Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SUPERGIRLS part 4 (Keke's Story)







            Pukul lima tepat! Jam weker berbentuk ayam berwarna merah itupun langsung berkoar-koar, mencoba membangunkan sang empunya dari mimpi indah. Untuk beberapa detik awal, sang empunya terlihat bergeliat sedikit.

            “Jam berapa ini?” erangnya.

            Gadis berpipi chubby itu, Keke, segera membuka kedua kelopak matanya. Ia mengedik sekilas pada gorden kamarnya. Masih gelap di luar sana. Lantas, ia beralih pada jam weker yang telah menunjukkan pukul lima lebih sedikit itu.

            Tak menunggu lama, gadis itu mematikannya sehingga tak terdengar lagi koar-koaran darinya. Setelah itu, Keke kembali merebahkan tubuhnya di ranjang dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut bergambar boneka teddy bear berwarna pink.

            Baru beberapa detik saja, Keke sudah kembali dengan bunga tidurnya...

^^^

            Terlihat seorang wanita yang sudah berumur berjalan terburu-buru menuju kamar Keke. Wanita itu telah siap dengan pakaian dinasnya. Ya, ia memang salah satu anggota badan legislatif di Malang. Sesekali, ia mengedik pada arlojinya yang berkilauan karena batu-batuan yang menghiasinya itu.

            “Ini sudah pukul enam lewat dan Keke belum juga bangun. Kelewatan sekali anak gadisku itu!” geramnya, jengkel.

            Anak gadisku? Tepat! Wanita itu adalah orang tua dari Keke. Di mana papanya? Beliau sedang ada tugas di luar pulau. Hanya sebulan sekali beliau pulang ke Malang. Selebihnya, Keke hanya tinggal di rumahnya dengan mama dan adik lelakinya yang masih mengenyam pendidikan di bangku SD.

            Wanita itu mulai membuka pintu kamar Keke dengan tangan kirinya. Tangan kanannya telah menenteng tas kerjanya. Perlahan, ia masuk ke dalam dan duduk di bibir ranjang Keke. Ia menyingkap sedikit selimut Keke.

            “Keke.. Bangun, ayo. Kamu ga sekolah?” tanya beliau dengan lembut.

            Keke kembali menggeliat. Ia berdesah kecil, tak tau berucap apa. Pasalnya, ia melakukannya seraya menguap lebar-lebar. Menunjukkan sederet gigi-gigi kecilnya yang berwarna putih sempurna.

            “Ayo, bangun. Sudah jam enam lewat ini. Kamu pasti terlambat lagi..” kata beliau.

            Wanita itu pun memukul pelan lengan Keke. Keke terbangun dibuatnya. Begitu ia terbangun, ia langsung menunjukkan wajah kesalnya pada sang mama.

            “Kenapa lagi, Ke?” tanya beliau.

            “Keke ngantuk! Mau tidur lagi aja!” kata Keke, ia kemudian kembali tertidur di ranjangnya.

            “Oke. Lima menit saja. Mama tunggu kamu di ruang tamu. Kalau dalam lima belas menit kamu belum juga muncul, mama tinggal!”

            Keke hanya mengangguk ogah-ogahan. Mamanya lantas keluar dari kamarnya dan menuju ruang tamu. Keke menghembuskan napasnya dengan berat. Pelan-pelan ia membua kelopak matanya. Mengerjap-erjapkannya sesaat, mencoba memfokuskan pandangannya agar tidak kabur.

            “Jam berapa ini? Mama cerewet sekali. Aku, kan, sudah biasa terlambat,” ocehnya.

            Ia kembali memelototi jam wekernya. Jarum pendek berada di antara angka enam dan tujuh, sedangkan jarum panjangnya berada di angka delapan. Oh, sial! Ia benar-benar akan terlambat lagi. Bel masuk sudah berbunyi semenjak sepuluh menit yang lalu!

            Keke pun bangkit. Ia berjalan menuju almari, mengambil seragam sekolahnya, dan bergegas menuju kamar mandi yang berada di sebelah almarinya. Mandi dengan cepat. Beginilah rutinitas gadis itu setiap harinya. Hampir tidak pernah ia dating di sekolah sebelum bel masuk berbunyi.

            Tujuh menit berlalu. Keke keluar dari dalam kamar mandi dengan sudah mengenakan seragam sekolahnya, SMP Mariskova. Ia pun segera memakai sepatunya. Berjalan menuju meja belajar, melihat jadwal pelajaran, dan memasukkan buku-buku ke dalam tasnya dengan asal-asalan.

