihat rapuhnya Oik kini. Keempatnya sama tak mengertinya dengan alur pikiran Cakka yang sangat labil itu.
“Ik, kita berempat susul Cakka dan bawa dia balik ke sini aja, ya?” tawar Deva dengan halus.
Oik menggelengkan kepalanya, “Ga usah. Itu udah maunya Cakka buat nolongin Shilla. Biarin aja. Gue bakalan tetep di sini, kok. Ada atau ga ada Cakka” jawab Oik sarkatis.
Sivia, Acha, dan Dea makin nelangsa saja mendengar jawaban Oik. Jelasnya, ketujuhnya menyimpan dendam kesumat kepada Cakka, dan tentu saja, Shilla. Tega sekali Cakka mencampakkan Oik hanya demi nenek lampir itu?
“Lo yang sabar, ya, Ik. Kalau emang Cakka itu sayang sama lo, dia bakalan balik lagi, kok..” hibur Acha, ia setengah mati menahan tangisnya.
“Tenang aja, Ik. Ga selamanya, kok, si Shilla ngegangguin hubungan lo sama Cakka..” tambah Dea, matanya sudah berkaca-kaca saat ini.
“Di mana-mana, parasit itu awalnya emang menang, Ik. Tapi nantinya, mereka yang bakalan ancur lebur..” tambah Sivia, ia sudah menangis bersama Oik.
“Kita tetep dukung lo, kok, Ik. Apapun keputusan lo..” ujar Ray, bijak.
“Kita bakalan tetep ada buat lo, Ik. Serapuh dan sehancur apapun lo nantinya..” ujar Ozy tulus.
Oik kembali menangis mendengarnya. Ia terharu. Ia tak menyangka bahwa ketujuh orang tersebut sangat tulus kepadanya. Bahkan ia sangsi, apakah Cakka setulus mereka bertujuh ini kepadanya? Ia tak yakin. Bagaimana ia bisa yakin kalau Cakka-nya sendiri berubah-ubah pikiran seperti tadi?
Oik merentangkan tangannya lebar-lebar. Menyambut pelukan Alvin, Deva, Ozy, dan Ray. Kedelapannya berpelukan penuh haru. Melupakan Cakka dan Shilla, yang entah sedang apa di luar sana.
Inilah persahabatan. Lebih indah dari cinta. Dan akan selalu saling menerima satu sama lain apa adanya. Tak melihat dari fisik, harta, maupun kepintaran. Hanya satu yang mereka lihat. Ketulusan.
Classmate (Part 29)
Classmate (Part 28)
Alvin berhenti sejenak. Tetap diam di tempat dan tak menengok ke belakang sedikitpun. Sivia pun juga berhenti. Ia masih sibuk mengatur napasnya. Sivia mendongak sedikit dan menemukan Alvin sudah ada tepat di hadapannya. Rupanya, Alvin menghampirinya.
“Ngapain manggil gue?” tanya Alvin, dingin.
Sivia menatapnya memelas, “Gue mau ngomong, tapi ga di sini.. Ke sana aja, ya?” ajak Sivia, jemarinya menunjuk salah satu stan ice cream di dekat mereka.
Alvin menganggukkan kepalanya. Mereka berdua pun jalan beriringan ke sana. Suasana mendadak sunyi. Keduanya mengatupkan mulut rapat-rapat. Alvin, karena memang suasana hatinya yang sedang kacau. Dan Sivia, karena ia bingung bagaimana memulai pembicaraan.
“Mau yang rasa apa, Siv?” tanya Alvin, ketika keduanya telah sampai di gerai ice cream tersebut.
“Vanilla aja..” jawab Sivia. Singkat, jelas, dan padat. Bukan apa-apa, ia masing canggung saja.
“Vanilla dua, mbak” pesan Alvin kepada pramusaji gerai tersebut.
Pramusaji tadi menyiapkan pesanan Alvin dan Sivia sejenak. Sivia melirik Alvin dari sudut matanya. Ia masih merasa bahwa laki-laki di sampingnya ini adalah ‘pacar’ dari sahabatnya. Ia masih tak enak pada Oik.
“Ngapain lirik-lirik?” tanya Alvin langsung. Sivia hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecut.
Bego! Ngapain pakai ngelirik Alvin segala? Udah tau Alvin itu moody! Kadang baik, kadang judes! Pas banget, sih, kalau hari ini dia lagi judes? Ngomong apa ini gue, Tuhan? Sivia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri ketika sang pramusaji memberikan pesanannya.
Alvin menyenggol lengannya pelan. Sivia tergagap dan mengedik pada laki-laki sipit di sampingnya, lalu kembali menatap pramusaji dan mengambil alih pesanannya, “Makasih..” desisnya.
Keduanya berjalan menjauh dari gerai ice cream tersebut dan berjalan menuju parkiran, “Mau ngomong apa lo tadi?” tanya Alvin lagi, ketika keduanya telah sampai di parkiran.
“Ngomong sambil duduk bisa ga?” tanya Sivia sambil menatap Alvin tajam, Alvin mengangguk.
“Duduk situ?” tanya Alvin, mengedik pada sekumpulan bangku yang dinaungi paying berukuran besar di salah satu sudut lapangan parkir.
Sivia mengangguk dan segera menyeret Alvin ke sana. Keduanya duduk. Saling berhadapan. Sivia berkali-kali berdehem dan curi-curi pandang kepada Alvin. Alvin masih duduk santai dan bersandar pada punggung kursi sambil menatap Sivia lekat-lekat.
“Jangan ngeliatin mulu, dong!” tegur Sivia, tangan kanannya ia kibaskan di depan wajah Alvin.
Alvin tersenyum kecil sejenak, “Abisnya lo, sih, katanya mau ngomong malah diem begini..”
“Ye! Ya jangan nyalahin gue, dong!” sungut Sivia, Alvin kembali tersenyum kecil, “Ape lo senyum-senyum?!” tegur Sivia lagi.
“Terus gue kudu nyalahin siapa? Gue sendiri, gitu? Kan, lo sendiri yang ngajak gue ke sini!” jawab Alvin telah, Sivia beringsut.
“Aduh, gini ya.. Gue cuman mau ngomong kalau gue itu sayang sama lo. Oke?” kata Sivia langsung. Selesai. Gadis oriental itu segera bangkit dari duduknya dan berlalu.
Alvin masih terpaku dengan perkataan Sivia sebelumnya, “Hah? Apa? Dia? Sivia? Sayang sama gue?” tanya Alvin beruntun, entah kepada siapa.
Alvin pun tersadar dan segera bangkit pula dari duduknya. Ia segera mengejar Sivia. Untungnya, Sivia belum jauh. Sivia juga ternyata hanya berjalan santai. Jadi, mudah bagi Alvin untuk menyusulnya.
Alvin menahan lengan kanan Sivia dari belakang, “Apa?” tanya Sivia jutek, seakan tau siapa yang menahan lengannya.
“Tadi bilang sayang, sekarang jutek. Ckck..” sindir Alvin, Sivia melengos malas.
“Terus mau lo apa?” tanya Sivia, agak melunakan nada bicaranya.
“Kalau gue juga sayang sama lo, gimana?” tanya Alvin balik, pipi Sivia mendadak merona merah.
“Gue ga bisa percaya omongan lo gitu aja. Takutnya, lo cuman jadiin gue pelampiasaan aja..” jawab Sivia serius, Alvin menggaruk bagian belakang kepalanya.
“Jadi?” tanya Alvin lagi.
“Itu tadi cuman pernyataan, bukan pertanyaan. Dan gue cuman mau bilang aja. Gue tadi ga bilang kalau lo kudu jadi cowok gue. Semuanya butuh proses dan itu ga segampang yang lo pikir. Masih banyak waktu kalau lo mau ngeralat omongan lo tadi” jelas Sivia.
Setelahnya, Sivia kembali meninggalkan Alvin. Bener-benar meninggalkan Alvin. Terlihat Sivia yang naik ke dalam sebuah taxi kosong dan melaju entah ke mana, pulang ke rumahnya, mungkin.
^^^
Oik, Dea, dan Cakka masih berada di dalam J.Co. Oik termenung, menatap kosong ke arah meja di hadapannya. Dea sibuk dengan ponselnya. Cakka menatap Oik sambil sesekali mendengus dan tersenyum tipis.
“Ik, nanti Kak Rio yang jemput kita di sini” kata Dea sambil mengintip Oik dari balik layar ponselnya, Oik hanya mengangguk kecil.
“Sivia sama Alvin ga balik lagi?” tanya Cakka polos.
Oik menggelengkan kepalanya cepat, “Pulang, kali” jawabnya, ia mengangkat kedua bahunya.
Dea merangkul gadis mungil itu dari samping, “Kenapa lo? Sedih?” tanyanya, Oik menggelengkan kepalanya, “Terus?” tanya Dea lagi.
Oik mendesah keras dan menoleh pada Dea, “Ga tau..” jawabnya, menggantung.
“Harusnya lo udah bisa lega, dong. Kan, lo udah putus sama Alvin. Jadi lo ga ngerasa bersalah lagi sama dia. Iya, kan?” Dea mengernyit menatap gadis mungil di sampingnya.
Oik kembali mengangkat bahunya, “Perasaan gue ga enak aja. Kayaknya bakalan ada something bad terjadi abis ini..” ujar Oik, mengeluarkan uneg-unegnya.
“Perasaan lo aja, kali.. Tenang aja, semuanya udah selesai. Senin besok kita udah UNAS, Ik. Fokus, dong!” ujar Dea, berusaha untuk menenangkan Oik.
“Belum selesai! Masih ada nenek sihir yang nempel terus sama gue!” sela Cakka dengan sinis.
Kedua gadis di hadapannya menengok padanya, “Emangnya kenapa, sih, sama Shilla? Udahlah, Cakk.. Biarin aja dia nempel mulu sama lo. Kesian, tau!” seru Oik.
“Ngapain pakai kesian sama dia? Cuman gara-gara dia sakit, gitu? Umurnya udah ga panjang lagi, gitu? Karena dokter udah memperkirain kalau umur dia tinggal beberapa hari setelah UNAS, gitu?” tanya Cakka beruntun dan dengan nada yang tak bersahabat.
“Ssstt! Udah! Cuman gara-gara Shilla aja kalian tengkar?” tanya Dea, menengahi.
“Udah sering!” jawab Oik sinis dan melengos sebal ke arah yang lain.
^^^
Deva sedang membuka akun Twitter miliknya sambil tiduran di atas kasur empuknya. Sejenak, ia hanya membaca updates dari teman-temannya yang tertera di Time Line. Deva mengubah posisinya menjadi duduk.
“Oh iya! Kenapa ga gue ajak aja mereka belajar bareng di sini?!” seru Deva riang.
Deva pun mulai mengetik sesuatu di kolom update dengan senyum mengembang. Kebetulan, sekarang sudah hari Jumat. Dan tiga hari lagi, UNAS untuk siswa-siswi SMP akan dimulai. Deva pun berinisiatif untuk mengajak teman-temannya belajar bersama.
devaekada15: @oikcahya_r @deaaaCA @azizahsivia @RaissaArifII @cakkaNRG @Rayprasetya22 @AlvinJonathanS7 @ozyadriansyah besok belajar bareng di rumah gue, ya! Jam 9 pagi udah kudu dateng! ;)
Selesai. Deva pun segera memutus sambungan internet dan mematikan laptopnya. Ia bergegas menuju kamar mandi dengan sebuah handuk di bahu kanannya. Sesekali, terdengar siulan riang dari mulutnya.
^^^
Shilla dan Nova sedang berada di kamar Nova. Shilla menemani Nova yang sedang mengerjakan tugasnya. Keduanya hanya beda satu tahun. Sesekali Shilla mengintip pekerjaan Nova dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Shilla kembali berkutat dengan BlackBerry Gemini di tangannya. Oh, rupanya ia sedang berselancar di dunia maya. Twitter. Situs jejaring sosial yang diklaim oleh para ABG bahwa situ jejaring sosial tersebut adalah milik mereka.
“Kak, emangnya lo ga belajar?” tanya Nova, sambil tetap menekuni buku tulisnya.
Shilla menggelengkan kepalanya dengan santai, “Ga.. Ngapain?” tanya Shilla balik.
Nova memutar kursi belajarnya dan menghadap Shilla yang sedang duduk bersila di atas ranjangnya, “Buat apa? Senin besok, kan, lo UNAS! Ga takut nilai jelek terus dapet sekolah yang jelek juga?” tanya Nova lagi.
Shilla meliriknya sekilas dan memutar bola matanya malas, “Tinggal nyuruh bokap sama nyokap nyogok sekolah manapun yang gue mau..” jawab Shilla sinis.
Nova hanya geleng-geleng kepala, “Terserah lo, deh, kak” Nova pun kembali memutar kursi belajarnya untuk menghadap pada meja belajarnya.
Suasana kembali hening. Shilla tetap terpekur dengan BlackBerry miliknya. Nova berkelut dengan tugas-tugasnya yang segung. Sesekali Nova melirik kakaknya dan tersenyum kecut. Gadis berkulit hitam manis itu kembali fokus dengan tugasnya.
“Nov! Nova! Nova!” panggil Shilla dengan riang.
Nova memutar bola matanya malas dan kembali memutar badannya, “Apa, kak?” tanyanya.
“Kita bisa ngelaksanain rencana selanjutnya!” pekik Shilla girang dan tanpa mengenal volume. Untung saja keduanya hanya sendirian di rumah. Kedua orang tua mereka sedang mengunjungi sanak saudara di Jawa Tengah.
“Maksud lo, kak?” tanya Nova, belum mengerti arah pembicaraan mereka.
Shilla menghela napas keras, “Rencana kita! Soal gue yang kena kanker rahim! Yang nyangkut Cakka! Kita bisa laksanain rencana itu! Besok pagi!” jelas Shilla menggebu-gebu.
“Terserah lo, deh, kak! Gue ngikut aja..” jawab Nova sinis, ia segera kembali pada tugasnya.
“Ye! Gitu amat, sih, lo?!” sewot Shilla.
“Gue lagi ngerjain tugas, kak! Mendingan lo balik ke kamar lo sendiri, deh! Belajar, kek, sono!” sungut Nova sebal.
Shilla pun segera bangkit dari ranjang Nova dan berjalan menuju kamarnya sendiri. Tak lupa, ia menutup pintu kamar Nova dengan keras. Nova hanya menghela napas dan segera memasang headset di kedia telinganya.
^^^
Pagi menjelang. Seluruh insan di bumi pertiwi telah membuka kelopak mata masing-masing dan memulai untuk melakukan aktivitas masing-masing di weekend kali ini. Ray, yang baru saja bangun, cepat-cepat mengecek BlackBerry miliknya.
Lampu LED-nya terus berkedip-kedip. Ia segera membuka aplikasi UberSocial miliknya dan membuka halaman mention. Benar saja, ada mention dari Deva di sana. Ray membacanya dengan cepat dan melirik jam dindingnya.
“Astaga! Udah jam delapan! Mampus! Si Deva, kan, nyuruh datengnya jam Sembilan!” teriak Ray kaget.
Laki-laki berambut gondrong tersebut segera mengambil pakaian asal-asalan dari dalam almari dan berlari ke kamar mandi. Selama beberapa menit, ia berada di dalam. Sepuluh menit kemudian, ia sudah siap dengan kaos berwarna merah dan jeans panjang.
Ray segera memasukkan buku-buku Bahasa Indonesia ke dalam tasnya dan mengambil BlackBerry serta kunci mobilnya. Cepat-cepat ia melenggang menuju garasi dan tancap gas menuju rumah Deva ketika jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh lima menit.
^^^
Rio, Oik, dan Dea sedang berada di dalam mobil milik Rio. Seperti biasa, Rio mengantar Oik dan Dea ke mana pun kedua gadis itu ingin pergi. Kali ini, Rio harus rela weekend-nya ‘dirampas paksa’ oleh Oik dan Dea.
Dengan formasi seperti biasa, Rio dan Dea duduk di bangku depan. Dan Oik duduk di bangku belakang. Oik sedang mendengarkan lagu menggunakan headset melalui iPod-nya ketika ketiganya sudah sampai di depan rumah Deva.
Oik melirik kediaman Deva sejenak. Rumah bergaya Bali. Ternyata, sudah ada dua motor terparkir di pelataran rumah Deva. Motor milik Ozy dan Cakka. Cakka sedang berada di teras rumah Deva ketika Oik dan Dea sampai.
Cakka segera berjingkat menuju mobil Oik dan membukakan pintu belakang untuk Oik dengan tersenyum manis, “Silahkan turun..” Oik membalasnya dengan senyum kaku.
Keduanya pun jalan beriringan memasukki rumah Deva. Dea dan Rio hanya menahan senyum melihat Cakka dan Oik. Baru saja Dea akan membuka pintu, Rio sudah menahan tangan kanannya.
“Apa, kak?” tanya Dea.
“Gimana, ya, ngomongnya?” tanya Rio balik.
Dea melongo kaget, “Hah? Emangnya mau ngomong apa?” tanya Dea lagi.
“Aduh.. Gue tau kita itu beda umurnya lumayan jauh. Empat tahun. Tapi, gue harus ngaku kalau ternyata.. Gue itu suka sama lo” ungkap Rio, agak terbata-bata di akhir kalimatnya.
Dea tersenyum tipis, “Itu tadi pertanyaan atau pernyataan?” tanya Dea.
“Pertanyaan, sih..” jawab Rio gugup.
“Kalau Kak Rio mau nunggu gue sih gue mau. Gue mau fokus ku UNAS dulu, kak. Ga pa-pa, kan?” tanya Dea, memastikan.
Rio tersenyum senang dan menganggukkan kepalanya bersemangat, “Oke.. Gue turun, kak” pamit Dea, lagi-lagi Rio mengangguk bersemangat.
Dea pun segera turun dan melenggang masuk ke dalam kediaman Deva. Rio belum juga mengemudikan mobilnya. Dea hilang di balik pintu ala Bali di kediaman Deva. Barulah Rio kembali menancap gas.
^^^
“Udah rame ternyata..” gumam Dea ketika memasukki rumah Deva.
Sudah rame? Terang saja.. Sudah ada Dea, Oik, Cakka, Ozy, Acha, dan tentunya Deva sendiri di sana. Deva baru saja meletakkan berbagai camilan di meja ruang tamunya ketika Dea datang. Deva tersenyum padanya.
“Iye, De.. Kurang Ray, Alvin, sama Sivia doang ini” balas Deva ramah.
Tiba-tiba saja, terdengar suara mesin mobil dimatikan. Deva melongok melalui jendela ruang tamunya dan mendapati sebuah mobil sudah terparkir di depan rumahnya. Tak lama kemudian, muncul seorang laki-laki gondrong dengan tasnya yang tergesa-gesa masuk ke dalam kediamannya.
“Ray..” ujar Deva, seolah memberitahu kepada teman-temannya siapa yang datang.
Tok tok tok.. Deva segera membuka pintunya. Benar saja, ada Ray di sana. Ray segera masuk dan terduduk lemas di sofa Deva.
“Kenape lo, Ray?” tanya Ozy.
“Hah? Gue bangun kesiangan! Gue baru baca mention Deva tadi pagi. Gue belum sarapan, tau!” sungut Ray berapi-api.
“Salah sendiri.. Siapa suruh jadi tukang molor?” sindir Acha dari samping Ozy.
Ray menghiraukan sindiran Acha dan beralih pada Deva, “Dev, gue laper” ujarnya dengan wajah dipolos-poloskan.
Deva mengedik pada berbagai macam camilan di meja. Ray segera melahapnya satu-persatu. Oik, Dea, Acha, Deva, Cakka, dan Ozy sampai terbengong-bengong melihat Ray. Ray nyengir lebar pada mereka.
“Sivia sama Alvin mana?” tanya Cakka pada mereka semua.
“Sivia, kan, kebo. Masih molor, kali!” jawab Oik asal.
“Dev, lo nge-mention Alvin?” tanya Ozy, Deva mengangguk, “Kenapa ga SMS aje? Alvin, kan, jarang on Twitter!” seru Ozy gemas.
Kali ini, terdengar suara mesin motor dimatikan di pekarangan rumah Deva, “Pasti Alvin!” koor mereka semua, berbarenga.
Lalu, dua sosok muncul dari pintu rumah Deva. Alvin dan.. Sivia. Ketujuh pasang mata di ruang tamu kediaman Deva pun melotot bersamaan. Hey! Alvin dan Sivia? Datang bersamaan? Setau mereka, taka da suara mobil berhenti di depan rumah Deva..
“Hay!” sapa Alvin dan Sivia ramah. Ketujuhnya hanya mengangguk.
“Dateng bareng apa berangkat bareng?” tanya Ray menggoda.
“Berangkat bareng..” jawab keduanya dengan polos. Ketujuhnya hanya tersenyum penuh arti.
Classmate (Part 27)
Oik segera memakai sendal berkepala kelinci miliknya dan keluar dari kamarnya. Ia berbelok ke kamar Dea dan mengetuk beberapa kali pintu kamar tesebut. Karena tak kunjung ada jawaban, Oik kembali mengetuk
pintu kamar Dea dengan kerasnya.
“Buka aja! Ga dikunci!” terdengar sahutan dari dalam.
“Ih! Parau amat suaranya?! Lagi molor, nih, pasti si Dea!” gumam Oik.
Oik segera membuka pintu kamar Dea dan melongok ke dalam. Benar saja. Rupanya Dea sedang bergulat dengan selimutnya. Oik geleng-geleng kepala
dan kemudian masuk ke dalam.
“Ehem..” Oik berdehem keras dari bibir ranjang Dea.
Dea segera menurunkan selimut dari wajahnya dan menatap Oik dengan mata yang masih merem-melek, “Apa, Ik? Ngantuk, nih, gue” sahut Dea, ia lalu
bergegas duduk dan mengucek pelan kedua matanya.
“Yeh! Baru, juga, jam segini kok udah tidur?! Gue mau cerita, nih!” ujar Oik dengan bibir yang dimajukan beberapa centi.
Dea menguap lebar, “Mau cerita apa, sih, lo?” tanya Dea dengan sabar.
“Tadi si Cakka nge-BM gue. Katanya, dia lihat Alvin sama Sivia di mall. Berdua!” cerita Oik, Oik menundukkan kepalanya sambil memain-mainkan
ujung pakaiannya.
Dea mengangkat sebelah alisnya dan menaruh kedua tangannya di depan dada, “Alvin sama Sivia? Jalan berdua? Di mall? Sebelumnya, Alvin ga bilang dulu kalau ma jalan sama Sivia?”
tanya Dea beruntun, Oik menganggukkan kepalanya beberapa kali.
“Terus, lo ngerasanya gimana?” tanya Dea, untuk yang kesekian kalinya.
Oik mengangkat bahunya tak mengerti, “Biasa aja”
Dea menghela napas seolah ia tau hasilnya akan begini, “Nah, kan! Harunya, kalau lo itu sayang sama Alvin, lo bakalan ga terima waktu denger Alvin
sama Sivia lagi jalan di mall!”
“Terus gue harus gimana, dong? Ga ngerti, ah, gue!” seru Oik keki.
“Ya diselesaiin sama Alvin, Sivia. Kalau perlu, Cakka juga ikut. Tapi jangan coba sekali-kali ngajak Shilla! Mumpung besok hari Jumat, tuh!
Pulangnya rada awal, kan? Lo ajak mereka nongkrong. Di Starbucks, kek.
Di J.Co, kek. Di mana aja, lah! Yang nyaman. Abis itu, baru lo ajak
ngomong. Bisa? Ngerti?” jelas Dea panjang lebar.
Oik melongo mendengar penjelasan Dea. Panjang banget! Oik hanya mengangguk (sok) mengerti. Dea berdecak kesal, “Ga ngerti, kan?! Ck! Iya deh, besok
gue temenin kalian ngomong!” kata Dea akhirnya.
Oik berlonjak kegirangan dan segera memeluk Dea, “Makasih, Dea!” serunya riang.
Dea melepaskan pelukan Oik pelan-pelan, “Siniin BB lo! Biar gue SMS satu-satu mereka. Besok, kan? Mau di mana? J.Co aja, ya?” Dea
menodongkan tangannya pada Oik.
Oik segera mengambil ponsel BlackBerry miliknya yang ada di saku dan segera mengangsurkannya pada Dea. Dea menerimanya dengan senang hati. Begitu menerimanya, Dea
langsung mengutak-atik ponsel milik Oik tersebut.
“Hmm.. Ngirimnya ke Sivia, Alvin, sama Cakka, kan? Oke!” gumam Dea riang.
To: Sivia, Alvin, Cakka
Guys! Besok ke Senayan, yuk! J.Co, ya! Pulang sekolah! Tenang, gue traktir! ;)
Selesai mengetik pesan singkat tersebut dan mengirimkannya, Dea mengembalikan ponsel dalam genggamannya tersebut kepada pemiliknya, “Nih, Ik! Oh ya,
gue bilang kalau lo bakalan traktir mereka. Ga pa-pa, kan?” tanya Dea,
Oik mengagguk cepat.
“Oke! Gue balik ke kamar dulu, ya! Makasih, De!” pamit Oik.
Oik langsung keluar dari kamar Dea dan kembali ke kamarnya sendiri. Tiba-tiba saja, ketika Oik sedang asyik merebahkan tubuhnya di ranjang,
seseorang mengetuk pintu kamarnya. Oik mendesah kesal dan berjingkat ke
pintu kamarnya.
Begitu ia membuka pintu kamarnya, wajahnya langsung menunjukkan ekspresi tak suka, “Ngapain lo, kak?” tanya Oik pada manusia di depan kamarnya tersebut.
Manusia tersebut menoyor kepala Oik dan berdecak, “Mau bilang aje kalau besok gue ga bisa jemput lo sama Dea! Mau ada acara di kampus. Oke?” kata manusia
tersebut.
“Ya udah deh sih.. Besok gue juga mau jalan sama anak-anak ke Senayan. Pulangnya bisa naik taxi. Lo udah ngomong sama Dea?” tanya Oik lagi pada manusia tersebut, Rio.
Wajah Rio langsung pias. Ia segera berbalik badan, “Lo aja yang ngasih tau Dea! Gue sibuk! Mau belajar, besok ada kuis di kampus!” teriak Rio seraya
berlari ke kamarnya.
“Dasar lo, kak! Bisa banget bikin alesan!” teriak Oik balik. Sejujurnya, ia sedang menahan ledakan tawanya ketika melihat respons Rio barusan.
^^^
Di saat yang bersamaan, ponsel Sivia dan Alvin bergetar. Keduanya segera mengambil ponselnya dan membuka sebuah pesan singkat yang baru saja
masuk. Sivia terlihat bingung dengan isi SMS Oik. Sedangkan Alvin, ia
terlihat kaget.
Setelah membacanya, keduanya kembali meletakkan ponsel masing-masing dan akan melanjutkan pembicaraan mereka yang sempat terhenti karena masuknya SMS Oik barusan.
“SMS dari Oik?” tanya keduanya bersamaan, sesaat mereka berdua tertawa bersama.
“Kira-kira Oik ngapain, ya, ngajak ke Senayan?” tanya Alvin bingung.
Sivia mengangkat bahunya seraya tersenyum samar, “Mana gue tau. Ya besok lo coba aja buat ngomong sama dia. Soal lo sama dia. Oke?” tawar Sivia,
Alvin mengangguk dan tersenyum padanya.
^^^
Cakka baru saja keluar dari kamar mandinya ketika ponselnya bergetar. Ia segera menuju ranjangnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak di
sana. SMS dari Oik. Cepat-cepat ia buka dan baca SMS tersebut.
“Oik ngajak jalan! Yeay!” seru Cakka kegirangan.
Seperti orang gila saja dia. Bayangkan! Hanya mendapat sebuah SMS dari Oik yang berisi ajakan untuk pergi bersama-sama ke salah satu pusat perbelanjaan
saja dia sampai lompat-lomat di atas ranjangnya!
“Cakka! Apa-apan kamu?!” teriak bundanya dari pintu kamarnya.
Cakka tersenyum lebar dan menggeleng perlahan, “Ga apa-apaan, bunda” jawabnya kalem.
“Turun kamu! Bunda ga mau denger kasur kamu rusak cuman gara-gara kayak gini!” seru bundanya dengan kesal.
Cakka kembali tersenyum lebar dan cepat-cepat turun dari kasurnya. Bundanya mengangguk dan keluar dari kamarnya. Setelah memastikan bundanya sudah
tak melihat, Cakka kembali naik ke atas ranjangnya dan kembali
melompat-lompat di atasnya.
^^^
Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Siswa-siswi SMP Ranvas segera membereskan buku serta alat tulis masing-masing dan memasukkannya ke dalam tas. Tak
lama kemudian, doa dimulai dan ketika doa selesai, kebanyakan siswa
sudah melesat menuju lapangan parkir sekolah.
“Oik! Jadi, kan?” tanya Cakka dengan mata berbinar-binar.
Oik mengangguk sekilas padanya dan kembali membereskan barang-barangnya. Sivia hanya melihat adegan tersebut dari sudut matanya seraya tersenyum
geli. Tak lama, seorang gadis dengan tubuh bongsornya datang ke kelas
9.5 dan menghampiri Oik.
“Sekarang, Ik?” tanyanya. Oik mengedik padanya dan kembali mengangguk.
“Yo! Mamen! Gue duluan, ya! Mau jalan sama Acha!” pamit Ozy sambil bertos ria dengan Deva, Ray, dan Cakka bergantian.
“Yo! Ati-ati lu!” teriak Deva pada Ozy yang sudah berlari menjauh.
Cakka geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya tersebut, “Makin lengket aja si Ozy sama Acha. Ckck..” gumamnya yang juga diamini oleh
Deva dan Ray.
“Hay, Oik!” sapa seseorang, Oik menoleh padanya dan tersenyum lebar. Seseorang tadi pun mendekat ke Oik dan mengucek pelan puncak kepala gadis manis tersebut, “Kamu berangkat sama
siapa?” tanyanya.
“Numpang mobilnya Sivia aja, sama Dea juga” jawabnya, kini Oik beralih pada Sivia, “Boleh, kan, Siv?” tanya Oik, meminta persetujuan kepada sang empunya kendaraan.
Sivia menggelengkan kepalanya dan tersenyum lucu, “No, no, no.. Dea boleh bareng sama gue. Tapi ga buat lo! Lo sama Alvin aje sono! Boncengan
berdua!” suruh Sivia dengan santainya. Sejujurnya, Sivia sangat berat
mengatakannya.
Sivia pun segera menarik lengan Dea agar mereka cepat-cepat menuju parkiran. Karena tentu saja, menggunakan mobil akan lebih lama sampai ketimbang menggunakan motor. Tepat ketika Sivia
berpapasan dengan Alvin, ia membisikkan sesuatu.
“Jangan sia-siain kesempatan ini! Kalau ntar lo jadi buat ngomong sama dia, berarti sekarang itu kesempatan terakhir lo barengan sama Oik dengan
status pacar!” bisik Sivia, Alvin mengangguk samar.
“Ik! Gue sama Sivia duluan, ya!” pamit Dea. Oik, Alvin, dan Cakka mengangguk serempak.
Dea serta Sivia pun segera berlalu menuju lapangan parkir, “Eh, barengan ke parkiran, ya!” teriak Deva dan Ray. Kedua laki-laki itu segera menyusul
Sivia dan Dea ke parkiran.
“Ik, terus gua berangkatnya gimana?” tanya Cakka dengan polosnya.
Oik berdecak kesal, “Lo, kan, bawa motor! Ya lo pake motor lo aja” ujar Oik dengan keki.
Tiba-tiba saja seorang gadis semampai sudah berada di antara mereka bertiga dan bergelayut manja di lengan Cakka, “Cakk, mau ke mana? Gue boleh ikut,
kan?” tanyanya dengan nada sangat manis.
Cakka memutar bola matanya malas. Ia segera menyingkirkan lengan gadis semampai itu dari lengannya, “Ya mana gue tau! Orang, bukan gue yang punya acara,
tuh!” seru Cakka keki.
“Udah, yuk! Ayo berangkat!” ajak Alvin. Oik dan Cakka pun mengangguk.
Mereka bertiga segera melenggang meninggalkan gadis semampai tadi, Shilla, yang masih berdiri mematung di tempat dengan wajah keras. Terlihat
sekali kalau gadis semampai itu sedang menahan marah.
^^^
Mobil milik Sivia, yang dikemudikan oleh sopirnya, ternyata sedang terjebak lampu merah di sebuah perempatan. Dea dan Sivia duduk bersebelahan di
jog belakang. Sebentar-sebentar, Dea melirik Sivia dari sudut matanya.
Sivia yang merasa rishi dengan ‘lirikan’ Dea pun akhirnya angkat bicara, “Kenapa, sih, lo dari tadi ngelirikin gue mulu?” tanya Sivia dengan
sedikit jengkel.
Dea menghela napas sejenak, “Jujur, deh.. Lo suka Alvin, kan?” tanya Dea balik.
Sivia cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan menatap pemandangan di luar sana dari kaca jendela mobilnya, “Ga” jawabnya dingin.
“Jujur aja sama gue. Gue ga akan marah, kok. Gue cuman pingin tau aja.. Ya?” rayu Dea.
“Bukan urusan lo” timpal Sivia, masih tetap mempertahankan aura dinginnya.
“Ya udah..” gumam Dea, akhirnya ia menyerah untuk membujuk Sivia.
^^^
Kelima muda-mudi tersebut bertemu di depan J.Co dan segera melangkah masuk berbarenga. Mereka memilih tempat yang cozy dan agak ke sudut ruangan.
Sedikit menjaga jarak dengan pengunjung lainnya siang itu.
Mereka berlima segera duduk. Sivia, Dea, dan Oik duduk berseberangan dengan Alvin dan Cakka. Lalu, tiba-tiba saja, Oik berdiri, “Kalian mau pesen
apa? Biar gue yang mesenin” ujarnya.
“J.Cool aja. Toppingnya pakai blueberry” ujar Sivia.
“Mona Pisa sama Choco Forest Freeze” ujar Alvin.
“Why Nut, minumnya sama kayak Alvin” ujar Dea.
“Alcapone, minumnya sama kayak Alvin sama Dea” ujar Cakka.
Oik mengangguk kecil dan bergegas menuju meja pemesanan. Terlihat ia sedang berbincang denga pramusaji café tersebut. Tak beberapa lama,
pesanan mereka semua telah beres dan diletakkan pada dua nampan berbeda.
Oik mengangsurkan sebuah ATM kepada pramusaji tersebut dan menoleh pada keempat sahabatnya di sudut ruangan itu. Terasa sekali aura kecanggungan
di antara mereka, “Harus selesai hari ini” gumam Oik.
Tepat ketika Oik baru saja memasukkan kembali ATM-nya, seseorang telah berdiri di sampingnya dan membawakan salah satu nampan pesanannya, “Biar
gue bantu” ujar suara tersebut.
Oik mengedik padanya dan balas tersenyum, “Makasih, Cakk”
Mereka berdua pun melenggang menuju meja mereka dan meletakkan kedua nampan tadi di atas meja. Cakka dan Oik kembali duduk. Kali ini, Cakka terlihat
bingung dengan pesanan mereka.
“Kenapa, Cakk?” tanya Sivia sambil menyendokki J.Cool miliknya.
“Perasaan gue pesen satu Alcapone, deh. Kok ini ada dua, ya?” tanya Cakka, ia menggarukki bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
Oik merengut kesal, “Yang satu, punya gue!” sungutnya.
“Oh, hehe. Kirain lo beliin gue dua. Gue, kan, suka Alcapone-nya, hehe” sahut Cakka.
“Emang cuman lo aja yang suka Alcapone? Gue juga, kali!” seru Oik tak terima.
Dea baru saja menggigit Why Nut miliknya, “Ssstt!! Ga pakai berantem! Kita bakalan ngobrol serius, nih!” ingatnya, yang lainnya hanya mengangguk
kaku.
“Emang mau ngomong apaan, sih?” tanya Alvin sok santai, tangan kanannya sedang asyik mengaduk Choco Forest Freeze miliknya.
Dea menghela napas panjang ketika Why Nut miliknya telah ludes. Ia memandangi Sivia, Alvin, Oik, dan Cakka bergantian, “Gue mau kalian
nyelesaiin semuanya hari ini” ujarnya santai. Sedangkan keempat objeknya
tengah melotot ke arahnya.
Dea pun menyenggol pelan lengan Oik. Begitu pula Sivia yang menyenggol pelan lengan Alvin, “Oik..” panggil Alvin, Oik yang merasa namanya dipanggil pun menoleh
kepada Alvin.
“Apa, Vin?” tanyanya dengan lembut.
“Errr.. Aku sayang sama kamu” lirih Alvin.
Oik mengangguk mengerti, “Aku tau.. Aku juga sayang sama kamu”
“Tapi beda, Ik! Aku yakin kamu pasti sayang sama aku sebagai sahabat. Iya, kan?” samber Alvin.
Oik menundukkan kepalanya, merasa tak enak, “Iya” jawabnya dengan volume sangat kecil.
“Langsung to the point aja, deh!” seru Dea yang mulai gemas dengan Alvin dan Oik.
Oik melotot tak suka pada Dea. Kini Oik kembali menatap Alvin yang duduk tepat di hadapannya, “Mending kita putus aja, Ik” kata Alvin dengan
ragu-ragu.
Oik menghela napas lega, begitu pula Dea. Sedangkan Sivia, ia menghela napas lega secara diam-diam, “Aku tadi juga mau ngomong kayak gitu” ujar Oik dengan senyum tipis di bibirnya.
Alvin menyodorkan tangan kanannya pada Oik, “Kita masih bisa temenan, kan?” tanyanya.
Oik menerima uluran tangan Alvin dengan senang hati, “Tentu! Mungkin emang lebih baik kayak gini. Gue ga tega juga lama-lama ngobohongin lo” ceplos
Oik.
Alvin pun beranjak dari duduknya, “Oke! Gue duluan, ya!” pamitnya.
Tanpa menunggu jawaban dari sahabat-sahabatnya, Alvin sudah melenggang meninggalkan keempat sahabatnya dan melangkah menuju tempat parkir
dengan hati yang berserakan. Untuk terakhir kalinya, ia menoleh ke
belakang dan mendapati Oik yang sedang tersenyum tak enak padanya.
“Kejar Alvin! Tenangin dia! Gue tau lo sayang sama dia!” suruh Oik pada Sivia.
Sivia masih diam di tempat, “Lo nunggu apa lagi? Gue udah putus sama Alvin! Kejar dia!” suruh Oik lagi. Sivia menoleh pada Oik dan memeluk
sahabatnya itu sekilas. Sivia pun berfiri dan melenggang mengejar Alvin.
“Alvin! Tunggu!” teriak Sivia.
Classmate (Part 26)
Shilla terkesiap seketika ketika menyadari Cakka mulai menggumam pelan. Cepat-cepat ia singkirkan tangannya dari tangan Cakka dan berpura-pura memainkan ponselnya. Cakka pun terbangun dan mengedarkan pandangannya.
Shilla menoleh padanya seraya tersenyum tipis, “Udah bangun, Cakk?” tanyanya.
“Hmm..” sahut Cakka malas-malasan, “Punya mata, kan, lo? Udah jelas-jelas gue udah bangun benini kok masih nanya aja” lanjutnya ketus.
Shilla mendumel dalam hati. Merutukki laki-laki di dekatnya ini, “Oh.. Mau pulang? Tuh, tas lo ada di meja situ” kata Shilla seraya mengedik kecil pada kedua tas di atas meja di dekatnya.
Cakka menoleh kaget pada tasnya dan tas Shilla yang tergeletak rapi di atas meja, “Tadi siapa yang nganterin?” tanyanya, beralih pada gadis di atas ranjang tersebut.
“Oik..” jawab Shilla enteng dan diam-diam menyunggingkan senyum kemenangannya.
Cakka mendengus kesal dan cepat-cepat bangkit dari duduknya, “Kenapa ga lo bangunin gue pas Oik ke sini?” tanyanya keras, ia melotot kesal pada Shilla dan segera mencengklak tasnya dan berlalu pergi dari hadapan Shilla.
Shila sendiri masih tertegun dengan pertanyaan Cakka tadi yang lebih pantas disebut bentakan, “Lo bisa ngebentak gue gara-gara cewek itu?! Ngebentak gue yang jelas-jelas sohib lo dari SD?! Ngebentak gue yang sayang sama lo?! Cuman gara-gara cewek macem Oik?! Ck!” Shilla menyertai kepergian Cakka dengan tersenyum tak percaya.
Tak lama, terdengar deru motor menjauh. Motor Cakka. Cakka benar-benar meninggalkannya tanpa mengingatkannya minum obat sebelumnya. Who cares, sih?! Lagi pula gue juga ga bener-bener sakit, kan?!
Tak lama kemudian, terdengar kembali deru motor. Bedanya, kali ini deru motor tersebut seakan mendekat. Shilla bisa menebak bahwa motor tersebut adalah motor Nova. Rupanya adiknya itu benar-benar melaksanakan permintaannya untuk tidak pulang dulu ke rumah sebelum Cakka keluar dari rumahnya.
“Kak Shilla!” panggil suara dari luar sana.
Shilla menoleh pada pintu kamarnya yang terayun membuka dan menampakkan gadis berkulit hitam manis, “Apa, Nov?” tanyanya.
“Gimana rencananya, kak?” tanya gadis hitam manis itu balik, Nova, adik Shilla.
Shilla tersenyum sinis, “Berhasil. Meskipun setelahnya Cakka ngejutekkin gue!” jawabnya.
“Terus, kapan kita ngelaksanain rencana kedua?” Nova kembali bertanya dari pintu kamar Shilla yang terbuka setengahnya.
Shilla mengangkat bahunya, “Ga tau. Lihat ntar aja. Gue bakalan ngabarin elo, kok. Mungkin nunggu Cakka ada jadwal belajar bareng sama siapapun itu” ujarnya.
Nova mengangguk samar dan kembali menutup pintu kamar kakaknya. Ia melangkah menuju kamarnya sendiri dan merebahkan tubuhnya di sana, ia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
^^^
Oik, Dea, dan Rio baru saja sampai di kediamannya. Cepat-cepat Rio memarkirkan mobilnya di garasi dan melangkah masuk ke dalam istananya dan mengikuti langkah Oik serta Dea. Ia kembali berdecak kesal ketika mengingat Oik yang keluar dari rumah Shilla dengan wajah memerah menahan tangis.
Rupanya kedua gadis tersebut memasukki kamar Oik. Rio pun ikut masuk ke dalam dengan diiringi tatapan bingung dari pembantunya, “Den Rio, Non Oik kenapa nangis?” tanya pembantunya peduli.
Rio hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Ga kenapa-kenapa, kok. Oh ya, bi, buatin tiga jus strawberry terus anterin ke kamar Oik, ya?” suruh Rio sopan yang dibalas dengan anggukkan dari pembantunya.
Rio melihat Oik yang masih menghapus sisa-sisa air matanya dengan tissue di sofa kamar gadis manis itu. Dea duduk di sampingnya sambil melotot kesal pada lantai di bawahnya. Ia membayangkan bahwa lantai tersebut adalah Shilla. Puaslah ia memelototi gadis semampai itu.
Rio berangsur menghampiri keduanya dan duduk di tepi ranjang Oik, “Lo kenapa, Ik? Kok pas keluar dari rumah Shilla langsung nangis begitu?” tanya Rio lembut.
Oik mendongakkan kepalanya menatap Rio, “Cakka jahat! Shilla apalagi!” serunya tertahan.
Dea menatapnya bingung, begitupula Rio, “Hah? Cakka jahat kenapa? Bukannya tadi pagi dia.....” ujar Dea menggantung seraya melirik Rio dari ekor matanya.
“Cakka ngapain tadi pagi?” sambar Rio langsung.
Akhirnya Dea pun menceritakan kejadian tadi pagi di lapangan basket tersebut kepada Rio. Rio mengangguk-angguk mengerti menanggapinya, “Terus, Ik? Cakka emang ngapain tadi sama Shilla?” tanya Rio lagi.
“Cakka megang tangan Shilla. Dia nungguin Shilla” jawab Oik, tangisnya kembali pecah.
“Hah? Megang tangan gimana? Sudi amat Cakka megang tangan tuh nenek sihir?” tanya Dea setengah melotot, kaget dengan penuturan Oik.
“Eh, maksud lo itu Shilla yang kena kanker rahim itu?” tanya Rio yang dijawab anggukkan kepala Dead an Oik, “Dasar, ya! Umur tinggal beberapa minggu aja masih bisa bikin kesel orang” dumel Rio gemas.
“Gue juga ga tau. Tadi gue cuman lihat kalau Cakka lagi tidur sambil megang tangannya Shilla. Ya abis itu gue langsung aja keluar dari tempat terkutuk itu” jelas Oik masih dengan sesenggukan.
Rio mengangguk mengerti, “Positive thinking aja. Kali aja itu emang Shilla yang nyuruh Cakka megang tangannya dan Cakka ga enak buat nolak” nasihat Rio bijak.
Oik mengangguk dan beralih pada Dea yang duduk di sampingnya, “Oh ya, bukannya tadi lo mau ngomong sama gue?” tagihnya, Dea mengangguk ingat.
“Ga, sih. Cuman mau nanya aja. Lo tau Sivia suka sama siapa?” tanya Dea mengambang.
Oik menggelengkan kepalanya, “Ga tau. Dia ga pernah cerita sama gue. Emang kenapa?”
Dea menelan ludah ngeri, “Bukannya gue berburuk sangka sama temen sebangku lo itu, cuman aja... Kayaknya, sih, dia suka sama Alvin” ujar Dea takut-takut.
Rio terbelalak kaget. Oik pun begitu, ia seakan tak percaya mendengar ‘racauan’ Dea, “Hah? Tau dari mana lo? Masa, sih? Kok dia ga pernah cerita sama gue?” tanyanya beruntun.
Dea mengangkat bahunya, “Ya man ague tau kenapa dia ga pernah cerita sama lo. Kayak, sih, dia ga enak mau cerita sama lo. Kan, lo udah jadian sama Alvin”
Oik menggeleng-geleng tak percaya, “Terus? Gue harus gimana?”
“Putusin aja Alvin! Toh, lo ga beneran sayang, kan, sama dia?” jawab Rio telak.
Oik melempar bantal sofanya pada Rio, “Gila lo! Masa kudu gue yang mutusin? Ga tega, ah, gue!” seru Oik keki.
“Yeh! Kalau mau nunggu lo jadi tega, juga, ga bakalan nyampai! Sekarang gue tanya, kapan lo bisa tega mutusin Alvin?” tanya Dea, Oik menggelengkan kepalanya, “Nah kan! Mending tega-tegaan aja!” serunya bersemangat.
“Iya, Ik. Apalagi, kan, minggu depan lo udah UNAS. Selesaiin sekarang aja. Ya minimal lo mutusin Alvin dulu” saran Rio, Oik hanya mengangkat bahunya bingung.
^^^
Sivia masih saja berguling-guling di ranjangnya dengan mata menerawang. Sesekali ia melihat bingkai foto di laci tempat tidurnya sambil memasang mimic berpikir keras. Bingkai foto yang menunjukkan dirinya dan Oik yang tersenyum senang dilatarbelakangi pemandangan pegunungan di Puncak.
“Aduh! Pusing gue! Makin rumit aja, sih! gara-gara gue, nih! Mana minggu depan gue udah UNAS! Gimana, dong?!” serunya sebal, “Masa gue suka sama Alvin, sih? Ga boleh!” lanjutnya.
Tiba-tiba ponselnya bergetar, menandakan ada sebuah pesan singkat yang masuk. Ia cepat-cepat membuka SMS tersebut yang rupanya dari Alvin.
Siv, ketemuan, yuk! Mau ga? Pengen cerita-cerita, nih, gue!
Sivia terbelalak kaget membaca SMS dari Alvin. Cepat-cepat ia ketikan balasan untuk menyetujuinya dengan menyebutkan salah satu nama mall di dekat rumahnya dan menyebutkan waktunya.
Selesai. Masih ada sekitar tiga puluh menit lagi untuk beberes dan berangkat menuju mall tersebut dan bertemu dengan Alvin di sana. Ia pun segera menuju kamar mandinya dan mandi dengan cepat.
^^^
Alvin cepat-cepat berganti pakaian, tanpa mandi terlebih dahulu, dan segera menaikki motornya menuju tempat yang Sivia sebutkan. Kebetulan, rumahnya terbilang jauh dengan mall tersebut. Rencananya, ia akan bertemu dengan Sivia di foodcourt mall tersebut.
Nah! Benar saja! Ia membutuhkan dua puluh menit untuk sampai di mall ini! coba kalau ia mandi terlebih dahulu, pasti ia akan terlambat. Tak enak jika harus menyuruh Sivia menunggu padahal ia yang mengajak bertemu.
Ia segera parkirkan motornya dan dan bergegas menuju foodcourt mall tersebut. Ia memincingkan matanya ketika melihat seorang gadis oriental berjalan tak jauh di depannya, “Sivia!” panggilnya.
Gadis oriental tadi pun menoleh dan tersenyum padanya, “Alvin!” balasnya.
Alvin mempercepat langkahnya dan berjalan beriringan dengan gadis oriental tadi, Sivia, “Mau duduk di mana?” tanya Alvin pada Sivia. Sivia menunjuk salah satu tempat yang dekat dengan keduanya kini. Mereka pun duduk di sana.
“Mau makan apa?” tanya Alvin lagi.
Sivia menggelengkan kepalanya, “Ga usah. Kalau ada froyo, gue froyo aja. Pakai topping Choco Chips” pesannya, Alvin mengangguk dan berlalu pergi.
Sivia menatap punggung Alvin yang menjauh tersebut dengan menopang dagu. Ia menghela napas berat dan tersenyum masam, “Lo mau cerita apa, sih? Pasti oik lagi!” gumamnya ngilu.
Beberapa menit kemudian, Alvin kembali dengan dua froyo di tangannya. Ia mengangsurkan satu yang ber-topping Choco Chips kepada Sivia dan menyimpan satu yang ber-topping kiwi untuknya sendiri.
Sivia menerimanya dengan senyum berterima kasih, “Jadi, mau cerita apa lo?” tanyanya sambil menyendokki froyo di tangannya.
Sekarang giliran Alvin yang menghela napas berat, “Gue mau minta saran lo dong. Soal..... Oik”
Sivia mengangguk mengerti, “Saran soal apa?” tanyanya lagi.
“Menurut lo, gue harus gimana? Kan, elo yang paling ngerti Oik” tandas Alvin.
Sivia Nampak berpikir sebentar, “Gini deh, menurut lo Oik itu sayangnya sama siapa?” tanya Sivia balik, Alvin mengerutkan keningnya pertanda ia sedang bingung.
“Cakka, mungkin” jawab Alvin mengambang.
“Kenapa lo bisa menyimpulkan begitu? Kenapa lo ga jawab kalau Oik sayangnya sama lo?” cecar Sivia sambil memandangnya tepat di manik matanya.
“Yak arena gue ngerasanya begitu” jawab Alvin enteng.
“Kalau lo ngerti, harusnya lo bisa nebak sendiri apa yang harus lo lakuin” ujar Sivia lembut.
“Mutusin Oik, maksud lo?” kaget Alvin. Sivia mengangguk pasrah, “Tapi gue sayang sama dia!”
“Mau gimana lagi, Vin? Cinta ga bisa dipaksa, kan? Mending lo putusin dia aja. Kayaknya dia sama tersiksanya sama lo. Selesaiin secepetnya, ya. Minggu depan, kan, kita udah UNAS. Jangan sampai hal-hal kayak gitu itu ngerusak konsentrasi lo sama Oik pas UNAS nanti” jelas Sivia.
“Ga tau, Siv. Kayaknya gue bakal pikir-pikir dulu” gumam Alvin.
“Pikir-pikir yang bener. Jangan egois dengan hanya mikirin perasaan lo sendiri. Minimal, lo mikirin perasaannya Oik, yang jelas-jelas terlibat langsung dalam ini. Lo ga perlu, kok, mikiran perasaannya siapapun itu. Termasuk Cakka. Cukup lo pikirin perasaan lo sama Oik nanti”
^^^
Cakka mendengus kesal sambil melirik beberapa kantong belanjaan di tangannya. Tadi, sepulangnya dari rumah Shilla, bundanya memintanya untuk membelikan beberapa barang di pusat perbelanjaan ini. Maklum, pembantunya sedang pulang kampung.
Ia pun berjalan dengan terseok-seok menuju parkiran. Belum juga ia berada di pintu keluar mall tersebut, matanya tak sengaja terantuk pada dua orang berbeda gender dengan wajah oriental sedang duduk berdua di foodcourt mall.
Cakka memincingkan matanya untuk meyakinkan bahwa ia begitu mengenal kedua sosok tersebut. Cakka menggeleng kaget ketika mendapati bahwa ia benar-benar mengenali keduanya. Alvin dan Sivia.
“Gue musti pulang dan cepet-cepet ngasih tau Oik soal ini!” gumamnya yakin.
Secepat kilat ia berjalan menuju parkiran dan mengendarai motornya menuju rumahnya. Di jalan, ia tak habis pikir dengan kedua sosok tadi. Berduaan di mall tanpa mengajak Oik, yang notabenenya adalah pacar Alvin? Ckck..
Begitu ia sampai di rumah, ia segera menyerahkan seluruh pesanan bundanya kepada beliau dan bergegas menuju kamarnya. Ia cepat-cepat merebahkan diri dan mengambil ponselnya lalu membuka aplikasi BlackBerry Messanger.
Cakka Nuraga: Oiiiiiikkk!!
Oik Ramadlani: Apaan, sih?!
Cakka Nuraga: Ketus banget? Lo lupa sama yang tadi pagi di lapangan basket?
Oik Ramadlani: Ga usah ngingetin gue soal itu, deh! Mau ngomong apa lo?
Cakka Nuraga: Tadi gue lihat Alvin sama Sivia berduaan di mall!
Oik Ramadlani: Hah? Ngapain?
Cakka Nuraga: Berduaan! Di foodcourt!
Oik Ramadlani: Jangan ngarang, deh, lo!
Cakka Nuraga: Swear, Ik! Makanya, putusin Alvin aja! Kan, ada gue :)
Oik Ramadlani: B-U-L-L-S-H-I-T