Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SEKEDAR CERITA [05]

            Pagi-pagi sekali Alvin sudah berada di kantin kampusnya. Ia sengaja berangkat pagi-pagi buta karena ia yakin jalanan pasti macet. Beruntung Alvin sudah sampai di kampusnya tiga puluh menit sebelum kuliahnya dimulai.
            Sambil menyantap gado-gadonya, Alvin mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kantin. Kemana keempat sahabatnya itu? Bukannya mereka sama-sama mengambil kuliah pagi pada semester ini?
            “Hay, Vin,” sapa sebuah suara lembut. Alvin menengok ke samping dan mendapati Sivia di sana.
            Alvin tersenyum sekilas lalu menelan gado-gadonya. “Sendirian aja? Pricilla mana?”
            Sivia mengangkat bahunya dengan cuek. “Mungkin terlambat bangun lagi. Atau, kalau nggak, berarti dia––,”
            “Cari aku?” sela sebuah suara. Tiba-tiba saja Pricilla sudah berada di antara mereka. Ia baru saja datang bersama dengan Ray.
            “Ada yang kurang,” gumam Ray. Ia melirik satu-persatu sahabatnya. “Oik?”
            Pricilla meletakkan map yang sedari tadi ia peluk didepan dada. Binar dimatanya mulai meredup. “Oik kemana? Dia... masih marah?”
            Alvin menghembuskan napasnya dengan berat. “Oik sudah putus dengan Gabriel. Kemarin.” Alvin tersenyum kaku ketika menyadari ketiga sahabatnya tengah menahan napas.
            “Tapi dia baik-baik aja, kan?” todong Ray langsung.
            “Nggak tau, Ray,” Alvin menggeleng lemas. Ia menundukkan kepalanya, bermaksud mengecek ponselnya apakah Oik sudah membalas pesan singkatnya atau belum. Tetapi matanya terantuk pada map milik Pricilla. Wajahnya pias.
            “Kenapa, Vin?” tanya Pricilla. Ia menatap Alvin dan mapnya bergantian.
            “Itu map punya kamu?” tanya Alvin tak percaya.
            “Iya,” jawab Pricilla bingung. “Kenapa? Ada yang salah dengan mapku?”
            Rahang Alvin mengeras menatap milik Pricilla. “Bukan map punyamu yang salah. Tapi kamu.” Alvin tersenyum miring. Pantas saja ia merasa mengenal nama itu. Ternyata... “Elizabeth Agatha Pricilla Soekamto.” Alvin mengeja nama Pricilla yang tertera pada map berwarna biru itu dengan penekanan pada nama belakang sang pemilik.
            “Vin...” Sivia memegang lengan Alvin. Ia belum pernah melihat Alvin semarah ini sebelumnya. Ia menatap Pricilla penuh tanya yang hanya dibalas tatapan bingung gadis berbehel itu.
            “Kalian tahu kenapa Gabriel memutuskan Oik?” tanya Alvin.
            “Orangtua Gabriel nggak pernah menyetujui hubungan mereka. Iya, kan?” tanya Ray balik. Insting Ray mulai bekerja. Ia menyadari ada yang tidak beres dalam nada bicara dan ekspresi wajah Alvin.
            “Bukan cuma itu,” balas Alvin singkat. Matanya menatap Pricilla tajam.
            Pricilla bergedik ketakutan ditatap Alvin sebegitu tajamnya. “Apa la––,”
            “Gabriel dijodohkan dengan anak keluarga Soekamto.”
            Hening.
            “Apa?!” Pricilla memekik tertahan. Lelucon dari mana ini?
            Sivia menatap Alvin tajam. Ia tidak suka Alvin bercanda disaat seperti ini. Lagipula, ia tahu betul Pricilla sama sekali tak mengenal Gabriel. Pricilla hanya sebatas tahu bahwa adalah pacar Oik, dulu. Bagaimana bisa Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?
            “Alvin, jangan bercanda,” tegas Sivia.
            Alvin beralih menatap Sivia. “Apa aku kelihatan bercanda?”
            “Kamu tahu dari mana Gabriel dijodohkan dengan Pricilla, Vin?” tanya Ray, menengahi. Ia yakin perang dunia ketiga akan berlangsung diantara ketiga sahabatnya itu jika tak ia tengahi sekarang juga.
            Alvin memandang Pricilla dengan sinis. Bibirnya terbuka, menguntai cerita semalam tanpa ada yang dikurangi dan dilebihkan. Mulai dari surat yang diterima Oik, ajakan Oik untuk mengantarkan gadis itu, pertemuan Oik dengan Gabriel beserta Angel, Gabriel yang memutuskan hubungan secara sepihak, hingga alasan mengapa Gabriel memutuskan Oik.
            “Sudah cukup jelas, Nona Soekamto?” tanya Alvin sinis.
            Pricilla menelan ludahnya lalu menggelengkan kepala dengan lemas. “Aku nggak tahu,” lirihnya. Kemudian ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
            “Bagaimana bisa kamu nggak tahu, Pris?!” bentak Alvin.
            “Alvin!” Sivia menatap Alvin tajam. “Kalau memang Pricilla nggak tahu, mau bagaimana lagi? Sudahlah. Lagipula, kenapa kamu jadi sebegini peduli dengan Oik?”
            Alvin terdiam mendengar kalimat terakhir Sivia. “Aku peduli dengan Oik karena dia sahabatku.”
            “Pricilla juga sahabat kamu, Vin!” seru Sivia sebal.
            “Tapi dalam kondisi ini Oik yang terluka. Bukan Pricilla.” Alvin tak mau kalah.
            “Teman-teman, berhenti..” Ray mengingatkan dengan suara rendahnya.
            “Apa, Ray?” tantang Sivia. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Alvin. “Tapi kamu juga nggak seharusnya menyalahkan Pricilla! Namanya juga perjodohan. Pasti itu kehendak orangtua mereka. Bukan kehendak Gabriel dan Pricilla. Pricilla belum tahu soal ini.”
            “Apa kamu bilang, Siv? Pricilla belum tahu?” Alvin tertawa sumbang. “Bagaimana Pricilla belum tahu, sedangkan Gabriel sudah tahu?”
            “Alvin, Sivia.. Stop!” Ray kembali menengahi.
            Alvin menatap Ray tajam, menyuruh lelaki itu untuk diam saja. “Aku nggak percaya Pricilla sama sekali nggak tahu soal ini.” Alvin mendengus kesal.
            “Aku nggak tahu, Vin. Sama sekali nggak tahu.” Pricilla berujar lirih.
            “Bohong!” seru Alvin.
            “Seminggu ini Mama dan Papa memang selalu ngajak aku keluar untuk makan malam bareng. Karena aku yang memang sibuk sama tugas kuliah, aku selalu nolak. Mungkin itu...” aku Pricilla.
            “Teman-teman...” Ray kembali mengingatkan.
            “Apa, Ray?” tanya Sivia dengan galak. Ia sebal karena Ray terus saja menyuruh mereka untuk berhenti. Padahal ini hal serius. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai dan Sivia mau pembicaraan mengenai ini harus selesai secepatnya.
            “Ada Oik...” Ray menengok pada seorang gadis yang tengah berdiri menatap mereka berempat dengan datar. Bibirnya bergetar.
            “Kenapa nggak bilang dari tadi, Ray?” bisik Alvin.
            Ray menatap ketiga sahabatnya dengan menggelengkan kepalanya. “Aku sudah ingatkan dari tadi tapi kalian tetap nggak mau berhenti.”
            “Ik...” Pricilla mendongakkan kepalanya. Menatap Oik dengan pandangan memohon maaf.
            “Jadi gini...?” tanya Oik datar. Gadis itu berusaha menekan luapan emosinya dalam-dalam. Ia tak mau menangis dan marah-marah di tempat umum. Sama sekali tidak sopan.
            “Aku bisa jelasin, Ik.” Pricilla bersuara dengan nada memohon.
            “Apalagi yang perlu dijelasin?” tanya Oik. Suaranya sudah mulai bergetar. “Kalau kamu mau tahu gimana rasanya jadi aku yang diputusin karena pacarku dijodohkan dengan sahabat sendiri.. Rasanya sakit. Banget.”
            Alvin, Ray, Sivia, dan Pricilla dapat melihat Oik yang berusaha mati-matian agar genangan kecil dipelupuk matanya tidak tumpah. Tapi gagal. Tetesan itu mulai turun satu-persatu. Oik cepat-cepat mengusapnya, menghilangkan jejaknya.
            “Lebih sakit lagi karena sahabatku nggak pernah cerita soal perjodohan ini sebelumnya.” Oik terisak. Dengan berlari-lari kecil, ia meninggalkan keempat sahabatnya.
            “Pris, kamu...” Alvin menggelengkan kepalanya tak paham. “Apa susahnya cerita dari awal?” bentaknya. Alvin kemudian berlari menyusul Oik.