            “Astaga! Ada PR! Errr, PR apa? Sudahlah, aku sudah terlambat ini. Untuk apa mengerjakan PR? Pasti guru yang mengajar pada jam pelajaran pertama langsung menyuruhku hormat di bawah tiang bendera sampai pelajarannya selesai,” gumam Keke.

            Sepuluh menit tepat!

            “Masih kurang lima menit, ya? Aku tinggal tidur saja..”

            Keke pun kembali naik ke atas ranjangnya. Baru saja ia mencoba memejamkan matanya, teriakan mamanya dari ruang tamu telah merusak moodnya untuk kembali tidur.

            “Keke! Kalau sudah selesai, segera ke ruang tamu! Jangan tidur kembali!”

            Dengan langkah berat, Keke pun beranjak menuju ruang tamu. Ia melihat mamanya sedang duduk di salah satu sofa dengan menyeduh segelas green tea favoritnya. Keke pun langsung duduk di sampingnya.

            “Ini sudah jam berapa, Keke? Lupa pasang alarm lagi?” tanya beliau, sesaat setelah ia meletakkan segelas green teanya.

            “Pasang, kok, ma..” jawabnya.

            “Terus? Kenapa harus mama bangunkan dulu?” tanyanya lagi.

            “Tadi jam lima sudah bangun Keke. Tapi masih ngantuk. Jadi, ya, cuman matiin alarm dan tidur lagi.”

            “Ya sudah, ayo berangkat!”

            Mamanya pun segera berdiri, tangan kanannya kembali menenteng tas kerjanya. Keke hanya mengekor di belakang. Beliau masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi. Keke duduk di sampingnya. Mereka pun melesat menuju SMP Mariskova.

^^^

            Dan, benar saja! Keke kembali terlambat.

            Setelah turun dari mobilnya, Keke pun berjalan menuju gerbang utama sekolah yang sudah terututup rapat. Ia mengedik pada jam tangannya. Pukul tujuh lebih sedikit. Ketika ia melirik tempat mobil mamanya tadi berhenti, sudah tidak ada apapun di sana. Pasti beliau sudah melesat menuju kantor.

            Keke menengok ke kanan dan ke kiri. Ada empat orang lain yang terlambat, selain dirinya. Seorang siswa kelas sembilan, dua orang siswi kelas delapan, dan seorang siswa kelas tujuh.

            Ah, ya! Sudah taukah kalian bahwa hari ini adalah hari efektif pembelajaran pertama setelah MOS? Dan sekarang, Keke telah duduk di bangku kelas delapan. Ia masuk ke dalam kelas unggulan billingual.

            “Hey, kamu!” panggil Keke, pada seorang siswa kelas tujuh.

            “Aku, mba’?” tanya siswa itu, Keke mengangguk.

            Dengan perlahan, siswa itu segera menghampiri Keke. Keke, dengan otomatis, langsung memasang wajah ‘ala kakak kelas’ pada umumnya. Apalagi, ia masih menjadi anggota OSIS, belum lepas jabatan.

            “Kenapa, mba’?” tanya siswa itu, lagi.

            “Kamu kelas tujuh, kan?” tanya Keke balik.

            Siswa itu mengangguk, “Kenapa, mba’?”

            “Kenapa, kenapa! Kamu tau, aku ini anggota OSIS. Kamu ini masih belum seminggu di Mariskova tapi sudah berani terlambat. Kenapa kamu bisa masuk sini, sih? Cih!” desis Keke.

            “Lho? Mba’ sendiri, anggota OSIS tapi kenapa terlambat?” tanya adik kelasnya balik.

            Senjata makan tuan! Keke mencari alasan. Beberapa detik berselang, Keke hanya memelototi adik kelas barunya itu dengan tangan dilipat di depan dada.

            “Sudah, sudah! Kenapa kamu jadi menyalahkanku? Kamu sendiri, kenapa terlambar? Dasar kau ini!” Keke menggeram tak kentara.

            “Kemarin ada sembahyang di rumah, mba’. Dan sesajennya belum dibereskan karena tadi malam sudah capek. Jadinya, ya, tadi pagi baru bisa dibereskan..” jelasnya.

            “Oh, kau beragama Hindu?” tanya Keke, adik kelasnya itu kembali mengangguk.

            “Iya, mba’. Aku tadi terlambatnya ga sengaja, kok..” jawabnya lagi.

            “Baiklah. Ku maafkan kau, eee, siapa namamu? Anak Agung Ngurah? Aku memanggilmu apa? Anak?” Keke terlihat bingung sendiri.

            “Deva, mba’. Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. Nama dadanya ga cukup kalau nama lengkapku ditulis semua,” adik kelas itu, Deva, menyunggingkan cengiran terlebarnya.

            Keke hanya mengangguk mengerti.

            Tak lama kemudian, seorang satpam sekolah datang dari arah gedung utama SMP Mariskova. Sepertinya dari ruang BP. Dengan sigap, satpam itu segera membuka gerbang utama dan memelototi para siswa-siswi yang terlambat.

            Pandangannya terantuk pada Keke, “Kamu lagi! Sudah keberapa kalinya ini kau terlambat?” hardiknya.

            Keke menggeleng tak tau, “Lupa, pak. Sudah terlalu sering.”

            Satpam itu melengos malas. Dari belakangnya, muncul seorang guru BP yang sangat dikenal oleh seantero Mariskova karena kejudesannya. Keke memandang guru itu tanpa ekspresi ketika beliau memandangnya dengan tajam.

            “Gabriel Angeline! Kau terlambat lagi?!” pekik beliau.

            “Iya, bu..” jawab Keke.

            “Oh, nama mba’ itu Gabriel Angeline?” tanya Deva, ia menyenggol pelan lengan Keke.

            Keke mengalihkan pandangannya pada Deva dan mengangguk, “Gabriel Angeline Talitha Pangemanan. Panggil Keke.”

            Gurunya hanya menggelengkan kepalanya, pertanda ia sudah sangat tau kebiasaan Keke yang satu ini. Guru itu pun mulai mengeluarkan bukunya dan menulis nama-nama siswanya yang terlambat di sana. Pengecualian untuk Keke karena ia sudah sangat sering terlambat.

            “Hukuman kali ini, kalian berlari memutari lapangan dua kali. Dan, khusus untuk Gabriel Angeline, kamu berlari memutari lapangan tiga kali. Itu sebagai gantinya karena saya tidak menulis namamu dibuku pelanggaran.” ujar guru itu.

            “Lapangan basket, bu?” celetuk seorang siswa kelas sembilan.

            Guru itu kembali berdecak, “Bukan. Saya bilang lapangan, ya lapangan!”

            Bibir Deva kontan menganga lebar. Pasalnya, lapangan yang diucapkan guru BP tadi berarti keseluruhan lapangan SMP Mariskova yang berkumpul menjadi satu. Lapangan upacara, lapangan voli, lapangan basket, dan lapangan sepak bola berada dalam satu lokasi yang hanya dipisahkan oleh sekat-sekat. Jadi, mereka-mereka yang terlambat ini akan berlari mengitarinya dari pinggir lapangan, yang luasnya mencapai 1 hektar ini.

            “Kenapa kamu?” tanya Keke.

            “Kita lari, mba’? Ngitarin lapangan ini?” tanya Deva balik.

            Keke mengangguk santai, “Sudah. Ayo lari! Kamu, kan, cuman 2 putaran. Aku tiga putaran.”

            Kelima siswa-siswi yang terlambat itu pun mulai menjalankan hukumannya, termasuk Keke dan Deva. Guru BP tadi telah berpesan kepada satpam agar mengawasi mereka-mereka ini. Sang satpam mengawasi dari bawah pohon beringin yang tumbuh di pinggir lapangan sepak bola.

            Dua orang siswi kelas delapan dan seorang siswa kelas sembilan pun segera berlari agar mereka dapat cepat masuk ke dalam kelas. Berbeda dengan Keke dan Deva yang sangat santai. Keduanya hanya berjalan cepat saja.

            “Gabriela Angeline! Anak Agung! Ayo lari! Jangan hanya berjalan cepat!” teriak satpam itu.

            Keke berdecak kesal. Ia pun sedikit mempercepat laju jalannya. Disusul dengan Deva yang berlari-lari kecil di sampingnya.

            “Gabriel Angelie! Saya bilang berlari! Bukan berjalan cepat!” teriaknya lagi.

            “Saya ga bisa lari, pak! Bapak mau lihat saya terkapar di tengah lapangan karena asma saya kambuh?” teriak Keke balik, sedikit menantang.

            “Mba’ Keke punya asma?” tanya Deva, ia berangsur kembali berjalan cepat.

            “Iya. Kenapa?”

            “Ga kenapa-kenapa. Cuman tanya, kok, mba’.”

            “Kenapa tanya-tanya? Suka bilang aja.”

            “Mba’ Keke percaya sama love at the first sight?”

            “Percaya, percaya aja. Kenapa?”

            “Aku, sih, percaya banget..”

            “Lantas? Ada bukti kongkrit?”

            “Kita lihat saja nanti..”

^^^

            Ketiga siswa-siswi lainnya telah selesai menyelesaikan hukuman semenjak lima belas menit yang lalu. Sedangkan Keke dan Deva baru saja selesai. Keduanya pun segera menuju kantin yang terletak tak jauh dari lapangan basket.

            “Mba’ Keke mau minum? Atau makan?” tanya Deva.

            “Minum aja. Yang adem-adem pokoknya,” pesan Keke.

            Deva pun mengangguk, ia berlalu menuju salah satu stan yang sudah buka. Keke hanya duduk di bagian terluar kantin seraya menopang dagunya dan memandang kea rah jalan raya di luar gerbang utama Mariskova.

            Tiba-tiba saja, muncul sebotol air mineral dingin di depan kedua matanya. Keke mendongak, menatap orang yang mengacungkannya. Deva. Keke menerimanya dengan senyum.

            “Makasih,” katanya.

            Dengan cepat, Keke menghabiskan minumnya. Setelah habis, ia pun berdiri dengan menenteng tasnya.

            “Mau ke mana, mba’?” tanya Deva.

            “Balik ke kelas. Kamu ga balik?”

            “Balik, kok. Mba’ Keke duluan aja. Masih mau istirahat sebentar ini.”

            “Ya sudah. Duluan, Dev!” pamit Keke, Deva hanya mengangguk seraya tersenyum.

            Keke pun berlalu menuju kelasnya, meninggalkan Deva yang masih terduduk di kantin dengan kedua mata yang terus menatap punggungnya lekat hingga ia menghilang di balik koridor menuju kelasnya.

            “Mba’ Keke tau ga kenapa tadi aku tanya mba’ Keke percaya sama love at the first sight atau ga? Itu karena aku lagi ngalamin itu, mba’. Sama mba’ Keke..”

^^^

            Keke baru saja tiba di depan kelasnya. Ia merapikan seragamnya sebentar. Setelahnya, ia mengetuk pintu kelasnya. Muncul seorang guru dari dalam.

            “Terlambat lagi, Gabriel Angeline?” tanya guru itu.

            “Iya, bu. Maaf!”

            “Sudah mengerjakan PR?” tanya beliau lagi.

            “Belum,” Keke menggelengkan kepala dengan santai.

            “Letakkan tas kamu di dalam. Setelahnya, lekas ke lapangan. Hormat pada tiang bendera hingga jam pelajaran saya habis,” pesan guru itu, dengan senyum diakhir kalimatnya.

            “Baik, bu..” Keke kembali mengangguk dengan santai.

            Keke masuk ke dalam kelasnya dan meletakkan tasnya. Kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya hanya memandangnya tak mengerti. Terlebih lagi Sivia. Maklum, calon Ketua OSIS pada periode yang baru ini.

            “Kok lama balik ke kelasnya?” tanya Oik.

            “Ada Deva,” jawab Keke, singkat.

            “Deva siapa?” tanya Nova.

            “Adik kelas bukan, sih?” timpal Aren.

            “Dihukum apa tadi emangnya?” lanjut Acha.

            Baru saja Keke akan menjawab pertanyaan-pertanyaan sahabatnya itu, gurunya telah memotongnya.

            “Oik Cahya, Nova Cintya, Aren Nadya, Larissa Safanah, jangan diajak mengobrol itu temannya. Biarkan dia kembali hormat pada tiang bendera!”

            Oik, Zevana, Aren, dan Acha lantas menundukkan kepalanya. Keke berjalan keluar dari kelasnya dengan santai dan menuju lapangan upacara yang terletak tak jauh dari kantin juga.

^^^

            Deva baru saja kembali dari kelasnya. Ia kembali terduduk lemas di bagian terluar kantin, tempat ia dan Keke beristirahat beberapa menit yang lalu. Tadi, di kelasnya, ia ditolak mentah-mentah oleh sang guru. Dan beliau menyuruh Deva untuk tetap di luar, tidak masuk pada saat jam pelajarannya hari ini.

            Alhasil, Deva kembali ke kantin. Hanya tempat itu yang terpikir olehnya. Perpustakaan? Tak mungkin, terlalu membosankan di sana.

            Deva mengedarkan pandangannya pada seluruh penjuru kantin. Sangat sepi. Ia beralih pada lapangan. Kedua mata lebarnya menelusuri setiap sudut lapangan basket, lapangan sepak bola, lapangan voli, dan lapangan... Hey, tunggu! Bukankah itu Keke?

            “Mba’ Keke!” panggil Deva.

            Seorang gadis yang tengah hormat pada tiang bendera pun beralih menatapnya. Kedua mata gadis itu membulat sempurna. Bibirnya bergerak, mengucapkan nama Deva.

            Deva segera berlari ke arahnya, dengan menenteng tasnya asal-asalan. Begitu sampai di hadapan Keke, Deva mulai sibuk mengatur napas setelah berlarian tadi.

            “Kamu bukannya mau balik ke kelas, Dev?” tanya Keke.

            “Sudah tadi, mba’. Tapi, kata gurunya, aku ga boleh masuk di jam mata pelajarannya hari ini,” jelasnya.

            “Terus kamu ngapain di sini? Ngelihat aku yang lagi hormat?” tanya Keke lagi.

            “Nemenin mba’ Keke aja. Biar mba’ Keke ga kesepian. Aku juga lagi ga ada kerjaan.”

^^^

            Seiring waktu berjalan, keduanya pun semakin dekat. Bahkan, seantero Mariskova pun sudah tau akan hal itu. Keduanya juga sering terlambat berbarengan, tanpa direncakanan. Soal PR, keduanya juga sering bertemu di lapangan upacara karena tidak mengerjakan PR untuk melakukan ‘ritual’ bagi mereka-mereka yang tidak mengerjakan PR, hormat pada sang saka merah-putih.

^^^

            Sore itu, keduanya sedang berada di lapangan basket. Sekolah sudah sangat sepi. Pasalnya, bel pulang sudah meraung-raung semenjak sejam yang lalu. Keduanya sedang saling lempar bola basket ketika itu.

            “Ga pulang, Dev?” tanya Keke.

            Deva menggeleng dan kembali melempar bola basket pada Keke, “Mba’ Keke sendiri?”

            “Belum ada yang jemput. Mama masih di kantor.”

            “Papa?”

            “Dinas di luar pulau.. Kamu kenapa ga pulang?”

            “Nemenin mba’ Keke. Kasihan kalau sendirian.”

            “Emang ga sembahyang, Dev?”

            “Sembahyang, kok. Nanti, begitu mba’ Keke dijemput, aku pulang, sampai rumah langsung bersih-bersih badan, dan sembahyang.”

            “Sembahyang itu ga boleh ditunda-tunda, Dev. Pulang sekarang aja!”

            “Mba’ Keke gimana?”

            “Sepuluh menit lagi pasti mama sudah sampai sini,”

            “Ya sudah, sepuluh menit lagi aku pulang.”

            “Kamu kok ngotot, sih?! Kenapa ga sekarang aja?”

            “Salah, ya, mba’, kalau aku pingin nemenin mba’ Keke di sini?”

            “Engga, sih. Tapi, kan, kamu harus sembahyang,”

            “Sepulang dari sini aku langsung sembahyang, kok, mba’,”

            “Kamu kenapa, sih?”

            “Aku cuman pingin nemenin orang yang aku sayang di sini..” Deva segera menundukkan kepalanya dalam-dalam.

            Keke terperangah kaget, “Apa, Dev? Siapa? Aku?”

            Deva sedikit mengangkat kepalanya, “Siapa lagi, mba’? Sekolah, kan, sudah sepi.”

            “Kamu sayang aku, Dev?” tanya Keke.

            Deva tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya mengangguk kecil. Keke kembali terperangah kaget.

            Keke berusaha mengontrol debaran jantungnya yang semakin menggila, “Terus? Segini aja kamu ngomongnya?”

            “Apa lagi, mba’? Aku harus nembak mba’ Keke, gitu?”

            Keke mengangguk bersemangat, “Iyalah!”

            “Buat aku, status itu ga penting, mba’. Karena status itu ga bisa menjamin keadaan hati seseorang.”

            “Tapi, buat aku, status itu penting, Dev! Kalau kamu ga nembak aku, berarti kamu ngebiarin aku dideketin sama yang lainnya. Itu juga berarti kamu nyuruh aku buat move on dari kamu!”

            Kali ini Deva yang terperangah kaget, “Mba’ Keke sayang aku juga?”

            Keke hanya mengangkat bahunya, “Gimana, ya? Ga tau, deh! Tembak dulu, dong, makanya!”

            Deva terlihat berpekiri sebentar. Dan akhirnya, tangannya mulai menggapai tangan Keke. Mencampakkan sebentar bola basket yang sedari tadi menjadi mainan keduanya.

            “Mba’ Keke mau jadi ceweknya Deva?” tanya Deva, malu-malu.

            Keke mengangguk perlahan, “Pasti!”

            Keduanya pun saling tersenyum. Baru beberapa detik bertahan pada posisi ini, ponsel Keke tiba-tiba bergetar. Miscall dari sang mama. Ia pun segera mengambil tasnya dan menggendongnya.

            “Pulang, mba’?” tanya Deva.

            Keke mengangguk, “Kita ini sudah jadian! Jangan panggil aku mba’, dong! Panggil Keke saja!”

            “Oh, iya. Keke pulang?” ulang Deva.

            “Iya, Dev..” jawab Keke.

            “Ya sudah. Ke gerbangnya barengan, ya..” ajak Deva, Keke hanya mengangguk setuju.

^^^

            Pajamas party. Kegiatan rutin para anggota SUPERGIRLS setiap minggunya. Dan, kali ini, diadakan di kediaman Keke. Kesembilan sahabatnya hanya bertanya-tanya dalam hati ketika melihat Keke yang sebentar-sebentar selalu sibuk dengan ponselnya.

            “Keke ngapain? Kok ngecheck ponsel terus?” tanya Shilla.

            “Ngebales BBM aja, kok, Shill. Kenapa?” tanya Keke balik.

            “Ga. Ga biasanya aja, Ke.” seloroh Angel.

            “Mirip orang yang sudah punya pacar,” celetuk Zahra.

            Suasana mendadak hening. Shilla, Angel, Ify, Sivia, Oik, Acha, Nova, dan Aren terdiam menelaah perkataan Zahra. Mirip orang yang sudah punya pacar. Benar juga. Apakah... Oh! Sepertinya Keke tidak menceritakan hal ini pada mereka semua.

            “Keke sudah punya cowok?” tanya Sivia, langsung.

            Keke mengangguk kecil, dengan santai. Semakin membuat kesembilan sahabatnya gemas padanya. Gemas sekaligus penasaran. Ya...

            “Siapa, Ke?” tanya Nova.

            “Apa Deva?” tanya Aren.

            “Adik kelas itu?” tanya Ify.

            “Iya..” jawab Keke, lagi-lagi, dengan amat sangat santai.

            Keke kembali mengecheck ponselnya. Membalas BBM dari Deva. Ia seolah tak memperdulikan Sivia, Zahra, Ify, Angel, Shilla, Oik, Nova, Acha, dan Aren yang kembali terperangah karena jawaban santainya.

            “Serius sama Deva?” tanya Acha, Keke mengangguk.

            “Deva anak kelas tujuh?” tanya Ify, Keke kembali mengangguk.

            “Deva yang anak basket?” tanya Oik, Keke lagi-lagi mengangguk.

            “Kenapa ga bilang-bilang sama kita kalau kamu sudah jadian?” pekik Shilla.

            Keke menengok ke arah gadis berbehel itu. Ia menyilangkan telunjuknya di depan bibirnya, “Mau cerita ke kalian tapi lupa,” jawabnya.

            “Astaga, Keke! Dapat adik kelas lagi?” tanya Zahra.

            “Iya, Zahra. Astaga! Kenapa?” tanya Keke balik.

            “Kok sama anak bau kencur, sih?!” desis Shilla.

            “Eh! Emang kamu pikir kita gab au kencur, apa? Kita juga masih SMP!” balas Keke.

            “Ya tapi, seengganya, kan, kita dapat yang seumuran. Bukan malah yang lebih muda, lebih kekanak-kanakan daripada kita,” kilah Shilla.

            Keke menatapnya tepat di manik mata Shilla, “Ingat, Shill, kedewasaan seseorang itu ga diukur dari setua apa umurnya, tapi dari sikapnya. Deva memang lebih muda daripada aku, tapi dia lebih dewasa daripada aku,”

            “Cie, Keke sekarang sudah dewasa, ya!” seloroh Oik, dengan wajah polosnya.

(Keke's Story - End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar