Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SUPERGIRLS part 4 (Keke's Story)







            Pukul lima tepat! Jam weker berbentuk ayam berwarna merah itupun langsung berkoar-koar, mencoba membangunkan sang empunya dari mimpi indah. Untuk beberapa detik awal, sang empunya terlihat bergeliat sedikit.

            “Jam berapa ini?” erangnya.

            Gadis berpipi chubby itu, Keke, segera membuka kedua kelopak matanya. Ia mengedik sekilas pada gorden kamarnya. Masih gelap di luar sana. Lantas, ia beralih pada jam weker yang telah menunjukkan pukul lima lebih sedikit itu.

            Tak menunggu lama, gadis itu mematikannya sehingga tak terdengar lagi koar-koaran darinya. Setelah itu, Keke kembali merebahkan tubuhnya di ranjang dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut bergambar boneka teddy bear berwarna pink.

            Baru beberapa detik saja, Keke sudah kembali dengan bunga tidurnya...

^^^

            Terlihat seorang wanita yang sudah berumur berjalan terburu-buru menuju kamar Keke. Wanita itu telah siap dengan pakaian dinasnya. Ya, ia memang salah satu anggota badan legislatif di Malang. Sesekali, ia mengedik pada arlojinya yang berkilauan karena batu-batuan yang menghiasinya itu.

            “Ini sudah pukul enam lewat dan Keke belum juga bangun. Kelewatan sekali anak gadisku itu!” geramnya, jengkel.

            Anak gadisku? Tepat! Wanita itu adalah orang tua dari Keke. Di mana papanya? Beliau sedang ada tugas di luar pulau. Hanya sebulan sekali beliau pulang ke Malang. Selebihnya, Keke hanya tinggal di rumahnya dengan mama dan adik lelakinya yang masih mengenyam pendidikan di bangku SD.

            Wanita itu mulai membuka pintu kamar Keke dengan tangan kirinya. Tangan kanannya telah menenteng tas kerjanya. Perlahan, ia masuk ke dalam dan duduk di bibir ranjang Keke. Ia menyingkap sedikit selimut Keke.

            “Keke.. Bangun, ayo. Kamu ga sekolah?” tanya beliau dengan lembut.

            Keke kembali menggeliat. Ia berdesah kecil, tak tau berucap apa. Pasalnya, ia melakukannya seraya menguap lebar-lebar. Menunjukkan sederet gigi-gigi kecilnya yang berwarna putih sempurna.

            “Ayo, bangun. Sudah jam enam lewat ini. Kamu pasti terlambat lagi..” kata beliau.

            Wanita itu pun memukul pelan lengan Keke. Keke terbangun dibuatnya. Begitu ia terbangun, ia langsung menunjukkan wajah kesalnya pada sang mama.

            “Kenapa lagi, Ke?” tanya beliau.

            “Keke ngantuk! Mau tidur lagi aja!” kata Keke, ia kemudian kembali tertidur di ranjangnya.

            “Oke. Lima menit saja. Mama tunggu kamu di ruang tamu. Kalau dalam lima belas menit kamu belum juga muncul, mama tinggal!”

            Keke hanya mengangguk ogah-ogahan. Mamanya lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu. Keke menghembuskan napasnya dengan berat. Pelan-pelan ia membua kelopak matanya. Mengerjap-erjapkannya sesaat, mencoba memfokuskan pandangannya agar tidak kabur.

            “Jam berapa ini? Mama cerewet sekali. Aku, kan, sudah biasa terlambat,” ocehnya.

            Ia kembali memelototi jam wekernya. Jarum pendek berada di antara angka enam dan tujuh, sedangkan jarum panjangnya berada di angka delapan. Oh, sial! Ia benar-benar akan terlambat lagi. Bel masuk sudah berbunyi semenjak sepuluh menit yang lalu!

            Keke pun bangkit. Ia berjalan menuju almari, mengambil seragam sekolahnya, dan bergegas menuju kamar mandi yang berada di sebelah almarinya. Mandi dengan cepat. Beginilah rutinitas gadis itu setiap harinya. Hampir tidak pernah ia dating di sekolah sebelum bel masuk berbunyi.

            Tujuh menit berlalu. Keke keluar dari dalam kamar mandi dengan sudah mengenakan seragam sekolahnya, SMP Mariskova. Ia pun segera memakai sepatunya. Berjalan menuju meja belajar, melihat jadwal pelajaran, dan memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dengan asal-asalan.

            “Astaga! Ada PR! Errr, PR apa? Sudahlah, aku sudah terlambat ini. Untuk apa mengerjakan PR? Pasti guru yang mengajar pada jam pelajaran pertama langsung menyuruhku hormat di bawah tiang bendera sampai pelajarannya selesai,” gumam Keke.

            Sepuluh menit tepat!

            “Masih kurang lima menit, ya? Aku tinggal tidur saja..”

            Keke pun kembali naik ke atas ranjangnya. Baru saja ia mencoba memejamkan matanya, teriakan mamanya dari ruang tamu telah merusak moodnya untuk kembali tidur.

            “Keke! Kalau sudah selesai, segera ke ruang tamu! Jangan tidur kembali!”

            Dengan langkah berat, Keke pun beranjak menuju ruang tamu. Ia melihat mamanya sedang duduk di salah satu sofa dengan menyeduh segelas green tea favoritnya. Keke pun langsung duduk di sampingnya.

            “Ini sudah jam berapa, Keke? Lupa pasang alarm lagi?” tanya beliau, sesaat setelah ia meletakkan segelas green teanya.

            “Pasang, kok, ma..” jawabnya.

            “Terus? Kenapa harus mama bangunkan dulu?” tanyanya lagi.

            “Tadi jam lima sudah bangun Keke. Tapi masih ngantuk. Jadi, ya, cuman matiin alarm dan tidur lagi.”

            “Ya sudah, ayo berangkat!”

            Mamanya pun segera berdiri, tangan kanannya kembali menenteng tas kerjanya. Keke hanya mengekor di belakang. Beliau masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Keke duduk di sampingnya. Mereka pun melesat menuju SMP Mariskova.

^^^

            Dan, benar saja! Keke kembali terlambat.

            Setelah turun dari mobilnya, Keke pun berjalan menuju gerbang utama sekolah yang sudah terututup rapat. Ia mengedik pada jam tangannya. Pukul tujuh lebih sedikit. Ketika ia melirik tempat mobil mamanya tadi berhenti, sudah tidak ada apapun di sana. Pasti beliau sudah melesat menuju kantor.

            Keke menengok ke kanan dan ke kiri. Ada empat orang lain yang terlambat, selain dirinya. Seorang siswa kelas sembilan, dua orang siswi kelas delapan, dan seorang siswa kelas tujuh.

            Ah, ya! Sudah taukah kalian bahwa hari ini adalah hari efektif pembelajaran pertama setelah MOS? Dan sekarang, Keke telah duduk di bangku kelas delapan. Ia masuk ke dalam kelas unggulan billingual.

            “Hey, kamu!” panggil Keke, pada seorang siswa kelas tujuh.

            “Aku, mba’?” tanya siswa itu, Keke mengangguk.

            Dengan perlahan, siswa itu segera menghampiri Keke. Keke, dengan otomatis, langsung memasang wajah ‘ala kakak kelas’ pada umumnya. Apalagi, ia masih menjadi anggota OSIS, belum lepas jabatan.

            “Kenapa, mba’?” tanya siswa itu, lagi.

            “Kamu kelas tujuh, kan?” tanya Keke balik.

            Siswa itu mengangguk, “Kenapa, mba’?”

            “Kenapa, kenapa! Kamu tau, aku ini anggota OSIS. Kamu ini masih belum seminggu di Mariskova tapi sudah berani terlambat. Kenapa kamu bisa masuk sini, sih? Cih!” desis Keke.

            “Lho? Mba’ sendiri, anggota OSIS tapi kenapa terlambat?” tanya adik kelasnya balik.

            Senjata makan tuan! Keke mencari alasan. Beberapa detik berselang, Keke hanya memelototi adik kelas barunya itu dengan tangan dilipat di depan dada.

            “Sudah, sudah! Kenapa kamu jadi menyalahkanku? Kamu sendiri, kenapa terlambar? Dasar kau ini!” Keke menggeram tak kentara.

            “Kemarin ada sembahyang di rumah, mba’. Dan sesajennya belum dibereskan karena tadi malam sudah capek. Jadinya, ya, tadi pagi baru bisa dibereskan..” jelasnya.

            “Oh, kau beragama Hindu?” tanya Keke, adik kelasnya itu kembali mengangguk.

            “Iya, mba’. Aku tadi terlambatnya ga sengaja, kok..” jawabnya lagi.

            “Baiklah. Ku maafkan kau, eee, siapa namamu? Anak Agung Ngurah? Aku memanggilmu apa? Anak?” Keke terlihat bingung sendiri.

            “Deva, mba’. Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. Nama dadanya ga cukup kalau nama lengkapku ditulis semua,” adik kelas itu, Deva, menyunggingkan cengiran terlebarnya.

            Keke hanya mengangguk mengerti.

            Tak lama kemudian, seorang satpam sekolah datang dari arah gedung utama SMP Mariskova. Sepertinya dari ruang BP. Dengan sigap, satpam itu segera membuka gerbang utama dan memelototi para siswa-siswi yang terlambat.

            Pandangannya terantuk pada Keke, “Kamu lagi! Sudah keberapa kalinya ini kau terlambat?” hardiknya.

            Keke menggeleng tak tau, “Lupa, pak. Sudah terlalu sering.”

            Satpam itu melengos malas. Dari belakangnya, muncul seorang guru BP yang sangat dikenal oleh seantero Mariskova karena kejudesannya. Keke memandang guru itu tanpa ekspresi ketika beliau memandangnya dengan tajam.

            “Gabriel Angeline! Kau terlambat lagi?!” pekik beliau.

            “Iya, bu..” jawab Keke.

            “Oh, nama mba’ itu Gabriel Angeline?” tanya Deva, ia menyenggol pelan lengan Keke.

            Keke mengalihkan pandangannya pada Deva dan mengangguk, “Gabriel Angeline Talitha Pangemanan. Panggil Keke.”

            Gurunya hanya menggelengkan kepalanya, pertanda ia sudah sangat tau kebiasaan Keke yang satu ini. Guru itu pun mulai mengeluarkan bukunya dan menulis nama-nama siswanya yang terlambat di sana. Pengecualian untuk Keke karena ia sudah sangat sering terlambat.

            “Hukuman kali ini, kalian berlari memutari lapangan dua kali. Dan, khusus untuk Gabriel Angeline, kamu berlari memutari lapangan tiga kali. Itu sebagai gantinya karena saya tidak menulis namamu dibuku pelanggaran.” ujar guru itu.

            “Lapangan basket, bu?” celetuk seorang siswa kelas sembilan.

            Guru itu kembali berdecak, “Bukan. Saya bilang lapangan, ya lapangan!”

            Bibir Deva kontan menganga lebar. Pasalnya, lapangan yang diucapkan guru BP tadi berarti keseluruhan lapangan SMP Mariskova yang berkumpul menjadi satu. Lapangan upacara, lapangan voli, lapangan basket, dan lapangan sepak bola berada dalam satu lokasi yang hanya dipisahkan oleh sekat-sekat. Jadi, mereka-mereka yang terlambat ini akan berlari mengitarinya dari pinggir lapangan, yang luasnya mencapai 1 hektar ini.

            “Kenapa kamu?” tanya Keke.

            “Kita lari, mba’? Ngitarin lapangan ini?” tanya Deva balik.

            Keke mengangguk santai, “Sudah. Ayo lari! Kamu, kan, cuman 2 putaran. Aku tiga putaran.”

            Kelima siswa-siswi yang terlambat itu pun mulai menjalankan hukumannya, termasuk Keke dan Deva. Guru BP tadi telah berpesan kepada satpam agar mengawasi mereka-mereka ini. Sang satpam mengawasi dari bawah pohon beringin yang tumbuh di pinggir lapangan sepak bola.

            Dua orang siswi kelas delapan dan seorang siswa kelas sembilan pun segera berlari agar mereka dapat cepat masuk ke dalam kelas. Berbeda dengan Keke dan Deva yang sangat santai. Keduanya hanya berjalan cepat saja.

            “Gabriela Angeline! Anak Agung! Ayo lari! Jangan hanya berjalan cepat!” teriak satpam itu.

            Keke berdecak kesal. Ia pun sedikit mempercepat laju jalannya. Disusul dengan Deva yang berlari-lari kecil di sampingnya.

            “Gabriel Angelie! Saya bilang berlari! Bukan berjalan cepat!” teriaknya lagi.

            “Saya ga bisa lari, pak! Bapak mau lihat saya terkapar di tengah lapangan karena asma saya kambuh?” teriak Keke balik, sedikit menantang.

            “Mba’ Keke punya asma?” tanya Deva, ia berangsur kembali berjalan cepat.

            “Iya. Kenapa?”

            “Ga kenapa-kenapa. Cuman tanya, kok, mba’.”

            “Kenapa tanya-tanya? Suka bilang aja.”

            “Mba’ Keke percaya sama love at the first sight?”

            “Percaya, percaya aja. Kenapa?”

            “Aku, sih, percaya banget..”

            “Lantas? Ada bukti kongkrit?”

            “Kita lihat saja nanti..”

^^^

            Ketiga siswa-siswi lainnya telah selesai menyelesaikan hukuman semenjak lima belas menit yang lalu. Sedangkan Keke dan Deva baru saja selesai. Keduanya pun segera menuju kantin yang terletak tak jauh dari lapangan basket.

            “Mba’ Keke mau minum? Atau makan?” tanya Deva.

            “Minum aja. Yang adem-adem pokoknya,” pesan Keke.

            Deva pun mengangguk, ia berlalu menuju salah satu stan yang sudah buka. Keke hanya duduk di bagian terluar kantin seraya menopang dagunya dan memandang kea rah jalan raya di luar gerbang utama Mariskova.

            Tiba-tiba saja, muncul sebotol air mineral dingin di depan kedua matanya. Keke mendongak, menatap orang yang mengacungkannya. Deva. Keke menerimanya dengan senyum.

            “Makasih,” katanya.

            Dengan cepat, Keke menghabiskan minumnya. Setelah habis, ia pun berdiri dengan menenteng tasnya.

            “Mau ke mana, mba’?” tanya Deva.

            “Balik ke kelas. Kamu ga balik?”

            “Balik, kok. Mba’ Keke duluan aja. Masih mau istirahat sebentar ini.”

            “Ya sudah. Duluan, Dev!” pamit Keke, Deva hanya mengangguk seraya tersenyum.

            Keke pun berlalu menuju kelasnya, meninggalkan Deva yang masih terduduk di kantin dengan kedua mata yang terus menatap punggungnya lekat hingga ia menghilang di balik koridor menuju kelasnya.

            “Mba’ Keke tau ga kenapa tadi aku tanya mba’ Keke percaya sama love at the first sight atau ga? Itu karena aku lagi ngalamin itu, mba’. Sama mba’ Keke..”

^^^

            Keke baru saja tiba di depan kelasnya. Ia merapikan seragamnya sebentar. Setelahnya, ia mengetuk pintu kelasnya. Muncul seorang guru dari dalam.

            “Terlambat lagi, Gabriel Angeline?” tanya guru itu.

            “Iya, bu. Maaf!”

            “Sudah mengerjakan PR?” tanya beliau lagi.

            “Belum,” Keke menggelengkan kepala dengan santai.

            “Letakkan tas kamu di dalam. Setelahnya, lekas ke lapangan. Hormat pada tiang bendera hingga jam pelajaran saya habis,” pesan guru itu, dengan senyum diakhir kalimatnya.

            “Baik, bu..” Keke kembali mengangguk dengan santai.

            Keke masuk ke dalam kelasnya dan meletakkan tasnya. Kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya hanya memandangnya tak mengerti. Terlebih lagi Sivia. Maklum, calon Ketua OSIS pada periode yang baru ini.

            “Kok lama balik ke kelasnya?” tanya Oik.

            “Ada Deva,” jawab Keke, singkat.

            “Deva siapa?” tanya Nova.

            “Adik kelas bukan, sih?” timpal Aren.

            “Dihukum apa tadi emangnya?” lanjut Acha.

            Baru saja Keke akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu, gurunya telah memotongnya.

            “Oik Cahya, Nova Cintya, Aren Nadya, Larissa Safanah, jangan diajak mengobrol itu temannya. Biarkan dia kembali hormat pada tiang bendera!”

            Oik, Zevana, Aren, dan Acha lantas menundukkan kepalanya. Keke berjalan keluar dari kelasnya dengan santai dan menuju lapangan upacara yang terletak tak jauh dari kantin juga.

^^^

            Deva baru saja kembali dari kelasnya. Ia kembali terduduk lemas di bagian terluar kantin, tempat ia dan Keke beristirahat beberapa menit yang lalu. Tadi, di kelasnya, ia ditolak mentah-mentah oleh sang guru. Dan beliau menyuruh Deva untuk tetap di luar, tidak masuk pada saat jam pelajarannya hari ini.

            Alhasil, Deva kembali ke kantin. Hanya tempat itu yang terpikir olehnya. Perpustakaan? Tak mungkin, terlalu membosankan di sana.

            Deva mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru kantin. Sangat sepi. Ia beralih pada lapangan. Kedua mata lebarnya menelusuri setiap sudut lapangan basket, lapangan sepak bola, lapangan voli, dan lapangan... Hey, tunggu! Bukankah itu Keke?

            “Mba’ Keke!” panggil Deva.

            Seorang gadis yang tengah hormat pada tiang bendera pun beralih menatapnya. Kedua mata gadis itu membulat sempurna. Bibirnya bergerak, mengucapkan nama Deva.

            Deva segera berlari ke arahnya, dengan menenteng tasnya asal-asalan. Begitu sampai di hadapan Keke, Deva mulai sibuk mengatur napas setelah berlarian tadi.

            “Kamu bukannya mau balik ke kelas, Dev?” tanya Keke.

            “Sudah tadi, mba’. Tapi, kata gurunya, aku ga boleh masuk di jam mata pelajarannya hari ini,” jelasnya.

            “Terus kamu ngapain di sini? Ngelihat aku yang lagi hormat?” tanya Keke lagi.

            “Nemenin mba’ Keke aja. Biar mba’ Keke ga kesepian. Aku juga lagi ga ada kerjaan.”

^^^

            Seiring waktu berjalan, keduanya pun semakin dekat. Bahkan, seantero Mariskova pun sudah tau akan hal itu. Keduanya juga sering terlambat berbarengan, tanpa direncakanan. Soal PR, keduanya juga sering bertemu di lapangan upacara karena tidak mengerjakan PR untuk melakukan ‘ritual’ bagi mereka-mereka yang tidak mengerjakan PR, hormat pada sang saka merah-putih.

^^^

            Sore itu, keduanya sedang berada di lapangan basket. Sekolah sudah sangat sepi. Pasalnya, bel pulang sudah meraung-raung semenjak sejam yang lalu. Keduanya sedang saling lempar bola basket ketika itu.

            “Ga pulang, Dev?” tanya Keke.

            Deva menggeleng dan kembali melempar bola basket pada Keke, “Mba’ Keke sendiri?”

            “Belum ada yang jemput. Mama masih di kantor.”

            “Papa?”

            “Dinas di luar pulau.. Kamu kenapa ga pulang?”

            “Nemenin mba’ Keke. Kasihan kalau sendirian.”

            “Emang ga sembahyang, Dev?”

            “Sembahyang, kok. Nanti, begitu mba’ Keke dijemput, aku pulang, sampai rumah langsung bersih-bersih badan, dan sembahyang.”

            “Sembahyang itu ga boleh ditunda-tunda, Dev. Pulang sekarang aja!”

            “Mba’ Keke gimana?”

            “Sepuluh menit lagi pasti mama sudah sampai sini,”

            “Ya sudah, sepuluh menit lagi aku pulang.”

            “Kamu kok ngotot, sih?! Kenapa ga sekarang aja?”

            “Salah, ya, mba’, kalau aku pingin nemenin mba’ Keke di sini?”

            “Engga, sih. Tapi, kan, kamu harus sembahyang,”

            “Sepulang dari sini aku langsung sembahyang, kok, mba’,”

            “Kamu kenapa, sih?”

            “Aku cuman pingin nemenin orang yang aku sayang di sini..” Deva segera menundukkan kepalanya dalam-dalam.

            Keke terperangah kaget, “Apa, Dev? Siapa? Aku?”

            Deva sedikit mengangkat kepalanya, “Siapa lagi, mba’? Sekolah, kan, sudah sepi.”

            “Kamu sayang aku, Dev?” tanya Keke.

            Deva tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya mengangguk kecil. Keke kembali terperangah kaget.

            Keke berusaha mengontrol debaran jantungnya yang semakin menggila, “Terus? Segini aja kamu ngomongnya?”

            “Apa lagi, mba’? Aku harus nembak mba’ Keke, gitu?”

            Keke mengangguk bersemangat, “Iyalah!”

            “Buat aku, status itu ga penting, mba’. Karena status itu ga bisa menjamin keadaan hati seseorang.”

            “Tapi, buat aku, status itu penting, Dev! Kalau kamu ga nembak aku, berarti kamu ngebiarin aku dideketin sama yang lainnya. Itu juga berarti kamu nyuruh aku buat move on dari kamu!”

            Kali ini Deva yang terperangah kaget, “Mba’ Keke sayang aku juga?”

            Keke hanya mengangkat bahunya, “Gimana, ya? Ga tau, deh! Tembak dulu, dong, makanya!”

            Deva terlihat berpekiri sebentar. Dan akhirnya, tangannya mulai menggapai tangan Keke. Mencampakkan sebentar bola basket yang sedari tadi menjadi mainan keduanya.

            “Mba’ Keke mau jadi ceweknya Deva?” tanya Deva, malu-malu.

            Keke mengangguk perlahan, “Pasti!”

            Keduanya pun saling tersenyum. Baru beberapa detik bertahan pada posisi ini, ponsel Keke tiba-tiba bergetar. Miscall dari sang mama. Ia pun segera mengambil tasnya dan menggendongnya.

            “Pulang, mba’?” tanya Deva.

            Keke mengangguk, “Kita ini sudah jadian! Jangan panggil aku mba’, dong! Panggil Keke saja!”

            “Oh, iya. Keke pulang?” ulang Deva.

            “Iya, Dev..” jawab Keke.

            “Ya sudah. Ke gerbangnya barengan, ya..” ajak Deva, Keke hanya mengangguk setuju.

^^^

            Pajamas party. Kegiatan rutin para anggota SUPERGIRLS setiap minggunya. Dan, kali ini, diadakan di kediaman Keke. Kesembilan sahabatnya hanya bertanya-tanya dalam hati ketika melihat Keke yang sebentar-sebentar selalu sibuk dengan ponselnya.

            “Keke ngapain? Kok ngecheck ponsel terus?” tanya Shilla.

            “Ngebales BBM aja, kok, Shill. Kenapa?” tanya Keke balik.

            “Ga. Ga biasanya aja, Ke.” seloroh Angel.

            “Mirip orang yang sudah punya pacar,” celetuk Zahra.

            Suasana mendadak hening. Shilla, Angel, Ify, Sivia, Oik, Acha, Nova, dan Aren terdiam menelaah perkataan Zahra. Mirip orang yang sudah punya pacar. Benar juga. Apakah... Oh! Sepertinya Keke tidak menceritakan hal ini pada mereka semua.

            “Keke sudah punya cowok?” tanya Sivia, langsung.

            Keke mengangguk kecil, dengan santai. Semakin membuat kesembilan sahabatnya gemas padanya. Gemas sekaligus penasaran. Ya...

            “Siapa, Ke?” tanya Nova.

            “Apa Deva?” tanya Aren.

            “Adik kelas itu?” tanya Ify.

            “Iya..” jawab Keke, lagi-lagi, dengan amat sangat santai.

            Keke kembali mengecheck ponselnya. Membalas BBM dari Deva. Ia seolah tak memperdulikan Sivia, Zahra, Ify, Angel, Shilla, Oik, Nova, Acha, dan Aren yang kembali terperangah karena jawaban santainya.

            “Serius sama Deva?” tanya Acha, Keke mengangguk.

            “Deva anak kelas tujuh?” tanya Ify, Keke kembali mengangguk.

            “Deva yang anak basket?” tanya Oik, Keke lagi-lagi mengangguk.

            “Kenapa ga bilang-bilang sama kita kalau kamu sudah jadian?” pekik Shilla.

            Keke menengok ke arah gadis berbehel itu. Ia menyilangkan telunjuknya di depan bibirnya, “Mau cerita ke kalian tapi lupa,” jawabnya.

            “Astaga, Keke! Dapat adik kelas lagi?” tanya Zahra.

            “Iya, Zahra. Astaga! Kenapa?” tanya Keke balik.

            “Kok sama anak bau kencur, sih?!” desis Shilla.

            “Eh! Emang kamu pikir kita gab au kencur, apa? Kita juga masih SMP!” balas Keke.

            “Ya tapi, seengganya, kan, kita dapat yang seumuran. Bukan malah yang lebih muda, lebih kekanak-kanakan daripada kita,” kilah Shilla.

            Keke menatapnya tepat di manik mata Shilla, “Ingat, Shill, kedewasaan seseorang itu ga diukur dari setua apa umurnya, tapi dari sikapnya. Deva memang lebih muda daripada aku, tapi dia lebih dewasa daripada aku,”

            “Cie, Keke sekarang sudah dewasa, ya!” seloroh Oik, dengan wajah polosnya.

(Keke's Story - End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SESUATU YANG BARU part 1 (pra-MOS)

            Pagi menjelang. Sebuah jam berbentuk bunga tulip yang setengah merekah telah menunjukkan pukul lima dini hari. Ketiga burung mungil milik Ify, Oik, dan Sivia telah mengeluarkan suara-suara khas mereka tepat di telinga pemilik masing-masing.

            Sivialah yang pertama kali terbangun. Untuk beberapa saat, ia masih mengucek kedua matanya, belum bergerak sedikitpun dari posisi tengkurapnya. Burung berwarna oranye miliknya segera memunculkan secarik kertas berisikan jadwal pra-MOS hari ini pada Sivia ketika gadis oriental itu sudah dapat memfokuskan matanya.

            Sivia mendesah pelan. Tangan kirinya terasa sedikit nyeri. Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit dari ranjangnya dan menuju sebuah rak berwarna oranye pula. Ia mengambil sebuah pil obat dari dalam topless kaca. Sivia merapalkan sebuah mantera. Setelahnya, muncullah segelas penuh air putih di sebelah topless tersebut.

            Sivia segera menenggak pil kecil itu. Setelahnya, ia pun mengambil pakaian pra-MOS dari dalam almari dan melenggang menuju kamar mandi, mengacuhkan Ify dan Oik sejenak yang masih juga belum kembali dari peraduannya.

            Lima menit berlalu. Kicauan burung milik Ify dan Oik makin menjadi-jadi. Sedangkan burung milik Sivia sedang bertengger di atas sebuah ranting kecil yang melayang begitu saja di di sebelah jam berbentuk bunga tulip.

            Sivia menggerutu kesal dari dalam kamar mandi. Acara mandi paginya berlalu begitu kacau karena kicauan yang menjadi dari burung milik Ify dan Oik. Keduanya tetap saja belum bangun. Pasalnya, Ify dan Oik menutupi telinga mereka menggunakan bantal.

            “Ifyyyyy! Oiiiiik! Cepet bangun! Ini udah jam lima lebih! Kalian ga ikut pra-MOS?” teriak Sivia dari dalam kamar mandi.

            Karena suara Sivia yang terlampau kencang, Ify dan Oik terkaget dan bangun seketika. Keduanya segera duduk di bibir ranjang masing-masing. Belum juga selesai mengucap, burung mungil masing-masing telah mengeluarkan secara tiba-tiba secarik kertas tentang kegiatan pra-MOS mereka hari ini.

            Ify menatap burung mungilnya dengan cemberut, “Hey! Kamu ga bisa nunggu aku selesai nguap dulu baru munculin secarik kertas itu secara tiba-tiba di depanku?”

            Burung mungilnya menunduk lemas. Secarik kertas itu tiba-tiba saja hilang seiring dengan tertunduknya kepala burung mungil itu. Ify melengos malas. Tatapannya tertuju pada Oik yang masih menguap lebar-lebar.

            “Ify! Jangan marahin dia! Perasaan mereka sensitive banget. Kalau kamu terus-terusan kaya’ gitu, mereka ga akan ngebantu kamu lagi!” lagi-lagi Sivia berteriak dari dalam.

            “Iya, maaf!” teriak Ify balik, lagi-lagi setelah gadis berbehel itu selesai menguap.

            Tak lama kemudian, Sivia pun keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan pakaian pra-MOS. Ia segera melenggang menuju almarinya dan mengeluarkan macam-macam barang yang harus ia bawa saat pra-MOS.

            Semenit berlalu semenjak keluarnya Sivia dari dalam kamar mandi. Suasana di dalam rumah pohon itu masih saja hening. Sivia terpaku, menyadari tak ada gerakan sedikitpun dari kedua teman sekamarnya. Ia berbalik, menghadap Ify dan Oik yang masih setia berada di atas ranjang.

            Sivia berkacak pinggang dan mulai mencak-mencak, “Hey! Kalian ga mandi? Ga takut telat? Ga takut disemprot kakak-kakak OSIS yang bakalan ngebina kita dipra-MOS nanti?”

            Ify dan Oik menatapnya datar. Dengan gerakan selambat siput, keduanya segera menuju almari masing-masing dan mengambil pakaian pra-MOS. Setelahnya, mereka memasukki kamar mandi dengan berbarenga. Catat, berbarengan!

            Sivia terperangah kaget, “Kalian mau mandi bareng?!” pekiknya.

            “Biar ga telat..” jawab keduanya, tentu saja dengan nada sedater-datarnya.

            Sivia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasakan tangan kirinya kembali diserang rasa nyeri, gadis itu segera duduk di sebuah kursi dengan sandaran empuk di dekatnya. Ia usap perlahan sumber rasa nyeri tersebut.

            Dengan keadaan yang seperti ini, tak mungkin rasanya ia mengambil keperluan pra-MOS dari dalam almari. Ditambah lagi, ia juga akan mengeluarkan keperluan pra-MOS milik Ify dan Oik agar keduanya tidak terlambat datang.

            Bibir Sivia bergerak lambat, merapalkan sebuah mantera. Setelahnya, barang-barang keperluan pra-MOS miliknya serta Ify dan Oik keluar dari dalam almari. Melayang pelan dan terjatuhkan di atas ranjang masing-masing.

            Sivia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Kelopak matanya tertutup perlahan. Baru beberapa menit yang lalu ia meminum pil penghilang rasa nyeri. Berarti, tak mungkin ia kembali meminumnya sekarang. Sivia terkulai, menyadari pra-MOSnya akan berjalan dengan sedikit tidak lancar.

            Jam berbentu bunga tulip yang melayang di atas mulai berdenting enam kali. Pukul enam. Terdengar bunyi gaduh dari dalam kamar mandi. Ify dan Oik segera keluar dari dalamnya dan menenteng perlengkapan pra-MOS, lalu menuruni rumah pohonnya.

            Ketika telah sampai di bawah, keduanya saling pandang. Sadar akan suatu hal. Mereka hanya berdua! Sivia masih di atas!

            “Siviaaaaa!!!” teriak ketiganya dari bawah.

            Sivia mengerjap dan refleks membalas panggilan keduanya, “Iya! Aku turun sekarang!”

            Sivia mengambil perlengkapannya dan menentengnya dengan tangan kanan. Rasa nyeri itu perlahan lenyap. Ia tersenyum tipis. Dengan hati-hati, ia menuruni rumah pohon itu. Ify dan Oik telah menunggunya di bawah dengan berkacak pinggang.

            “Ngapain, sih? Lama!” gerutu Ify.

            “Pasti ketiduran. Iya, kan?” desak Oik.

            Sivia memamerkan cengirannya, memperlihatkan sederet gigi putihnya yang rapi, “Maaf! Udah, ayo ke main hall. Pasti udah mau dimulai.”

            Sivia pun menggamit lengan Ify dan Oik. Gadis itu sedikit menggeret keduanya agar lebih cepat berjalan. Dalam perjalanan menuju main hall pun mereka bertemu dengan siswa-siswi baru lainnya. Mereka juga memakai pakaian dan membawa keperluan seperti ketiganya. Ketiganya lantas menghembuskan napas lega.

            Di koridor, ketiganya berpapasan dengan seorang lelaki berpakaian bebas. Oh, rupanya dia siswa tingkat 12 Witchy School of Art. Sepertinya dia juga bukan anggota OSIS dan panitia luar penyelenggara MOS karena dia tidak memakai tanda pengenal apapun.

            “Pagi, kak!” sapa Ify, Oik, dan Sivia kepadanya.

            Lelaki tadi hanya tersenyum kecil dan sedikit menundukkan kepalanya. Setelahnya, ia lantas melenggang meninggalkan mereka bertiga dengan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celananya. Tumpukan buku-buku tebal mengekor di belakangnya, tentu saja dengan bantuan sihir.

            Oik terpana sesaat ketika melihat senyuman lelaki tadi.

            “Hey!” dengan jailnya, Ify dan Sivia menepuk pundak Oik secara bersamaan.

            Oik terbangun dari alam imajinasinya dan dengan refleks ia berkata, “Kakak yang tadi manis banget!”

            Ify dan Sivia melongo, kaget. Sedangkan Oik, cepat-cepat menutup mulutnya dengan pipi yang lambat laun bersemu merah. Beberapa kali Oik menengok ke belakang. Sayangnya, lelaki tadi sudah hilang entah ke mana.

            “Kamu ‘suka’ dia, Ik?” tanya Sivia, kedua tangannya membentuk tanda kutip ketika mengucapkan kata ‘suka’.

            Oik menggeleng cepat, “Ga, kok! Serius! Cuman suka manisnya doang!” sahut Oik cepat.

            “Kalau suka beneran juga ga apa-apa, kok.” goda Ify, ia menyenggol pelan lengan Oik.

            Oik sontak cemberut. Ia cepat-cepat menarik lengan Ify dan Sivia menuju main hall. Ketiganya menyeruak di antara siswa-siswi baru lainnya dan, dengan bergegas, menuju main hall. Mereka takut terlambat. Apalagi, ini pra-MOS.

            Ketika sampai di depan main hall, ketiganya kembali tercengang. Terdapat antrian siswa-siswi baru yang amat panjang. Dan, tepat di pintu main hall, ada seorang lelaki yang memakai tanda pengenal bertuliskan AA. Jika dilihat dari tanda pengenalnya, lelaki itu bukanlah anggota OSIS, melainkan hanya panitia luar.

            “Antri, nih?” tanya Ify.

            “Yakin?” tanya Sivia.

            “Sepanjang ini?” tanya Oik.

            “Mati aja! Ga kurang panjang apa?!” pekik ketiganya, kompak.

            Dalam sesaat, ketiganya telah menjadi pusat perhatian. Menyadari akan hal itu, ketiganya buru-buru masuk ke dalam antrian dan berbaris dengan rapi seraya berusaha menutupi wajah masing-masing.

            Tapi terlambat. Lelaki di pintu main hall itu sudah berjalan ke arahnya. Ia meninggalakn pintu main hall, yang notabenenya, di sana sedang ada pembagian kartu untuk menunjukkan kelas sementara mereka. Sebelumnya, lelaki tadi telah merapalkan sebuah mantera agar kartu-kartu dengan nomor yang telah diacak itu sampai di tangan siswa-siswi baru yang telah berbaris dengan sendirinya.

            Tepat ketika lelaki itu telah berada di hadapan Ify, Oik, dan Sivia, ketiganya mendongakkan kepala. Karena kaget menyadari kakak kelas telah menghampiri, ketiganya sontak menunduk dalam-dalam.

            “Ngapain tadi teriak?” tanya lelaki itu, dingin.

            “Maaf, kak..” jawab Sivia.

            “Ga sengaja..” sahut Oik.

            “Refleks..” imbuh Ify.

            Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali merapalkan mantera. Dan, dengan sekejap, muncullah sebuah tulisan di atas kepala mereka bertiga yang masing-masing bertuliskan, Saya suka berteriak.

            “Jangan teriak-teriak lagi.”

            Lelaki itu lantas melenggang meninggalkan ketiganya. Perlahan, muncullah bisik-bisik di sekitar ketiganya, yang disertai dengan tawa-tawa kecil. Merasa ada yang aneh, ketiganya menengok kesana dan kemari.

            “Coba lihat atas..” kata Oik, dengan senyum yang sulit diartikan.

            Perlahan, Ify dan Sivia menengok ke atas. Mata keduanya melotot kaget melihat tulisan-tulisan yang diciptakan oleh kakak kelasnya tadi. Oik masih saja tersenyum-tersenyum miris. Sivia mengepalkan kedua tangannya dan menatap tajam ke kakak kelasnya tadi. Sedangkan Ify, masih menatap tulisan-tulisan itu dengan raut wajah yang terlihat semakin datar.

            “Bagus banget, ya, itu kakak kelas! Cuman gara-gara kita bertiga teriak tadi udah langsung dapet kaya’ gini aja!” seru Sivia dengan sewot.

            Ify menatapnya dengan senyum aneh, “Udah, ga apa-apa. Lagian tadi kakaknya cakep, kok. Lumayan, kan, dapet tanda perkenalan dari kakak kelas cakep kaya’ dia..”

            Oik menempeleng pelan wajah Ify, “Cakep, sih, cakep! Tapi ga gini juga!”

            “Ngeselin, ih, sumpah kaka itu!” pekik Sivia.

            Lagi-lagi, ketiganya menjadi sorotan. Lelaki tadi, kakak kelas ketiganya, kembali melirik mereka. Jari telunjuknya mengarah pada ketiganya dengan tegas.

            “Kalian bilang apa tadi? Saya dengar!” katanya, dengan tegas.

            Ify, Oik, dan Sivia berlagak seolah tak tah-menau. Ketiganya lantas berbincang tanpa memedulikan tatapan kakak kelas mereka yang masih saja menatap tajam.

            Akhirnya, tiba giliran mereka bertiga yang mendapatkan kartu bernomor itu. Lelaki tadi memberikan kartu-kartu pada ketiganya seraya menatap tajam. Ify, Oik, dan Sivia hanya berpura memeriksa kuku-kuku masing-masing setelah menerima kartu tersebut.

            “Awas kalau sampai saya tau kalian berteriak-teriak seperti tadi!” desisnya.

            “Kak, kok nomornya acak?” tanya Ify, ia memasang wajah polosnya.

            Lelaki itu terlihat menahan lajuan tawanya, “Memang gitu. Untuk pembagian kelas sementara saja.”

            Ify lantas mengambil paksa kartu milik Oik dan Sivia. Meneliti ketiga kartu tersebut. Wajahnya berubah seumringah ketika menyadari nomor pada kartu ketiganya tidak beda jauh. Ia langsung bersorak senang dan merangkul Sivia serta Oik, meninggalkan lelaki itu yang masih terus membagikan kartu pada siswa-siswi yang lain.

            “Nomor kita ga beda jauh. Berarti kita bisa satu kelas. Ya, kan?” seru Ify.

            Oik dan Sivia mengangguk bersemangat. Ketiganya pun menuju pusat main hall, di mana siswa-siswi yang lainnya juga bergerumbul. Mereka semua berdiri sambil menatap podium di depan. Sang kepala sekolah Witchy School of Art telah berdiri di sana, bersama dengan beberapa guru.

            “Ngapain ini?” tanya Sivia.

            Oik mengedik padanya sekilas, “Nunggu pembagian kelas sementara..”

            Sivia hanya mengangguk. Oik kembali menatap podium di depan sana. Ify menengok ke belakang. Rupanya seluruh siswa-siswi baru telah masuk ke dalam main hall. Pintu main hall pun telah ditutup. Lelaki tadi pun telah berkumpul dengan panitia penyelenggara MOS lainnya di samping podium.

            Ify menyilangkan jari telunjuknya di depan dagu tirusnya, memberikan aba-aba pada yang lainnya agar diam. Pasalnya, sang kepala sekolah tengah bersiap-siap untuk membagikan kelas sementara pada mereka semua.

            Suasana lambat laun menjadi sepi, dan hening. Sang kepala sekolah mulai membuka segulung kertas di tangannya. Ia meliriknya sekilas. Lantas, kembali menatap anak-anak didik barunya.

            “Untuk pembagian kelas.. Di sini ada delapan kelas sementara. Jadi, bagi kalian yang mendapat kartu dengan nomor 1 sampai 40 masuk ke dalam kelas pertama. 41 sampai 80 ke kelas kedua. Dan begitu sampai seterusnya.”

            Ify membuka kembali kartunya yang bernomor 296. Milik Oik bernomor 300. Dan milik Sivia bernomor 319. Ketiganya kembali bersorak. Suasana berubah menjadi sedikit riuh. Akhirnya, keriuhan itu teredam dengan berdirinya seorang gadis bertanda pengenal di atas podium.

            “Saya pembina kelas pertama. Bagi yang mendapat nomor 1 sampai 40, segera berjalan mengikuti saya.”

            Gadis itu pun turun dari podium. Lalu, muncullah sebuah papan besar di atasnya yang menunjukkan siapa-siapa saja yang menjadi adik didiknya di kelas pertama.

            Begitu terus hingga kelas ketujuh. Bahkan, kelas kedelapan pun juga seperti. Setelah siswa-siswi kelas ketujuh beserta kakak pembinanya telah berangsur pergi, pembina kelas kedelapan pun naik ke atas podium. Ify, Oik, dan Sivia merutuk kesal.

            “Kalian semua otomatis menjadi bagian dari kelas kedelapan. Ikuti saya. Cepat!” katanya.

            Ify, Oik, Sivia, dan 37 siswa-siswi lainnya segera berjalan mengikuti kakak pembina mereka. Ketiganya berjalan di barisan paling belakang dan hanya mengekor barisan di depannya, tanpa mereka tau ke mana mereka akan dibawa.

            “Kenapa kakak pembina kita harus dia, sih?” gerutu Sivia.

            “Udahlah. Kan, takdir. Lagipula, kelihatannya kakak ini aslinya baik. Cuman agak jutek aja. Lama-kelamaan, juga, bakalan baik..” sahut Ify.

            “Jadi, selama tiga hari kedepan kita bakalan dibina sama dia?” tanya Oik.

            Ify mengangguk bersemangat. Sivia mengangguk malas-malasan. Ketiganya beserta 37 siswa-siswi lainnya pun sampai di depan sebuah kelas. Rombongan pun berhenti berjalan.

            Sebuah kunci dari saku celana kakak pembimbing mereka pun keluar dengan sendirinya. Kunci itu juga membuka pintu kelas dengan sendirinya. Rupanya, kakak pembimbing mereka itu terlalu malas untuk membuka pintu sendiri, tanpa bantuan sihir.

            “Ini adalah kelas sementara kalian. Dan, selama tiga hari kedepan, saya akan menjadi kakak pembimbing kalian,” ujarnya.

            “Asyik!” pekik Ify dengan suara tertahan.

            “Mampus!” gerutu Sivia.

            “Yahhhh..” Oik mengeluh kecewa.

            Lelaki itu kembali menatap tajam pada ketiganya, “Kalian lagi?! Rupanya saya harus kerja ekstra untuk membimbing kalian di sini.” keluhnya.

            “Dikira aku mau, apa, dibimbing sama dia?!” gerutu Sivia, lagi.

            Rupanya kakak pembimbingnya mendengar. Ia pun segera menghampiri ketiganya dan menatap tajam. Berbeda dengan sebelumnya, Sivia dan Oik juga membalas tatapannya. Tidak berpura-pura memerhatikan kuku seperti sebelumnya.

            “Kamu lagi. Hhh. Kalau sampai sekali lagi saya dengar kalian berkata seperti itu, saya akan seret kalian ke Ruang Kepala Sekolah!” desisnya.

            Seiring dengan berlalunya kakak pembimbing mereka, Sivia dan Oik hanya saling pandang dengan wajah malas. Ify hanya berdecak pelan melihat keduanya seperti itu.

            “Tuh! Lihat, Fy, kakak pembimbing kesayangan kamu. Ngeselin!” desis Sivia.

            “Sivia kenapa, sih? Kok kamu kelihatan ga suka banget sama kakak itu?” tanya Ify.

            Oik menyeruak di antara keduanya, “Udah! Ga mau diseret ke Ruang Kepala Sekolah, kan? Ga usah ribut, makanya! Benci sama orang ga perlu sampai segitunya. Suka sama orang juga ga usah sampai segitunya!”

            Ify dan Sivia tersenyum meminta maaf.

            “Sudah! Jangan ribut lagi! Ayo, cepat kalian masuk ke dalam!” suruh lelaki tadi.

            Dengan berbondong-bondong, seluruh bagian kelas kedelapan pun masuk ke dalam. Terakhir, lelaki tadi juga ikut menjejakkan kakinya di dalam kelas itu dan menutup pintunya. Lagi-lagi, ia tak melakukannya sendiri. Ia kembali menggunakan sihir.

            Oik mengangkat tangannya. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mendaratkan pandangannya pada Oik dengan sedikit mengangkat sebelah alisnya.

            “Kok pakai sihir terus, kak? Ga bisa nutup pintu sendiri, ya?” tanya Oik.

            Tatapan mata lelaki itu berubah tak suka, “Ada urusannya dengan kamu?”

            “Tidak ada..” jawab Oik.

            “Berarti saya tidak perlu menjawabnya. Hanya buang-buang waktu.”

            “Tapi, kan, saya cumin ingin tau. Apa salah?” tanya Oik lagi.

            “Tidak bisakah kau diam seperti temanmu yang berbehel itu?” seru lelaki itu.

            Oik meremas tangannya dengan jengkel. Rupanya ia mulai seperti Sivia, membenci kakak pembimbing, pembina, atau apapun itu. Ify hanya tersenyum kecil mendengarnya.

            Lelaki itu mengibaskan tangannya di udara, seakan ia menolak mentah-mentah arguman yang akan Oik lontarkan kembali. Semakin kesal saja Oik kepadanya. Begitupula dengan Sivia. Ia sampai mengunyah permen karet yang ia bawa dari rumah pohonnya, sangking malasnya ia melihat kakak itu.

            “Hey! Kamu! Tidak ada yang diperbolehkan makan sebelum jam makan siang tiba!”

            Kakak pembimbing itu segera mengacungkan tangannya pada Sivia. Dan, dengan tiba-tiba, permen karet yang Sivia kunyah keluar dari mulutnya, terbang melewati jendela, dan jatuh di tong sampah di luar sana. Sivia mendengus kesal.

            “Jangan melanggar peraturan, Sivia..” bisik Ify.

^^^

            Jam demi jam pun berlalu. Sampai akhirnya, bel pertanda makan siang pun berbunyi. Kelas mendadak riuh. Kakak pembimbing di masing-masing kelas pun sampai bingung sendiri. Begitupula di kelas kedelapan.

            Begitu riuhan itu mulai mereda, pintu kelas mendadak terbuka. Burung-burung kecil milik masing-masing siswa-siswi pun terbang dan mendatangi pemiliknya. Menyerahkan secarik kertas kosong pada mereka.

            “Kalian tulis saja makanan apa yang ingin kalian makan untuk lunch kali ini..” komando lelaki itu.

            Suasana kembali riuh. Beberapa dari mereka mulai berunding dengan teman-temannya. Begitupula Ify, Oik, dan Sivia. Ketiganya masih memegang bolpoin dan meletakkan secarik kertas tadi.

            “Enaknya makan apa?” tanya Sivia.

            “Lagi pingin chicken katsu, sih..” jawab Ify.

            “Sushi, gimana?” tawar Oik.

            “Lasagna aja, deh..” kata Sivia.

            Ketiganya pun langsung menulis menulis menu makanan masing-masing di secarik kertas tadi. Setelahnya, burung-burung mungil merekalah yang kembali membawanya menuju caffetaria dan menyerahkannya kepada kepala caffetaria.

            Setelah burung-burung mungil tersebut beterbangan menuju caffetaria, barulah para siswa-siswi kelas kedelapan yang berbondong-bondong menuju caffetaria. Tentu saja setelah mendapat izin dari kakak pembimbingnya.

            Begitu menyadari adik-adik kelasnya telah keluar dan melenggang menuju caffetaria, lelaki itu pun menutup pintu kelas, lagi-lagi dengan sihirnya. Dan, voila! Menghilang! Sepersekian detik setelahnya, ia telah ada di caffetaria.

^^^

            Sayup-sayup terdengar celotehan-celotehan dan gelak tawa dari depan caffetaria. Ify, Oik, dan Sivia baru saja tiba. Ketiganya kembali tercengang. Pintu caffetaria masih tertutup rapat! Jadilah, seluruh siswa-siswi baru itu bergerombol di depan pintu.

            “Pintunya masih ketutup rapet!” desis Sivia.

            “Masih nyiapin makanan, mungkin..” kata Ify, ia mengangkat sebelah bahunya.

            “Tau gini, sih, harusnya kakak tadi ga usah ngizinin kita ke sini duluan!” gerutu Oik.

            Tepat setelah Oik kembali menggerutu, pintu caffetaria terbuka dari dalam. Otomatis, siswa-siswi yang berbalis di paling depan, langsung menyerbu masuk. Ify, yang notabenenya paling tinggi di antara ketiganya, langsung berjinjit kecil untuk sekedar melihat keadaan di dalam.

            “Guru-guru sama kakak-kakak pembimbing udah ada di dalem,” ujarnya.

            Oik dan Sivia memutar bola matanya malas. Keduanya lantas menarik lengan Ify dan menyeruak di antara gerombolan tersebut, masuk ke dalam caffetaria dengan bersusah-payah.

            Belum habis kekesalan keduanya pada sang kakak pembimbing, keduanya harus kembali menggerutu kesal. Pasalnya, mereka semua harus mencari meja dengan miniatur tubuh mereka yang beterbangan di atas meja.

            “Ini sekolah ribet banget, sih?!” gerutu Oik.

            “Udah, ah! Langsung dicari aja. Laper, kan?” serobot Ify. Sivia dan Oik hanya mengangguk.

            Dapat! Sebuah meja dengan sepuluh kursi mengitarinya, lima kursi di antaranya telah terisi. Ditambah mereka bertiga, jadinya kurang dua lagi. Sivia, Oik, dan Ify pun segera duduk di sana. Mengatur napas sejenak dan segera mengambil segelas minuman di depannya.

            “Hey!” sapa seseorang yang rupanya semeja dengan ketiganya.

            “Hey juga!” sapa Ify balik.

            “Kelas kedelapan, kan?” tanya orang itu lagi, seorang lelaki bermata sipit.

            Ify, Oik, dan Sivia mengangguk pelan seraya tersenyum canggung.

            “Aku juga..” kata lelaki itu lagi.

            “Aku Sivia..”

            “Aku Oik..”

            “Aku Ify..”

            “Aku Alvin. Dan ini Zevana, cewekku..” lelaki itu memperkenalkan diri, ia juga memperkenalkan seorang gadis berambut ikal panjang yang duduk di sampingnya.

            “Aku Cakka..”

            “Aku Irsyad..”

            “Aku Lintar..”

            Tak lama kemudian, datanglah dua orang siswi lagi. Seorang dengan wajah blasteran dan rambut panjang berwarna sedikit kecoklatan dan seorang lagi gadis tomboy dengan rambut sangat pendek.

            “Hey, Cakka!” sapa gadis berambut panjang itu.

            “Nadya..” sapa Cakka balik.

            Nadya, gadis blasteran itu, segera duduk tepat di samping Cakka. Keduanya pun segera mengobrol berdua, tanpa memperdulikan yang lainnya. Bahkan, gadis yang tadi dating bersama Nadya pun, juga mereka berdua tak pedulikan.

            “Akrab sekali mereka..” gumam Sivia.

            “Jelas! Mereka berdua sudah berpacaran sejak dua tahun yang lalu.” sahut Irsyad.

            “Hay! Aku Agni!” gadis berambut pendek tadi pun memperkenalkan diri.

            Zevana, gadis itu, menyenggol pelan lengan kiri Sivia karena memang keduanya duduk bersebelahan.

            “Hey! Sivia, ya? Lihat! Kamu sama sipitnya sama Alvin..” candanya.

            Sivia hanya tersenyum paksa sambil mengusap-usap lengan kirinya. Tepat sekali. Zevana menyenggol lengan kirinya, tepat dimana tumornya bertumbuh. Sivia menundukkan kepalanya, menahan rasa nyeri yang kembali menjalari lengannya karena senggolan Zevana tadi.

            “Sivia kenapa?” bisik Ify, menyadari gelagat aneh Sivia.

            Sivia hanya menggeleng dan balas berbisik pada Ify, “Nanti aja, di kamar, aku cerita.”

            Tiba-tiba saja, terdengar bunyi ledakan dari langit-langit caffetaria. Seluruh siswa-siswi baru itu pun mendongak ke atas. Dan ketika mereka semua menyadari tak ada apapun di atas sana, mereka kembali menatap meja masing-masing. Ternyata, makanan-makanan pesanan mereka telah tersaji di meja.

            “Selamat makan!” koor mereka semua yang berada di caffetaria.

            Seluruhnya lantas sibuk dengan makanan masing-masing. Sayup-sayup juga terdengar obrolan dari sudut-sudut caffetaria. Ify, Oik, Sivia, Alvin, Zevana, Irsyad, Lintar, Cakka, Nadya, dan Agni pun juga mengobrol bersama.

            Selang beberapa menit, setelah seluruhnya menghabiskan makanan masing-masing, para panitia MOS kali ini pun segera naik ke atas podium bersama. Burung-burung mungil mereka juga menyertainya.

            “Setelah ini, kalian sudah diperbolehkan kembali ke rumah pohon masing-masing. MOS akan diadakan besok dan besok lusa. Persiapkan diri masing-masing karena, kalian tau sendiri, MOS sekolah kita berbeda dengan MOS sekolah lainnya..” kata salah satu dari panitia MOS dengan senyum yang sulit diartikan.

            Guru-guru dan kepala sekolah pun ikut berdiri. Setelah tepukan tangan panjang dari siswa-siswi baru berangsur berhenti, seluruhnya yang berada di podium pun menghilang begitu saja. Tepukan tangan benar-benar berhenti sekarang.

            Dengan berbondong-bondong, seluruh siswa-siswi baru itu pun keluar dari caffetaria dan melenggang menuju rumah pohon masing-masing untuk beristirahat.

^^^

            Ify, Oik, dan Sivia sedang berbaring di ranjang masing-masing dengan menatap langit-langit rumah pohon mereka. Ketiganya baru saja beres-beres dan membersihkan badan. Mereka juga telah mempersiapkan perlengkapan untuk MOS har pertama besok.

            “Sivia, tadi katanya mau cerita. Jadi?” tanya Ify.

            Sivia hanya mengangguk pelan, “Tapi kalian janji, ya, jangan katakana ini ke siapapun.”

            Ify dan Oik mengangkat tangan kanan mereka dan membentuk huruf V dengan jemari masing-masing, “Janji!”

            “Sebenernya, di tangan kiriku ini ada tumor..” jelas Sivia.

            Ify dan Oik lantas menegakkan badan masing-masing dan menatap Sivia lekat.

            “Kenapa kalian?” tanya Sivia.

            “Ga ada obatnya?” tanya Oik, tak menghiraukan pertanyaan Sivia sebelumnya.

            “Ada..” jawab Sivia.

            “Ayo diminum obatnya, Sivia!” pekik Ify.

            “Obatnya cumin untuk ngilangin rasa nyeri kalau tangan kiriku ini kesenggol, seperti tadi..”

            “Kenapa ga dioperasi terus diangkat tumornya?” tanya Oik lagi.

            “Belum siap aja. Jadinya, ya, aku harus rutin check up ke dokter..”

            “Kapan jadwal check up kamu?” tanya Ify.

            “Besok sore.”

            “Kita temenin check up. Ga ada tapi-tapi!” kata Ify.

            Sivia pun menegakkan badannya juga dan berterima kasih pada kedua sahabat barunya itu. Ify dan Oik pun turun dari ranjang masing-msing dan bergegas memeluk Sivia. Tentunya, dengan tidak menyenggol lengan kiri Sivia sedikitpun.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

MOVE ON (Cerpen)


Holszta Medical Centre, 14 Februari 2012

                Sebuah taxi berhenti di depan lobby utama. Tak lama kemudian, turunlah seorang lelaki berparas oriental dengan kemeja putihnya yang bernodakan darah. Lelaki itu segera memanggil dua orang suster yang sedang berjaga di meja receptionist.

                “Sus, tolong pacar saya, sus. Dia ada di dalam taxi dan tidak sadarkan diri. Banyak darah mengucur dari kepalanya,” kata lelaki itu.

                Kedua suster itu segera mengambil bed tepat di sebelah meja receptionist dan mendorongnya ke depan lobby. Lelaki itu, dibantu dengan sang sopir taxi, menggendong tubuh seorang gadis berparas oriental pula. Keduanya segera membaringkan tubuh gadis tersebut di atas bed.

                Dengan segera, kedua suster tadi mendorong bed tersebut ke ICU. Alvin, lelaki oriental itu, dengan cepat mengeluarkan dompetnya dan mengangsurkan selembar lima puluh ribuan pada sang sopir taxi.

                “Kembalinya anda ambil saja,” pesannya, sebelum akhirnya ia juga melesat menuju ICU.

                Ketika ia sampai di depan Ruang ICU, salah seorang dari dua suster tadi keluar. Ia menghampiri Alvin yang sedang terduduk lemas di kursi tunggu. Dengan cepat, Alvin mendongakkan kepalanya. Pandangannya beradu dengan suster itu.

                “Bagaimana keadaannya, Sus?” tanya Alvin.

                Suster itu lantas tersenyum menenangkan, “Sudah ada dokter di dalam. Berdoalah. Doakan yang terbaik untuknya. Sepertinya keadaannya lumayan parah,”

                “Separah apa, Sus?” tanyanya, lagi.

                “Kita lihat saja nanti. Bersiaplah dengan kemungkinan terburuk. Oh ya, lebih baik kau ganti pakaianmu. Lihat, ada darah di mana-mana. ”

                Alvin mengedik pada kemejanya yang berlumuran darah, “Tak apa. Aku akan terus di sini, menunggu sampai Sivia sadar. Atau, minimal, sampai dokter keluar dan menyampaikan bagaimana keadaannya,”

                Lagi-lagi suster itu tersenyum menenangkan, “Sudahlah. Gantilah dulu pakaianmu itu. Itu tak akan menghabiskan waktu berjam-jam. Hitung-hitung, kau membunuh waktu. Ketahuilah, dokter dan seorang suster baru mengurus luka di kepalanya. Belum memeriksa keadaannya untuk menyeluruh,”

                Alvin mengangkat bahunya, “Baiklah. Kira-kira di mana aku bisa mendapatkan baju ganti?”

                Tangan suster itu mengarah pada sebuah minni shop di ujung koridor, “Di sana menjual T-Shirt dan ada kamar gantinya,”

                Alvin mengangguk mengerti, “Oke, terima kasih Suster.....” ucapannya terhenti, ia tidak tahu nama suster itu.

                “Oik Cahya Ramadlani, Suster Oik..” sambung suster itu.

                “Oke, terima kasih, Suster Oik..”

                Alvin pun berjalan dengan gontai menuju minni shop tadi. Sedangkan Suster Oik, kembali masuk ke dalam ICU untuk membantu dokter dan seorang suster untuk mengobati luka Sivia.

^^^

                Alvin sedang menyeduh secangkir Hot Capuccino ketika itu. Ia duduk di sebuah kursi, tepat di samping sebuah kaca yang menyuguhkan bagaimana ramainya keadaan di luar Coffee Shop tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis ketika ia melihat gadisnya baru saja keluar dari Cake Shop di seberang jalan.

                Alvin meletakkan secangkir Hot Capuccino tadi dan meletakkan seluruh fokusnya pada Sivia, gadis itu. Sivia melambaikan tangan dengan riang ke arahnya. Alvin memperlebar senyumannya.

                Dengan tergesa-gesa, Sivia menyeberang jalan. Ia tak melihat bahwa ada sebuah motor melaju dengan kencangnya ke arahnya. Alvin pun tak melihatnya. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar Sivia hanya dapat membulatkan mulut, kaget.

                “Awas!” teriak sebuah suara, ketika motor itu tepat membentur tubuh Sivia.

                Sivia terjatuh hingga tak sadarkan diri. Pengendara motor itu langsung melarikan diri. Alvin segera keluar dari Coffee Shop tersebut dengan meletakkan sembarangan selembar uang lima puluh ribu. Alvin menyambar tubuh Sivia yang sudah bersimbah darah, orang-orang di sekelilingnya berusaha mencarikan taxi.

                “Mas, bawa saja temannya ke Rumah Sakit. Sudah saya panggilkan taxi. Ayo, sebelum keadaannya semakin memburuk,” ucap seorang lelaki paruh baya.

                Alvin mendongak, ia hanya dapat mengangguk. Ia segera membopong tubuh Sivia masuk ke dalam taxi. Taxi pun melaju menuju Holszta Medical Centre. Perlahan-lahan, kerumunan para pejalan kaki tadi mulai berangsur bubar.

^^^

                Alvin terkesiap. Rupanya ia tertidur di kursi tunggu. Ia mengedik pada jam tangannya, pemberian Sivia. Sudah lima belas menit berlalu semenjak ia keluar dari minni shop tadi. Dan sayangnya, pintu Ruang ICU masih tertutup rapat.

                Alvin menegakkan badannya. Memandang lurus ke arah pintu Ruang ICU. Berusaha menepis mimpi buruknya tadi jauh-jauh. Sebenarnya, itu bukanlah mimpi buruk. Bukan juga sekedar kembang tidur. Itu tadi adalah secuil kejadian tentang insiden kecelakaan yang dialami Sivia, gadisnya.

                Alvin mengatupkan kedua tangannya, “Tuhan, jaga malaikatku. Jangan biarkan ada sesuatu hal buruk yang menghampirinya akibat kecalakaan tadi. Amin,”

                Alvin menghela napas. Seorang dokter dan dua orang suster keluar dari dalam Ruang ICU.

                Alvin lantas berdiri dan menghampiri ketiganya, “Bagaimana keadaannya, Dok?”

                “Saya pamit dulu, Dok.” pamit suster yang satunya.

                Dokter tadi mengangguk, begitupula Suster Oik. Dokter itu pun beralih pada Alvin, “Mari ikut ke ruangan saya. Ada yang perlu saya sampaikan pada anda,”

                “Soal Sivia?” tanya Alvin.

                Dokter itu mengangguk, “Mari..”

                “Dokter Cakka, saya ke meja receptionist dulu. Saya harus menyerahkan hasil keadaan pasien,” pamit Suster Oik. Dokter itu, Dokter Cakka, mengangguk.

                “Alvin, saya duluan.” pamit Suster Oik.

                Suster Oik pun berlalu. Dokter Cakka dan Alvin segera berjalan menuju Ruangan Dokter Cakka. Setibanya di sana, Dokter Cakka mempersilahkan Alvin duduk.

                “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Alvin lagi, tak sabar.

                “Maaf, anda ini siapanya pasien?” tanya Dokter Cakka balik.

                “Saya pacarnya. Orang tua Sivia sedang berada di luar kota,” jawab Alvin.

                Dokter Cakka hanya mengangguk, “Baiklah. Hm, keadaan Sivia lumayan buruk. Luka di kepalanya memang tidak parah. Hanya benturan pada kakinya saja yang fatal.”

                Alvin terperangah, “Maksud Dokter?”

                “Sivia lumpuh. Itu akibat dari benturan keras di kakinya. Sepertinya terbentur oleh ban motor yang menabraknya,” jelas Dokter Cakka.

                Alvin terdiam tak percaya, “Tidak mungkin, Dok..” lirihnya.

                “Tenang saja. Lumpuh yang dialami Sivia tidak permanen. Ia hanya butuh terapi selama beberapa bulan kedepan. Saya yakin, dalam jangka waktu dua bulan ia sudah dapat kembali berjalan,”

                “Dua bulan, Dok?” ulang Alvin.

                Dokter Cakka mengangguk, “Temani dia. Tenangkan. Sampaikan ini padanya secara perlahan. Dia sudah sadarkan diri dan dipindah ke ruang opname biasa. Kau bisa langsung menjenguknya,”

                “Baiklah. Terima kasih, Dok.”

                Alvin pun bangkit dari duduknya. Ia menyalami Dokter Cakka. Dan berbalik, memegang handle pintu Ruangannya dan keluar. Sebelumnya, Dokter Cakka sempat berpesan padanya...

                “Kau bisa tanyakan di mana ruang opname Sivia pada Suster Oik,”

                Alvin mengangguk mengiyakan. Ia menyusuri koridor Rumah Sakit dengan kepala menunduk.

                “Alvin?”

                Mendengar namanya dipanggil, Alvin mendongak. Ia mendapati Suster Oik sedang menatapnya lembut, tepat di hadapannya.

                “Suster Oik,” sapa Alvin balik.

                “Mau saya antar ke ruang rawat Sivia?” tawarnya.

                Alvin mengangguk lesu, “Boleh,”

                Keduanya pun berjalan beriringan menuju ruang rawat Sivia. Kamar nomor 31. Suster Oik mepersilahkan Alvin masuk. Begitu ia memastikan Alvin telah duduk di samping ranjang Sivia, ia menutup kembali pintunya dan berlalu menuju ruangan Dokter Cakka.

^^^

                “Alvin..” sapa Sivia dari atas bednya.

                Alvin tersenyum tipis, “Hay, Siv..”

                Alvin segera duduk di sebuah kursi, tepat di samping ranjang Sivia. Sivia tersenyum lemah ke arahnya. Gadis cantik itu segera menekan sebuah panel di bawah ranjangnya. Perlahan, sandaran ranjangnya mulai berangsur naik.

                “Are you OK, Siv?” tanya Alvin, menatapnya dalam.

                Sivia mengangguk dengan ragu, “I’m totally fine. Why, dear?”

                “No. can you feel your feet?” tanya Alvin lagi.

                Sivia mencoba menggerakkan kakinya. Bibirnya berangsur berubah menjadi seputih kapas. Ia menyadari satu hal. Kakinya tak bisa ia gerakkan! Perlahan, butiran bening mengalir dari kedua kelopaknya. Ia menatap Alvin dengan pandangan bertanya.

                “Kamu lumpuh, Siv. Tapi, tenang saja. Kamu tak lumpuh permanen. Kamu hanya butuh terapi rutin selama dua bulan dan kamu akan dapat berjalan kembali,” kata Alvin.

                Tangis Sivia semakin deras begitu ia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Alvin. Alvin mendekat ke arahnya dan mendekapnya erat. Sivia meraung-raung dalam pelukan lelakinya.

^^^

                Jam baru menunjukkan pukul enam pagi. Suster Oik sedang berjalan menuju ruang rawat Sivia dengan sebuah nampan berisikan menu makan pagi gadis itu dan segelintir obat yang harus diminumnya.

                Begitu sampai di depan ruang rawatnya, suster Oik memutar handle pintu dengan perlahan. Lalu, ia masuk. Ia mendapati Alvin yang sedang tertidur sambil menelungkupkan kepalanya pada tangan Sivia. Sivia sendiri, ia sedang menatap kosong ke arah kaca jendela.

                “Pagi, Sivia!” sapa Suster Oik.

                Suster Oik segera meletakkan nampan tadi di sebuah meja kecil di samping ranjang Sivia. Ia menatap Sivia dengan hangat. Sivia masih saja menatap kosong ke arah kaca jendela.

                “Dimakan ya, Sivia. Obatnya juga jangan lupa diminum. Setelahnya, kau bisa membereskan barang-barangmu dan pulang,” kata Suster Oik.

                Sivia mengalihkan pandangannya pada Suster Oik dan menatapnya tajam, “Bagaimana bisa aku membereskan barang-barangku dengan kaki yang lumpuh begini?”

                “Kau bisa meminta tolong pada Alvin. Semenjak kemarin ia yang menungguimu di sini,”

                “Bukan urusanmu!” bentak Sivia.

                Suster Oik tersenyum, “Baiklah. Mulai besok aku akan rutin mengunjungimu di rumah. Dokter Cakka yang menyuruhku. Atau, kalau memungkinkan, aku akan tinggal di rumahmu.”

                “Terima kasih..” jawab Sivia.

                Suster Oik lantas tersenyum dan keluar dari ruang rawat Sivia. Tak lama setelahnya, Alvin menggeliat. Lelaki oriental itu mulai membuka kedua kelopak matanya dan mendapati Sivia yang menatap kosong ke arah kaca jendela.

                “Good morning, darl..” sapa Alvin, seraya mengucek kedua matanya.

                Sivia hanya menganggukkan kepalanya.

                “Kau sudah boleh pulang hari ini,” kata Alvin.

                “Aku sudah tahu,” jawab Sivia, judes.

                Alvin tersenyum tipis, “Baguslah.”

                Pandangan Alvin terantuk pada nampan di atas meja, “makan dulu, Siv. Aku ambilkan, ya..”

                Sivia menatapnya tajam, “Tak perlu. Aku bisa mengambilnya sendiri,”

                Sivia segera menghempaskan tangan Alvin yang hendak mengambilkan nampan berisi menu makan paginya di atas meja. Alvin menatapnya sedih. Dengan susah payah, Sivia mengambil sendiri makanannya itu.

                “Lihat, aku bisa mengambilnya sendiri tanpa bantuanmu.”

                Alvin menatapnya dalam. Sungguh, ia tak menyangka bahwa ia memilikki seorang gadis rapuh yang selalu mencoba untuk terlihat kuat seperti ini. Sejujurnya, ia tak suka Sivia yang seperti ini. Ia lebih suka Sivia yang selalu membutuhkannya.

                “Cepat dimakan, ya. Minum obatnya juga. Aku akan mengurus administrasinya dan membawakanmu kemari sebuah kursi roda,” pesan Alvin

                Sivia tak menghiraukannya. Alvin pun beranjak menuju tempat administrasi. Tepat ketika Alvin keluar dari kamar rawatnya, butiran-butiran Kristal itu kembali luruh dari kelopak mata indahnya. Ia menangis tersedu-sedu.

                “Bukannya aku tak membutuhkanmu, Vin. Aku hanya tak mau merepotkanmu..”

^^^

                Alvin baru saja mengurus administrasi Sivia. Sekarang, ia sedang berjalan menuju ruangan Dokter Cakka untuk menanyakan jadwal terapi Sivia. Juga untuk menanyakan di mana ia bisa mendapatkan kursi roda untuk Sivia.

                Ia membuka ruangan Dokter Cakka tanpa mengetuk terlebih dahulu dan melongok ke dalamnya. Ia menahan napas beberapa detik ketika melihat Dokter Cakka dan Suster Oik yang sedang berpegangan tangan dan tersenyum satu sama lain.

                “Maaf!” ujar Alvin.

                Dokter Cakka dan Suster Oik segera melepaskan genggaman masing-masing dan tersenyum kaku ke arah Alvin. Dokter Cakka pun mempersilahkan Alvin masuk dan duduk di sebuah kursi, tepat di samping Suster Oik.

                “Ada apa, Alvin?” tanya Dokter Cakka dengan kikuk.

                Alvin tersenyum miring, “Sudahlah, Dok. Hal tadi itu wajar. Aku sudah sering melihatnya. Jangan jadi kikuk begini,”

                Dokter Cakka dan suster Oik kembali tersenyum malu.

                “Bagaimana Sivia? Sudah dimakan makanannya?” tanya Suster Oik.

                “Dia sedang memakannya ketika aku meninggalkannya tadi,” lalu Alvin pun beralih pada Dokter Cakka, “Dok, bagaimana jadwal terapi Sivia?”

                Dokter Cakka mengangguk, “Besok Suster Oik akan membawanya. Suster Oik juga akan rutin mengunjungi Sivia di rumah. Saya juga.”

                “Baiklah. Umm, Dok, di mana saya bisa mendapatkan kursi roda untuk Sivia?” tanya Alvin lagi.

                Dokter Cakka mengedik pada sudut ruangannya. Di sana berjejer kursi-kursi roda dengan keadaan terlipat. Alvin segera mengambil satu dan keluar dari ruangan Dokter Cakka. Ia pun kembali ke ruang rawat Sivia.

^^^

                Begitu sampai di ruang rawat Sivia, Alvin segera meletakkan nampan yang tadinya berisikan makanan itu tadi salah satu sudut ruangan. Dan, dengan sigap, Alvin menggendong tubuh Sivia dan mendudukkannya di atas kursi roda.

                “Makasih,” gumam Sivia.

                Alvin hanya mengangguk, “Kita pulang sekarang, ya,”

                Sivia hanya diam, tak menanggapi sedikitpun perkataan Alvin. Alvin segera mendorong Sivia beserta kursi rodanya menuju lobby utama. Sudah ada taxi yang menunggu keduanya di sana.

                Sang sopir taxi pun segera melipat kursi roda Sivia ketika pemiliknya telah digendong Alvin masuk ke dalam taxi. Setelah meletakkannya di bagasi belakang, sopir tersebut segera kembali ke belakang kemudi dan mengendarai taxinya menuju rumah Sivia.

^^^

                Mereka berdua baru saja menjejakkan kaki di ruang tamu kediaman Sivia. Oh, ralat! Alvin yang menjejakkan kaki di sana, bukan Sivia. Sivia terduduk di kursi rodanya dengan wajah yang muram. Untung saja kamar Sivia ada di lantai bawah. Kalau saja kamar sivia ada di lantai atas, pasti Alvin akan menggendongnya naik-turun tangga.

                “Kamu pulang saja. Aku ingin langsung istirahat.” kata Sivia, dingin.

                “Kau tidak mau aku menungguimu di sini?” tanya Alvin.

                Sivia menggeleng cepat, “Pulanglah. Tak ada gunanya juga kau ada di sini.”

                Alvin menunduk. Ia pun mengelus puncak kepala Sivia dengan pelan dan mengecup kening gadis kesayangannya itu. Setelahnya, ia mendorong kursi roda Sivia ke kamarnya. Tanpa berkata apa-apa, Alvin menggendongnya. Memindahkannya dari kursi roda ke ranjangnya.

                “Aku pulang dulu.” pamit Alvin.

                Alvin melenggang keluar kamar Sivia. Sivia masih terpekur sendiri. Ia tak menyangka hanya sekecil ini usaha Alvin untuk tetap menemaninya di sini. Sivia menangis tersedu-sedu ketika mendengar pagarnya telah ditutup. Itu berarti, Alvin benar-benar pulang. Meninggalkannya sendirian...

^^^

                Alvin berjalan gontai dan tak tentu arah. Ia baru saja diusir secara halus oleh gadisnya. Entah kenapa, semenjak insiden kecelakaan yang menimpanya, Sivia menjadi lebih dingin dan tak menginginkannya untuk ada di sisi gadis oriental itu.

                Alvin memandang sekeliling. Sebuah perumahan padat penduduk yang terlihat sepi. Wajar saja, ini siang hari. Pasti mereka semua sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Atau, bagi mereka yang tidak ada aktivitas, pasti sedang tertidur dengan lelapnya.

                Ia terus berjalan. Ia tak sadar bahwa ia terus berjalan menuju suatu tempat. Tempat pertama kali ia bertemu dengan Sivia. Rumah Zevana. Sepupu Sivia sekaligus teman mainnya sedari kecil. Ia tak tahu bahwa ia memiliki arti yang sangat besar bagi gadis berbehel itu, Zevana.

                Alvin terduduk lemas di depan sebuah rumah dengan halaman depan yang amat sangat luas. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi. Sekejap kemudian, ia menelungkupkan kepalanya dalam kedua telapak tangannya. Napasnya yang tersengal-sengal terdengar dari kejauhan.

                “Sivia kenapa, Tuhan? Kenapa dia jadi berubah? Dia yang sekarang sangat berbeda dengan dia yang ku kenal dulu, Tuhan..” bisiknya, entah pada siapa.

^^^

                Tepat di halaman luas tersebut, seorang gadis berambut panjang dan berbehel sedang menyirami bunga-bunganya seraya bersenandung kecil. Sesekali ia tertawa melihat kedua anjingnya yang berlarian kesana-kemari.

                Ia memalingkan wajahnya. Kedua bola matanya tak sengaja menangkap siluet tubuh lelaki itu. Lelaki yang..... Membuatnya sedikit membenci sepupunya. Membenci sepupunya karena ia berhasil mengambil teman semasa kecilnya. Membencinya karena ia bisa memeluk lelaki itu kapan saja. Tak seperti dirinya yang, semenjak keduanya berpacaran, hanya bisa tersenyum pahit melihat bagaimana mesranya pasangan oriental itu.

                Debar jantungnya mendadak tak terkendalikan. Kedua matanya memancarkan binar-binar indah. Perlahan, ia meletakkan selang air yang ia genggam sedari tadi dan berjalan menuju pagar kayu rumahnya, membuka pagar itu dan berjalan menghampiri lelaki itu.

                “Alvin..” panggilnya, pelan.

                Alvin mendongak. Menyadari tak ada seorang pun di depannya, ia menengok ke belakang. Ia menemukan teman kecilnya di sana, Zevana. Alvin tersenyum padanya. Ia menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya, pertanda ia ingin Zevana untuk duduk menemaninya di sana.

                “Aku? Duduk di sampingmu?” tanya Zevana, Alvin mengangguk.

                Dengan debaran jantung yang semakin menggila, Zevana duduk di samping Alvin. Ia menatapi ukiran indah Sang Maha Agung dalam setiap lekuk wajah Alvin. Dalam hati, ia bersyukur karena Tuhan telah menciptakan sesosok Alvin untuk menjadi teman masa kecilnya.

                “Kau kenapa?” tanya Zevana.

                Alvin menengok padanya. Lalu kembali menatap kosong ke arah jalanan di hadapannya, “Kau sudah tahu, bukan, soal Sivia yang kecelakaan?” tanyanya, Zevana mengangguk.

                Alvin menunduk. Menghela napas untuk sesaat, “Dia berubah. Dia menjadi lebih dingin dan seolah-olah tak membutuhkanku. Kau tahu? Hatiku serasa hancur berkeping-keping diperlakukan seperti itu olehnya.”

                Zevana menelan ludah. Ia merutukki sepupunya itu dalam hati.

                Kenapa kau perlakukan Alvin seperti itu, Sivia?! Kau tidak tahu betapa susah dan mati-matiannya aku menjaga perasaannya, dulu. Dan sekarang, kau membuatnya hancur berkeping-keping dan berserakan di mana-mana! Jika dari awal aku tahu akan seperti ini jadinya, aku tak akan membiarkanmu bersamanya barang sedetikpun!

                Perlahan, Zevana mengusap bahu Alvin, “Sudahlah. Tinggalkan saja dia jika ia terus-terusan membuat hatimu terluka. Untuk apa kau mempertahankan hubungan yang semakin tak jelas itu? Masih banyak gadis di luar sana yang menggilaimu, Vin..” termasuk aku, lanjutnya dalam hati.

                Alvin menatap Zevana tak suka dari sudut matanya, “Mengapa kau berkata seperti itu? Kau ingin melihat hubunganku dan Sivia hancur? Kau tidak suka dengan hubungan kami?” tanyanya, tajam.

                Zevana tersedak. Ia menggeleng cepat, “Bukannya begitu, Vin! Aku hanya memberimu saran. Bukan berarti aku tak suka! Aku hanya tak ingin melihat teman semasa kecilku menjadi seterluka ini,”

                “Itu artinya kau ingin melihat sepupumu yang terluka. Bukan begitu?” tanya Alvin lagi.

                “Bukan juga!” Zevana gelagapan.

                “Sudahlah!” Alvin mengibaskan tangan kanannya ketika Zevana hendak menggenggamnya, “Tak ada gunanya aku bercerita tentang ini padamu. Yang ada, kau hanya mengomporiku untuk memutuskan Sivia.”

                Alvin pun berdiri. Zevana masih terduduk dengan kepala yang menunduk dalam-dalam. Alvin berjalan menjauhi dirinya, entah ke mana. Baru beberapa meter berjalan, Alvin telah memanggil namanya. Sayangnya, ia tetap tak menengok kepadanya sedikitpun. Zevana pun mendongak, menatap pungguh lelaki yang memiliki separuh hatinya itu.

                “Ada apa, Vin?” tanyanya.

                “Satu yang perlu kau tahu. Aku mencintai Sivia. Sangat mencintainya. Dan aku tak akan melepaskannya dari genggamanku semudah itu dan hanya karena masalah sesepele ini.”

                Alvin kembali berjalan. Zevana menahan tumpahan bening-bening kristal itu. Kedua tangannya terkepal keras-keras. Sesekali, ia meninjukannya pada trotoar yang ia dudukki. Hatinya benar-benar hancur.

                “Semua gara-gara Sivia. Kalau bukan karena dia, tak mungkin Alvin akan berkata setajam itu padaku. Tak mungkin juga Alvin akan menomor duakan aku jika bukan karenanya. Awas aja kau, Sivia!” bisiknya, disela-sela usahanya untuk tidak menangis.

^^^

                Pagi-pagi sekali, Sivia sudah berada di atas kursi rodanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berpindah dari ranjangnya ke kursi roda itu. Dan akhirnya, setelah hampir sejam mencoba, ia bisa berpindah sendiri dari ranjangnya.

                Karena merasa bosan, ia menggerakkan kursi rodanya menuju sebuah rak. Ada sebuah album foto yang terselip di antara berpuluh-puluh novel di sana. Memang, Sivia hobby sekali membaca novel. Sampai-sampai, setiap ia berulang tahun atau memperingati anniv hubungannya dengan Alvin, Alvin selalu membelikannya novel. Sivia tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu.

                Perlahan, tangannya mulai membuka satu-persatu, lembar demi lembar album foto itu. Foto-foto itu menyimpan sejuta kenangannya bersama Alvin. Dulu. Sebelum insiden yang telah merenggut kakinya itu terjadi. Saat semuanya masih baik-baik saja dan mengalir seperti air.

                “Ini saat Alvin sedang sakit. Aku yang merawatnya. Ia opname selama seminggu di rumah sakit,” gumam Sivia. Telunjuknya terarah pada sebuah foto. Ada Alvin di dalamnya, terbaring lemah dengan selang infuse bersarang di tangannya.

                Sivia tersenyum kecil. Sebuah foto yang menyimpan memori dua tahun yang lalu. Saat ia berulang tahun dan Alvin sengaja datang ke rumahnya tepat pukul 00.01 untuk menjadi orang pertama yang mengucapkan “Selamat ulang tahun” kepadanya. Alvin juga membawa sekotak cokelat favoritnya.

                Sivia kembali membuka lembar berikutnya. Alvin memeluknya dari belakang dengan background Pantai Senggigi dan sunset yang indah. Ia ingat betul kenangan itu. Lagi-lagi ia tersenyum kecil. Memori otaknya kembali menembus waktu dan membawanya ke masa-masa indah itu lagi.

                Tok tok tok..

                Bunyi ketukan pintu itu membuyarkan segalanya. Sivia dipaksa kembali ke masa ini dan menghempaskan masa lalunya jauh-jauh. Ia segera menyelipkan kembali album foto itu di antara novel-novelnya dan bergegas ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Tak lupa, ia kembali memasang wajah dingin dan angkuhnya.

                “Selamat pagi, Sivia!” sapa kedua orang itu.

                Sivia hanya mengangguk kecil, “Ada urusan apa kalian kemari?”

                Kedua sosok itu saling pandang. Akhirnya, sang wanitalah yang angkat bicara, “Aku dan Dokter Cakka kemari hanya untuk melihat keadaanmu. Apakah kau sudah lupa soal perkataanku tempo hari?”

                Sivia tak menggubrisnya. Ia segera berbalik dan meletakkan dirinya di antara dua sofa. Kedua sosok tadi, Suster Oik dan Dokter Cakka, segera mengekornya dan duduk di sofa. Keduanya menatap Sivia kasihan. Sivia semakin risih saja.

                “Kalian tak perlu mengasihaniku.”

                “Baiklah. Bagaimana kalau sekarang kau mulai berjalan dengan bantuan Suster Oik?” tanya Dokter Cakka.

                Sivia menggeleng tegas, “Tak perlu.”

                Suster Oik mengerling padanya, “Oh, aku tahu! Kau ingin aku menghubungi Alvin, bukan? Baiklah, aku akan menghubunginya dan memintanya untuk cepat-cepat kemari.”

                “Tidak usah!” sergah Sivia.

                Tapi terlambat. Suster Oik sudah menghubungi Alvin lewat telepon genggamnya. Sementara itu, Dokter Cakka mulai membuka tasnya. Ada berbagai macam obat di sana. Salah satunya adalah obat untuk Sivia. Ia mengeluarkan obat tersebut dan meletakkanya di atas meja.

                “Ini obatmu. Minumlah dengan rutin. Obat ini bisa membantu tulang-tulang kakimu untuk dapat berjalan lagi..” kata Dokter Cakka.

                Setelah selesai menghubungi Alvin, Suster Oik segera menyimpan kembali ponselnya di saku blousenya. Ia kembali mengerling dan tersenyum nakal ke arah Sivia.

                “Tenang saja, sebentar lagi Alvin pasti datang. Dan, ah! Di mana aku bisa mendapatkan segelas air putih untukmu? Kau belum minum obat, bukan?” seru Suster Oik dengan bersemangat.

                Lagi-lagi Sivia tak membuka mulutnya. Ia hanya mengedik pada dapur, tepat di belakang ruang keluarga. Suster Oik pun segera bangkit, meninggalkan Dokter Cakka dan Sivia di ruang tamu. Ia bergegas mengambilkan air putih untuk Sivia agar gadis itu dapat meminum obat dan lekas berlatih berjalan.

                Ketika sedang mengambilkan segelas air putih untuk Sivia, Suster Oik tak sengaja melihat halaman belakang rumah Sivia yang cukup luas. Ada jalan setapak yang berkerikil pula. Ia tersenyum bersemangat dan segera kembali ke ruang tamu. Begitu ia sampai di ruang tamu, Alvin sudah mengambil alih tempat duduknya sebelum ini.

                “Rupanya kau sudah datang..” gumam Suster Oik, Alvin hanya tersenyum kecil.

                Suster Oik segera mengangsurkan beberapa tablet obat untuk Sivia. Sivia pun menenggaknya dan meminum air putih setelah itu. Suster Oik tersenyum. Ia pun meletakkan gelas tadi di atas meja dan kembali tersenyum pada Sivia.

                “Oh ya, aku tak sengaja melihat halaman belakang rumahmu. Di sana ada jalan setapak yang berkerikil, bukan? Ayo kita ke sana! Kau bisa berlatih berjalan di sana!” ajak suster Oik.

                Suster Oik pun segera mendorong kursi roda sivia menuju halaman belakang. Dokter Cakka dan Alvin mengikut keduanya dari belakang. Benar saja, terdapat jalan setapak berkerikil di halaman belakang rumah Sivia. Suster Oik semakin bersemangat saja.

                “Baguslah kalau di sini ada jalan setapak yang berkerikil. Itu berarti kau tak perlu terapi ke rumah sakit setiap hari. Cukup dua minggu sekali. Sisanya, kau bisa berlatih di sini. Suster Oik pasti akan dating ke sini setiap pagi untuk membimbingmu berlatih,” celoteh Dokter Cakka.

                Mendengarnya, Sivia tersenyum dalam hati. Berarti, ia tak usah bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk terapi. Hal ini pasti juga bisa menurunkan intensitas pertemuannya dengan Alvin karena sudah ada Suster Oik yang setiap paginya akan ke sini.

                “Kerikil-kerikil itu bisa merangsang saraf-saraf pada telapak kakimu, Sivia..” kata Suster Oik.

                Suster Oik pun membantu Sivia berdiri dan menggiringnya menuju jalan setapak. Suster Oik memegangi tangan kanannya, sedangkan Alvin memegangi tangan kirinya. Dokter Cakka hanya melihat sambil tersenyum dan memberikan instruksi.

                Setelah satu jam berlatih berjalan, Sivia kembali didudukkan di kursi rodanya. Peluhnya bercucuran kemana-mana. Alvin pun mengambil sapu tangannya dan mengusap peluh Sivia hingga bersih. Sejujurnya, Sivia sangat ingin berterima kasih tapi ia urung melakukannya.

                Keempatnya pun kembali ke ruang tamu. Dokter Cakka terlihat sibuk membereskan tasnya. Sepertinya ia dan Suster Oik akan kembali ke rumah sakit.

                “Sivia, kau jangan lupa minum obat agar lekas berjalan lagi. Jangan malas-malas berlatih berjalan juga. Jika aku tak ada, kau bisa memita bantuan Alvin,” pesan Suster Oik.

                “Baiklah. Aku dan Suster Oik kembali ke rumah sakit dulu. Alvin, kau bisa menjaga Sivia?” tanya Dokter Cakka, Alvin mengangguk, Dokter Cakka pun tersenyum puas.

                Dokter Cakka dan Suster Oik segera keluar dari kediaman Sivia dan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Sivia dan Alvin, keduanya masih setia dalam diam. Sampai akhirnya, Sivialah yang terlebih dahulu buka suara.

                “Kau tidak pulang?” tanyanya, tanpa menatap Alvin sedikitpun.

                “Kau mengusirku lagi?” tanya Alvin balik.

                “Ya..” jawab Sivia.

                Raut wajah Alvin kembali berubah muram, “Baiklah. Aku pulang. Aku bantu kau berbaring di ranjangmu dulu,”

                “Tak perlu. Lekaslah pulang.” cegah Sivia.

                Alvin semakin muram saja. Ia pun lekas beranjak dan meninggalkan Sivia sendirian. Sama seperti Alvin, Sivia pun sedih. Gadis itu segera berbalik menuju kamarnya dan berusaha seorang diri berpindah ke ranjangnya. Lagi-lagi, ia melakukannya dengan susah payah dan dalam waktu yang tak sebentar.

^^^

                Alvin baru saja sampai di kediamannya. Sudah ada Zevana di teras rumahnya. Alvin mencoba menetralisir hatinya. Menghilangkan seonggok ketidaksukaan pada kata-kata teman masa kecilnya itu kemarin. Ia menyuruh Alvin memutuskan hubungannya dengan Sivia, bukan?

                “Vin..” panggil Zevana.

                Alvin mengangguk kecil. Ia segera duduk di sebuah kursi, tepat di samping Zevana, “Ada apa kau kemari?” tanyanya.

                “Hanya ingin tahu keadaanmu,” jawabnya.

                “Kau tak ingin tahu keadaan sepupumu yang baru saja kecelakaan?” tanya Alvin lagi.

                Zevana menggeram dalam hati. Kenapa Alvin selalu membicarakan soal Sivia? Tak tahukah ia bahwa Zevana telah menyimpan berjuta-juta rasa benci dan iri untuk Sivia pada lubuk hati terdalamnya? Oh, tentu saja Alvin tak tahu. Zevana tahu betul itu. Zevana tahu betul Alvin telah buta oleh cinta Sivia.

                “Aku sudah ke mengunjunginya kemarin, bersama kedua orang tuaku..” akunya, sama sekali jauh dari kenyataan yang ada.

                Alvin menengok sangsi, “Benarkah? Aku tak percaya.”

                Lagi-lagi Zevana hanya mampu mengutukki Sivia dalam hati. Ia berjanji akan merebut Alvin kembali dari sisi sepupunya itu. Bagaimanapun caranya. Ia harus melakukannya. Semata-mata agar ia dapat kembali mendapat perhatian penuh Alvin. Layaknya empat tahun lalu. Sebelum Alvin dan Sivia mengenal satu sama lain.

                Zevana tak menanggapi perkataan Alvin. Ia menyerahkan sekotak besar berisikan cake mango chocolate pada Alvin. Ia tahu betul ini adalah cake favorit Alvin.

                “Ini untukmu..” katanya.

                Alvin menerimanya dengan senyum mengembang, “Terima kasih! Rupanya kau masih ingat cake favoritku..”

                “Tentu saja aku masih ingat. Aku tak sepertimu yang bisa melupakan setiap detail tentang teman semasa kecilku hanya karena aku sudah memiliki seorang kekasih,” kata Zevana, Alvin termenung mendengarnya.

                Zevana bangkit dari duduknya, “Aku pulang dulu.”

                Zevana pun melenggang meninggalkan Alvin yang menatap kosong punggungnya. Diam-diam, Zevana tersenyum penuh kemenangan karena telah membuat Alvin termenung selama ini. Suatu pencapaian terbesarnya ketika ia bisa mengeluarkan kata-kata yang menohok ulu hati Alvin.

                “Zevana!” panggil Alvin.

                Gadis berbehel itu berhenti di tempat, tanpa menengok sedikitpun kepada Alvin.

                “Apakah kau cemburu dengan hubungan kami?” tanya Alvin.

                “Iya. Lantas, salahkah? Tak aka nada pengaruhnya juga dengan hubungan kalian. Kalian pasti akan kembali bermesraan di hadapanku tanpa peduli bagaimana hancurnya perasaanku saat itu!”

                Alvin semakin kaget. Ia kembali terdiam. Zevana pun kembali melenggang, memasukki mobilnya, dan mengendarainya entah ke mana. Meninggalkan Alvin yang masih sangat shock dengan pengakuannya barusan.

^^^

                Petang itu, Suster Oik terlihat merogoh tasnya dengan panik. Ia mencari sesuatu. Entah apa itu. Badannya gemetar. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Wajahnya mendadak pucat.

                “Ya Tuhan! Di mana jam tangan itu? Itu jam tangan pemberian Cakka! Bagaimana bisa jam tangan itu hilang? Astaga! Bagaimana ini?” serunya panik.

                Tiba-tiba saja, ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Nyaris saja ia berteriak, kalau-kalau seseorang itu tidak berbisik lembut tepat di telinganya.

                “Hey! Apa yang sedang kau cari?” bisiknya. Rupanya ia Dokter Cakka, kekasihnya sendiri.

                Suster Oik pun mengelap peluhnya, “Jam tangan pemberianmu..... Hilang,”

                Dokter Cakka segera melepas pelukannya. Ia memutar tubuh Suster Oik. Keduanya pun berhadap-hadapan. Mata elangnya tak luput dari sesosok gadis di hadapannya yang sedang menunduk dalam-dalam ini.

                “Maaf..” lirih Suster Oik.

                Tangan kanan Dokter Cakka terulur untuk mengangkat dagu Suster Oik, “Tidak apa-apa. Kita bisa mencarinya sekarang. Coba kau ingat-ingat di mana terakhir kali kau melepasnya..”

                Suster Oik terlihat berpikir keras, “Kediaman Sivia?” tanyanya.

                Dokter Cakka mengangguk, “Baiklah. Ayo kita cari kesana.”

                Dengan cepat, Dokter Cakka menggenggam dan menarik lembut tangan gadisnya itu. Keduanya pun berlalu menuju kediaman Sivia menggunakan mobil Dokter Cakka. Tentu saja ia yang menyetir.

^^^

                “Aku akan mencarinya ke dalam. Kau di sini saja,” kata suster Oik, tepat ketika keduanya baru saja sampai di depan kediaman Sivia.

                “Baiklah..” kata Dokter Cakka.

                Dokter Cakka memberikan ciuman singkat tepat di bibir mungil gadis itu. Setelahnya, Suster Oik pun segera keluar dan bergegas membuka pagar kediaman Sivia. Ia berjalan menuju bangunan utama dan mengetuk pintunya beberapa kali. Tak ada sahutan dari dalam.

                Suster Oik mencoba menempelkan telinga kanannya pada daun pintu itu. Terdengar alunan merdu dari sebuah piano klasik. Terdengar juga suara seseorang yang tak kalah merdunya dengan harmoni yang keluar dari piano klasik itu. Pasti sivia. Siapa lagi?

                Suster Oik pun segera membuka pintunya dan mendatangi arah datangnya suara itu. Rupanya dari kamar Sivia. Ia membuka pelan pintu kamar itu dan tercenung di tempat. Sivia sedang memainkan pianonya seraya bernyanyi. Sampai-sampai, ia meneteskan kristal-kristal itu.

Ku tahu kamu bosan

Ku tahu kamu jenuh
Ku tahu kamu tak tahan lagi


Ini semua salahku

Ini semua sebabku
Ku tahu kamu tak tahan lagi


(Jangan sedih, jangan sedih, aku pasti setia)


Aku takut kamu pergi,

Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini,
di sampingku, selamanya
(Jangan takut, jangan sedih, aku pasti setia)


Aku takut kamu pergi,

Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini,
di sampingku, selamanya
(Jangan takut, jangan sedih, aku pasti setia)


Aku ingin kau di sini,
Di sampingku, selamanya

Aku takut (jangan takut)
Kamu pergi (takkan pergi)

Kamu hilang (wooo), kamu sakit

Aku ingin (aku juga) kau di sini (bersamamu)
di sampingku (di sampingmu) selamanya
                “Indah sekali..” gumam suster Oik.

                Sivia kaget. Ia segera menghapus air matanya dan menengok ke arah Suster Oik, “Sedang apa kau di sini?” tanyanya tajam.

                “Aku hanya mencari jam tanganku. Apa kau melihatnya?” tanyanya balik.

                Sivia mengedik pada sebuah meja kecil di samping ranjangnya, “Aku tadi menemukannya di ruang tamu,”

                Suster Oik bergegas mengambilnya dan menggenggamnya erat, “Oh, terima kasih! Dan, ah! Kau tidak perlu berusaha terlihat tegar di depanku. Aku tahu tadi kau menangis. Menangislah, Sivia. Itu adalah satu-satunya caramu untuk mengekspresikan kesedihanmu.”

                Sivia melunak. Ia segera menggerakkan kursi rodanya menuju Suster Oik dan memeluknya erat. Ia kembali menangis tersedu. Suster Oik mengusap punggungnya dengan penuh sayang.

                “Aku menyayanginya, suster. Alvin. Tapi, aku tak ingin ia merasa terbebani dengan keadaanku yang seperti ini. Aku juga, sebenarnya, ingin mengetesnya. Sampai seberapa jauh ia mau berusaha berada di sampingku ketika aku menolaknya. Tapi ternyata, usahanya hanya seperti itu. Ia langsung meninggalkanku ketika aku memintanya. Bukan malah terus menungguiku di sini. Hanya sekecil itu rasa sayangnya padaku,” kata Sivia.

                “Bukan seperti itu, Sivia. Aku yakin, Alvin snagat menyayangimu. Ia meninggalkanmu bukan karena ia tidak menyayangi sepenuhnya. Melainkan karena ia tak ingin membuatmu tidak nyaman dengan kehadirannya. Percayalah..” balas Suster Oik.

                Tangis Sivia mulai reda. Ia pun melepaskan pelukannya pada suster Oik.

                “Ini sudah malah. Waktunya kau untuk tidur. Oke?”

                Sivia mengangguk. Suster Oik pun segera menggendongnya dan memindahkannya menuju ranjang. Sivia pun langsung terlelap. Suster Oik segera menyelimutinya dan mematikan lampu. Setelahnya, ia berjalan keluar dan kembali memasukki mobil Cakka.

^^^

                Siang itu, rintik-rintik hujan mulai turun ketika Sivia sedang berlatih berjalan bersama Suster Oik. Suster Oik pun segera mendudukkannya di kursi roda.

                “Kita masuk saja, ya? Cuaca mulai memburuk. Aku tak mau kau sakit karena kehujanan,”

                Tanpa menunggu persetujuan dari Sivia, Suster Oik mendorong kuris roda Sivia menuju kamarnya. Ia sibakkan korden kamar Sivia. Terlihat jalanan di luar sana yang mulai basah akan rintikan hujan. Sivia menikmati saat-saat itu, dengan Suster Oik yang berdiri di belakangnya.

                Tiba-tiba saja mata Suster Oik tertuju pada sesosok laki-laki di seberang sana, “Sivia, bukannya itu Alvin?” tanyanya.

                Mata Sivia pun bergerak cepat dan ia menemukan sosok Alvin di kejauhan, “Iya, dia Alvin..”

                “Keluarlah. Lihat, dia kehujanan, Sivia. Bawakan dia payung. Ayo!” suruh Suster Oik.

                Sivia menggeleng kaku, “Tak usah, suster..”

                Sivia pun membalikkan kursi rodanya. Ia tak kuat melihat Alvin di seberang sana. Ia mulai mencari kesibukan lainnya. Memencet-mencet tuts piano klasiknya dengan tak jelas. Suster Oik memandangnya kasihan.

                Tiba-tiba saja, guntur menggelegar. Sivia dan Suster Oik terlonjak kaget. Sivia segera mengintip sosok di seberang jalan itu lagi lewat celah-celah korden kamarnya.

                “Sivia, berubah pikiran? Ayo, susul ia. Minta maaflah padanya. Bawakan paying untuknya..” suruh Suster Oik, untuk yang kedua kalinya.

                Sivia tersenyum simpul. Baru saja ia akan menyetujui perintah Suster Oik tadi, kedua bola mata beningnya sudah menangkap sosok lain di seberang sana. Sesosok gadis berambut panjang yang memayungi Alvin seraya memeluknya dari belakang. Dia Zevana, sepupunya sendiri. Sivia menutup mulutnya, menutupi kekagetannya akan hal itu.

                “Sivia..” panggil Suster Oik, Sivia tak bergeming menatap setiap adegan di seberang sana.

                Zevana melepaskan pelukannya. Ia menarik lembut tangan Alvin untuk memasukki mobilnya. Dan akhirnya, keduanya melesat. Meninggalkan Sivia yang masih tak percaya dengan apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

                “Bisakah kau mengantarkanku ke kediaman Alvin, suster?” tanya Sivia.

                Suster Oik mengangguk cepat. Pasalnya, Dokter Cakka telah menunggunya di pekarangan kediaman Sivia. Suster Oik segera mendorong kursi roda Sivia ke sana. Setelah keduanya masuk ke dalam, mereka bertiga pun melesat menuju kediaman Alvin.

^^^

                Ketiganya baru saja sampai. Hujan rintik-rintik masih setia menemani ketiganya dan berjuta-juta orang lainnya di bumi ini. Dokter Cakka mengeluarkan kursi roda Sivia dari dalam bagasi dengan dipayungi oleh suster Oik.

                Setelahnya, ia dan Suster Oik mengangkat tubuh Sivia dan mendudukkannya di kursi roda. Payung itu telah berpindah tangan kepada Dokter Cakka. Suster Oik menunduk, menyamakan tingginya dengan Sivia.

                “Mau aku temani ke dalam?” tanyanya.

                Sivia menggeleng pelan dengan senyum kecil di bibirnya, “Tak usah. Kalian berdua pulang saja. Aku akan menyelesaikan dan memperbaiki ini semua dengan Alvin..”

                “Ya sudah, kami berdua pamit. Segera masuk ke dalam dan temui Alvin!” pesan Suster Oik.

                Sivia menghela napas. Ia segera memasukki pelataran kediaman Alvin. Suster Oik dan Dokter Cakka sudah berlalu semenjak beberapa menit yang lalu. Baru saja Sivia akan masuk ke dalam kediaman Alvin, sayup-sayup ia mendengar percakapan antara dua orang. Zevana dan Alvin.

                “Ayolah, Vin! Sivia sudah tak memperdulikanmu! Apa lagi yang kau pertahankan?”

                “Cukup, Ze! Jangan terus-terusan menyalahkan Sivia!”

                “Lalu, siapa lagi yang bisa aku salahkan? Kau? Tidak bisa!”

                “Lantas, apa maumu, Ze?”

                “Aku hanya ingin kau menyadari kehadiranku di sisimu. Aku yang selalu ada untukmu belakangan ini. Bukan Sivia. Aku tak seperti Sivia yang belakangan ini selalu mencampakkan perhatianmu..” lirih Zevana.

                Alvin terlihat iba. Ia segera menenggelamkan Zevana ke dalam pelukannya, tepat ketika Sivia berusaha mengintip keadaan di dalam sana. Dada Sivia terasa sangat sesak melihat adegan itu. Adegan di mana Alvin memeluk gadis lain. Bukan ia lagi yang ada dalam pelukan hangatnya.

                “Baiklah. Aku akan mencoba menyayangimu..” ucap Alvin akhirnya.

                Zevana tersenyum senang dalam pelukan Alvin. Ia balas memeluk lelaki itu. Sedangkan Sivia, ia segera beranjak. Menggerakkan kursi rodanya menjauhi kediaman Alvin. Tak peduli dengan rinaian hujan yang membasahi tubuhnya.

                Sivia terus menggerakkan kursi rodanya. Buliran-buliran itu kembali jauh dan tak tertahankan. Zevana telah berhasil merebut Alvin dari sisinya dan membuatnya kembali pada Zevana. Sivia masih belum percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat beberapa menit yang lalu.

                “Tuhan, kuatkanlah aku. Tetaplah berada di sisiku ketika tak ada seorangpun di sini. Tetaplah jadi tumpuanku, kapanpun itu. Jangan biarkan aku terlihat lemah di mata mereka, Tuhan..” lirih Sivia.

                Ia membiarkan bening-bening itu terus berjatuhan dari kedua matanya. Ia berharap bahwa seiring dengan jatuhnya bening-bening itu, terbawanya bening-bening itu bersama rintikan hujan, hilang dan lenyapnya bening-bening itu dapat pula mewakili perasaannya pada Alvin. Ia berharap bahwa perasaannya pada Alvin dapat terbawa dengan air matanya tadi, bersatu bersama rintikan hujan, dan hilang serta takkan kembali...

THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS