Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

WHEN IT COMES TO YOU [01]

ONE––THE FIRST MEET

            Oik turun dari boncengan motor Cakka dan membiarkan lelaki itu memarkirkan motornya bersama motor para penghuni asrama yang lain. Setelah mematikan mesinnya, Cakka mencabut kunci motor dan melenggang bersama Oik.
            “Jadi, besok kamu udah mulai nyusun skripsi?” tanya Oik dalam rangkulan Cakka.
            Cakka mengangguk dengan tersenyum lebar. “Iya. Jadi, maaf ya, kalau nanti aku jadi jarang nemenin kamu kemana-mana.”
            “Santai aja, lagi.” Oik mengedikkan bahunya. “Aku masih bisa kemana-mana sama Sivia, kok.”
            Cakka tertawa kemudian jemarinya mencubit hidung mungil Oik hingga gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Jadi,kamu ngeduain aku?” candanya.
            Keduanya melewati meja resepsionis asrama tanpa memedulikan Dea–karyawan universitas yang ditugaskan menjaga asrama putri. Dengan masih tertawa-tawa, keduanya menuju lift. Oik memencet tombol panah ke atas dan kembali lagi dalam pelukan Cakka.
            “Kamu kapan mulai nyusun skripsi juga?” tanya Cakka setelah tawa keduanya reda.
            “Aku kan masih semester enam, Cakka! Masih lama, ah.”
            Pintu lift terbuka, keduanya pun masuk. Setelah pintu lift kembali tertutup, Oik memencet angka empat–kamar Oik berada di lantai empat.
            “Dosen pembimbing kamu siapa?” tanya Oik balik.
            “Bu Dewi,” jawab Cakka sambil memutar bola matanya.
            “Ih, kok gitu?” Tak ayal, Oik tertawa melihat ekspresi Cakka barusan. “Bu Dewi kan, baik. Asyik, kok. Paling nggak kan, Bu Dewi nggak kayak Pak Abdul. Pak Abdul perfeksionisnya nggak ketulungan!”
            “Iya, tapi sama aja, Ik! Bu Dewi tuh, cerewet.”
            Pintu lift terbuka di lantai empat. Oik memilih untuk tidak menanggapi gerutuan Cakka tadi dan bergerak keluar dari lift. Ia mencegah Cakka yang berniat akan keluar dari lift juga.
            “Udah, sampai sini aja. Kamu balik ke kost, gih. Udah sore.” Oik mendorong tubuh Cakka agar masuk ke dalam lift.
            “Yakin nggak mau dianter sampai depan kamar?” goda Cakka sambil menaik-turunkan alisnya.
            “Nggak!” tolak Oik tegas. “Ntar kamu malah nggak pulang-pulang dan betah di kamar aku. Udah, sana. Cepet balik!” Oik mengibas-ngibaskan tangannya–mengusir Cakka.
            Cakka meletakkan kedua tangannya tepat di pintu lift sehingga pintu tersebut tidak bias tertutup karena terhalangi olehnya. Cakka memajukan kepalanya sedikit dan mencium sekilas bibir Oik.
            “Bye!” pamit Cakka.
            Pintu lift tertutup, menelan bayangan Cakka dari pandangan Oik. Gadis itu masih berdiri di tempat dengan senyum dikulum tipis.
            Setelah beberapa detik, Oik hanya menggelengkan kepalanya karena tingkah Cakka barusan. Lalu, ia berbalik badan dan menyusuri koridor asrama hingga ia sampai di kamarnya. Oik membuka tasnya untuk mengambil kunci. Kemudian, ia memasukkan kunci dan merasakan ada yang aneh.
            “Kok nggak kekunci?” gumamnya bingung seraya memasukkan kembali kunci kamarnya ke dalam tas.
            Oik perlahan membuka pintu kamarnya dan mendapati lampu kamar telah menyala. Seingatnya, ia sudah mematikan lampu ketika meninggalkan kamar untuk kuliah siang tadi. Oik menggeleng bingung.
            “Hey!” sebuah suara mengagetkannya.
            Oik menoleh ke bagian kiri kamar yang sudah satu semester ini kosong–Angel, penghuni aslinya telah lulus semester lalu. Ia mendapati seorang gadis tengah duduk di atas ranjang berukuran single tersebut. Juga, banyak kardus–berisi entah apa–yang berceceran di seluruh penjuru kamar.
            Oik kemudian menutup pintu kamar dengan dahi mengerenyit. “Kamu siapa?”
            “Aku Shilla,” ujar gadis itu dengan tersenyum lebar. Kemudian, ia kembali memilah-milah barang pada salah satu kardusnya.
            Oik mengangguk mengerti. Ia melemparkan begitu saja tasnya kearah ranjangnya–yang berada di sisi kanan kamar. “Kamu temen sekamarku yang baru?” tanya Oik lagi.
            “Iya.” Shilla mengangguk. “Kamu udah berapa lama nempatin kamar ini sendirian?”
            “Sekitar satu semester.” Jawab Oik dari balik pintu kulkas mini yang terletak di pojok kamar. Begitu ia menemukan sebotol air mineral dingin, ia menutup pintu kulkas dan duduk bersila di ranjangnya. “Kamu mahasiswi baru atau transfer kuliah, Shil?”
            “Transfer. Aku pindahan dari Semarang. Sekarang udah semester enam.”
            “Oh, sama. Aku juga semester enam. Ambil apa, emang?” Oik kembali bersuara setelah menandaskan air mineralnya.
            “Psikologi. Kalau kamu? Oh ya, nama kamu siapa?” Shilla bangkit dengan menenteng kardusnya. Kemudian ia mulai menata buku-buku dalam kardus tersebut di meja belajarnya.
            “Aku Oik. Aku ambil ilmu komunikasi.” Oik kemudian merebahkan tubuhnya. “Kok Mbak Dea nggak bilang ke aku ya, kalau aku udah dapet temen sekamar lagi?” gumamnya.

**

            Oik baru terbangun beberapa jam kemudian ketika matahari telah tergantikan oleh rembulan. Dengan masih mengumpulkan nyawa, ia bergerak untuk duduk dan menyandarkan punggungnya pada tembok. Ia menemukan Shilla tengah berdiri di dekat jendela sambil meminum sebotol minuman isotonik.
            “Udah selesai beres-beres, Shil?” tanya Oik dengan suara parau khas bangun tidur.
            Shilla mengedik kearahnya dan tersenyum kecil. “Belum, Ik. Masih ada dua kardus lagi yang belum aku bongkar.”
            Oik mengangguk mengerti. Ia kemudian menengok pada jam dinding diatas pintu kamar. “Udah jam delapan malem?!” pekiknya kaget.
            Shilla mengangguk seraya cekikikan melihat reaksi kaget Oik. “Iya. Kenapa?”
            “Aku belum makan malem, Shil.” Oik pun bangkit dari ranjangnya. Ia menyambar sebuah cardigan yang berada di gantungan baju kemudian mengambil dompetnya. “Kamu udah makan, Shil?”
            “Nope. Aku nggak laper.” Shilla menjawab pendek.
            “Nanti kamu sakit, tau! Udah, ah. Yuk, ikut aku cari makan.” Oik menarik lengan Shilla kemudian keduanya bergegas berjalan keluar dari kamar.
            Oik tak memedulikan Shilla yang meronta–enggan ia ajak keluar. Gadis itu berdalih ia tidak lapar dan sebagainya. Oik hanya mendengarkan ocehannya sambil lalu. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri.
            Begitu lift berhenti di lantai dasar, keduanya segera menyeret kaki meninggalkan bangunan asrama. Lobby pun telah sepi. Entah kemana perginya Dea yang seharusnya berjaga di meja resepsionis.
            Oik mengeratkan cardigan-nya begitu menyadari udara malam lebih dingin ketimbang ekspektasinya. Ia menengok pada Shilla yang memasang wajah datar-datar saja walaupun gadis itu hanya mengenakan kaus tipis berlengan pendek.
            “Kamu mau makan apa, Ik?” tanya Shilla.
            Oik melihat di kanan dan kirinya banyak sekali warung-warung kecil juga kafe dan restoran cepat saji yang tampak ramai. Oik menggeleng bingung. “Pada rame semua, Shil.”
            Shilla tampak bergumam dan berpikir. “Masakan padang, gimana? Kayaknya sepi, tuh.” Shilla mengedik pada sebuah warung masakan padang di seberang jalan yang lebih lengang daripada warung-warung lainnya.
            Oik mengangguk samar. Setelah itu, keduanya menyebrang jalan raya dan berjalan memasuki warung masakan padang yang dimaksud Shilla. Keduanya duduk pada meja di dekat pintu.
            Oik meninggalkan Shilla sesaat untuk memesan makanan dan kembali beberapa menit kemudian dengan sepiring masakan padang serta segelas es jeruk. Oik duduk di hadapan Shilla dan menyeruput es jeruknya sedikit.
            “Nggak makan juga, Shil?” tanya Oik.
            Shilla menggeleng kecil.
            “Kenapa? Lagi diet?” tanya Oik lagi setelah menelan suapan pertamanya.
            Shilla tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk dan mengalihkan pandangannya dari Oik. “Iya. Berat badan aku nambah lima kilo. Ini lagi usaha mau nurunin. Jadi nggak bisa sembarangan makan.”
            “Kamu besok ada kuliah?” Oik bertanya kembali.
            “Iya,” Shilla mengangguk. “Tapi cuman satu mata kuliah aja. Kamu sendiri?”
            “Besok ada kuis, sih. Tapi aku males banget buka buku buat belajar. Ntaran aja, deh.” Oik meringis menyadari betapa malasnya ia.
            Shilla tertawa. “Belajar gih, ntar kalau udah sampai asrama. Sayang kalau nggak belajar.”
            Oik kembali meringis. “Oh, ya. Besok aku mau ketemuan sama temen aku. Namanya Sivia. Ikut, yuk? Di kantin kampus, kok. Gimana?” ajak Oik bersemangat.
            Shilla mengerjapkan matanya beberapa kali. “Aduh, gimana ya? Aku besok mau ngurus administrasi sama yang lain-lainnya, sih. Lain kali aja, ya? Aku salam aja buat temen kamu itu. Siapa?”
            “Sivia.”
            “Iya. Salamin aja buat Sivia.” Shilla tersenyum meminta maaf.
            “Oke,” Oik tersenyum lebar. “Kapan-kapan aku juga bakalan ajak kamu keliling Jogja. Jogja kota istimewa, loh. Sayang kalau kamu datengnya ke Malioboro doang.”
            Beberapa menit kemudian, Oik telah selesai makan. Keduanya pun bangkit kemudian melenggang keluar warung setelah Oik membayar. Mereka berjalan santai sambil menikmati semilir angin malam yang membelai.
            “Kamu udah punya pacar, Ik?” tanya Shilla tiba-tiba.
            “Udah,” Oik mengangguk dan tersenyum malu-malu. “Namanya Cakka. Tuh, dia kost di sebelah warung masakan padang tadi.”
            “Kok nggak mampir sekalian tadi?” tanya Shilla bingung.
            Oik tertawa. “Nggak, ah. Itu kost khusus cowok. Ini kan, udah malem. Nggak pantes kalau cewek berkunjung ke kost cowok-cowok malem-malem gini.”
            Ada jeda sejenak sebelum Oik memutuskan untuk bertanya pada Shilla. “Kamu sendiri, udah punya cowok?”
            “Nggak,” Shilla menggeleng.
            “Serius?!” Oik tampak kaget. “Nggak mungkin ah, cewek secantik kamu nggak punya pacar. Oh, atau kalian lagi break? Cowok kamu itu orang Semarang?” cerocos Oik.
            “Serius, Ik.” Shilla tertawa jengah melihat reaksi Oik. “Aku lagi nggak punya pacar. Lagi mau fokus kuliah aja. Nanti kalau udah sukses jadi psikolog, baru aku mikirin hal-hal lain.”

**

            Keesokan paginya, Oik terbangun karena deringan ponsel. Dengan mata yang masih terpejam, Oik meraba-raba nakas yang berada di samping ranjangnya dan mengambil ponselnya. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Oik mengangkatnya.
            “Sayang?”
            “Eh?” Oik langsung membuka matanya begitu sadar Cakka yang menelepon. “Iya, Kka.”
            Cakka tertawa renyah diujung sana. Laki-laki itu sangat suka mendengar suara parau Oik ketika gadis itu baru saja bangun tidur. “Kamu ada kuliah pagi, kan? Ayo, cepet mandi. Lima belas menit lagi aku jemput, ya.”
            “Hah?” Oik tergagap. “Bentar, Sayang. Ini bener-bener baru bangun. Setengah jam lagi aja, ya? Aku juga belum sarapan.”
            Cakka kembali tertawa ketika mendengar bunyi barang-barang jatuh serta pekikan Oik. “Iya. Oke. Setengah jam lagi, ya? Kamu nggak usah sarapan. Nanti kita sarapan bareng aja di kantin kampus.”
            “Oke! Bye, Kka.”
            “Bye, Ik.”
            Begitu sambungan telepon terputus, Oik mengumpat kecil karena jari-jari kakinya tertumbuk nakas. Ia segera meletakkan ponselnya diatas nakas dan mengambil handuk di jemuran kecil di dekat jendela dan berlari menuju pintu.
            Sebelumnya, ia menengok pada ranjang Shilla yang telah rapi. Ada sebuah post note di pintu–yang sepertinya tulisan Shilla. Oik membacanya sekilas.

Aku ada kuliah pagi-pagi banget.
Aku nggak tega mau bangunin kamu setelah semalem kamu belajar mati-matian.
––Shilla
PS: ada roti tawar di kulkas, kamu makan aja:-)

            Oik mengedik kemudian keluar dari kamarnya dan berlari menuju kamar mandi di ujung lorong. Ada delapan kamar mandi di lantai ini dan seluruhnya kosong. Kesimpulannya: Oik benar-benar terlambat bangun hari ini!
            Tepat dua puluh menit kemudian, Oik keluar dari kamarnya dengan setelah rapi. Ia menggigit roti tawarnya dan mengunci kamar dengan cepat. Kemudian, ia memasukkan kuncinya kembali ke dalam tas.
            Begitu ia berbalik, ia menemukan Cakka telah berdiri di hadapannya.
            “Good morning.” Cakka mendaratkan ciumannya di hidung Oik hingga gadis itu tersenyum geli.
            Oik menggenggam roti tawarnya dan tersenyum lebar. “Selamat pagi, Sayang.”
            “Ayo,” Cakka membungkukkan badannya membelakangi Oik.
            “Ya?” tanya Oik bingung sambil mengunyah gigitan terakhir roti tawarnya.
            “Ayo naik,” perintah Cakka.
            Kemudian, dengan senang hati Oik naik ke punggung Cakka. Keduanya tertawa. Cakka pun bangkit dan mulai berjalan menuju lift. Oik menenggelamkan wajahnya dalam-dalam pada leher Cakka. Mencium aroma musk yang menguar dari leher laki-laki itu.
            “Kka, nanti aku mau ngenalin kamu ke Shilla.”
            “Shilla siapa?” tanya Cakka sambil memencet tombol LG pada panel lift.
            “Temen sekamar aku yang baru. Penggantinya Mbak Angel.” Oik mulai berceloteh begitu pintu lift tertutup.
            Ia tidak sadar bahwa Cakka kini tengah memandanginya dengan teduh. Dengan gemas, laki-laki itu kembali menciumnya. Kali ini dibibir. Oik tertawa kecil disela-sela ciuman mereka. Mereka baru berhenti ketika pintu lift kembali terbuka.

**

            Sivia tengah membolak-balik halaman bukunya ketika Oik dan Cakka menghampirinya. Keduanya lalu duduk di hadapan Sivia. Sebelumnya, Oik telah mendaratkan ciuman di pipi kanan dan kirinya.
            “Lagi baca apa, Siv?” tanya Oik.
            Sivia memandang Oik dengan alis terangkat. “Nanti ada kuis. Inget?”
            “Oh,” Oik mengangguk paham.
            “Kamu nggak belajar?” selidik Sivia.
            “Udah,” jawab Oik tak acuh. “Tadi malem aku udah belajar.” Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada Cakka yang kini tengah asyik memain-mainkan rambutnya.
            “Serius? Kamu udah belajar? Tumben banget!” Sivia masih belum pulih dari kekagetannya mendapati fakta bahwa Oik telah belajar. Pasalnya, sahabatnya yang satu itu memang susah sekali disuruh untuk belajar.
            “Tadi malem Shilla maksa-maksa aku buat belajar.” Oik mengedikkan bahunya dan beralih pada Cakka. “Kamu nggak jadi sarapan, Kka?”
            “Tunggu, tunggu. Shilla siapa?” tanya Sivia penasaran.
            Oik–yang belum mendapatkan jawaban dari Cakka–langsung menengok pada Sivia. “Temen sekamar aku yang baru. Ntar aku kenalin ke kamu, deh. Dia ada kuliah pagi-pagi banget, soalnya.”
            “Mahasiswi fakultas mana dia?” tanya Sivia lagi.
            “Psikologi,” jawab Oik pendek. Ia kemudian menengok pada jam tangannya. “Siv, udah hampir jam sebelas! Ke kelas, yuk?”
            Sivia segera membereskan buku-bukunya yang berserakan lalu ikut bangkit bersama Oik.
            Oik mencium pipi Cakka kemudian berlalu bersama Sivia setelah sebelumnya berpamitan pada Cakka. “Aku kuliah dulu, Sayang.”
            Sivia menggerutu dan segera menarik lengan Oik menjauhi Cakka. “Kamu tega bikin aku jadi kambing congek terus-terusan, Ik?”
            Oik tidak menghiraukan dumelan Sivia dan menengok ke belakang–kearah Cakka. Laki-laki itu rupanya sedang kiss bye padanya sambil mengedipkan sebelah mata–bermaksud menggoda Oik. Oik menggeleng-gelengkan kepalanya dan kembali menghadap depan sambil tertawa cekikikan.

            “Cakka genit!”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar