“Kacau! Kacau! Kacau!” desahnya
sebal.
Gadis itu tampak menambah laju
kecepatan motornya. Ia meliuk-liukkan motornya diantara padatnya jalanan Senin
pagi itu. Ia tidak peduli jika ditilang polisi atau sebagainya. Yang terpenting
adalah ia tidak datang terlambat di sekolah. Titik.
Tak sampai lima menit kemudian, ia
membelokkan motornya menuju sebuah gedung sekolah yang terletak disalah satu
jalan paling populer di kota itu. Sekolahnya. Dengan menghembuskan napas lega,
ia memarkirkan motornya.
“Oik!” Sebuah suara menyapanya,
berbarengan dengan tepukan yang lumayan kencang pada bahunya, dan disusul
dengan tepukan-tepukan kecil didahinya.
Gadis itu–yang merasa namanya
disebut–segera merapikan rambutnya dan mendongak. Wajahnya berubah masam begitu
mengetahui siapa yang menyapanya.
“Cakka! Bawel banget, sih, lo?!
Pagi-pagi udah bikin kaget aja! Lo emang orang paling ngeselin sedunia! Nggak
peduli lo itu temen gue dari kelas sepuluh awal-awal dan sekarang kita udah
kelas sebelas! Nggak peduli! Elo emang moodbreaker
sejati gue!”
Cakka–lelaki itu–hanya terkekeh
mendengar kicauan Oik pagi itu. Dengan masih terkekeh pelan, ia menarik Oik
untuk berlalu dari lapangan parkir.
“Lo udah lihat pembagian kelasnya?”
tanya Cakka. Perkataannya otomatis menghentikan Oik yang masih berkicau
panjang-lebar mengenai insiden kecil yang membuatnya nyaris terlambat pagi itu.
“Hah?! Lo nggak dengerin gue dari
tadi? Cukup tahu, Kka, elo emang ngeselin banget! Padahal gue lagi curhat
tadi!!!” Oik memanyunkan bibirnya dan segera meninggalkan Cakka yang masih
terbengong di koridor.
Oik bergerak menuju kerumunan yang
sudah mulai sepi di ujung koridor. Dengan lihainya, gadis mungil itu menyeruak
diantara kerumunan siswa-siswi yang masih tersisa. Benar dugaannya, pembagian
kelas telah diumumkan. Oik meneliti satu-persatu daftar nama yang dikelompokkan
sesuai kelas masing-masing, mencari namanya.
“Sebelas IPA tiga...” gumamnya,
“Agni Tri Nubuwati, Alyssa Saufika Umari....” Telunjuk mungilnya bergerak ke
bawah, meneliti apakah namanya tercantum sebagai siswa di kelas 11 IPA 3. “Larissa
Safanah Arif, Oik Cahya Ramadlani!”
Bola matanya tampak berbinar begitu
mengetahui ia sekelas dengan Acha. Namun, sesuatu seperti menyuruhnya untuk
berhenti bersenang-senang karena... “Gue sekelas sama Cakka? AAAAAAA!!!!!!”
Dengan wajah masam, Oik menyeruak
keluar dari kerumunan itu. Tepat saat itu juga, bel masuk berbunyi. Gadis itu
kembali bertemu dengan Cakka yang kini tengah berjalan selambat siput di
sampingnya.
“Gue sekelas sama elo. Gila, gue bete
banget. Gue bisa bayangin sekacau apa hari-hari gue setahun kedepan gara-gara
elo!” cerocos Oik tanpa melirik sedikit pun lelaki di sampingnya.
“Di kelas mana?” tanya Cakka, tanpa
menghiraukan protes kecil dari Oik.
“IPA tiga.” Oik menjawab singkat.
Keduanya pun segera memasuki kelas
baru mereka. Oik mendesah sebal begitu mengetahui kelas sudah ramai. Itu
berarti ia tidak dapat memilih bangku dan hanya bisa menduduki bangku yang
tersisa.
“Betein banget. Sumpah. Gue nggak
suka.” Oik terus-terusan berceloteh sebal sembari mencari-cari bangku yang
masih kosong.
Matanya menangkap dua buah bangku
kosong yang terletak di dekat jendela. Sebuah bangku yang berada di samping
seorang gadis berambut panjang terurai dan satu lagi yang berada di samping
Riko.
“Shilla! Gue duduk sama lo, ya! Oke,
makasih.” Oik segera duduk dibangku barunya tanpa mengacuhkan gadis berambut
panjang terurai yang hanya mampu memandangnya dengan senyum tipis itu.
Oik menyandarkan punggungnya dan
mengatur napasnya yang masih memburu. Ia membalikkan badannya dan mendapati
Shilla sedang asyik mengobrol bersama Angel dan Sivia.
“Hay!” Sapa Oik riang pada ketiga
gadis hip itu. Dari sudut matanya,
Oik dapat melihat Cakka yang kini duduk di samping Riko.
Angel dan Sivia hanya menaikkan salah
satu alisnya menanggapi sapaan Oik. Keduanya pun lalu membicarakan
entah-tentang-apa dengan Shilla. Oik terbengong-bengong mendengar obrolan
mereka mengenai dress, make-up, high heels, dsb.
“Gue nggak nyangka bisa sekelas sama
Cakka.” Shilla melirik lelaki itu yang kini tengah duduk di belakang Angel dan Sivia.
Sivia tersenyum tipis. “Nggak
apa-apa, kali, Shill. Enak, kan?”
“Ngaco lo! Kami udah putus, Siv!”
Shilla diam-diam menginjak kaki Sivia hingga gadis itu meringis seraya
menangkupkan kedua tangannya didepan dada–meminta maaf.
Oik tertawa. Ia mengalihkan
pandangannya dan menemukan Acha yang duduk berseberangan bangku dengan Cakka.
Setelah berpamitan pada ketiga gadis hip
itu, Oik bergegas menghampiri Acha yang duduk sebangku dengan Keke.
“Achaaaaaaaaa!!!” teriak Oik kencang
ditelinga gadis berwajah imut itu.
Acha–yang sedang membaca majalah–kontan
kaget dan menimpuk Oik dengan majalah yang tadinya ia baca. “Oik! Selalu aja
bikin kaget!”
Oik terkekeh melihat wajah sebal Acha.
“Masih kayak anak kecil aja, sih,
sukanya ngagetin orang!” omel Acha.
Entah kenapa, Oik mendadak tidak
fokus dengan perkataan Acha. Sesuatu menyuruhnya untuk melirik laki-laki di
belakangnya. Cakka. Begitu ia melirik Cakka, ia mendapati lelaki itu tengah
memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Ik! Lo dengerin gue nggak, sih?!”
jerit Acha sebal.
Oik terkesiap. Ia tersenyum kikuk
pada Acha. “Eh, Cha.. Apa? Lo tadi ngomong apa?”
**
Jam sudah menunjukkan pukul empat
sore tetapi keenam gadis itu masih asyik mengobrol di kantin. Mereka tak
menghiraukan beberapa buku yang terbuka dan bungkus makanan ringan yang
berserakan diatas meja.
Oik kembali melirik jam tangannya
dan bergegas merapikan barang-barang miliknya. “Udah sore, nih. Gue balik
duluan, ya!”
Setelah mendapat anggukan dari Acha,
Keke, Shilla, Angel, dan Sivia, Oik segera berlalu dari kantin. Ketika ia
melewati lapangan basket sekolah, ia melihat segerombolan anak laki-laki
bermandikan peluh yang masih asyik bertanding.
Dengan tak menghiraukan mereka, Oik
kembali melangkah menuju lapangan parkir. Ini hari Senin dan jam baru
menunjukkan pukul empat sore tetapi ia sudah memutuskan untuk pulang. Ia tidak
peduli jika ia harus kembali sendirian di rumah. Badannya sudah seperti remuk
karena terlalu lelah beraktivitas seharian ini.
**
Lelaki itu baru saja memasukkan bola
kedalam ring. Ia berseru senang karena timnya baru saja memenangkan
pertandingan kecil-kecilan itu. Ia mengusap peluh yang bercucuran dari dahinya
dengan sembarangan.
Ia mengalihkan pandangannya ke
koridor yang telah sepi. Hanya ada seorang gadis yang berjalan sendirian dengan
kepala tertunduk.
Tunggu. Sepertinya ia mengenali
siluet itu.
“Gue balik, guys!”
Dengan asal-asalan, ia memakai
kembali seragamnya–tidak peduli dengan kaos putih polos yang bermandikan peluh
itu. Tanpa menunggu balasan dari teman-temannya, ia mengambil tas abu-abunya
dan berlari di sepanjang koridor.
Napasnya masih memburu karena baru
saja selesai bermain basket dan juga upayanya berlari untuk mengejar siluet
yang ia kenali. Ia menghentikan larinya dan hanya berjalan cepat ketika ia
mendapati siluet itu yang kini berjarak beberapa meter di depannya.
Ia tersenyum mendengar nyanyian
samar-samar yang keluar dari bibirnya. Ia pun memutuskan untuk mensejajarkan
langkahnya dengan langkah gadis itu.
“Oik!” sapanya riang.
Gadis itu menengok padanya tanpa
menghentikan nyanyian kecilnya. Cakka menyadari Oik kini tengah memajukan
bibirnya beberapa senti, pertanda gadis mungil itu tengah ngambek.
“Hey, kamu... kenapa?” tanya Cakka
heran.
“Elo betein banget!!!” Oik
memukul-mukul lengan Cakka hingga lelaki itu mengaduh kesakitan.
Cakka memandang Oik bingung. Hey,
tunggu. Apa? ‘Kamu’? Cakka tercenung. Tangannya membeku ketika ia berusaha
menghentikan serangan dari Oik.
“Tuh, kan! Elo betein, Cakka!!!”
rengek Oik lagi.
Cakka terkesiap. “Gue kenapa?” tanya
Cakka dengan sedikit tergagap.
“Jangan kira gue nggak peka, ya! Gue
sadar elo tadi natap gue tajem banget. Berasa elo mau ngebunuh gue, tahu
nggak?!” sentak Oik. Gadis itu langsung melepaskan tangan Cakka dari tangannya
dan berjalan menjauhi Cakka.
Cakka terdiam untuk beberapa detik
dan segera menyusul gadis mungil itu. “Oik! Ik! Tunggu!”
Cakka berhasil meraih tangan Oik dan
menyuruhnya untuk tidak berjalan terlebih dahulu. Lelaki itu menghela napasnya.
“Gue nggak suka lo ngungkit-ngungkit soal Shilla. Maaf.”
“Kenapa?” tanya Oik heran.
“Karena gue sama dia udah putus,
Oik!! Gue nggak suka ada yang sebut-sebut soal Shilla di depan gue. Gue nggak
mau ngasih kesan seakan-akan gue masih sayang dan mau balikan sama dia.”
**
Pagi itu, Oik baru saja memarkirkan
motornya. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati motor Cakka terparkir tak
jauh dari miliknya. Itu berarti, Cakka juga baru saja datang. Oik cepat-cepat
membenahi rambutnya dan berlari-lari kecil meninggalkan lapangan parkir,
menyusul Cakka.
“Cakka!” sentak Oik begitu ia melihat
Cakka tengah berjalan sendirian di koridor.
Lelaki itu menengok ke belakang dan
tersenyum ketika mendapati Oik tengah memamerkan cengiran lucunya. “Ngagetin
aja sih, lo!”
Oik memutar bola matanya keki begitu
melihat ekspresi menyebalkan Cakka. Dengan gemas, lelaki itu mengucek pelan
puncak kepala Oik hingga membuat gadis mungil itu membeku.
“Eh, Kka,” Oik terkesiap. “Tugas
matematika yang kemarin itu dikumpulin kapan?”
“Hari ini,” jawab Cakka santai.
“Mati gue!!” pekik Oik. “Gue belum
ngerjain, Kka!”
Oik pun menggamit lengan Cakka dan
menarik lelaki itu agar lebih cepat berjalan. Pasalnya, matematika adalah mata
pelajaran pertama yang akan mereka dapat hari ini. Otomatis, sebelum bel
berbunyi, Oik sudah harus menyelesaikan soal-soal mengenai bab peluang itu.
Begitu sampai didepan kelas, Oik
segera melepas gamitannya pada lengan Cakka dan terburu-buru masuk–meninggalkan
Cakka yang mendesah kecewa diambang pintu kelas.
“Shilla, gue––,”
Belum sempat Oik menyelesaikan
kalimatnya, teman sebangkunya itu telah sukses menarik Oik untuk duduk dan
memasangkan sebuah headset ditelinga
kiri Oik.
“Ik, lo harus dengerin lagu ini! Ini
lagu keren banget. Sumpah!!” celoteh Shilla.
“Shilla, gue mau nyontek tugas
matematika elo!! Bukan mau dengerin lagu bareng!” seru Oik keki. Tangannya
hendak melepas headset itu tetapi
dicegah oleh sang empunya.
“No!
No! No!” Shilla menggeleng tegas. “Gue nggak akan minjemin elo tugas
matematika gue kalau lo belum dengerin lagu ini!”
Oik mengangguk pasrah seraya
mengeliarkan buku tugas matematikanya. Perlahan, musik sendu mulai memenuhi
telinga kirinya. Diikuti barisan lirik dari lagu bernuansa mellow itu. Oik
memutar bola matanya malas.
“Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan
tentang dia. Hapuskan memoriku tentangnya...” Shilla menyanyi riang mengikuti
alunan suara Momo–sang vokalis Geisha.
Oik terdiam sejenak. Ia melirik
Shilla. “Lo belum bisa move on dari
Cakka, Shil?”
**
Oik mengela napas, lelah. Ia baru
saja selesai menyalin catatan matematika yang masih tertulis dipapan tulis. Ia
menutup buku catatannya, meletakkan bolpoin, dan meregangkan tangannya. Ia
menguap lebar. Ia butuh kopi.
“Shill..” Oik melirik ke sampingnya
dan baru saja ingat bahwa Shilla tengah pergi-entah-kemana-bersama-Sivia.
Oik pun menengok ke belakang dan mendapati
Angel yang sedang memakan bekalnya. Ia tak enak jika mengajak gadis itu. Ia belum
akrab betul dengan Angel.
Oik keluar dari kelasnya. Begitu ia
akan menutup kembali pintunya, seseorang menahannya dari dalam. Oik menengok
dan mendapati Cakka yang kini sudah berada disampingnya.
“Mau kemana?” tanya Cakka seraya
melirik Oik.
“Koprasi, mau beli kopi. Lo mau
kemana?” tanya Oik balik. Kini keduanya tengah berjalan beriringan di koridor
sekolah, menuju koprasi yang terletak tak jauh dari kelas.
Cakka hanya mengangkat bahunya.
“Nganterin lo aja.”
Oik mendecakkan lidah begitu
keduanya sampai di depan koprasi. Koprasi sedang ramai-ramainya. Dengan
terpaksa–karena malas menuju kantin hanya untuk membeli sekotak kopi instan–Oik
masuk.
Rupanya suasana didalam lebih ramai
lagi. Oik terdesak sampai ke pintu. Beruntung, Cakka berada di belakangnya
sehingga punggungnya tidak menghantam pintu jika ia terdorong ke belakang
karena ramainya koprasi pagi itu.
“Lo mau beli apa, Kka?” tanya Oik
begitu ia telah mendapat kopi yang ia maksud.
Cakka hanya menggeleng dan
tersenyum.
Tepat saat itu, pintu koprasi
terbuka dari luar dengan keras. Otomatis, daun pintu itu kembali menghantam
punggung Cakka hingga lelaki itu meringis kesakitan. Oik terpekik dan segera
menarik lengan Cakka keluar.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Oik cemas.
Jemarinya menyusuri punggung Cakka, meneliti apakah ada yang luka.
Lagi-lagi, Cakka menggeleng. “Nggak
usah khawatir, kali. Gue baik-baik aja.” Cakka tersenyum dan kembali mengucek
puncak kepala Oik.
**
Oik patut bernapas lega karena hari
ini Pak Dave–guru Fisika–tidak dapat datang mengajar. Karena itu, Oik dapat
beristirahat sejenak. Setelah istirahat pertama tadi, kelas Oik sudah dicekoki
pelajaran Kimia. Dan kini, saatnya mengistirahatkan otak kembali.
“Oik, temenin gue ke toilet!” suara
cempreng Acha membuyarkan lamunan Oik.
Oik mengerjap dan menatap keluar
melalui jendela. “Hujan, Cha. Males ah, gue!”
Acha memanyunkan bibirnya, membuat
Oik gemas sekaligus sebal. Akhirnya, dengan ditarik Acha, Oik menemani gadis
itu ke toilet. Dengan setengah menyeret Oik, Acha berkomentar panjang-lebar
mengenai derasnya hujan sang itu.
Setelah beberapa menit menunggu,
akhirnya Acha keluar dari dalam bilik toilet. Keduanya pun melangkah keluar.
Koridor sudah mulai banjir karena air hujan. Oik berjalan berhati-hati di
belakang Acha. Sedang kan gadis tirus itu berlari kecil-kecil seperti tak takut
akan terpeleset.
“Acha, pelan-pelan! Gue yakin elo
pasti nggak mau ngerasain yang namanya kepeleset, deh.” Oik menggelengkan
kepalanya melihat Acha yang tak menghiraukannya dan terus berlari-lari kecil.
Oik terus melihat kebawah, mengawasi
langkah kakinya agar tidak terpeleset. Baru saja beberapa langkah berjalan
setelah meneriaki Acha tadi, sepasang sepatu berwarna hitam pekat menghalangi
langkahnya. Dengan sebal, Oik mendongakkan kepala.
“CAKKAAAAA!!!!” seru Oik sebal.
Yang merasa namanya diteriaki pun
hanya tersenyum-senyum tak peduli, membuat Oik menahan napasnya. Apalagi
mengingat jarak antara keduanya yang tak sampai setengah meter. Oik menelan
ludahnya. Dengan jarak sedekat ini, ia mampu mencium harum parfum yang lelaki
itu pakai.
Menyadari ia terlalu memandang bola
mata Cakka, Oik segera mengalihkan pandangannya. “Elo ngeselin banget!”
pekiknya.
Cakka tersenyum miring, tanpa
mengalihkan pandangannya dari gadis mungil di hadapannya. Lelaki itu pun hanya
mengucek sekilas puncak kepala Oik dan berlalu, meninggalkan gadis itu yang
terpaku sendirian.
Tanpa keduanya sadari, seorang gadis
tengah menatap mereka dengan mata yang menyorotkan kebingunan akan kedekatan
keduanya.
**
Oik menimang-nimang bukunya dengan
bingung. Oik tidak akan mengumpulkan tugas itu sebelum ia yakin bahwa gambar
perspektifnya benar. Sang guru telah berkoar-koar semenjak beberapa menit yang
lalu agar seluruh siswa mengumpulkannya dimeja guru.
Oik berjalan kearah meja guru dengan
meneliti kembali perspektifnya. Kebetulan, ada Cakka yang tengah berdiri
didekat meja guru. Dengan riang, Oik menghampiri lelaki jangkung itu dan
menunjukkan perspektif miliknya.
“Gini nggak sih, Kka?” tanya Oik,
matanya memandang lekat goresan tangannya dibuku.
Cakka melirik Oik sekilas. Tangan
kirinya segera mengambil alih buku Oik dan tangan kanannya menggenggam tangan
kanan Oik, menarik gadis mungil itu agar lebih dekat dengannya.
“Iya, kan? Ginian aja?” tanya Oik
dengan dada berdebar. Pasalnya, Cakka kini tengah berada tepat di
sampingnya–tanpa ada jarak yang memisahkan tubuh mereka.
“Iya.” Cakka tersenyum. Ia
mengalihkan pandangannya dari buku Oik kemanik mata gadis mungil yang tangannya
masih ia genggam itu. “Bener, kok.”
Oik tersenyum kikuk menanggapinya.
Dengan terkekeh gugup, ia mengalihkan pandangannya dari wajah Cakka hingga
membuat lelaki itu terkikik geli melihat pipinya yang bersemu merah.
“Oik, lo udah ngumpulin?”
Oik menengok dan mendapati Shilla
yang kini menatapnya dan Cakka dengan raut wajah anehnya. Oik mengangguk lalu
dengan segera melepaskan genggaman Cakka dari tangannya.
Shilla menarik lengan Oik, meminta
agar gadis mungil itu mengajarinya membuat perspektif yang benar. Dengan pasrah,
Oik mengiyakan. Gadis mungil itu pun meninggalkan Cakka yang masih berdiri
didekat meja guru dengan wajah kesalnya.
**
Oik kembali mengecek ponselnya
ketika ia melihat lampu LEDnya menyala-nyala. Sebuah chat lagi. Dari Cakka.
Cakka Nuraga
Ya maap kaliiiii!!!! Gw gk maksud bikin
elo marah=))
Oik
Elo tuh moodbreaker bgt
emg!!!!!!!!!!!>:o
Cakka Nuraga
Gw? Moodbreaker? Gk slh lo? Gw kan
moodboosterny eloo;;) ({})
Oik
Plis. Hrs bgt ya elo kyk gini ke gw?
Oik segera meng-end chat obrolannya dengan Cakka dengan wajah yang merah padam.
Cakka memang begitu. Selalu saja bisa membuatnya berhenti marah dan kesal
dengan cara-caranya sendiri.
Oik segera melemparkan badannya
keatas ranjang. Ia peluk boneka kelincinya dan berteriak sebal. Untung saja ia
sedang berada di rumah sendirian jadi ia tak perlu repot-repot menjelaskan
kepada siapa pun yang bertanya mengapa ia berteriak.
Masih jelas rona merah dipipinya
karena membaca chat Cakka barusan.
Akhir-akhir ini, Cakka mendadak berubah manja jika dengannya. Menyangkut soal
hati, ia tak tahu mengapa hatinya berdegup lebih kencang jika Cakka berulah
seperti itu.
LED ponselnya kembali menyala. Ada
dua buah chat. Satu dari Cakka dan
satu dari Acha. Tanpa menghiraukan chat
dari Cakka, Oik membuka chat dari Acha.
RaissaAcha
PING!!!
Oiiiiiikkkkkk
Oik
Apaan cha?
RaissaAcha
To d point aj deh. Gw mw nanya.
Lo ada hubungan apa sm cakka? Gw lht td
lo dkt bgt sm dia.
Oik
Gk ada
RaissaAcha
Ik, jujur sm gw
Oik
Gw udh jujur kali cha!!
RaissaAcha
Tp kalian ber2 tuh beda bgt tw gk sih?!
Cakka tuh lsg sumringah gt kl ada elo,
ik. Dan elo jg kyk gt.
Jgn kira gw gk peka sm hubungan kalian.
Oik
Gw gk ada apa2 sm cakka, achaaaaa!!
RaissaAcha
Gw cmn mw ngingetin aja. Cakka itu
mantanny tmn sebangku elo.
Gw ykn elo gk mw kan diblg tmn makan
tmn?:-)
Oik
Siap bos!!!! ^^
RaissaAcha
Gw tw kok kl kalian ber2 pd nyaman
didktny msg2
Tp agak jg jarak bisa kan? Gw gk mw aja
elo diblg yg gk gk gt sm shilla dkk.
**
Entah kemana perginya guru-guru yang
seharusnya mengajar hari ini. Kelas Oik benar-benar ditelantarkan, tidak ada
satu guru pun yang mengajar sejak bel masuk berbunyi. Begitu pula saat
ini–ketika jam pelajaran keenam sudah harusnya dimulai.
Karena bosan, Oik memilih untuk
keluar kelas. Acha, Keke, dan yang lainnya sedang duduk-duduk di koridor dan
berbincang bersama. Tanpa memperdulikan Shilla, Sivia, dan Angel yang tengah
membicarakan trend fashion terbaru,
Oik membawa ponselnya serta keluar.
Oik baru saja duduk di samping Ray
ketika Cakka dengan seenaknya duduk diantara ia dan Ray–mempersempit tempat.
Dengan sebal, Oik memukul lengan Cakka.
“Tempatnya tuh, masih luas. Ngapain
sih, elo nyempil aja?!” hardik Oik kesal.
Cakka tak mengindahkan hardikan Oik,
ia malah merebahkan kepalanya dibahu Oik dengan wajah memelas. “Gue ngantuk,”
bisiknya.
Oik kembali merasakan sesuatu yang
meledak-ledak dalam dadanya. Ia pun ikut mengobrol bersama Acha, Keke, Riko,
dan Ray–berusaha melenyapkan ledakan-ledakan itu. hingga akhirnya, ia menyerah.
“Gue juga ngantuk,” ujar Oik–ketika
Cakka kembali menegakkan kepalanya, sebagai gantinya, kini ia yang merebahkan
kepala dibahu Cakka.
Cakka terkekeh melihat wajah
mengantuk Oik, hingga membuat gadis mungil itu menggeram kesal.
Tiba-tiba saja, Oik menarik
kepalanya dari bahu Cakka dan bergerak berdiri.
“Mau kemana?” tanya Cakka. Lelaki
itu menahan tangan Oik, menggenggamnya lembut, dan menatap Oik tepat dimanik
matanya.
Oik gelagapan mendapat perhatian
kecil Cakka yang menjurus pada ‘posesif’ itu. “Mau ke... kelas. Ambil minum,”
jawabnya tergagap.
“Nggak boleh. Lo nggak boleh
kemana-mana,” balas Cakka dengan suara manja dan mimik wajah yang lucu. “Your place is right there, next to me,”
Oik sesak napas seketika. Ia pun
melepas genggaman Cakka dan segera masuk ke kelas dengan wajah bersemu merah.
Ia mengambil botol minumnya dan menggenggamnya erat-erat, menyalurkan perasaan
berdebarnya kesana–dan gagal.
“Sini, sini,” Cakka menepuk-nepuk
tempat kosong di sampingnya begitu Oik kembali berada di hadapannya.
Dengan jantung yang masih berdebar,
Oik kembali duduk di samping Cakka. Ia meminum air mineralnya dalam diam.
Dengan usil, Cakka mengetuk-ngetuk ujung botol minumnya hingga beberapa tetes
air jatuh didagu Oik.
“Elo nggak bisa ya, nggak usah
gangguin gue sehari aja?” tanya Oik begitu ia telah selesai meminum air
mineralnya.
“Enggak,” Cakka menggeleng dan
tersenyum lebar. “Rasanya ada yang kurang aja kalau seharian gue nggak gangguin
elo.”
Cakka menatap wajah Oik dan menepuk
tetesan air didagu gadis mungil itu. Lelaki itu pun membersihkannya dengan ibu
jari tangan kanannya, hingga membuat Oik kembali membeku.
“Dunia milik berdua aja deh,
berasanya,” celetuk Ray–yang ditanggapi tawa Keke, Acha, dan Riko.
**
“Oik, serius.. Lo mulai suka ya,
sama Cakka?” tanya Acha tanpa tedeng aling-aling ketika keduanya tengah berada
di toilet. Untungnya, tidak ada siswi lain yang berada disana juga.
Oik tak dapat menahan senyumnya untuk
tidak mengembang. “Enggak, Cha. Gue kan, udah bilang sama lo semalem. Nggak
mungkin gue suka sama Cakka.”
“Oik,” sergah Acha sebal. “Bisa
nggak sih, lo nggak usah nutupin perasaan lo sendiri? Urusan hati mah, nggak
bisa dibohongin. Kita temenan udah lama kali, Ik. Gue ngerti elo banget. Dan
gue ngerti kalian berdua tuh, more than
friends.”
“But,
actually, we’re just friends.” Oik menatap pantulan wajahnya di depan
cermin dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Gue cuman mau ngingetin aja.
Bukannya gue nggak suka kalau elo sama Cakka, tapi gue nggak mau aja temen gue
ini dibilang temen makan temen. Lo tahu sendiri kan, kalau misalnya Shilla
belum bisa move on dari Cakka.”
“Tahu darimana sih, lo?” ejek Oik
seraya tertawa kecil.
“Waktu itu...” Acha mulai
menerawang.
**
“Gue pingin ke Dufan.” Riko berkata
lantang.
Hening.
“HAHAHAHAHAHAHAH!!!” tawa Oik, Acha,
Keke, Ray, dan Cakka cukup membuat Riko kembali bungkam dengan wajah merah
padam menahan malu.
“Kayak anak kecil aja sih, lo!
Ngapain juga ke Dufan? Mending hang out
ke Senayan atau kemana gitu!” Acha hanya menggelengkan kepalanya setelah
tawanya reda. Gagasan Riko mengenai pergi-ke-Dufan cukup membuatnya tak habis
pikir.
“Ya mau main dong, Cha! Lo kata gue
mau nyuci di Dufan?” balas Riko sengit. “Sekarang gini deh, ya..” Riko
meletakkan kotak bekal berisi potongan strawberry
cake-nya dan menatap kelima temannya serius. “Gue tanya sama lo semua. Apa
enaknya sih, hang out di mall melulu?”
Keke mengangkat dagunya dengan
pongah. “Nggak ada yang ngebosenin dari jalan keliling mall cari barang sale.
Mau capek sampai gimana pun, kalau udah dapet barang bagus dan sale pula, nggak bakal kerasa deh,
capeknya! Gue jamin.”
Ray berdecak. “Gila. Mall segitu gede dikiterin apa ya, nggak
capek?”
“Bukan itu maksud gue!” Riko
membalas sebal. “Lo nggak bosen hang out
di mall terus? Atau, gue tanya kalian
satu-persatu, udah berapa kali ke Dufan?”
Acha memutar bola matanya. “Dua
kali. Mungkin.”
Keke berpikir keras begitu tatapan
Riko jatuh padanya. “Kayaknya sih, sekali.”
“Gue udah dua kali!” seru Ray
bangga.
“Gue empat kali,” kata Oik cuek. Ia
ingat betul bagaimana malasnya ia ketika menemani sanak-saudaranya dari
Salatiga yang ingin bermain di Dufan.
“Gue sekali juga,” Cakka nyengir
lebar.
“Tuh, kan! Pada jarang ke Dufan
semua padahal juga tinggal di Jakarta. Pokoknya, Sabtu minggu depan kita
bareng-bareng ke Dufan. Titik! Nggak ada koma. Ini udah keputusan final.”
Begitu mengumumkan ‘hasil rapat’
tadi, Riko langsung ngeloyor pergi ke kantin bersama Ray. Sedangkan Acha dan
Keke hanya duduk berhadapan sambil melongo hebat. Begitulah Riko. Pengambil
keputusan final yang sama sekali tidak dapat diganggu gugat.
Cakka dan Oik cekikikan melihat Acha
dan Keke yang sudah kembali mengunyah camilan masing-masing masih dengan
sisa-sisa kekagetan pada raut wajahnya. Cakka dan Oik kembali mengobrol
mengenai konser Taylor Swift yang akan digelar bulan depan di MEIS.
Pandangan Oik beralih pada pintu
kelas. Berangsur-angsur penghuni kelas 11 IPA 3 telah kembali. Begitu kembali
menatap Cakka, Oik tak sengaja melihat dasi Cakka yang berantakan. Dengan
memiringkan kepalanya, Oik meneliti dasi yang dipakai Cakka.
“Kenapa?” tanya Cakka bingung.
“Nggak,” Oik menggeleng. Ia tetap
memperhatikan dasi Cakka sembari menunjuknya. “Dasi elo berantakan banget.
Nggak pernah lo lepas terus lo benerin?”
Cakka tersenyum malu. “Nggak. Gue
nggak bisa. Biasanya bunda yang benerin.”
Oik kembali menegakkan kepalanya dan
berdiri di samping Cakka. “Siniin dasi lo, biar gue benerin.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Cakka
segera melepas dasinya dan menyerahkannya pada Oik. Cakka pun ikut berdiri,
memperhatikan Oik yang tengah serius membetulkan dasinya. Seulas senyum
tersungging di bibirnya.
“I’m
at a payphone trying to call home. All of my change I spent on you. Where have
the times gone? Baby, it’s–––,”
“Lo nyanyi, Kka?” tanya Oik sambil
cekikikan.
“Iya, lah! Nyanyi buat elo, nih,”
Cakka menghentikan senandungnya dan mengucek pelan puncak kepala Oik. Ia
tersenyum tipis.
“Gue kirain elo lagi bisik-bisik
tadi. Pelan banget, sih!” Oik baru saja akan melanjutkan kalimatnya ketika ia
tak sengaja menengok pada Acha dan melihat sahabatnya itu tengah memandangnya
tajam.
Oik hanya tertawa garing.
Hening.
Cakka tersenyum miring.
“Cakka!!!!! Ih, apaan coba
ganggu-ganggu?! Gue lagi benerin dasi punya elooo!!!!” Oik langsung
memukul-mukul lengan Cakka karena lelaki itu mengacaukan sentuhan terakhirnya
pada dasi milik lelaki itu. Terpaksa, Oik kembali mengulang dari awal.
Cakka kembali tertawa melihat Oik
yang sudah berdetik-detik stuck pada step one cara merangkai dasi yang benar.
“Kenapa?” tanyanya.
“Gue lupa abis ini digimanain,”
bisik Oik malu-malu.
Cakka menyingkirkan tangan Oik lalu
membetulkan pekerjaan gadis itu. Ia menyelesaikan step one lalu tersenyum lebar pada Oik yang menatapnya malas.
“Katanya nggak bisa benerin dasi
sendiri,” sindir gadis itu. Lalu, ia kembali tenggelam dalam pekerjaannya
membenahi dasi Cakka.
“Gue cuma pingin lihat lo benerin
dasi gue aja,” kata Cakka.
Lagi-lagi, ketika Oik akan
menyelesaikan simpul dasi Cakka, lelaki itu merusaknya.
Lagi.
Lagi.
Dan lagi.
“Cakkaaaaa!!!!! Seriusan, dong! Elo
mau gue benerin nggak sih, dasinya?!” Oik memandang Cakka dengan wajah sebal
yang kentara, membuat lelaki itu menahan tawanya. “Udah, ah. Capek gue.” Oik
kemudian melepas dasi Cakka dari lehernya dan melemparnya begitu saja di meja.
Dengan sigap–dan masih menahan tawa
gemasnya–Cakka mengambil kembali dasinya yang masih tak beraturan dan menahan
lengan Oik begitu gadis itu berancang-ancang akan meninggalkannya.
“Jangan kemana-mana dong, Ik.” Cakka
berbisik tepat di telinga Oik. Oik seakan merasakan ribuan volt listrik
mengaliri tubuhnya hingga ia tersentak. “Gue bercanda doing tadi. Lo nggak
boleh kemana-mana ya, pokoknya.”
Cakka membalikkan badan Oik dan
memasangkan dasinya dileher Oik. Setelahnya, ia tersenyum. Mau tidak mau,
dengan hati yang masih berdebar, Oik kembali membenahi dasi Cakka sementara
sang empunya hanya bersandar pada meja dengan tangan terlihat didepan dada
serta pandangan yang terkunci hanya padanya.
“Cakka, jangan ngelihatin gue
begitu, dong.” Oik bercicit pelan.
“Nggak bisa. Gue nggak bisa berhenti
merhatiin elo.” Cakka tak sadar bahwa perkataannya barusan kembali mengundang
ribuan volt listrik untuk menyengat Oik.
Tangan Oik berhenti di udara. Ia blank. Ia lupa step selanjutnya. Itu semua karena Cakka yang tak bisa berhenti
memandanginya dengan intens. Oik menggigit bibirnya, mencoba mengingat kembali step selanjutnya.
“Kenapa, Ik? Lupa lagi?” tanya
Cakka. Oik mengangguk kecil.
“Oik! Kenapa? Lo lupa cara benerin
dasi?”
Sebuah suara tiba-tiba saja muncul
diiringi suara langkah kaki dari tiga orang. Lalu, tanpa Oik duga, Shilla sudah
berada di hadapannya dengan tersenyum lebar. Tangan gadis itu sudah mulai
melepas dasi Cakka yang tengah dikenakan Oik.
“Sini, gue benerin,” tawar Shilla
dengan senyum yang masih lebar.
“Nggak usah,” Cakka langsung
menyambar dasinya dari Oik dan Shilla lalu melenggang begitu saja meninggalkan
dua gadis yang menatap punggungnya menjauh.
“Yeeehhh, Cakka! Shilla ditinggalin
gitu aja!!” celetuk Keke, hampir bersamaan dengan Sivia. Keduanya lalu tertawa
heboh.
Berbeda dengan Keke dan Sivia yang
tertawa heboh, Oik masih menatap kepergian Cakka dengan sebal. Bagaimana bisa
lelaki itu pergi meninggalkannya?! Koreksi, meninggalkannya hanya gara-gara ada
Shilla! Apalagi, sebelumnya ketika Oik akan pergi, Cakka melarangnya. Apa sih,
maksudnya? Nggak adil!
Acha hanya memandang adegan barusan
sambil lalu. Baru ketika ia akan mengalihkan pandangannya, ia tak sengaja
melihat raut wajah Shilla yang menyiratkan kekecewaan yang mendalam. Kini, ia
tahu bahwa Shilla masih belum benar-benar bisa melepas Cakka.
**
0 komentar:
Posting Komentar