**

            “Oik!” Alvin berteriak memanggil Oik yang sudah berlari jauh di depannya.
            Alvin menengok kesana-kemari. Untung saja koridor telah sepi. Itu berarti, ia dan Oik tak perlu jadi tontonan para mahasiswa lainnya karena berlari saling mengejar sambil berteriak-teriak. Alvin menyadari sesuatu. Ia menengok pada jam tangannya. Mata kuliah pertama sudah dimulai lima menit yang lalu. Alvin tak peduli. Sekarang, yang penting, ia harus menenangkan Oik.
            “Oik! Tunggu!” teriak Alvin lagi.
            Alvin melihat Oik yang mulai menurunkan kecepatan berlarinya hingga akhirnya berhenti. Gadis itu terduduk di parkiran mobil, dibawah sebuah pohon trembesi rindang. Oik terduduk dengan melihat lututnya. Ia membenamkan wajahnya pada lututnya.
            “Ik?” panggil Alvin lagi.
            Alvin berjongkok di hadapan Oik. Ia mengusap puncak kepala Oik dengan lembut. “Gimana perasaanmu?” tanyanya.
            Oik bergeming. Tak mengindahkan usaha Alvin untuk menghiburnanya dan menenangkannya. Alvin mendesah putus asa. Lelaki itu mendengar derap langkah yang semakin lama semakin terdengar keras. Ia menengok ke belakang dan mendapati Pricilla telah berada di belakangnya.
            “Mau apa kamu?” tanya Alvin dingin.
            Pricilla tak menggubris pertanyaan Alvin. Ia melewati lelaki itu dan duduk bersila di samping Oik. “Oik?”
            Mendengar suara Pricilla, Oik mendongakkan kepalanya. “Mau apa kamu?”
            “Aku... minta maaf,” Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak tega menatap ekspresi terluka Oik.
            “Rasanya sakit, Pris,” seru Oik dengan suara bergetar. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Alvin serta Pricilla dalam keheningan yang membunuh.
            “Oik!” panggil Alvin. Lelaki itu berdiri, bersiap untuk menyusulnya kembali.         
            Oik mengangkat tangan kanannya tanpa menengok ke belakang. “Nggak usah cari aku dulu, Vin.”
            Pricilla segera berdiri dan menghampiri Oik. Gadis itu mencekal lengan Oik, mencegah gadis itu pergi. “Aku minta maaf, Ik. Sungguh.”

            Rahang Oik kembali mengeras. Ia kibaskan lengannya. Dengan sekali sentakan keras, tangan Pricilla telah menyingkir dari lengannya. “Kasih aku waktu untuk sendiri,” ujarnya dingin. Dan tanpa berpamitan pada Alvin dan Pricilla, Oik kembali melangkah pergi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

LUVAFFAIR [01]

            Pagi itu Oik sedang meminum teh hangatnya sembari duduk di ruang tamu ketika terdengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga. Dengan mata mengerjap kaget, Oik meletakkan gelas tehnya dan buru-buru berlari ke pekarangan rumahnya.
            Oik tinggal di pinggiran kota Salatiga. Ia dan keluarganya tinggal serumah dengan keluarga dari dua adik Bapaknya. Tiga keluarga ini tinggal dalam tiga rumah yang berbeda namun masih dalam satu area dan dilindungi dengan pagar yang sama.
            Oik berkacak pinggang di terasnya. Ia menengok ke dua rumah di samping kanan rumahnya. Rumah para Tante dan Omnya itu masih sepi. Sepertinya masih sibuk dengan rutinitas pagi masing-masing.
            TIN! TIN!
            “Siapa toh, pagi-pagi ngeklakson terus?!” ujar Oik jengkel.
            Ia kemudian berlari ke pagar rumahnya. Rupanya ada mobil yang menunggu untuk dibukakan pagar. Oik menyipitkan matanya, mencoba mengenali mobil siapakah itu.
            “Oik! Bukain pagernya!” seru seorang gadis yang baru saja turun dari mobil.
            “Mbak Dera?” sapa Oik kaget, gadis itu mengangguk cepat.
            Oik pun segera membukakan pagar. Mobil itu memasukki pekarangan rumahnya dan berhenti di depan rumah Tantenya. Dera berjalan menghampiri. Setelah menutup kembali pagernya, Oik berjalan beriringan bersama dengan Dera menuju rumah keluarga Dera.
            “Mbak Dera ngapain balik lagi?” tanya Oik.
            Dera menengok pada Oik sekilas. “Mau ngambil pakaianku yang ketinggalan, Ik.”
            Oik mengangguk mengerti. Keduanya berhenti di samping Peugeot 207 yang tadi dinaiki Dera. Tak lama kemudian, dua orang lelaki berwajah mirip turun.
            “Halo, Ik!” sapa Elang. Ia menepuk pelan lengan Oik.
            Dera dan Elang kemudian berjalan mendahului Oik dan Cakka. Oik dan Cakka bertos kemudian tertawa. Keduanya mengikuti Dera dan Elang yang duduk-duduk di teras rumah Dera. Keempatnya duduk melingkar pada kursi kayu teras rumah Dera.
            Keempatnya mengobrol seru dalam beberapa jam. Hingga pada akhirnya, Dera pamit masuk ke dalam rumahnya untuk mengepak barang-barangnya yang ketinggalan. Setelah resepsi pernikahannya dua minggu yang lalu, Dera langsung berpindah ke rumah Elang di Jogjakarta.
            “Mas Elang mau kemana?” tanya Cakka begitu melihat kakaknya itu berdiri.
            “Mau bantuin Dera aja,” jawab Elang lalu ngeloyor masuk ke dalam.
            Cakka berdecak kemudian melirik jam tangannya sekilas. Baru pukul sepuluh. Ia menengok pada Oik yang sama bosannya dengan dia.
            “Ik.. Jalan-jalan, yuk?” ajak Cakka.
            Oik mendongak dengan wajah bingung. “Jalan-jalan kemana?”
            Cakka mengangkat bahunya dengan wajah cuek. “Kemana aja. Terserah kamu.” Ia kemudian menarik lengan Oik agar berdiri juga. Dengan wajah kesal, Oik menuruti permintaan Cakka.
            “Kita mau kemana, Kka?” tanya Oik sebal.
            “Enaknya kemana?” tanya Cakka balik dengan wajah konyol.
            Oik pun berjalan mendahului Cakka. Sebenarnya Oik canggung juga berdua dengan Cakka begini. Mereka baru sekali mengobrol. Itu pun hanya mengobrol basa-basi. Hanya karena Cakka yang kini merupakan sepupunya, jangan harap Oik bisa rileks-rileks saja bersamanya.
            Kring! Kring!
            Cakka dan Oik dikagetkan oleh bunyi bel sepeda angin tepat dari belakang mereka. keduanya menengok dan mendapati seorang lelaki berwajah khas Jawa tengah mengendarai sebuah sepeda angin butut.
            “Halo!” sapa Oik dengan wajah berbinar.
            “Halo juga, Ik.” Sapa lelaki itu balik. Wajahnya tak kalah berbinarnya dengan wajah Oik tadi. “Aku duluan ya, Ik. Mau bantu-bantu Bapak sama Ibu di pasar.”
            Oik hanya mengangguk. Tak lupa pula ia memasang senyum termanisnya untuk mengantarkan kepergian lelaki itu. setelah lelaki itu hilang pada tikungan di depan sana, wajah Oik kembali datar dan biasa-biasa saja.
            “Ik,” Cakka menyenggol lengan Oik. “Tadi itu siapa?” tanyanya penasaran.
            “Namanya Dipta. Kami udah pacaran hampir setahun.” Oik merasakan panas dipipinya. Volume suaranya juga semakin mengecil ketika menyebutkan hubungannya dengan Dipta.
            “Oik malu-malu!” ejek Cakka kemudian tertawa kencang.
            Oik melirik Cakka dengan sebal lalu berjalan cepat, meninggalkan sepupu barunya itu jauh di belakang. Cakka kalang kabut mengikutinya.
            “Eh, Ik! Ik! Oik! Tunggu!” seru Cakka. Ia berlari-lari kecil menghampiri Oik yang kini telah berada jauh di depannya. Cakka menengok kesana-kemari dan ia hanya melihat sawah. Hanya sawah.
            Oik menengok ke belakang dengan terus berjalan. “Apa, Kka?”
            “Ini kemana?” tanya Cakka dengan ngos-ngosan begitu ia berhasil menyamai langkahnya dengan Oik.
            Oik merentangkan tangannya, menunjukkan sawah yang terhampar di sekitar mereka. “Sawah, Kka. Emangnya di Jogja ndak ada sawah?”
            “Di deket rumahku nggak ada sawah,” jawab Cakka sembari menggaruknya tengkuknya yang tak gatal.
            “Mau duduk di saung itu?” tanya Oik. Tangan kanannya menunjuk pada saung tua yang berdiri di tengah-tengah hijaunya sawah.
            “Boleh,” Cakka menjawab singkat.
            Oik pun berjalan menuju saung tersebut melalui pematang sawah yang tanahnya tak rata. Oik mendengar Cakka yang berkali-kali berdecak kesal karena hampir terperosok masuk ke dalam sawah. Oik tertawa kecil dalam hati.
            Oik sudah duduk manis diatas saung ketika Cakka menghampirinya dengan kaki yang belepotan tanah basah. Oik menepuk-nepuk tempat di sampingnya, mempersilahkan Cakka untuk duduk. Cakka pun duduk di samping Oik setelah ia berhasil melepas sandalnya yang berlumuran tanah.
            “Ini sawah keluargaku, Kka. Punya Bapakku sama dua adiknya. Ibunya Mbak Dera itu salah satu adik dari Bapakku,” ujar Oik. Matanya tak lepas dari sawah yang menghampar di hadapannya.
            “Oh,” Cakka mengangguk. “Kamu nggak sekolah, Ik?”
            Oik menggeleng kemudian tersenyum ketika merasakan angin menerpa wajahnya. “Nggak. Kamu sendiri?”
            “Nggak juga. Ini kan, Sabtu. Sekolahku kalau Sabtu sama Minggu libur. Sekolahmu juga, kan?” tanya Cakka.
            “Nggak.” Oik menggeleng dengan wajah polosnya. “Aku lagi libur. Kan, udah kelas dua belas. Tinggal nunggu pengumuman aja. Pengumuman kelulusan sih, udah kemarin. Ini lagi nunggu pengumuman siapa-siapa aja yang keterima masuk universitas pakai jalur undangan.”
            Cakka menatap Oik dengan wajah kaget. “Kamu udah kelas dua belas?”
            “Iya. Kenapa? Kayak udah kuliah ya, wajahku?” Oik terkekeh.
            “Aku ngiranya kamu adik kelasku, Ik.” Cakka menatap Oik tak percaya.
            “Adik kelas? Aku ngiranya kamu udah kuliah, Kka. Wajahmu dewasa buanget.” Oik nyengir lebar setelahnya.
            Suasana kembali hening. Keduanya sibuk memandangi para petani yang sedang bekerja di sawah. Semilir angin membelai kulit keduanya, menggelitik indra peraba mereka dan meninggalkan sensasi sejuk.
            Tiba-tiba saja terdengar dering ponsel. Cakka langsung mengambil ponsel dalam saku celananya dan mengangkat panggilan masuk tersebut. Oik hanya meliriknya sekilas dan kembali menatap ke depan. Tak munafik, Oik juga curi-curi dengar percakapn via ponsel itu.
            “Iya, ini udah sampai Salatiga. Kenapa?” Cakka terdiam sebentar, mendengarkan lawan bicaranya yang sedang mengomel. “Iya. Nggak nginep, kok. Ntar sore juga balik ke Jogja. Iya, aku langsung ngerjain tugas juga nanti.”
            Beberapa saat kemudian, panggilan pun diputus oleh Cakka. Ia kembali mengantongi ponselnya. Cakka melirik Oik yang terdiam menatap sawah.
            “Betah banget, Ik, mandangin sawah?” tanya Cakka.
            “Iya. Gimana ndak betah? Wong dari kecil aku mainnya di sini.” Cakka tertawa kecil kemudian, membuat Oik memincingkan matanya. “Kamu ini kenapa to, Kka? Kok, ketawa-ketawa sendiri?”
            “Nggak, nggak apa-apa.” Cakka menghentikan laju tawanya. “Lucu aja. Kamu ngomongnya medok banget.”
            “Apa ada yang salah? Namanya juga orang Jawa.” Oik melengos keki.
            Cakka melompat turun dari saung. “Ik, bosen..” rajuknya.
            “Ya, terus?” Oik menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap Cakka sebal. Memang benar Cakka berpenampilan dan berwajah dewasa, tetapi kelakuannya masih seperti anak kecil yang doyan merajuk.
            “Jalan-jalan, yuk!” ajak Cakka dengan bersemangat. Ia mulai menarik-narik tangan Oik agar gadis itu turun dari saung juga dan menjejakkan kakinya ditanah sawah yang lembek.
            “Di sini ndak ada mall, Cakka. Kamu mau jalan-jalan kemana?” Oik mengalah pada sifat kekanak-kanakan Cakka. Ia pun ikut turun dari saung.
            Cakka berjalan pelan dengan diiringi Oik di sampingnya. “Jalan-jalan keliling desa aja. Oke? Kamu pasti tau kan, pemandangan bagus apa di desa ini.”
            “Pemandangan bagus?” tanya Oik, Cakka mengangguk. Oik terlihat berpikir sejenak sebelum wajahnya berubah sumringah karena ide cemerlang baru saja melintas diotaknya. “Kamu mau ke kali? Kalau kamu beruntung, kamu bisa lihat penduduk sini yang mandiin kerbau di kali. Gimana?”
            “Kali? Sungai, maksud kamu?” tanya Cakka balik dengan wajah bingung.
            Oik mengangguk antusias. “Iya! Iya! Gimana? Kamu mau ndak?”
            Dengan agak terpaksa, Cakka pun menganggukkan kepalanya. Cakka belum pernah sekalipun bermain di sungai. Dan ini akan menjadi pengalaman pertamanya bermain air di sungai. Membayangkan ia akan bermain air bersama kerbau membuatnya bergidik jijik.
            Oik melangkah mendahului Cakka. Cakka dapat melihat Oik yang sangat bersemangat menuju sungai desa. Mencurigakan.
            Oik membimbing Cakka berjalan diatas pematang sawah. Dengan tertawa mengejek, Oik menggandeng Cakka yang masih saja kesulitan berpijak pada tanah sawah. Setelah terbebas dari tanah sawah yang lembek, keduanya berjalan beriringan menyusuri jalanan desa. Setelah berjalan selama kira-kira lima menit, keduanya sampai pada hutan kecil di bagian timur desa.
            “Sungainya mana, Ik?” Sepanjang mata memandang, Cakka hanya melihat puluhan pohon bambu yang menjulang tinggi.
            “Di situ,” jemari Oik menunjuk sekumpulan pohon bambu yang tumbuh di depan mereka.
            Cakka memincingkan matanya. Apa Oik sudah gila? Atau buta? Sekumpulan pohon bambu dibilangnya kali? Cakka menatap Oik yang masih berjalan santai di depannya dan kembali mengikuti langkah gadis itu.
            “Oik, mana sung––,”
            Perkataan Cakka terputus tatkala ia melihat Oik menyibakkan dedaunan bambu yang ada di hadapan mereka. Rupanya di balik pepohonan bambu itulah kali yang dimaksud Oik berada.
            “Ayo, sini!” Oik melambaikan tangannya pada Cakka yang masih terdiam di tempat. Melihat Cakka yang sama sekali tak memberikan respon, Oik pun menghampirinya lalu menyeret lelaki itu untuk berjalan mendekat pada kali. “Kamu ini lelet banget, Kka.”
            Oik menyeret Cakka menuju pinggir kali. Tak jauh dari mereka, ada sebongkah batu besar yang dapat diduduki. “Mau duduk situ?” tawar Oik, Cakka hanya mengangguk.
            Oik melangkah menuju batu superbesar tersebut diikuti Cakka. Oik melirik Cakka, memberikan kode bahwa Cakka bisa duduk diatas batu tersebut. Oik tersenyum melihat Cakka yang telah duduk manis diatas batu.
            Oik menghirup udara dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Cakka pun juga begitu. Lelaki itu mengakui dalam hati bahwa udara di desa ini sangat sejuk.
            Sebuah kali kecil terhampar di hadapan Cakka dan Oik. Arusnya tidak terlalu kuat, juga tidak terlalu kecil. Airnya jernih, tidak seperti kali di kota-kota besar. Terdapat bongkahan batu berukuran sedang didalamnya. Di ujung kali –yang bercabang dua diujungnya– terdapat beberapa anak kecil yang sedang bermain, menyiratkan air pada satu dan lainnya.
            “Oik!” panggil sebuah suara.
            Oik menengok ke samping dan mendapati seorang lelaki tengah memandikan kerbaunya di sana. “Halo!” Oik menyapa balik. Lelaki itu pun kembali menyabuni karbaunya. Oik mengalihkan pandangan pada Cakka. “Mau ikut mandiin kerbau ndak?”
            “Itu siapa? Cowok yang tadi di jalan?” tanya Cakka balik tanpa menggubris pertanyaan Oik.
            Oik mengangguk. “Iya, itu Dipta. Mau ndak?”
            “Boleh, deh.” Cakka pun turun dari batu besar tersebut.
            Cakka mengikuti Oik melepas alas kakinya dan meletakkannya dibantaran kali. Dengan sedikit berjingkat, Cakka mengekor Oik melompati batu yang satu ke batu yang lainnya untuk menuju tempat Dipta saat ini.
            “Mending lewat batu-batu gini aja, Kka. Nanti kalau langsung masuk kali, celana kamu bisa basah.” Ujar Oik singkat, Cakka mengangguk mengerti.
            “Dipta,” sapa Oik malu-malu ketika ia dan Cakka sudah berada di samping lelaki itu.
            Dipta menengok pada Oik dan Cakka sekilas lalu kembali menyabuni karbaunya. Tanggung, hanya tinggal kaki depannya saja yang belum terkena sabun. “Tumben nyusul aku ke kali, Ik? Biasanya kamu nungguin aku di rumahku.”
            “Aku nggak nyusul kamu, Dip. Ini, lho.. Cakka, sepupu baruku, minta diajakin jalan-jalan. Yo wis, aku ajak aja ke sini.” Oik melihat Dipta telah selesai menyabuni kerbaunya. Lelaki itu pun sudah membilas tangannya dengan air sungai. Kemudian Oik menengok Cakka. “Kka, ini Dipta–pacarku. Dip, ini Cakka–sepupuku.”
            Kedua lelaki itu lantas saling berjabat tangan dengan menyunggingkan senyum.
            “Ik, mau bantuin aku ngebilas si kebo?” tawar Dipta, Oik mengangguk bersemangat.
            Dan di sinilah Cakka sekarang. Memandang Oik dan Dipta yang saling bekerja sama membilas kerbau milik Dipta. Ketika keduanya tak sengaja bertemu pandang, Cakka dapat melihat Oik yang mengalihkan pandangan dengan wajah yang bersemu merah dan Dipta yang terkekeh pelan.
            “Ik, balik sekarang aja. Udah Dhuhur.” Cakka berseru ketika adzan Dhuhur baru saja selesai berkumandang.
            Oik menoleh pada Cakka dengan wajah kesal. “Iya, iya. Sebentar.” Oik membalas dengan ketus.
            Cakka terkikik. Bukannya ia tak menyadari bahwa Oik masih ingin bersama Dipta. Hanya saja, Cakka suk melihat Oik yang sedang kesal. Seperti saat ini. Setelah Oik berpamitan malu-malu pada Dipta, Cakka segera menarik lengan gadis itu untuk segera pulang.
            “Dadah, Dipta!” Oik melambaikan tangan pada Dipta yang juga dibalas lambaian tangan dengan lelaki itu. Setelah saling melempar senyum malu-malu satu sama lain, Oik berbalik pada Cakka. “Kamu ini jahat buanget, Kka?! Aku kan, lagi sama Dipta tadi!”
            “Udah Dhuhur, Oik,” ujar Cakka, mengingatkan.
            “Iya, aku tahu,” balas Oik dengan keki.
            Keduanya pun berjalan beriringan menuju rumah Oik dalam keadaan hening. Oik sendiri masih kesal pada Cakka yang sudah mengajaknya pulang cepat-cepat. Padahal Oik masih ingin membantu Dipta memandikan kerbaunya.
            “Oik! Cakka!”
            Keduanya melihat Dera yang tengah berkacak pinggang di teras rumahnya, memanggil-manggil mereka. Oik segera membuka pagar. Tanpa menutupnya kemudian, ia mengekor Cakka yang menghampiri Dera dan Elang di teras.
            “Dari mana aja?” tanya Elang sambil menatap Cakka dan Oik yang menenteng alas kaki masing-masing.
            “Main di kali, Mas,” jawab Oik singkat. Elang mengangguk paham.
            “Kka, sholat Dhuhur dulu sana. Habis itu kita langsung pulang.” Cakka hanya mengangguk. Dengan diiringi Oik, ia berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudlu lalu sholat di mushola rumah Oik.
            Tak berapa lama kemudian, keduanya kembali ke teras. Rupanya Elang dan Dera tengah memasukkan tas-tas berisi barang-barang Dera ke dalam mobil, Cakka dan Oik pun menyusul.
            “Langsung balik, Mbak?” tanya Oik pada Dera yang baru saja memasukkan sebuah tas besar berisikan bonekanya.
            “Iya, Ik,” Dera mengangguk. “Kamu nggak mau ikut ke Jogja juga?” tawar Dera.
            Oik menggeleng. “Masih nunggu pengumuman jalur undangan, Mbak.”
            “Kamu daftar di mana aja emang?”
            “UGM, Mbak.” Oik tersenyum lebar diakhir kalimatnya.
            “Semoga keterima, ya!” seru Dera. Ia merangkul Oik sekilas lalu masuk ke dalam mobil. Elang dan Cakka pun sudah berada di dalam.
            “Balik dulu, Ik,” pamit Elang.
            Oik mengangguk pelan. “Iya, Mas. Hati-hati nyetirnya.”
            “Oik, mau kuliah di mana?” tanya Cakka dari dalam mobil.
            “UGM, Kka.”
            “Wah! Deket rumahku!” Cakka berseru riang. “Ikut ke Jogja, yuk, Ik?!”
            “Besok-besok aja, Kka. Aku masih nunggu pengumuman.” Tolak Oik dengan halus.

            Setelah berbasa-basi sebentar, Elang pun menyalakan mesin mobilnya. Setelah memanasi mesinnya dalam beberapa menit, Elang melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Oik. Oik melambaikan tangan pada ketiganya–entah ketiganya melihat atau tidak.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [05]

            Pagi itu Agni sedang menonton acara gossip di ruang tengah kediamannya sambil membaca majalah mode terbaru ketika terdengar bunyi derap langkah seseorang. Agni lantas menutup majalahnya dan mengalihkan pandangan menuju sumber suara.
            “Oh, elo, Shil. Kirain Mami sama Papi.” Agni pun kembali menonton televisi.
            Shilla tersenyum pada Agni. Ia kemudian meletakkan sebuah kotak makan di depan calon kakak iparnya itu. “Dari Mama tuh, Mbak.”
            “Apa ini, Shil?” tanya Agni. Tangannya terulur untuk membuka kotak makan tersebut. “Lo nggak ada jadwal nyanyi pagi ini?”
            Shilla terkekeh begitu melihat Agni yang tersenyum lebar ketika membuka kotak makan darinya. “Tadi Mama lagi masak sandwich isi tuna dan gue ingat lo suka banget sama makanan ini. Jadi, ya.. Gue bawa buat lo, Mbak. Ada, kok. Ini gue lagi jemput Cakka. Kemarin dia sudah janji mau temani gue.”
            “Oh,” Agni mengangguk. “Cakka masih molor, tuh. Bangunin aja.”
            Shilla melambaikan tangannya kemudian melangkah menuju kamar Cakka. Benar kata Agni, calon suaminya itu masih belum juga bangun. Buktinya, pintu kamar lelaki itu masih tertutup. Shilla ingat betul kebiasaan Cakka setiap paginya. Jika lelaki itu sudah bangun, ia pasti membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
            Shilla membuka pintu kamar Cakka tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia terdiam di tempat dengan berkaca pinggang begitu melihat ruangan itu kosong. Tak ada sesosok tubuh yang sedang meringkuk dibalik selimut, tak ada bunyi gemericik air dari kamar mandi yang terletak di sudut ruangan, dan tak ada tanda-tanda bahwa Cakka ada di sini.
            “Mbak Agni!” teriak Shilla kalap.
            Shilla berlari menuju ruang tengah dan ia mendapati Agni tengah memakan sandwich darinya. Shilla berdiri di hadapan Agni dan menjauhkan kotak makan berisi sandwich itu dari perempuan di hadapannya.
            “Lo ngapain, Shil?” tanya Agni keki.
            “Cakka, Mbak!” Shilla kembali berteriak kalap. “Cakka nggak ada di kamarnya!”
            Mata Agni membulat kaget. “Serius lo?” Melihat Shilla yang menganggukkan kepalanya, Agni berlalu menuju kamar Cakka. “Gue berani sumpah, Shil, kalau gue nggak lihat dia keluar rumah pagi ini.”
            Agni akhirnya melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Cakka tidak ada di kamarnya. Ia menggeleng tak mengerti. Ia pun melangkah cepat menuju garasi mobil–diikuti Shilla.
            “Mobilnya Cakka nggak ada,” desis Agni bingung.
            “Mbak, Cakka kemana?” tanya Shilla dengan panik.
            “Gue nggak tahu, Shil,” Agni berujar lirih. Ia kemudian mendorong Shilla ke samping mobil gadis itu. “Nyokap lo mana?”
            “Udah di venue sama crew gue yang lain.” Shilla menjawab pendek.
            “Ya udah, lo ke venue aja.” Agni membukakan pintu kemudi untuk Shilla lantas mendorong pelan tubuh gadis semampai itu untuk masuk ke dalam. “Lo tenang aja. Gue telepon Cakka setelah ini. Gue juga akan kabarin lo secepatnya.”
            “Janji, Mbak?”
            Agni mengangguk menyanggupi.
            Setelah Shilla mengendarai mobilnya meninggalkan halaman rumah Agni, Agni langsung menuju kamarnya dan mengambil ponselnya. Ia harus menghubungi Cakka sekarang juga!

**

            Bunyi dering ponsel membangunkan Oik pagi itu. Dengan mata yang masih belum terbuka sepenuhnya, ia meraba-raba night stand. Sebuah ponsel bergetar di sana. Oik agak mendekatkan tubuhnya pada night stand dengan susah. Gadis itu mendengus sebal begitu menyadari lengan Cakka yang masih memeluk erat pinggangnya.
            Begitu mendapat ponsel yang tengah meraung-raung, Oik baru menyadari bahwa ponsel itu bukan miliknya. Pasti milik Cakka. Oik kembali mendengus. Ia melirik layar ponsel dan nama Agni tertera di sana. Dengan ragu-ragu, Oik menerima panggilan tersebut.
            “Kka! Lo dimana? Pagi-pagi udang ngilang aja!”
            Oik terkesiap. Pasti itu kakak atau adik dari Cakka. Oik cepat-cepat mendekatkan ponsel itu ketelinga Cakka. Tangan kirinya yang bebas segera menepuk-nepuk pipi Cakka agar lelaki itu terbangun.
            “Hn,” Cakka berucap tak jelas.
            “Cakka! Jawab gue!”
            Cakka mendadak membuka matanya begitu mendengar suara nyaring dari ponselnya. Memanfaatkan kesempatan itu, Oik menyingkirkan lengan Cakka dari pingganya. Keduanya pun segera menegakkan punggung, duduk diatas ranjang.
            “Iya, Mbak?” tanya Cakka.
            “Lo dimana, Cakka?” Suara di seberang sana terdengar tengah menahan amarahnya.
            “Gue di....” Cakka melirik Oik yang tengah menggelengkan kepalanya dengan tatapan tajam. “Di rumah temen gue, Mbak. Kenapa?”
            “Lo nginep?”
            Cakka menangkap nada curiga dari suara Agni barusan. “Nggak, Mbak. Gue berangkat tadi pagi-pagi banget. Jogging bareng.”
            “Bikin gue dan Shilla panik aja lo!”
            “Shilla?” gumam Cakka bingung.
            “Iya! Tadi dia kesini jemput elo. Dia bilang lo sudah janji sama dia kalau bakalan temeni dia manggung hari ini. Lo lupa?”
            “Oh, iya!” Cakka menepuk jidatnya. “Gue langsung ke venue aja, Mbak.”
            Dan dalam sekejap sambungan telepon pun terputus. Cakka segera menyusul Oik yang telah berada di dapur apartemen gadis itu. Ia mendapati Oik yang sedang menyeduh secangkir teh hangat. Cakka bergerak menghampiri.
            “Buat gue mana?” tanya Cakka begitu ia sudah berada di samping Oik.
            “Buat elo?” tanya Oik balik dengan dahi berkerut bingung. “Mending lo cepet susul Shilla aja. Gue juga nggak butuh elo di sini.”
            “Lala––,”
            “Berhenti panggil gue Lala karena gue bukan Lala!” potong Oik cepat.
            Cakka menggeleng frustasi. “Gue yakin elo itu Lala, Ik! Insting gue nggak mungkin salah menyangkut soal Lala! Semua bukti ngarahin gue ke fakta kalau elo itu Lala, temen kecil gue!”
            Oik menenggak habis teh hangatnya lalu melemparkan cangkirnya pada tempat cuci piring. “Lebih baik elo angkat kaki sekarang juga dari apartemen gue sebelum Alvin pergokin elo di sini.” Ujar Oik, ia kemudian berlalu menuju kamar tidurnya dan membanting pintunya hingga meninggalkan bunyi berdebam yang cukup memukul bagi Cakka.

**

            Pada waktu yang sama, di kediamannya di Kabupaten Bandung, kedua orangtua Oik tengah sibuk bersiap-siap. Keduanya telah rapi dengan setelan batik bermotif pesisir Jawa. Kali ini, Papa Oik juga telah menyewa seorang sopir khusus untuk mengantar dan menjemput keduanya.
            Setelah selesai sarapan dengan nasi goreng keju buatan Mama Oik, keduanya segera masuk ke dalam mobil. Sang sopir mulai menyalakan mesin mobil dan mengendarai mobil tersebut menuju tempat yang dituju.
            Mama Oik mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, bermaksud untuk menelepon Oik. Setelah terdengar nada sambung beberapa kali, akhirnya Oik mengangkat telepon dari beliau.
            “Iya.. Kenapa, Ma?”
            “Nggak, kok. Ini Mama sama Papa mau jenguk dia, Ik.” Mama Oik menjawab pertanyaan putrinya sambil melihat ekspresi suaminya dari ekor mata.
            “Dia?” Terdengar Oik yang menghembuskan napas diujung telepon. “Titipkan salam Oik buat dia juga ya, Ma.”
            “Pasti.” Mama Oik tersenyum sedih. “Kapan kamu juga bisa ikut kami jenguk dia? Kamu terlalu sibuk sama galerimu, Ik.”
            “Beberapa bulan ini memang lagi banyak job, Ma. Maaf ya, lagi-lagi Oik nggak bisa ikut jenguk dia.”
            “Ya sudah, nggak apa-apa. Lain kali kosongin jadwal kamu untuk jenguk dia, Ik. Sekarang kamu lagi di galeri?”
            “Masih di apartemen, Ma. Ini mau ke makam Dayat dulu. Mama mau titip doa?”
            “Doakan dia tenang disana, ya. Minggu depan Mama dan Papa usahakan ngunjungin makam Dayat.”
            “Oke, Ma. Talk to you later. Ini Oik sudah di basement. Mau langsung ke makam Dayat.”
            Mama Oik langsung menutup sambungan teleponnya. Beliau kembali memasukkan ponsel ke dalam tas lebih merapatkan lagi duduknya kearah suaminya.
            “Oik hari ini ke makam Dayat, Pa.” Mama Oik berujar pelan pada suaminya.
            Papa Oik hanya tersenyum tipis. Beliau melirik istrinya sekilas kemudian kembali memandangi hijaunya sawah di luar sana melalui kaca mobil.

**

            Oik baru saja masuk ke dalam mobilnya ketika ia melihat bayangan tubuh seseorang yang dikenalnya melintas. Seorang lelaki dengan pakaian serba hitam. Tak lupa juga, kaca mata hitam bertengger dihidungnya.
            “Gabriel?” desis Oik.
            Gadis itu kemudian hanya mengangkat bahunya cuek. Beberapa menit setelahnya, Oik sudah mengendarai mobilnya membelah jalanan padat Jakarta. Perjalanan menuju TPU Kebon Jeruk membutuhkan waktu sepuluh menit.
            Begitu sampai di pelataran makam, Oik dengan sigap mencari lahan parkir yang masih kosong. Ya! Dapat! Sebuah lahan parkir yang pasti akan muat dibawah pohon rindang. Oik segera memarkirkan mobilnya disana.
            Setelah memastikan tak ada barang yang tertinggal di dalam mobil, Oik turun, mengunci mobilnya, dan berjalan memasukki area pemakaman. Dengan lupa-lupa ingat, Oik berjalan menuju arah utara. Oik menemukan makam Dayat lima menit kemudian.
            Dengan mata yang sudah berair, Oik berjongkok di samping makam Dayat. Ia mengelus nisan bertuliskan Nur Wachid Hidayat itu dengan sedih.
            “Gue jenguk elo lagi, Day.” Oik tersenyum tipis. “Gimana kabar lo di sana? Baik, kan? Gue kangen banget sama lo.”
            Oik mengeluarkan sebuket bunga anggrek dari dalam tasnya. Ia sudah mempersiapkan bunga anggrek itu dari kemarin sore. Dan untungnya, belum layu juga hingga saat ini. Kemudian Oik meletakkan bunga anggrek itu dengan hati-hati diatas makam Dayat.
            “Ini, gue bawain bunga buat lo.”
            Untuk beberapa menit, Oik sibuk memanjatkan doa. Tentu saja ia mendoakan agar Dayat diterima di sisi-Nya, agar Dayat tenang di sana, dan agar semua amal Dayat diterima. Setelah itu, Oik pun berdiri.
            “Gue nggak bisa lama-lama, Day. Ntar siapa dong, yang jaga galeri gue?” Oik terkikik geli. “Besok-besok gue ke sini lagi, Kok. Oh, ya.. Bokap sama nyokap gue kayaknya minggu depan bakal ke sini. Tapi dia belum bisa ikut, Day.”

**

            Shilla baru saja selesai menyanyikan single terbarunya diatas panggung. Setelah sang pembawa acara mempersilahkannya untuk turun, Shilla bergegas menuju ke backstage. Ia yakin Cakka sudah menunggunya di sana. Tadi sebelum ia naik panggung, Agni telah mengiriminya pesan singkat yang berisi Cakka sedang dalam perjalanan menuju venue.
            Begitu sampai di backstage, Shilla mendapati Cakka yang tengah mengobrol bersama krunya. Dengan riang, Shilla menghampiri Cakka dan duduk dipangkuan lelaki itu.
            “Hay, dear,” sapa Shilla manja.
            Cakka tersenyum memohon maaf pada kru Shilla, ia kemudian berbisik pada gadis dalam pangkuannya itu. “Shil, minggir. Nggak enak dilihat kru kamu.”
            “Kenapa, sih?” tanya Shilla tak suka.
            “Minggir.” Cakka mulai hilang kesabaran. Begitu melihat Shilla yang tetap bergeming dalam pangkuannya, Cakka langsung berdiri. Ia tak memperdulikan Shilla yang menatapnya kesal campur sedih.
            “Kamu kenapa, sih?” serang Shilla. Kini keduanya telah berada di dalam mobil Cakka. Shilla telah menitipkan mobilnya pada salah satu kru sebelumnya.
            “Kamu yang kenapa!” balas Cakka. “Aku nggak suka kamu yang overprotektif. Kamu tahu sendiri aku bukan tipe orang yang suka nunjukin kemesraan di depan publik.”
            “Itu cuman kru dari management aku, Cakka. Mereka bukan publik.” Shilla menatap Cakka kesal lalu melempar pandangannya pada keadaan di luar sana.
            “Kita udah mau nikah empat bulan lagi dan kamu masih belum bisa ngertiin aku?” Cakka menatap Shilla tak percaya kemudian menggeleng lesu. “Lebih baik kita undur aja semuanya.”
            Shilla terkesiap. “Nggak bisa. Nggak bisa, Kka. Kita udah persiapin semuanya. Kamu nggak bisa ngundur pernikahan kita gitu aja!”
            “Sesusah apa sih, Shil, ngertiin aku?” tanya Cakka lirih. “Aku nggak suka kamu terlalu show off seperti tadi. Meskipun itu sama kru kamu sendiri.”
            “Oke, oke. Nggak akan lagi. Aku janji.” Shilla menyerah beragumen dengan Cakka. Pasalnya ia selalu kalah. Dan akhirnya, ia selalu mengalah pada Cakka.
            “Sekarang kita kemana?” tanya Cakka dingin.
            “Galeri Oik.”

**

            Alvin menengok kearah galeri Oicagraph, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Alvin kembali mengarahkan pandangannya pada gadis berwajah riang yang berada di dalam mobil di hadapannya.
            “Kenapa? Takut ada yang mata-matain dan aduin kamu ke Oik, ya?” canda gadis berwajah riang itu.
            “Aku takut Rio, Ify, atau pegawai lainnya lihat kita.”
            “Rio dan Ify sudah masuk kerja lagi? Bukannya minggu lalu mereka baru aja nikah? Nggak bulan madu mereka?” tanya gadis itu beruntun.
            Alvin terkekeh. Tangan kanannya mencubit gemas pipi gadis itu. “Iya, mereka udah masuk kerja lagi. Iya, minggu lalu baru aja nikah. Bulan madu? Mana aku tahu!”
            Gadis itu mendadak melirik jam tangannya. “Vin, udah siang. Aku kembali ke rumah sakit, ya. Ada jadwal cek pasien.”
            “Oke. Hati-hati di jalan, ya. Jadi dokter yang berbakti!”
            Alvin memandang mobil yang dikendarai gadis berwajah riang itu perlahan meninggalkan pelataran parkir Oicagraph, bergumul dengan mobil-mobil lainnya di jalan, dan menghilang dibalik padatnya jalan siang itu.
            Baru saja Alvin akan membalikkan badannya untuk masuk ke dalam galeri, sebuah klakson mobil terdengar nyaring. Alvin familiar betul dengan bunyi klakson itu.
            “Oik!”
            Sang pengemudi pun turun setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Ia langsung berpelukan sekilas dengan Alvin. Alvin bersyukur dalam hati. Untung saja gadis berwajah riang tadi telah meninggalkan Oicagraph sebelum Oik datang.
            “Dari mana aja, Ik?” tanya Alvin. Tangannya mulai melingkari bahu Oik.
            “Dari makam Dayat. Biasa, kunjungan rutin tiap bulan.” Oik tersenyum tipis. “Minggu depan Mama sama Papa mau kesini. Kamu mau ketemu?”
            “Oke. Kita bisa minta tolong Ify untuk kosongin jadwal minggu depan.”
            “Hay, Oik!” Sapa Ify dari balik mejanya.
            “Oik? Halo!” Rio pun ikut menyapa dari balik layar komputernya. Rupanya lelaki itu tengah melakukan editting foto.
            Oik hanya melambaikan tangan pada keduanya. Ia dan Alvin langsung duduk di depan meja Ify. Gadis berbehel itu tengah memasukkan foto-foto yang telah dicetak ke dalam beberapa amplop.
            “Pasangan baru kenapa udah masuk kerja aja?” sindir Oik.
            “Tau tuh, si Ify. Gue ajakin bulan madu nggak mau.” Rio menjawab cuek. Oik dan Alvin tertawa.
            “Kita ada jadwal ketemu sama siapa hari ini?” tanya Oik pada Ify.
            Ify terlihat mengecek agenda terlebih dahulu, kemudian ia melirik Oik dan Alvin. “Cakka dan Shilla. Janjian disini jam sebelas.”
            “Jam sebelas, ya? Oke.” Alvin menggumam. Ia lantas berdiri dan berlalu masuk ke dalam ruangan khusus pegawai Oicagraph.
            “Mau kemana, Vin?” Oik berteriak dari tempatnya.
            “Mau ngerebus mie di dapur. Nggak sempat sarapan tadi, Ik.”
            Setelah mengira-ngira Alvin tak akan bisa mendengar percakapannya dengan Ify, Oik memajukan kursinya. “Fy, gue mau tanya.”
            Ify menatap Oik sekilas dengan alis terangkat sebelah. “Ya?”
            “Alvin...” Oik menghela napasnya. “Alvin ada tamu pagi ini? Atau, paling nggak, dia telepon siapa gitu hari ini?” tanya Oik penasaran.
            Begitu menyadari ada yang serius, Ify meletakkan seluruh foto yang tadi menyita perhatiannya. “Ada apa, Ik?” tanya Ify lembut.
            “Gue nggak tahu, Fy.” Oik menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. “Gue ngerasa Alvin beda akhir-akhir ini. Dia nggak seperti biasanya.”
            “Yup! Gue setuju! Gue ngerasa perlakuan dia ke elo akhir-akhir ini beda.” Rio kembali menyahut.
            Oik mengangguk. “Tuh, Fy.. Rio aja sadar.”
            Ify mengangguk mengerti.
            “Beberapa minggu yang lalu, waktu Cakka dan Shilla kemari, gue lihat Alvin ngobrol sama cewek di depan sana. Waktu gue pingsan itu, Fy.” Oik melirik sekitar, Alvin tidak ada. “Beberapa kali setelah itu, gue sering lihat cewek itu ada di sekitar Alvin.”
            “Lo yakin lo nggak salah lihat?” Ify memastikan.
            “Nggak.” Oik menggeleng yakin.
            “Apa yang lo maksud... cewek dengan wajah riang dan kulit putih?”
            Oik terperangah kemudian mengangguk cepat. “Iya! Nggak salah lagi! Cewek itu!”
            “Tadi sebelum elo dateng, cewek itu ada di sini. Ngobrol di depan sama Alvin, Ik.”

            Oik kembali terpekur. Siapa gadis itu? Apa Alvin mengkhianatinya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS