MOVE ON (Cerpen)
Holszta Medical Centre, 14 Februari 2012
Sebuah taxi berhenti di depan lobby utama. Tak lama kemudian, turunlah seorang lelaki berparas oriental dengan kemeja putihnya yang bernodakan darah. Lelaki itu segera memanggil dua orang suster yang sedang berjaga di meja receptionist.
“Sus, tolong pacar saya, sus. Dia ada di dalam taxi dan tidak sadarkan diri. Banyak darah mengucur dari kepalanya,” kata lelaki itu.
Kedua suster itu segera mengambil bed tepat di sebelah meja receptionist dan mendorongnya ke depan lobby. Lelaki itu, dibantu dengan sang sopir taxi, menggendong tubuh seorang gadis berparas oriental pula. Keduanya segera membaringkan tubuh gadis tersebut di atas bed.
Dengan segera, kedua suster tadi mendorong bed tersebut ke ICU. Alvin, lelaki oriental itu, dengan cepat mengeluarkan dompetnya dan mengangsurkan selembar lima puluh ribuan pada sang sopir taxi.
“Kembalinya anda ambil saja,” pesannya, sebelum akhirnya ia juga melesat menuju ICU.
Ketika ia sampai di depan Ruang ICU, salah seorang dari dua suster tadi keluar. Ia menghampiri Alvin yang sedang terduduk lemas di kursi tunggu. Dengan cepat, Alvin mendongakkan kepalanya. Pandangannya beradu dengan suster itu.
“Bagaimana keadaannya, Sus?” tanya Alvin.
Suster itu lantas tersenyum menenangkan, “Sudah ada dokter di dalam. Berdoalah. Doakan yang terbaik untuknya. Sepertinya keadaannya lumayan parah,”
“Separah apa, Sus?” tanyanya, lagi.
“Kita lihat saja nanti. Bersiaplah dengan kemungkinan terburuk. Oh ya, lebih baik kau ganti pakaianmu. Lihat, ada darah di mana-mana. ”
Alvin mengedik pada kemejanya yang berlumuran darah, “Tak apa. Aku akan terus di sini, menunggu sampai Sivia sadar. Atau, minimal, sampai dokter keluar dan menyampaikan bagaimana keadaannya,”
Lagi-lagi suster itu tersenyum menenangkan, “Sudahlah. Gantilah dulu pakaianmu itu. Itu tak akan menghabiskan waktu berjam-jam. Hitung-hitung, kau membunuh waktu. Ketahuilah, dokter dan seorang suster baru mengurus luka di kepalanya. Belum memeriksa keadaannya untuk menyeluruh,”
Alvin mengangkat bahunya, “Baiklah. Kira-kira di mana aku bisa mendapatkan baju ganti?”
Tangan suster itu mengarah pada sebuah minni shop di ujung koridor, “Di sana menjual T-Shirt dan ada kamar gantinya,”
Alvin mengangguk mengerti, “Oke, terima kasih Suster.....” ucapannya terhenti, ia tidak tahu nama suster itu.
“Oik Cahya Ramadlani, Suster Oik..” sambung suster itu.
“Oke, terima kasih, Suster Oik..”
Alvin pun berjalan dengan gontai menuju minni shop tadi. Sedangkan Suster Oik, kembali masuk ke dalam ICU untuk membantu dokter dan seorang suster untuk mengobati luka Sivia.
^^^
Alvin sedang menyeduh secangkir Hot Capuccino ketika itu. Ia duduk di sebuah kursi, tepat di samping sebuah kaca yang menyuguhkan bagaimana ramainya keadaan di luar Coffee Shop tersebut. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis ketika ia melihat gadisnya baru saja keluar dari Cake Shop di seberang jalan.
Alvin meletakkan secangkir Hot Capuccino tadi dan meletakkan seluruh fokusnya pada Sivia, gadis itu. Sivia melambaikan tangan dengan riang ke arahnya. Alvin memperlebar senyumannya.
Dengan tergesa-gesa, Sivia menyeberang jalan. Ia tak melihat bahwa ada sebuah motor melaju dengan kencangnya ke arahnya. Alvin pun tak melihatnya. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar Sivia hanya dapat membulatkan mulut, kaget.
“Awas!” teriak sebuah suara, ketika motor itu tepat membentur tubuh Sivia.
Sivia terjatuh hingga tak sadarkan diri. Pengendara motor itu langsung melarikan diri. Alvin segera keluar dari Coffee Shop tersebut dengan meletakkan sembarangan selembar uang lima puluh ribu. Alvin menyambar tubuh Sivia yang sudah bersimbah darah, orang-orang di sekelilingnya berusaha mencarikan taxi.
“Mas, bawa saja temannya ke Rumah Sakit. Sudah saya panggilkan taxi. Ayo, sebelum keadaannya semakin memburuk,” ucap seorang lelaki paruh baya.
Alvin mendongak, ia hanya dapat mengangguk. Ia segera membopong tubuh Sivia masuk ke dalam taxi. Taxi pun melaju menuju Holszta Medical Centre. Perlahan-lahan, kerumunan para pejalan kaki tadi mulai berangsur bubar.
^^^
Alvin terkesiap. Rupanya ia tertidur di kursi tunggu. Ia mengedik pada jam tangannya, pemberian Sivia. Sudah lima belas menit berlalu semenjak ia keluar dari minni shop tadi. Dan sayangnya, pintu Ruang ICU masih tertutup rapat.
Alvin menegakkan badannya. Memandang lurus ke arah pintu Ruang ICU. Berusaha menepis mimpi buruknya tadi jauh-jauh. Sebenarnya, itu bukanlah mimpi buruk. Bukan juga sekedar kembang tidur. Itu tadi adalah secuil kejadian tentang insiden kecelakaan yang dialami Sivia, gadisnya.
Alvin mengatupkan kedua tangannya, “Tuhan, jaga malaikatku. Jangan biarkan ada sesuatu hal buruk yang menghampirinya akibat kecalakaan tadi. Amin,”
Alvin menghela napas. Seorang dokter dan dua orang suster keluar dari dalam Ruang ICU.
Alvin lantas berdiri dan menghampiri ketiganya, “Bagaimana keadaannya, Dok?”
“Saya pamit dulu, Dok.” pamit suster yang satunya.
Dokter tadi mengangguk, begitupula Suster Oik. Dokter itu pun beralih pada Alvin, “Mari ikut ke ruangan saya. Ada yang perlu saya sampaikan pada anda,”
“Soal Sivia?” tanya Alvin.
Dokter itu mengangguk, “Mari..”
“Dokter Cakka, saya ke meja receptionist dulu. Saya harus menyerahkan hasil keadaan pasien,” pamit Suster Oik. Dokter itu, Dokter Cakka, mengangguk.
“Alvin, saya duluan.” pamit Suster Oik.
Suster Oik pun berlalu. Dokter Cakka dan Alvin segera berjalan menuju Ruangan Dokter Cakka. Setibanya di sana, Dokter Cakka mempersilahkan Alvin duduk.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Alvin lagi, tak sabar.
“Maaf, anda ini siapanya pasien?” tanya Dokter Cakka balik.
“Saya pacarnya. Orang tua Sivia sedang berada di luar kota,” jawab Alvin.
Dokter Cakka hanya mengangguk, “Baiklah. Hm, keadaan Sivia lumayan buruk. Luka di kepalanya memang tidak parah. Hanya benturan pada kakinya saja yang fatal.”
Alvin terperangah, “Maksud Dokter?”
“Sivia lumpuh. Itu akibat dari benturan keras di kakinya. Sepertinya terbentur oleh ban motor yang menabraknya,” jelas Dokter Cakka.
Alvin terdiam tak percaya, “Tidak mungkin, Dok..” lirihnya.
“Tenang saja. Lumpuh yang dialami Sivia tidak permanen. Ia hanya butuh terapi selama beberapa bulan kedepan. Saya yakin, dalam jangka waktu dua bulan ia sudah dapat kembali berjalan,”
“Dua bulan, Dok?” ulang Alvin.
Dokter Cakka mengangguk, “Temani dia. Tenangkan. Sampaikan ini padanya secara perlahan. Dia sudah sadarkan diri dan dipindah ke ruang opname biasa. Kau bisa langsung menjenguknya,”
“Baiklah. Terima kasih, Dok.”
Alvin pun bangkit dari duduknya. Ia menyalami Dokter Cakka. Dan berbalik, memegang handle pintu Ruangannya dan keluar. Sebelumnya, Dokter Cakka sempat berpesan padanya...
“Kau bisa tanyakan di mana ruang opname Sivia pada Suster Oik,”
Alvin mengangguk mengiyakan. Ia menyusuri koridor Rumah Sakit dengan kepala menunduk.
“Alvin?”
Mendengar namanya dipanggil, Alvin mendongak. Ia mendapati Suster Oik sedang menatapnya lembut, tepat di hadapannya.
“Suster Oik,” sapa Alvin balik.
“Mau saya antar ke ruang rawat Sivia?” tawarnya.
Alvin mengangguk lesu, “Boleh,”
Keduanya pun berjalan beriringan menuju ruang rawat Sivia. Kamar nomor 31. Suster Oik mepersilahkan Alvin masuk. Begitu ia memastikan Alvin telah duduk di samping ranjang Sivia, ia menutup kembali pintunya dan berlalu menuju ruangan Dokter Cakka.
^^^
“Alvin..” sapa Sivia dari atas bednya.
Alvin tersenyum tipis, “Hay, Siv..”
Alvin segera duduk di sebuah kursi, tepat di samping ranjang Sivia. Sivia tersenyum lemah ke arahnya. Gadis cantik itu segera menekan sebuah panel di bawah ranjangnya. Perlahan, sandaran ranjangnya mulai berangsur naik.
“Are you OK, Siv?” tanya Alvin, menatapnya dalam.
Sivia mengangguk dengan ragu, “I’m totally fine. Why, dear?”
“No. can you feel your feet?” tanya Alvin lagi.
Sivia mencoba menggerakkan kakinya. Bibirnya berangsur berubah menjadi seputih kapas. Ia menyadari satu hal. Kakinya tak bisa ia gerakkan! Perlahan, butiran bening mengalir dari kedua kelopaknya. Ia menatap Alvin dengan pandangan bertanya.
“Kamu lumpuh, Siv. Tapi, tenang saja. Kamu tak lumpuh permanen. Kamu hanya butuh terapi rutin selama dua bulan dan kamu akan dapat berjalan kembali,” kata Alvin.
Tangis Sivia semakin deras begitu ia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Alvin. Alvin mendekat ke arahnya dan mendekapnya erat. Sivia meraung-raung dalam pelukan lelakinya.
^^^
Jam baru menunjukkan pukul enam pagi. Suster Oik sedang berjalan menuju ruang rawat Sivia dengan sebuah nampan berisikan menu makan pagi gadis itu dan segelintir obat yang harus diminumnya.
Begitu sampai di depan ruang rawatnya, suster Oik memutar handle pintu dengan perlahan. Lalu, ia masuk. Ia mendapati Alvin yang sedang tertidur sambil menelungkupkan kepalanya pada tangan Sivia. Sivia sendiri, ia sedang menatap kosong ke arah kaca jendela.
“Pagi, Sivia!” sapa Suster Oik.
Suster Oik segera meletakkan nampan tadi di sebuah meja kecil di samping ranjang Sivia. Ia menatap Sivia dengan hangat. Sivia masih saja menatap kosong ke arah kaca jendela.
“Dimakan ya, Sivia. Obatnya juga jangan lupa diminum. Setelahnya, kau bisa membereskan barang-barangmu dan pulang,” kata Suster Oik.
Sivia mengalihkan pandangannya pada Suster Oik dan menatapnya tajam, “Bagaimana bisa aku membereskan barang-barangku dengan kaki yang lumpuh begini?”
“Kau bisa meminta tolong pada Alvin. Semenjak kemarin ia yang menungguimu di sini,”
“Bukan urusanmu!” bentak Sivia.
Suster Oik tersenyum, “Baiklah. Mulai besok aku akan rutin mengunjungimu di rumah. Dokter Cakka yang menyuruhku. Atau, kalau memungkinkan, aku akan tinggal di rumahmu.”
“Terima kasih..” jawab Sivia.
Suster Oik lantas tersenyum dan keluar dari ruang rawat Sivia. Tak lama setelahnya, Alvin menggeliat. Lelaki oriental itu mulai membuka kedua kelopak matanya dan mendapati Sivia yang menatap kosong ke arah kaca jendela.
“Good morning, darl..” sapa Alvin, seraya mengucek kedua matanya.
Sivia hanya menganggukkan kepalanya.
“Kau sudah boleh pulang hari ini,” kata Alvin.
“Aku sudah tahu,” jawab Sivia, judes.
Alvin tersenyum tipis, “Baguslah.”
Pandangan Alvin terantuk pada nampan di atas meja, “makan dulu, Siv. Aku ambilkan, ya..”
Sivia menatapnya tajam, “Tak perlu. Aku bisa mengambilnya sendiri,”
Sivia segera menghempaskan tangan Alvin yang hendak mengambilkan nampan berisi menu makan paginya di atas meja. Alvin menatapnya sedih. Dengan susah payah, Sivia mengambil sendiri makanannya itu.
“Lihat, aku bisa mengambilnya sendiri tanpa bantuanmu.”
Alvin menatapnya dalam. Sungguh, ia tak menyangka bahwa ia memilikki seorang gadis rapuh yang selalu mencoba untuk terlihat kuat seperti ini. Sejujurnya, ia tak suka Sivia yang seperti ini. Ia lebih suka Sivia yang selalu membutuhkannya.
“Cepat dimakan, ya. Minum obatnya juga. Aku akan mengurus administrasinya dan membawakanmu kemari sebuah kursi roda,” pesan Alvin
Sivia tak menghiraukannya. Alvin pun beranjak menuju tempat administrasi. Tepat ketika Alvin keluar dari kamar rawatnya, butiran-butiran Kristal itu kembali luruh dari kelopak mata indahnya. Ia menangis tersedu-sedu.
“Bukannya aku tak membutuhkanmu, Vin. Aku hanya tak mau merepotkanmu..”
^^^
Alvin baru saja mengurus administrasi Sivia. Sekarang, ia sedang berjalan menuju ruangan Dokter Cakka untuk menanyakan jadwal terapi Sivia. Juga untuk menanyakan di mana ia bisa mendapatkan kursi roda untuk Sivia.
Ia membuka ruangan Dokter Cakka tanpa mengetuk terlebih dahulu dan melongok ke dalamnya. Ia menahan napas beberapa detik ketika melihat Dokter Cakka dan Suster Oik yang sedang berpegangan tangan dan tersenyum satu sama lain.
“Maaf!” ujar Alvin.
Dokter Cakka dan Suster Oik segera melepaskan genggaman masing-masing dan tersenyum kaku ke arah Alvin. Dokter Cakka pun mempersilahkan Alvin masuk dan duduk di sebuah kursi, tepat di samping Suster Oik.
“Ada apa, Alvin?” tanya Dokter Cakka dengan kikuk.
Alvin tersenyum miring, “Sudahlah, Dok. Hal tadi itu wajar. Aku sudah sering melihatnya. Jangan jadi kikuk begini,”
Dokter Cakka dan suster Oik kembali tersenyum malu.
“Bagaimana Sivia? Sudah dimakan makanannya?” tanya Suster Oik.
“Dia sedang memakannya ketika aku meninggalkannya tadi,” lalu Alvin pun beralih pada Dokter Cakka, “Dok, bagaimana jadwal terapi Sivia?”
Dokter Cakka mengangguk, “Besok Suster Oik akan membawanya. Suster Oik juga akan rutin mengunjungi Sivia di rumah. Saya juga.”
“Baiklah. Umm, Dok, di mana saya bisa mendapatkan kursi roda untuk Sivia?” tanya Alvin lagi.
Dokter Cakka mengedik pada sudut ruangannya. Di sana berjejer kursi-kursi roda dengan keadaan terlipat. Alvin segera mengambil satu dan keluar dari ruangan Dokter Cakka. Ia pun kembali ke ruang rawat Sivia.
^^^
Begitu sampai di ruang rawat Sivia, Alvin segera meletakkan nampan yang tadinya berisikan makanan itu tadi salah satu sudut ruangan. Dan, dengan sigap, Alvin menggendong tubuh Sivia dan mendudukkannya di atas kursi roda.
“Makasih,” gumam Sivia.
Alvin hanya mengangguk, “Kita pulang sekarang, ya,”
Sivia hanya diam, tak menanggapi sedikitpun perkataan Alvin. Alvin segera mendorong Sivia beserta kursi rodanya menuju lobby utama. Sudah ada taxi yang menunggu keduanya di sana.
Sang sopir taxi pun segera melipat kursi roda Sivia ketika pemiliknya telah digendong Alvin masuk ke dalam taxi. Setelah meletakkannya di bagasi belakang, sopir tersebut segera kembali ke belakang kemudi dan mengendarai taxinya menuju rumah Sivia.
^^^
Mereka berdua baru saja menjejakkan kaki di ruang tamu kediaman Sivia. Oh, ralat! Alvin yang menjejakkan kaki di sana, bukan Sivia. Sivia terduduk di kursi rodanya dengan wajah yang muram. Untung saja kamar Sivia ada di lantai bawah. Kalau saja kamar sivia ada di lantai atas, pasti Alvin akan menggendongnya naik-turun tangga.
“Kamu pulang saja. Aku ingin langsung istirahat.” kata Sivia, dingin.
“Kau tidak mau aku menungguimu di sini?” tanya Alvin.
Sivia menggeleng cepat, “Pulanglah. Tak ada gunanya juga kau ada di sini.”
Alvin menunduk. Ia pun mengelus puncak kepala Sivia dengan pelan dan mengecup kening gadis kesayangannya itu. Setelahnya, ia mendorong kursi roda Sivia ke kamarnya. Tanpa berkata apa-apa, Alvin menggendongnya. Memindahkannya dari kursi roda ke ranjangnya.
“Aku pulang dulu.” pamit Alvin.
Alvin melenggang keluar kamar Sivia. Sivia masih terpekur sendiri. Ia tak menyangka hanya sekecil ini usaha Alvin untuk tetap menemaninya di sini. Sivia menangis tersedu-sedu ketika mendengar pagarnya telah ditutup. Itu berarti, Alvin benar-benar pulang. Meninggalkannya sendirian...
^^^
Alvin berjalan gontai dan tak tentu arah. Ia baru saja diusir secara halus oleh gadisnya. Entah kenapa, semenjak insiden kecelakaan yang menimpanya, Sivia menjadi lebih dingin dan tak menginginkannya untuk ada di sisi gadis oriental itu.
Alvin memandang sekeliling. Sebuah perumahan padat penduduk yang terlihat sepi. Wajar saja, ini siang hari. Pasti mereka semua sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Atau, bagi mereka yang tidak ada aktivitas, pasti sedang tertidur dengan lelapnya.
Ia terus berjalan. Ia tak sadar bahwa ia terus berjalan menuju suatu tempat. Tempat pertama kali ia bertemu dengan Sivia. Rumah Zevana. Sepupu Sivia sekaligus teman mainnya sedari kecil. Ia tak tahu bahwa ia memiliki arti yang sangat besar bagi gadis berbehel itu, Zevana.
Alvin terduduk lemas di depan sebuah rumah dengan halaman depan yang amat sangat luas. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi. Sekejap kemudian, ia menelungkupkan kepalanya dalam kedua telapak tangannya. Napasnya yang tersengal-sengal terdengar dari kejauhan.
“Sivia kenapa, Tuhan? Kenapa dia jadi berubah? Dia yang sekarang sangat berbeda dengan dia yang ku kenal dulu, Tuhan..” bisiknya, entah pada siapa.
^^^
Tepat di halaman luas tersebut, seorang gadis berambut panjang dan berbehel sedang menyirami bunga-bunganya seraya bersenandung kecil. Sesekali ia tertawa melihat kedua anjingnya yang berlarian kesana-kemari.
Ia memalingkan wajahnya. Kedua bola matanya tak sengaja menangkap siluet tubuh lelaki itu. Lelaki yang..... Membuatnya sedikit membenci sepupunya. Membenci sepupunya karena ia berhasil mengambil teman semasa kecilnya. Membencinya karena ia bisa memeluk lelaki itu kapan saja. Tak seperti dirinya yang, semenjak keduanya berpacaran, hanya bisa tersenyum pahit melihat bagaimana mesranya pasangan oriental itu.
Debar jantungnya mendadak tak terkendalikan. Kedua matanya memancarkan binar-binar indah. Perlahan, ia meletakkan selang air yang ia genggam sedari tadi dan berjalan menuju pagar kayu rumahnya, membuka pagar itu dan berjalan menghampiri lelaki itu.
“Alvin..” panggilnya, pelan.
Alvin mendongak. Menyadari tak ada seorang pun di depannya, ia menengok ke belakang. Ia menemukan teman kecilnya di sana, Zevana. Alvin tersenyum padanya. Ia menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya, pertanda ia ingin Zevana untuk duduk menemaninya di sana.
“Aku? Duduk di sampingmu?” tanya Zevana, Alvin mengangguk.
Dengan debaran jantung yang semakin menggila, Zevana duduk di samping Alvin. Ia menatapi ukiran indah Sang Maha Agung dalam setiap lekuk wajah Alvin. Dalam hati, ia bersyukur karena Tuhan telah menciptakan sesosok Alvin untuk menjadi teman masa kecilnya.
“Kau kenapa?” tanya Zevana.
Alvin menengok padanya. Lalu kembali menatap kosong ke arah jalanan di hadapannya, “Kau sudah tahu, bukan, soal Sivia yang kecelakaan?” tanyanya, Zevana mengangguk.
Alvin menunduk. Menghela napas untuk sesaat, “Dia berubah. Dia menjadi lebih dingin dan seolah-olah tak membutuhkanku. Kau tahu? Hatiku serasa hancur berkeping-keping diperlakukan seperti itu olehnya.”
Zevana menelan ludah. Ia merutukki sepupunya itu dalam hati.
Kenapa kau perlakukan Alvin seperti itu, Sivia?! Kau tidak tahu betapa susah dan mati-matiannya aku menjaga perasaannya, dulu. Dan sekarang, kau membuatnya hancur berkeping-keping dan berserakan di mana-mana! Jika dari awal aku tahu akan seperti ini jadinya, aku tak akan membiarkanmu bersamanya barang sedetikpun!
Perlahan, Zevana mengusap bahu Alvin, “Sudahlah. Tinggalkan saja dia jika ia terus-terusan membuat hatimu terluka. Untuk apa kau mempertahankan hubungan yang semakin tak jelas itu? Masih banyak gadis di luar sana yang menggilaimu, Vin..” termasuk aku, lanjutnya dalam hati.
Alvin menatap Zevana tak suka dari sudut matanya, “Mengapa kau berkata seperti itu? Kau ingin melihat hubunganku dan Sivia hancur? Kau tidak suka dengan hubungan kami?” tanyanya, tajam.
Zevana tersedak. Ia menggeleng cepat, “Bukannya begitu, Vin! Aku hanya memberimu saran. Bukan berarti aku tak suka! Aku hanya tak ingin melihat teman semasa kecilku menjadi seterluka ini,”
“Itu artinya kau ingin melihat sepupumu yang terluka. Bukan begitu?” tanya Alvin lagi.
“Bukan juga!” Zevana gelagapan.
“Sudahlah!” Alvin mengibaskan tangan kanannya ketika Zevana hendak menggenggamnya, “Tak ada gunanya aku bercerita tentang ini padamu. Yang ada, kau hanya mengomporiku untuk memutuskan Sivia.”
Alvin pun berdiri. Zevana masih terduduk dengan kepala yang menunduk dalam-dalam. Alvin berjalan menjauhi dirinya, entah ke mana. Baru beberapa meter berjalan, Alvin telah memanggil namanya. Sayangnya, ia tetap tak menengok kepadanya sedikitpun. Zevana pun mendongak, menatap pungguh lelaki yang memiliki separuh hatinya itu.
“Ada apa, Vin?” tanyanya.
“Satu yang perlu kau tahu. Aku mencintai Sivia. Sangat mencintainya. Dan aku tak akan melepaskannya dari genggamanku semudah itu dan hanya karena masalah sesepele ini.”
Alvin kembali berjalan. Zevana menahan tumpahan bening-bening kristal itu. Kedua tangannya terkepal keras-keras. Sesekali, ia meninjukannya pada trotoar yang ia dudukki. Hatinya benar-benar hancur.
“Semua gara-gara Sivia. Kalau bukan karena dia, tak mungkin Alvin akan berkata setajam itu padaku. Tak mungkin juga Alvin akan menomor duakan aku jika bukan karenanya. Awas aja kau, Sivia!” bisiknya, disela-sela usahanya untuk tidak menangis.
^^^
Pagi-pagi sekali, Sivia sudah berada di atas kursi rodanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berpindah dari ranjangnya ke kursi roda itu. Dan akhirnya, setelah hampir sejam mencoba, ia bisa berpindah sendiri dari ranjangnya.
Karena merasa bosan, ia menggerakkan kursi rodanya menuju sebuah rak. Ada sebuah album foto yang terselip di antara berpuluh-puluh novel di sana. Memang, Sivia hobby sekali membaca novel. Sampai-sampai, setiap ia berulang tahun atau memperingati anniv hubungannya dengan Alvin, Alvin selalu membelikannya novel. Sivia tersenyum sendiri mengingat masa-masa itu.
Perlahan, tangannya mulai membuka satu-persatu, lembar demi lembar album foto itu. Foto-foto itu menyimpan sejuta kenangannya bersama Alvin. Dulu. Sebelum insiden yang telah merenggut kakinya itu terjadi. Saat semuanya masih baik-baik saja dan mengalir seperti air.
“Ini saat Alvin sedang sakit. Aku yang merawatnya. Ia opname selama seminggu di rumah sakit,” gumam Sivia. Telunjuknya terarah pada sebuah foto. Ada Alvin di dalamnya, terbaring lemah dengan selang infuse bersarang di tangannya.
Sivia tersenyum kecil. Sebuah foto yang menyimpan memori dua tahun yang lalu. Saat ia berulang tahun dan Alvin sengaja datang ke rumahnya tepat pukul 00.01 untuk menjadi orang pertama yang mengucapkan “Selamat ulang tahun” kepadanya. Alvin juga membawa sekotak cokelat favoritnya.
Sivia kembali membuka lembar berikutnya. Alvin memeluknya dari belakang dengan background Pantai Senggigi dan sunset yang indah. Ia ingat betul kenangan itu. Lagi-lagi ia tersenyum kecil. Memori otaknya kembali menembus waktu dan membawanya ke masa-masa indah itu lagi.
Tok tok tok..
Bunyi ketukan pintu itu membuyarkan segalanya. Sivia dipaksa kembali ke masa ini dan menghempaskan masa lalunya jauh-jauh. Ia segera menyelipkan kembali album foto itu di antara novel-novelnya dan bergegas ke ruang tamu untuk membukakan pintu. Tak lupa, ia kembali memasang wajah dingin dan angkuhnya.
“Selamat pagi, Sivia!” sapa kedua orang itu.
Sivia hanya mengangguk kecil, “Ada urusan apa kalian kemari?”
Kedua sosok itu saling pandang. Akhirnya, sang wanitalah yang angkat bicara, “Aku dan Dokter Cakka kemari hanya untuk melihat keadaanmu. Apakah kau sudah lupa soal perkataanku tempo hari?”
Sivia tak menggubrisnya. Ia segera berbalik dan meletakkan dirinya di antara dua sofa. Kedua sosok tadi, Suster Oik dan Dokter Cakka, segera mengekornya dan duduk di sofa. Keduanya menatap Sivia kasihan. Sivia semakin risih saja.
“Kalian tak perlu mengasihaniku.”
“Baiklah. Bagaimana kalau sekarang kau mulai berjalan dengan bantuan Suster Oik?” tanya Dokter Cakka.
Sivia menggeleng tegas, “Tak perlu.”
Suster Oik mengerling padanya, “Oh, aku tahu! Kau ingin aku menghubungi Alvin, bukan? Baiklah, aku akan menghubunginya dan memintanya untuk cepat-cepat kemari.”
“Tidak usah!” sergah Sivia.
Tapi terlambat. Suster Oik sudah menghubungi Alvin lewat telepon genggamnya. Sementara itu, Dokter Cakka mulai membuka tasnya. Ada berbagai macam obat di sana. Salah satunya adalah obat untuk Sivia. Ia mengeluarkan obat tersebut dan meletakkanya di atas meja.
“Ini obatmu. Minumlah dengan rutin. Obat ini bisa membantu tulang-tulang kakimu untuk dapat berjalan lagi..” kata Dokter Cakka.
Setelah selesai menghubungi Alvin, Suster Oik segera menyimpan kembali ponselnya di saku blousenya. Ia kembali mengerling dan tersenyum nakal ke arah Sivia.
“Tenang saja, sebentar lagi Alvin pasti datang. Dan, ah! Di mana aku bisa mendapatkan segelas air putih untukmu? Kau belum minum obat, bukan?” seru Suster Oik dengan bersemangat.
Lagi-lagi Sivia tak membuka mulutnya. Ia hanya mengedik pada dapur, tepat di belakang ruang keluarga. Suster Oik pun segera bangkit, meninggalkan Dokter Cakka dan Sivia di ruang tamu. Ia bergegas mengambilkan air putih untuk Sivia agar gadis itu dapat meminum obat dan lekas berlatih berjalan.
Ketika sedang mengambilkan segelas air putih untuk Sivia, Suster Oik tak sengaja melihat halaman belakang rumah Sivia yang cukup luas. Ada jalan setapak yang berkerikil pula. Ia tersenyum bersemangat dan segera kembali ke ruang tamu. Begitu ia sampai di ruang tamu, Alvin sudah mengambil alih tempat duduknya sebelum ini.
“Rupanya kau sudah datang..” gumam Suster Oik, Alvin hanya tersenyum kecil.
Suster Oik segera mengangsurkan beberapa tablet obat untuk Sivia. Sivia pun menenggaknya dan meminum air putih setelah itu. Suster Oik tersenyum. Ia pun meletakkan gelas tadi di atas meja dan kembali tersenyum pada Sivia.
“Oh ya, aku tak sengaja melihat halaman belakang rumahmu. Di sana ada jalan setapak yang berkerikil, bukan? Ayo kita ke sana! Kau bisa berlatih berjalan di sana!” ajak suster Oik.
Suster Oik pun segera mendorong kursi roda sivia menuju halaman belakang. Dokter Cakka dan Alvin mengikut keduanya dari belakang. Benar saja, terdapat jalan setapak berkerikil di halaman belakang rumah Sivia. Suster Oik semakin bersemangat saja.
“Baguslah kalau di sini ada jalan setapak yang berkerikil. Itu berarti kau tak perlu terapi ke rumah sakit setiap hari. Cukup dua minggu sekali. Sisanya, kau bisa berlatih di sini. Suster Oik pasti akan dating ke sini setiap pagi untuk membimbingmu berlatih,” celoteh Dokter Cakka.
Mendengarnya, Sivia tersenyum dalam hati. Berarti, ia tak usah bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk terapi. Hal ini pasti juga bisa menurunkan intensitas pertemuannya dengan Alvin karena sudah ada Suster Oik yang setiap paginya akan ke sini.
“Kerikil-kerikil itu bisa merangsang saraf-saraf pada telapak kakimu, Sivia..” kata Suster Oik.
Suster Oik pun membantu Sivia berdiri dan menggiringnya menuju jalan setapak. Suster Oik memegangi tangan kanannya, sedangkan Alvin memegangi tangan kirinya. Dokter Cakka hanya melihat sambil tersenyum dan memberikan instruksi.
Setelah satu jam berlatih berjalan, Sivia kembali didudukkan di kursi rodanya. Peluhnya bercucuran kemana-mana. Alvin pun mengambil sapu tangannya dan mengusap peluh Sivia hingga bersih. Sejujurnya, Sivia sangat ingin berterima kasih tapi ia urung melakukannya.
Keempatnya pun kembali ke ruang tamu. Dokter Cakka terlihat sibuk membereskan tasnya. Sepertinya ia dan Suster Oik akan kembali ke rumah sakit.
“Sivia, kau jangan lupa minum obat agar lekas berjalan lagi. Jangan malas-malas berlatih berjalan juga. Jika aku tak ada, kau bisa memita bantuan Alvin,” pesan Suster Oik.
“Baiklah. Aku dan Suster Oik kembali ke rumah sakit dulu. Alvin, kau bisa menjaga Sivia?” tanya Dokter Cakka, Alvin mengangguk, Dokter Cakka pun tersenyum puas.
Dokter Cakka dan Suster Oik segera keluar dari kediaman Sivia dan kembali ke rumah sakit. Sedangkan Sivia dan Alvin, keduanya masih setia dalam diam. Sampai akhirnya, Sivialah yang terlebih dahulu buka suara.
“Kau tidak pulang?” tanyanya, tanpa menatap Alvin sedikitpun.
“Kau mengusirku lagi?” tanya Alvin balik.
“Ya..” jawab Sivia.
Raut wajah Alvin kembali berubah muram, “Baiklah. Aku pulang. Aku bantu kau berbaring di ranjangmu dulu,”
“Tak perlu. Lekaslah pulang.” cegah Sivia.
Alvin semakin muram saja. Ia pun lekas beranjak dan meninggalkan Sivia sendirian. Sama seperti Alvin, Sivia pun sedih. Gadis itu segera berbalik menuju kamarnya dan berusaha seorang diri berpindah ke ranjangnya. Lagi-lagi, ia melakukannya dengan susah payah dan dalam waktu yang tak sebentar.
^^^
Alvin baru saja sampai di kediamannya. Sudah ada Zevana di teras rumahnya. Alvin mencoba menetralisir hatinya. Menghilangkan seonggok ketidaksukaan pada kata-kata teman masa kecilnya itu kemarin. Ia menyuruh Alvin memutuskan hubungannya dengan Sivia, bukan?
“Vin..” panggil Zevana.
Alvin mengangguk kecil. Ia segera duduk di sebuah kursi, tepat di samping Zevana, “Ada apa kau kemari?” tanyanya.
“Hanya ingin tahu keadaanmu,” jawabnya.
“Kau tak ingin tahu keadaan sepupumu yang baru saja kecelakaan?” tanya Alvin lagi.
Zevana menggeram dalam hati. Kenapa Alvin selalu membicarakan soal Sivia? Tak tahukah ia bahwa Zevana telah menyimpan berjuta-juta rasa benci dan iri untuk Sivia pada lubuk hati terdalamnya? Oh, tentu saja Alvin tak tahu. Zevana tahu betul itu. Zevana tahu betul Alvin telah buta oleh cinta Sivia.
“Aku sudah ke mengunjunginya kemarin, bersama kedua orang tuaku..” akunya, sama sekali jauh dari kenyataan yang ada.
Alvin menengok sangsi, “Benarkah? Aku tak percaya.”
Lagi-lagi Zevana hanya mampu mengutukki Sivia dalam hati. Ia berjanji akan merebut Alvin kembali dari sisi sepupunya itu. Bagaimanapun caranya. Ia harus melakukannya. Semata-mata agar ia dapat kembali mendapat perhatian penuh Alvin. Layaknya empat tahun lalu. Sebelum Alvin dan Sivia mengenal satu sama lain.
Zevana tak menanggapi perkataan Alvin. Ia menyerahkan sekotak besar berisikan cake mango chocolate pada Alvin. Ia tahu betul ini adalah cake favorit Alvin.
“Ini untukmu..” katanya.
Alvin menerimanya dengan senyum mengembang, “Terima kasih! Rupanya kau masih ingat cake favoritku..”
“Tentu saja aku masih ingat. Aku tak sepertimu yang bisa melupakan setiap detail tentang teman semasa kecilku hanya karena aku sudah memiliki seorang kekasih,” kata Zevana, Alvin termenung mendengarnya.
Zevana bangkit dari duduknya, “Aku pulang dulu.”
Zevana pun melenggang meninggalkan Alvin yang menatap kosong punggungnya. Diam-diam, Zevana tersenyum penuh kemenangan karena telah membuat Alvin termenung selama ini. Suatu pencapaian terbesarnya ketika ia bisa mengeluarkan kata-kata yang menohok ulu hati Alvin.
“Zevana!” panggil Alvin.
Gadis berbehel itu berhenti di tempat, tanpa menengok sedikitpun kepada Alvin.
“Apakah kau cemburu dengan hubungan kami?” tanya Alvin.
“Iya. Lantas, salahkah? Tak aka nada pengaruhnya juga dengan hubungan kalian. Kalian pasti akan kembali bermesraan di hadapanku tanpa peduli bagaimana hancurnya perasaanku saat itu!”
Alvin semakin kaget. Ia kembali terdiam. Zevana pun kembali melenggang, memasukki mobilnya, dan mengendarainya entah ke mana. Meninggalkan Alvin yang masih sangat shock dengan pengakuannya barusan.
^^^
Petang itu, Suster Oik terlihat merogoh tasnya dengan panik. Ia mencari sesuatu. Entah apa itu. Badannya gemetar. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Wajahnya mendadak pucat.
“Ya Tuhan! Di mana jam tangan itu? Itu jam tangan pemberian Cakka! Bagaimana bisa jam tangan itu hilang? Astaga! Bagaimana ini?” serunya panik.
Tiba-tiba saja, ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Nyaris saja ia berteriak, kalau-kalau seseorang itu tidak berbisik lembut tepat di telinganya.
“Hey! Apa yang sedang kau cari?” bisiknya. Rupanya ia Dokter Cakka, kekasihnya sendiri.
Suster Oik pun mengelap peluhnya, “Jam tangan pemberianmu..... Hilang,”
Dokter Cakka segera melepas pelukannya. Ia memutar tubuh Suster Oik. Keduanya pun berhadap-hadapan. Mata elangnya tak luput dari sesosok gadis di hadapannya yang sedang menunduk dalam-dalam ini.
“Maaf..” lirih Suster Oik.
Tangan kanan Dokter Cakka terulur untuk mengangkat dagu Suster Oik, “Tidak apa-apa. Kita bisa mencarinya sekarang. Coba kau ingat-ingat di mana terakhir kali kau melepasnya..”
Suster Oik terlihat berpikir keras, “Kediaman Sivia?” tanyanya.
Dokter Cakka mengangguk, “Baiklah. Ayo kita cari kesana.”
Dengan cepat, Dokter Cakka menggenggam dan menarik lembut tangan gadisnya itu. Keduanya pun berlalu menuju kediaman Sivia menggunakan mobil Dokter Cakka. Tentu saja ia yang menyetir.
^^^
“Aku akan mencarinya ke dalam. Kau di sini saja,” kata suster Oik, tepat ketika keduanya baru saja sampai di depan kediaman Sivia.
“Baiklah..” kata Dokter Cakka.
Dokter Cakka memberikan ciuman singkat tepat di bibir mungil gadis itu. Setelahnya, Suster Oik pun segera keluar dan bergegas membuka pagar kediaman Sivia. Ia berjalan menuju bangunan utama dan mengetuk pintunya beberapa kali. Tak ada sahutan dari dalam.
Suster Oik mencoba menempelkan telinga kanannya pada daun pintu itu. Terdengar alunan merdu dari sebuah piano klasik. Terdengar juga suara seseorang yang tak kalah merdunya dengan harmoni yang keluar dari piano klasik itu. Pasti sivia. Siapa lagi?
Suster Oik pun segera membuka pintunya dan mendatangi arah datangnya suara itu. Rupanya dari kamar Sivia. Ia membuka pelan pintu kamar itu dan tercenung di tempat. Sivia sedang memainkan pianonya seraya bernyanyi. Sampai-sampai, ia meneteskan kristal-kristal itu.
Ku tahu kamu bosan
Ku tahu kamu jenuh
Ku tahu kamu tak tahan lagi
Ini semua salahku
Ini semua sebabku
Ku tahu kamu tak tahan lagi
(Jangan sedih, jangan sedih, aku pasti setia)
Aku takut kamu pergi,
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini,
di sampingku, selamanya
(Jangan takut, jangan sedih, aku pasti setia)
Aku takut kamu pergi,
Kamu hilang, kamu sakit
Aku ingin kau di sini,
di sampingku, selamanya
(Jangan takut, jangan sedih, aku pasti setia)
Aku ingin kau di sini,
Di sampingku, selamanya
Aku takut (jangan takut)
Kamu pergi (takkan pergi)
Kamu hilang (wooo), kamu sakit
Aku ingin (aku juga) kau di sini (bersamamu)
di sampingku (di sampingmu) selamanya
“Indah sekali..” gumam suster Oik.
Sivia kaget. Ia segera menghapus air matanya dan menengok ke arah Suster Oik, “Sedang apa kau di sini?” tanyanya tajam.
“Aku hanya mencari jam tanganku. Apa kau melihatnya?” tanyanya balik.
Sivia mengedik pada sebuah meja kecil di samping ranjangnya, “Aku tadi menemukannya di ruang tamu,”
Suster Oik bergegas mengambilnya dan menggenggamnya erat, “Oh, terima kasih! Dan, ah! Kau tidak perlu berusaha terlihat tegar di depanku. Aku tahu tadi kau menangis. Menangislah, Sivia. Itu adalah satu-satunya caramu untuk mengekspresikan kesedihanmu.”
Sivia melunak. Ia segera menggerakkan kursi rodanya menuju Suster Oik dan memeluknya erat. Ia kembali menangis tersedu. Suster Oik mengusap punggungnya dengan penuh sayang.
“Aku menyayanginya, suster. Alvin. Tapi, aku tak ingin ia merasa terbebani dengan keadaanku yang seperti ini. Aku juga, sebenarnya, ingin mengetesnya. Sampai seberapa jauh ia mau berusaha berada di sampingku ketika aku menolaknya. Tapi ternyata, usahanya hanya seperti itu. Ia langsung meninggalkanku ketika aku memintanya. Bukan malah terus menungguiku di sini. Hanya sekecil itu rasa sayangnya padaku,” kata Sivia.
“Bukan seperti itu, Sivia. Aku yakin, Alvin snagat menyayangimu. Ia meninggalkanmu bukan karena ia tidak menyayangi sepenuhnya. Melainkan karena ia tak ingin membuatmu tidak nyaman dengan kehadirannya. Percayalah..” balas Suster Oik.
Tangis Sivia mulai reda. Ia pun melepaskan pelukannya pada suster Oik.
“Ini sudah malah. Waktunya kau untuk tidur. Oke?”
Sivia mengangguk. Suster Oik pun segera menggendongnya dan memindahkannya menuju ranjang. Sivia pun langsung terlelap. Suster Oik segera menyelimutinya dan mematikan lampu. Setelahnya, ia berjalan keluar dan kembali memasukki mobil Cakka.
^^^
Siang itu, rintik-rintik hujan mulai turun ketika Sivia sedang berlatih berjalan bersama Suster Oik. Suster Oik pun segera mendudukkannya di kursi roda.
“Kita masuk saja, ya? Cuaca mulai memburuk. Aku tak mau kau sakit karena kehujanan,”
Tanpa menunggu persetujuan dari Sivia, Suster Oik mendorong kuris roda Sivia menuju kamarnya. Ia sibakkan korden kamar Sivia. Terlihat jalanan di luar sana yang mulai basah akan rintikan hujan. Sivia menikmati saat-saat itu, dengan Suster Oik yang berdiri di belakangnya.
Tiba-tiba saja mata Suster Oik tertuju pada sesosok laki-laki di seberang sana, “Sivia, bukannya itu Alvin?” tanyanya.
Mata Sivia pun bergerak cepat dan ia menemukan sosok Alvin di kejauhan, “Iya, dia Alvin..”
“Keluarlah. Lihat, dia kehujanan, Sivia. Bawakan dia payung. Ayo!” suruh Suster Oik.
Sivia menggeleng kaku, “Tak usah, suster..”
Sivia pun membalikkan kursi rodanya. Ia tak kuat melihat Alvin di seberang sana. Ia mulai mencari kesibukan lainnya. Memencet-mencet tuts piano klasiknya dengan tak jelas. Suster Oik memandangnya kasihan.
Tiba-tiba saja, guntur menggelegar. Sivia dan Suster Oik terlonjak kaget. Sivia segera mengintip sosok di seberang jalan itu lagi lewat celah-celah korden kamarnya.
“Sivia, berubah pikiran? Ayo, susul ia. Minta maaflah padanya. Bawakan paying untuknya..” suruh Suster Oik, untuk yang kedua kalinya.
Sivia tersenyum simpul. Baru saja ia akan menyetujui perintah Suster Oik tadi, kedua bola mata beningnya sudah menangkap sosok lain di seberang sana. Sesosok gadis berambut panjang yang memayungi Alvin seraya memeluknya dari belakang. Dia Zevana, sepupunya sendiri. Sivia menutup mulutnya, menutupi kekagetannya akan hal itu.
“Sivia..” panggil Suster Oik, Sivia tak bergeming menatap setiap adegan di seberang sana.
Zevana melepaskan pelukannya. Ia menarik lembut tangan Alvin untuk memasukki mobilnya. Dan akhirnya, keduanya melesat. Meninggalkan Sivia yang masih tak percaya dengan apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
“Bisakah kau mengantarkanku ke kediaman Alvin, suster?” tanya Sivia.
Suster Oik mengangguk cepat. Pasalnya, Dokter Cakka telah menunggunya di pekarangan kediaman Sivia. Suster Oik segera mendorong kursi roda Sivia ke sana. Setelah keduanya masuk ke dalam, mereka bertiga pun melesat menuju kediaman Alvin.
^^^
Ketiganya baru saja sampai. Hujan rintik-rintik masih setia menemani ketiganya dan berjuta-juta orang lainnya di bumi ini. Dokter Cakka mengeluarkan kursi roda Sivia dari dalam bagasi dengan dipayungi oleh suster Oik.
Setelahnya, ia dan Suster Oik mengangkat tubuh Sivia dan mendudukkannya di kursi roda. Payung itu telah berpindah tangan kepada Dokter Cakka. Suster Oik menunduk, menyamakan tingginya dengan Sivia.
“Mau aku temani ke dalam?” tanyanya.
Sivia menggeleng pelan dengan senyum kecil di bibirnya, “Tak usah. Kalian berdua pulang saja. Aku akan menyelesaikan dan memperbaiki ini semua dengan Alvin..”
“Ya sudah, kami berdua pamit. Segera masuk ke dalam dan temui Alvin!” pesan Suster Oik.
Sivia menghela napas. Ia segera memasukki pelataran kediaman Alvin. Suster Oik dan Dokter Cakka sudah berlalu semenjak beberapa menit yang lalu. Baru saja Sivia akan masuk ke dalam kediaman Alvin, sayup-sayup ia mendengar percakapan antara dua orang. Zevana dan Alvin.
“Ayolah, Vin! Sivia sudah tak memperdulikanmu! Apa lagi yang kau pertahankan?”
“Cukup, Ze! Jangan terus-terusan menyalahkan Sivia!”
“Lalu, siapa lagi yang bisa aku salahkan? Kau? Tidak bisa!”
“Lantas, apa maumu, Ze?”
“Aku hanya ingin kau menyadari kehadiranku di sisimu. Aku yang selalu ada untukmu belakangan ini. Bukan Sivia. Aku tak seperti Sivia yang belakangan ini selalu mencampakkan perhatianmu..” lirih Zevana.
Alvin terlihat iba. Ia segera menenggelamkan Zevana ke dalam pelukannya, tepat ketika Sivia berusaha mengintip keadaan di dalam sana. Dada Sivia terasa sangat sesak melihat adegan itu. Adegan di mana Alvin memeluk gadis lain. Bukan ia lagi yang ada dalam pelukan hangatnya.
“Baiklah. Aku akan mencoba menyayangimu..” ucap Alvin akhirnya.
Zevana tersenyum senang dalam pelukan Alvin. Ia balas memeluk lelaki itu. Sedangkan Sivia, ia segera beranjak. Menggerakkan kursi rodanya menjauhi kediaman Alvin. Tak peduli dengan rinaian hujan yang membasahi tubuhnya.
Sivia terus menggerakkan kursi rodanya. Buliran-buliran itu kembali jauh dan tak tertahankan. Zevana telah berhasil merebut Alvin dari sisinya dan membuatnya kembali pada Zevana. Sivia masih belum percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat beberapa menit yang lalu.
“Tuhan, kuatkanlah aku. Tetaplah berada di sisiku ketika tak ada seorangpun di sini. Tetaplah jadi tumpuanku, kapanpun itu. Jangan biarkan aku terlihat lemah di mata mereka, Tuhan..” lirih Sivia.
Ia membiarkan bening-bening itu terus berjatuhan dari kedua matanya. Ia berharap bahwa seiring dengan jatuhnya bening-bening itu, terbawanya bening-bening itu bersama rintikan hujan, hilang dan lenyapnya bening-bening itu dapat pula mewakili perasaannya pada Alvin. Ia berharap bahwa perasaannya pada Alvin dapat terbawa dengan air matanya tadi, bersatu bersama rintikan hujan, dan hilang serta takkan kembali...
THE END
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar