Pagi menjelang. Sebuah jam berbentuk bunga tulip yang setengah merekah telah menunjukkan pukul lima dini hari. Ketiga burung mungil milik Ify, Oik, dan Sivia telah mengeluarkan suara-suara khas mereka tepat di telinga pemilik masing-masing.
Sivialah yang pertama kali terbangun. Untuk beberapa saat, ia masih mengucek kedua matanya, belum bergerak sedikitpun dari posisi tengkurapnya. Burung berwarna oranye miliknya segera memunculkan secarik kertas berisikan jadwal pra-MOS hari ini pada Sivia ketika gadis oriental itu sudah dapat memfokuskan matanya.
Sivia mendesah pelan. Tangan kirinya terasa sedikit nyeri. Tanpa berpikir panjang, ia segera bangkit dari ranjangnya dan menuju sebuah rak berwarna oranye pula. Ia mengambil sebuah pil obat dari dalam topless kaca. Sivia merapalkan sebuah mantera. Setelahnya, muncullah segelas penuh air putih di sebelah topless tersebut.
Sivia segera menenggak pil kecil itu. Setelahnya, ia pun mengambil pakaian pra-MOS dari dalam almari dan melenggang menuju kamar mandi, mengacuhkan Ify dan Oik sejenak yang masih juga belum kembali dari peraduannya.
Lima menit berlalu. Kicauan burung milik Ify dan Oik makin menjadi-jadi. Sedangkan burung milik Sivia sedang bertengger di atas sebuah ranting kecil yang melayang begitu saja di di sebelah jam berbentuk bunga tulip.
Sivia menggerutu kesal dari dalam kamar mandi. Acara mandi paginya berlalu begitu kacau karena kicauan yang menjadi dari burung milik Ify dan Oik. Keduanya tetap saja belum bangun. Pasalnya, Ify dan Oik menutupi telinga mereka menggunakan bantal.
“Ifyyyyy! Oiiiiik! Cepet bangun! Ini udah jam lima lebih! Kalian ga ikut pra-MOS?” teriak Sivia dari dalam kamar mandi.
Karena suara Sivia yang terlampau kencang, Ify dan Oik terkaget dan bangun seketika. Keduanya segera duduk di bibir ranjang masing-masing. Belum juga selesai mengucap, burung mungil masing-masing telah mengeluarkan secara tiba-tiba secarik kertas tentang kegiatan pra-MOS mereka hari ini.
Ify menatap burung mungilnya dengan cemberut, “Hey! Kamu ga bisa nunggu aku selesai nguap dulu baru munculin secarik kertas itu secara tiba-tiba di depanku?”
Burung mungilnya menunduk lemas. Secarik kertas itu tiba-tiba saja hilang seiring dengan tertunduknya kepala burung mungil itu. Ify melengos malas. Tatapannya tertuju pada Oik yang masih menguap lebar-lebar.
“Ify! Jangan marahin dia! Perasaan mereka sensitive banget. Kalau kamu terus-terusan kaya’ gitu, mereka ga akan ngebantu kamu lagi!” lagi-lagi Sivia berteriak dari dalam.
“Iya, maaf!” teriak Ify balik, lagi-lagi setelah gadis berbehel itu selesai menguap.
Tak lama kemudian, Sivia pun keluar dari kamar mandi dengan sudah mengenakan pakaian pra-MOS. Ia segera melenggang menuju almarinya dan mengeluarkan macam-macam barang yang harus ia bawa saat pra-MOS.
Semenit berlalu semenjak keluarnya Sivia dari dalam kamar mandi. Suasana di dalam rumah pohon itu masih saja hening. Sivia terpaku, menyadari tak ada gerakan sedikitpun dari kedua teman sekamarnya. Ia berbalik, menghadap Ify dan Oik yang masih setia berada di atas ranjang.
Sivia berkacak pinggang dan mulai mencak-mencak, “Hey! Kalian ga mandi? Ga takut telat? Ga takut disemprot kakak-kakak OSIS yang bakalan ngebina kita dipra-MOS nanti?”
Ify dan Oik menatapnya datar. Dengan gerakan selambat siput, keduanya segera menuju almari masing-masing dan mengambil pakaian pra-MOS. Setelahnya, mereka memasukki kamar mandi dengan berbarenga. Catat, berbarengan!
Sivia terperangah kaget, “Kalian mau mandi bareng?!” pekiknya.
“Biar ga telat..” jawab keduanya, tentu saja dengan nada sedater-datarnya.
Sivia hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasakan tangan kirinya kembali diserang rasa nyeri, gadis itu segera duduk di sebuah kursi dengan sandaran empuk di dekatnya. Ia usap perlahan sumber rasa nyeri tersebut.
Dengan keadaan yang seperti ini, tak mungkin rasanya ia mengambil keperluan pra-MOS dari dalam almari. Ditambah lagi, ia juga akan mengeluarkan keperluan pra-MOS milik Ify dan Oik agar keduanya tidak terlambat datang.
Bibir Sivia bergerak lambat, merapalkan sebuah mantera. Setelahnya, barang-barang keperluan pra-MOS miliknya serta Ify dan Oik keluar dari dalam almari. Melayang pelan dan terjatuhkan di atas ranjang masing-masing.
Sivia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Kelopak matanya tertutup perlahan. Baru beberapa menit yang lalu ia meminum pil penghilang rasa nyeri. Berarti, tak mungkin ia kembali meminumnya sekarang. Sivia terkulai, menyadari pra-MOSnya akan berjalan dengan sedikit tidak lancar.
Jam berbentu bunga tulip yang melayang di atas mulai berdenting enam kali. Pukul enam. Terdengar bunyi gaduh dari dalam kamar mandi. Ify dan Oik segera keluar dari dalamnya dan menenteng perlengkapan pra-MOS, lalu menuruni rumah pohonnya.
Ketika telah sampai di bawah, keduanya saling pandang. Sadar akan suatu hal. Mereka hanya berdua! Sivia masih di atas!
“Siviaaaaa!!!” teriak ketiganya dari bawah.
Sivia mengerjap dan refleks membalas panggilan keduanya, “Iya! Aku turun sekarang!”
Sivia mengambil perlengkapannya dan menentengnya dengan tangan kanan. Rasa nyeri itu perlahan lenyap. Ia tersenyum tipis. Dengan hati-hati, ia menuruni rumah pohon itu. Ify dan Oik telah menunggunya di bawah dengan berkacak pinggang.
“Ngapain, sih? Lama!” gerutu Ify.
“Pasti ketiduran. Iya, kan?” desak Oik.
Sivia memamerkan cengirannya, memperlihatkan sederet gigi putihnya yang rapi, “Maaf! Udah, ayo ke main hall. Pasti udah mau dimulai.”
Sivia pun menggamit lengan Ify dan Oik. Gadis itu sedikit menggeret keduanya agar lebih cepat berjalan. Dalam perjalanan menuju main hall pun mereka bertemu dengan siswa-siswi baru lainnya. Mereka juga memakai pakaian dan membawa keperluan seperti ketiganya. Ketiganya lantas menghembuskan napas lega.
Di koridor, ketiganya berpapasan dengan seorang lelaki berpakaian bebas. Oh, rupanya dia siswa tingkat 12 Witchy School of Art. Sepertinya dia juga bukan anggota OSIS dan panitia luar penyelenggara MOS karena dia tidak memakai tanda pengenal apapun.
“Pagi, kak!” sapa Ify, Oik, dan Sivia kepadanya.
Lelaki tadi hanya tersenyum kecil dan sedikit menundukkan kepalanya. Setelahnya, ia lantas melenggang meninggalkan mereka bertiga dengan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celananya. Tumpukan buku-buku tebal mengekor di belakangnya, tentu saja dengan bantuan sihir.
Oik terpana sesaat ketika melihat senyuman lelaki tadi.
“Hey!” dengan jailnya, Ify dan Sivia menepuk pundak Oik secara bersamaan.
Oik terbangun dari alam imajinasinya dan dengan refleks ia berkata, “Kakak yang tadi manis banget!”
Ify dan Sivia melongo, kaget. Sedangkan Oik, cepat-cepat menutup mulutnya dengan pipi yang lambat laun bersemu merah. Beberapa kali Oik menengok ke belakang. Sayangnya, lelaki tadi sudah hilang entah ke mana.
“Kamu ‘suka’ dia, Ik?” tanya Sivia, kedua tangannya membentuk tanda kutip ketika mengucapkan kata ‘suka’.
Oik menggeleng cepat, “Ga, kok! Serius! Cuman suka manisnya doang!” sahut Oik cepat.
“Kalau suka beneran juga ga apa-apa, kok.” goda Ify, ia menyenggol pelan lengan Oik.
Oik sontak cemberut. Ia cepat-cepat menarik lengan Ify dan Sivia menuju main hall. Ketiganya menyeruak di antara siswa-siswi baru lainnya dan, dengan bergegas, menuju main hall. Mereka takut terlambat. Apalagi, ini pra-MOS.
Ketika sampai di depan main hall, ketiganya kembali tercengang. Terdapat antrian siswa-siswi baru yang amat panjang. Dan, tepat di pintu main hall, ada seorang lelaki yang memakai tanda pengenal bertuliskan AA. Jika dilihat dari tanda pengenalnya, lelaki itu bukanlah anggota OSIS, melainkan hanya panitia luar.
“Antri, nih?” tanya Ify.
“Yakin?” tanya Sivia.
“Sepanjang ini?” tanya Oik.
“Mati aja! Ga kurang panjang apa?!” pekik ketiganya, kompak.
Dalam sesaat, ketiganya telah menjadi pusat perhatian. Menyadari akan hal itu, ketiganya buru-buru masuk ke dalam antrian dan berbaris dengan rapi seraya berusaha menutupi wajah masing-masing.
Tapi terlambat. Lelaki di pintu main hall itu sudah berjalan ke arahnya. Ia meninggalakn pintu main hall, yang notabenenya, di sana sedang ada pembagian kartu untuk menunjukkan kelas sementara mereka. Sebelumnya, lelaki tadi telah merapalkan sebuah mantera agar kartu-kartu dengan nomor yang telah diacak itu sampai di tangan siswa-siswi baru yang telah berbaris dengan sendirinya.
Tepat ketika lelaki itu telah berada di hadapan Ify, Oik, dan Sivia, ketiganya mendongakkan kepala. Karena kaget menyadari kakak kelas telah menghampiri, ketiganya sontak menunduk dalam-dalam.
“Ngapain tadi teriak?” tanya lelaki itu, dingin.
“Maaf, kak..” jawab Sivia.
“Ga sengaja..” sahut Oik.
“Refleks..” imbuh Ify.
Lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali merapalkan mantera. Dan, dengan sekejap, muncullah sebuah tulisan di atas kepala mereka bertiga yang masing-masing bertuliskan, Saya suka berteriak.
“Jangan teriak-teriak lagi.”
Lelaki itu lantas melenggang meninggalkan ketiganya. Perlahan, muncullah bisik-bisik di sekitar ketiganya, yang disertai dengan tawa-tawa kecil. Merasa ada yang aneh, ketiganya menengok kesana dan kemari.
“Coba lihat atas..” kata Oik, dengan senyum yang sulit diartikan.
Perlahan, Ify dan Sivia menengok ke atas. Mata keduanya melotot kaget melihat tulisan-tulisan yang diciptakan oleh kakak kelasnya tadi. Oik masih saja tersenyum-tersenyum miris. Sivia mengepalkan kedua tangannya dan menatap tajam ke kakak kelasnya tadi. Sedangkan Ify, masih menatap tulisan-tulisan itu dengan raut wajah yang terlihat semakin datar.
“Bagus banget, ya, itu kakak kelas! Cuman gara-gara kita bertiga teriak tadi udah langsung dapet kaya’ gini aja!” seru Sivia dengan sewot.
Ify menatapnya dengan senyum aneh, “Udah, ga apa-apa. Lagian tadi kakaknya cakep, kok. Lumayan, kan, dapet tanda perkenalan dari kakak kelas cakep kaya’ dia..”
Oik menempeleng pelan wajah Ify, “Cakep, sih, cakep! Tapi ga gini juga!”
“Ngeselin, ih, sumpah kaka itu!” pekik Sivia.
Lagi-lagi, ketiganya menjadi sorotan. Lelaki tadi, kakak kelas ketiganya, kembali melirik mereka. Jari telunjuknya mengarah pada ketiganya dengan tegas.
“Kalian bilang apa tadi? Saya dengar!” katanya, dengan tegas.
Ify, Oik, dan Sivia berlagak seolah tak tah-menau. Ketiganya lantas berbincang tanpa memedulikan tatapan kakak kelas mereka yang masih saja menatap tajam.
Akhirnya, tiba giliran mereka bertiga yang mendapatkan kartu bernomor itu. Lelaki tadi memberikan kartu-kartu pada ketiganya seraya menatap tajam. Ify, Oik, dan Sivia hanya berpura memeriksa kuku-kuku masing-masing setelah menerima kartu tersebut.
“Awas kalau sampai saya tau kalian berteriak-teriak seperti tadi!” desisnya.
“Kak, kok nomornya acak?” tanya Ify, ia memasang wajah polosnya.
Lelaki itu terlihat menahan lajuan tawanya, “Memang gitu. Untuk pembagian kelas sementara saja.”
Ify lantas mengambil paksa kartu milik Oik dan Sivia. Meneliti ketiga kartu tersebut. Wajahnya berubah seumringah ketika menyadari nomor pada kartu ketiganya tidak beda jauh. Ia langsung bersorak senang dan merangkul Sivia serta Oik, meninggalkan lelaki itu yang masih terus membagikan kartu pada siswa-siswi yang lain.
“Nomor kita ga beda jauh. Berarti kita bisa satu kelas. Ya, kan?” seru Ify.
Oik dan Sivia mengangguk bersemangat. Ketiganya pun menuju pusat main hall, di mana siswa-siswi yang lainnya juga bergerumbul. Mereka semua berdiri sambil menatap podium di depan. Sang kepala sekolah Witchy School of Art telah berdiri di sana, bersama dengan beberapa guru.
“Ngapain ini?” tanya Sivia.
Oik mengedik padanya sekilas, “Nunggu pembagian kelas sementara..”
Sivia hanya mengangguk. Oik kembali menatap podium di depan sana. Ify menengok ke belakang. Rupanya seluruh siswa-siswi baru telah masuk ke dalam main hall. Pintu main hall pun telah ditutup. Lelaki tadi pun telah berkumpul dengan panitia penyelenggara MOS lainnya di samping podium.
Ify menyilangkan jari telunjuknya di depan dagu tirusnya, memberikan aba-aba pada yang lainnya agar diam. Pasalnya, sang kepala sekolah tengah bersiap-siap untuk membagikan kelas sementara pada mereka semua.
Suasana lambat laun menjadi sepi, dan hening. Sang kepala sekolah mulai membuka segulung kertas di tangannya. Ia meliriknya sekilas. Lantas, kembali menatap anak-anak didik barunya.
“Untuk pembagian kelas.. Di sini ada delapan kelas sementara. Jadi, bagi kalian yang mendapat kartu dengan nomor 1 sampai 40 masuk ke dalam kelas pertama. 41 sampai 80 ke kelas kedua. Dan begitu sampai seterusnya.”
Ify membuka kembali kartunya yang bernomor 296. Milik Oik bernomor 300. Dan milik Sivia bernomor 319. Ketiganya kembali bersorak. Suasana berubah menjadi sedikit riuh. Akhirnya, keriuhan itu teredam dengan berdirinya seorang gadis bertanda pengenal di atas podium.
“Saya pembina kelas pertama. Bagi yang mendapat nomor 1 sampai 40, segera berjalan mengikuti saya.”
Gadis itu pun turun dari podium. Lalu, muncullah sebuah papan besar di atasnya yang menunjukkan siapa-siapa saja yang menjadi adik didiknya di kelas pertama.
Begitu terus hingga kelas ketujuh. Bahkan, kelas kedelapan pun juga seperti. Setelah siswa-siswi kelas ketujuh beserta kakak pembinanya telah berangsur pergi, pembina kelas kedelapan pun naik ke atas podium. Ify, Oik, dan Sivia merutuk kesal.
“Kalian semua otomatis menjadi bagian dari kelas kedelapan. Ikuti saya. Cepat!” katanya.
Ify, Oik, Sivia, dan 37 siswa-siswi lainnya segera berjalan mengikuti kakak pembina mereka. Ketiganya berjalan di barisan paling belakang dan hanya mengekor barisan di depannya, tanpa mereka tau ke mana mereka akan dibawa.
“Kenapa kakak pembina kita harus dia, sih?” gerutu Sivia.
“Udahlah. Kan, takdir. Lagipula, kelihatannya kakak ini aslinya baik. Cuman agak jutek aja. Lama-kelamaan, juga, bakalan baik..” sahut Ify.
“Jadi, selama tiga hari kedepan kita bakalan dibina sama dia?” tanya Oik.
Ify mengangguk bersemangat. Sivia mengangguk malas-malasan. Ketiganya beserta 37 siswa-siswi lainnya pun sampai di depan sebuah kelas. Rombongan pun berhenti berjalan.
Sebuah kunci dari saku celana kakak pembimbing mereka pun keluar dengan sendirinya. Kunci itu juga membuka pintu kelas dengan sendirinya. Rupanya, kakak pembimbing mereka itu terlalu malas untuk membuka pintu sendiri, tanpa bantuan sihir.
“Ini adalah kelas sementara kalian. Dan, selama tiga hari kedepan, saya akan menjadi kakak pembimbing kalian,” ujarnya.
“Asyik!” pekik Ify dengan suara tertahan.
“Mampus!” gerutu Sivia.
“Yahhhh..” Oik mengeluh kecewa.
Lelaki itu kembali menatap tajam pada ketiganya, “Kalian lagi?! Rupanya saya harus kerja ekstra untuk membimbing kalian di sini.” keluhnya.
“Dikira aku mau, apa, dibimbing sama dia?!” gerutu Sivia, lagi.
Rupanya kakak pembimbingnya mendengar. Ia pun segera menghampiri ketiganya dan menatap tajam. Berbeda dengan sebelumnya, Sivia dan Oik juga membalas tatapannya. Tidak berpura-pura memerhatikan kuku seperti sebelumnya.
“Kamu lagi. Hhh. Kalau sampai sekali lagi saya dengar kalian berkata seperti itu, saya akan seret kalian ke Ruang Kepala Sekolah!” desisnya.
Seiring dengan berlalunya kakak pembimbing mereka, Sivia dan Oik hanya saling pandang dengan wajah malas. Ify hanya berdecak pelan melihat keduanya seperti itu.
“Tuh! Lihat, Fy, kakak pembimbing kesayangan kamu. Ngeselin!” desis Sivia.
“Sivia kenapa, sih? Kok kamu kelihatan ga suka banget sama kakak itu?” tanya Ify.
Oik menyeruak di antara keduanya, “Udah! Ga mau diseret ke Ruang Kepala Sekolah, kan? Ga usah ribut, makanya! Benci sama orang ga perlu sampai segitunya. Suka sama orang juga ga usah sampai segitunya!”
Ify dan Sivia tersenyum meminta maaf.
“Sudah! Jangan ribut lagi! Ayo, cepat kalian masuk ke dalam!” suruh lelaki tadi.
Dengan berbondong-bondong, seluruh bagian kelas kedelapan pun masuk ke dalam. Terakhir, lelaki tadi juga ikut menjejakkan kakinya di dalam kelas itu dan menutup pintunya. Lagi-lagi, ia tak melakukannya sendiri. Ia kembali menggunakan sihir.
Oik mengangkat tangannya. Beberapa detik kemudian, lelaki itu mendaratkan pandangannya pada Oik dengan sedikit mengangkat sebelah alisnya.
“Kok pakai sihir terus, kak? Ga bisa nutup pintu sendiri, ya?” tanya Oik.
Tatapan mata lelaki itu berubah tak suka, “Ada urusannya dengan kamu?”
“Tidak ada..” jawab Oik.
“Berarti saya tidak perlu menjawabnya. Hanya buang-buang waktu.”
“Tapi, kan, saya cumin ingin tau. Apa salah?” tanya Oik lagi.
“Tidak bisakah kau diam seperti temanmu yang berbehel itu?” seru lelaki itu.
Oik meremas tangannya dengan jengkel. Rupanya ia mulai seperti Sivia, membenci kakak pembimbing, pembina, atau apapun itu. Ify hanya tersenyum kecil mendengarnya.
Lelaki itu mengibaskan tangannya di udara, seakan ia menolak mentah-mentah arguman yang akan Oik lontarkan kembali. Semakin kesal saja Oik kepadanya. Begitupula dengan Sivia. Ia sampai mengunyah permen karet yang ia bawa dari rumah pohonnya, sangking malasnya ia melihat kakak itu.
“Hey! Kamu! Tidak ada yang diperbolehkan makan sebelum jam makan siang tiba!”
Kakak pembimbing itu segera mengacungkan tangannya pada Sivia. Dan, dengan tiba-tiba, permen karet yang Sivia kunyah keluar dari mulutnya, terbang melewati jendela, dan jatuh di tong sampah di luar sana. Sivia mendengus kesal.
“Jangan melanggar peraturan, Sivia..” bisik Ify.
^^^
Jam demi jam pun berlalu. Sampai akhirnya, bel pertanda makan siang pun berbunyi. Kelas mendadak riuh. Kakak pembimbing di masing-masing kelas pun sampai bingung sendiri. Begitupula di kelas kedelapan.
Begitu riuhan itu mulai mereda, pintu kelas mendadak terbuka. Burung-burung kecil milik masing-masing siswa-siswi pun terbang dan mendatangi pemiliknya. Menyerahkan secarik kertas kosong pada mereka.
“Kalian tulis saja makanan apa yang ingin kalian makan untuk lunch kali ini..” komando lelaki itu.
Suasana kembali riuh. Beberapa dari mereka mulai berunding dengan teman-temannya. Begitupula Ify, Oik, dan Sivia. Ketiganya masih memegang bolpoin dan meletakkan secarik kertas tadi.
“Enaknya makan apa?” tanya Sivia.
“Lagi pingin chicken katsu, sih..” jawab Ify.
“Sushi, gimana?” tawar Oik.
“Lasagna aja, deh..” kata Sivia.
Ketiganya pun langsung menulis menulis menu makanan masing-masing di secarik kertas tadi. Setelahnya, burung-burung mungil merekalah yang kembali membawanya menuju caffetaria dan menyerahkannya kepada kepala caffetaria.
Setelah burung-burung mungil tersebut beterbangan menuju caffetaria, barulah para siswa-siswi kelas kedelapan yang berbondong-bondong menuju caffetaria. Tentu saja setelah mendapat izin dari kakak pembimbingnya.
Begitu menyadari adik-adik kelasnya telah keluar dan melenggang menuju caffetaria, lelaki itu pun menutup pintu kelas, lagi-lagi dengan sihirnya. Dan, voila! Menghilang! Sepersekian detik setelahnya, ia telah ada di caffetaria.
^^^
Sayup-sayup terdengar celotehan-celotehan dan gelak tawa dari depan caffetaria. Ify, Oik, dan Sivia baru saja tiba. Ketiganya kembali tercengang. Pintu caffetaria masih tertutup rapat! Jadilah, seluruh siswa-siswi baru itu bergerombol di depan pintu.
“Pintunya masih ketutup rapet!” desis Sivia.
“Masih nyiapin makanan, mungkin..” kata Ify, ia mengangkat sebelah bahunya.
“Tau gini, sih, harusnya kakak tadi ga usah ngizinin kita ke sini duluan!” gerutu Oik.
Tepat setelah Oik kembali menggerutu, pintu caffetaria terbuka dari dalam. Otomatis, siswa-siswi yang berbalis di paling depan, langsung menyerbu masuk. Ify, yang notabenenya paling tinggi di antara ketiganya, langsung berjinjit kecil untuk sekedar melihat keadaan di dalam.
“Guru-guru sama kakak-kakak pembimbing udah ada di dalem,” ujarnya.
Oik dan Sivia memutar bola matanya malas. Keduanya lantas menarik lengan Ify dan menyeruak di antara gerombolan tersebut, masuk ke dalam caffetaria dengan bersusah-payah.
Belum habis kekesalan keduanya pada sang kakak pembimbing, keduanya harus kembali menggerutu kesal. Pasalnya, mereka semua harus mencari meja dengan miniatur tubuh mereka yang beterbangan di atas meja.
“Ini sekolah ribet banget, sih?!” gerutu Oik.
“Udah, ah! Langsung dicari aja. Laper, kan?” serobot Ify. Sivia dan Oik hanya mengangguk.
Dapat! Sebuah meja dengan sepuluh kursi mengitarinya, lima kursi di antaranya telah terisi. Ditambah mereka bertiga, jadinya kurang dua lagi. Sivia, Oik, dan Ify pun segera duduk di sana. Mengatur napas sejenak dan segera mengambil segelas minuman di depannya.
“Hey!” sapa seseorang yang rupanya semeja dengan ketiganya.
“Hey juga!” sapa Ify balik.
“Kelas kedelapan, kan?” tanya orang itu lagi, seorang lelaki bermata sipit.
Ify, Oik, dan Sivia mengangguk pelan seraya tersenyum canggung.
“Aku juga..” kata lelaki itu lagi.
“Aku Sivia..”
“Aku Oik..”
“Aku Ify..”
“Aku Alvin. Dan ini Zevana, cewekku..” lelaki itu memperkenalkan diri, ia juga memperkenalkan seorang gadis berambut ikal panjang yang duduk di sampingnya.
“Aku Cakka..”
“Aku Irsyad..”
“Aku Lintar..”
Tak lama kemudian, datanglah dua orang siswi lagi. Seorang dengan wajah blasteran dan rambut panjang berwarna sedikit kecoklatan dan seorang lagi gadis tomboy dengan rambut sangat pendek.
“Hey, Cakka!” sapa gadis berambut panjang itu.
“Nadya..” sapa Cakka balik.
Nadya, gadis blasteran itu, segera duduk tepat di samping Cakka. Keduanya pun segera mengobrol berdua, tanpa memperdulikan yang lainnya. Bahkan, gadis yang tadi dating bersama Nadya pun, juga mereka berdua tak pedulikan.
“Akrab sekali mereka..” gumam Sivia.
“Jelas! Mereka berdua sudah berpacaran sejak dua tahun yang lalu.” sahut Irsyad.
“Hay! Aku Agni!” gadis berambut pendek tadi pun memperkenalkan diri.
Zevana, gadis itu, menyenggol pelan lengan kiri Sivia karena memang keduanya duduk bersebelahan.
“Hey! Sivia, ya? Lihat! Kamu sama sipitnya sama Alvin..” candanya.
Sivia hanya tersenyum paksa sambil mengusap-usap lengan kirinya. Tepat sekali. Zevana menyenggol lengan kirinya, tepat dimana tumornya bertumbuh. Sivia menundukkan kepalanya, menahan rasa nyeri yang kembali menjalari lengannya karena senggolan Zevana tadi.
“Sivia kenapa?” bisik Ify, menyadari gelagat aneh Sivia.
Sivia hanya menggeleng dan balas berbisik pada Ify, “Nanti aja, di kamar, aku cerita.”
Tiba-tiba saja, terdengar bunyi ledakan dari langit-langit caffetaria. Seluruh siswa-siswi baru itu pun mendongak ke atas. Dan ketika mereka semua menyadari tak ada apapun di atas sana, mereka kembali menatap meja masing-masing. Ternyata, makanan-makanan pesanan mereka telah tersaji di meja.
“Selamat makan!” koor mereka semua yang berada di caffetaria.
Seluruhnya lantas sibuk dengan makanan masing-masing. Sayup-sayup juga terdengar obrolan dari sudut-sudut caffetaria. Ify, Oik, Sivia, Alvin, Zevana, Irsyad, Lintar, Cakka, Nadya, dan Agni pun juga mengobrol bersama.
Selang beberapa menit, setelah seluruhnya menghabiskan makanan masing-masing, para panitia MOS kali ini pun segera naik ke atas podium bersama. Burung-burung mungil mereka juga menyertainya.
“Setelah ini, kalian sudah diperbolehkan kembali ke rumah pohon masing-masing. MOS akan diadakan besok dan besok lusa. Persiapkan diri masing-masing karena, kalian tau sendiri, MOS sekolah kita berbeda dengan MOS sekolah lainnya..” kata salah satu dari panitia MOS dengan senyum yang sulit diartikan.
Guru-guru dan kepala sekolah pun ikut berdiri. Setelah tepukan tangan panjang dari siswa-siswi baru berangsur berhenti, seluruhnya yang berada di podium pun menghilang begitu saja. Tepukan tangan benar-benar berhenti sekarang.
Dengan berbondong-bondong, seluruh siswa-siswi baru itu pun keluar dari caffetaria dan melenggang menuju rumah pohon masing-masing untuk beristirahat.
^^^
Ify, Oik, dan Sivia sedang berbaring di ranjang masing-masing dengan menatap langit-langit rumah pohon mereka. Ketiganya baru saja beres-beres dan membersihkan badan. Mereka juga telah mempersiapkan perlengkapan untuk MOS har pertama besok.
“Sivia, tadi katanya mau cerita. Jadi?” tanya Ify.
Sivia hanya mengangguk pelan, “Tapi kalian janji, ya, jangan katakana ini ke siapapun.”
Ify dan Oik mengangkat tangan kanan mereka dan membentuk huruf V dengan jemari masing-masing, “Janji!”
“Sebenernya, di tangan kiriku ini ada tumor..” jelas Sivia.
Ify dan Oik lantas menegakkan badan masing-masing dan menatap Sivia lekat.
“Kenapa kalian?” tanya Sivia.
“Ga ada obatnya?” tanya Oik, tak menghiraukan pertanyaan Sivia sebelumnya.
“Ada..” jawab Sivia.
“Ayo diminum obatnya, Sivia!” pekik Ify.
“Obatnya cumin untuk ngilangin rasa nyeri kalau tangan kiriku ini kesenggol, seperti tadi..”
“Kenapa ga dioperasi terus diangkat tumornya?” tanya Oik lagi.
“Belum siap aja. Jadinya, ya, aku harus rutin check up ke dokter..”
“Kapan jadwal check up kamu?” tanya Ify.
“Besok sore.”
“Kita temenin check up. Ga ada tapi-tapi!” kata Ify.
Sivia pun menegakkan badannya juga dan berterima kasih pada kedua sahabat barunya itu. Ify dan Oik pun turun dari ranjang masing-msing dan bergegas memeluk Sivia. Tentunya, dengan tidak menyenggol lengan kiri Sivia sedikitpun.
0 komentar:
Posting Komentar