Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [07]

            Pagi itu, Oik sudah siap dengan blouse biru muda dan celana jeansnya. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam shoulder bag berwarna senada, Oik melangkah keluar dari apartemennya. Ray dan Gabriel sudah menunggu di apartemen mereka.
            Setelah memastikan ruang apartemennya terkunci, Oik bergegas menuju apartemen Ray dan Gabriel. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ray muncul dengan kemeja kotak-kotaknya. Lelaki berambut cepak itu pun segera memanggil Gabriel. Ketiganya melangkah menuju basement dengan beriringan.
            “Lo mau jenguk siapa, Ik?” tanya Ray dengan alis bertaut bingung. Semalam Oik sudah mengiriminya sebuah pesan singkat berisi alamat tujuan mereka saat ini.
            “Saudara, Ray. Lo kaget?” tanya Oik balik.
            Ray menggeleng seraya mengangkat bahunya. “Nggak juga. Gue pernah kesana sebelumnya. Lo harus tahu, Ik.. Salah satu dokter disana ada yang cantik banget!” seru Ray dengan semangat.
            “Serius lo?” Oik tertawa. Matanya melirik Gabriel yang berjalan di sebelah kanannya –sementara Ray di sebelah kirinya–. “Lo kok, diem aja?”
            Gabriel terkesiap. Ia menatap Oik dari ekor matanya dan segera menunduk, menghalangi bertatap mata langsung dengan gadis itu. “Nggak. Nggak apa-apa. Cuman... ngantuk aja.”
            Ketiganya telah sampai di samping mobil Oik. Oik segera mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan melemparkannya pada Ray. “Lo aja yang nyetir. Gabriel masih ngantuk.”
            Setelah melihat Ray mengangguk dan membuka kunci mobilnya, Oik segera masuk ke dalam mobil. Ia duduk di bangku belakang, membiarkan Gabriel untuk duduk di depan menemani Ray. Tak lama kemudian, Ray sudah mengendarai mobil Oik menuju sebuah tempat. Gabriel bergerak-gerak gelisah di tempatnya.

**

            Alvin baru saja kembali dari dapur untuk membuat kopi ketika ia melihat ponselnya yang tergeletak diatas sofa ruang tengah bergetar. Ia segera meletakkan secangkir kopinya diatas meja dan beralih pada ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk.

     From: Honeyy
     Maaf, vin. Aq gk bs skrg.
     Mnddk dimintain tlg bwt gntiin dkter yg jaga pg.
     Gnti ntar mlm aj ya? :-)

            Alvin menghela napasnya, kecewa. Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin dan gadis itu membatalkannya begitu saja. Dengan perasaan yang berangsur memburuk, Alvin membalas pesan singkat tersebut.

     To: Honeyy
     Ok. Nnti mlm km lsg ke tmpt jnjian qt aj ya.
     Aq tkt oik tw kl km ke apartmnku dl.

            Alvin melirik sebuah kotak beludru yang tergeletak diatas meja–di samping kopinya. Ia mengambilnya lalu membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni menyilaukan mata Alvin. Namanya terukir dalam cincin tersebut.
            Alvin menatap tangan kirinya. Sebuah cincin tersemat dijari manisnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan cincin dalam kotak beludru tersebut. Hanya satu perbedaannya. Dalam cincin yang dipakai Alvin, nama yang terukir adalah... nama gadis itu. Alvin tersenyum menatapnya.

**

            Cakka terlambat bangun pagi ini. Ini semua gara-gara Bundanya yang tak kunjung pulang dari Solo bersama Ayahnya. Cakka berjalan menuju kamar Agni sambil merapikan kemejanya. Dasi tak berbentuk tergantung dilehernya.
            “Mbak Agni!” panggil Cakka. Tangannya bergerak membuka pintu kamar Agni.
            Cakka terdiam diambang pintu kamar Agni. Kakaknya itu berdiri mematung di hadapan meja yang berisikan berbingkai-bingkai foto. Fokus matanya tertuju pada satu bingkai. Bingkai foto dengan sosok dua orang bocah kecil yang masing-masing menggenggam sebuah lollipop dan tersenyum pada kamera.
            Cakka berjalan pelan menghampiri Agni. “Mbak..” Cakka menepuk bahu Agni dari belakang.
            Agni terkesiap kaget. Ia menengok ke belakang dan memijit keningnya begitu mengetahui Cakkalah tersangka utama yang membuatnya terkesiap. “Apa, Kka?” tanyanya dengan nada lelah.
            “Dasi..” lirih Cakka. Ia melirik dasi yang tergantung sembarangan dilehernya.
            Agni tersenyum tipis dan maju selangkah, tangannya mulai merapikan dasi Cakka. Membentuk simpul-simpul –yang menurut Cakka– rumit. Beginilah keseharian Cakka bila tak ada Bundanya. Ia belum bisa memasang dasinya sendiri.
            “Kangen Mas Debo, Mbak?” tanya Cakka. Matanya menatap tajam mata Agni yang seperti menghindarinya.
            Agni menggeleng kecil. “Sudah sarapan?”
            “Mbak, nggak perlu mengalihkan topik pembicaraan.” Cakka mulai menatap Agni lembut. Kedua tangannya ia letakkan dibahu Agni. “Mbak Agni, kangen Mas Debo?”
            “Iya,” jawab Agni singkat. “Selalu.”
            Cakka menghembuskan napasnya berat. “Mbak Agni masih nggak bisa terima kematian Mas Debo? Udah hampir dua puluh tahun, Mbak.”
            “Debo nggak mati, Kka.” Agni mengangkat wajahnya dari dasi Cakka. Ia menatap Cakka tajam. Nada bicaranya mendadak dingin begitu Cakka menyinggung soal kematian Debo enam belas tahun silam.
            “Terima kenyataan, Mbak! Mbak Agni nggak bisa hidup dalam masa lalu terus. Hidup ada untuk dijalani, Mbak.” Cakka benci melihat kakaknya rapuh. Cakka benci melihat Agni yang seolah ikut mati jika seseorang membicarakan kematian Debo.
            “Mbak masih dendam... dengan gadis kecil itu?” tanya Cakka ragu.
            “Itu sudah jelas. Lo nggak perlu tanya lagi.” Agni telah selesai memasangkan dasi Cakka. Gadis itu berbalik, memunggungi Cakka. Ia tak ingin Cakka meneruskan pembicaraan mengenai hal ini.
            Cakka kembali menghela napas. “Gue ngantor, Mbak,” pamitnya.

**

            Plang besar bertuliskan RS Khusus Jiwa Dharma Graha menyambut kedatangan Oik, Ray, dan Gabriel pagi itu. begitu memasuki area parkir mobil dan mendapatkan tempat kosong, Ray langsung memarkirkan mobil Oik disana. Setelah itu, ketiganya turun dari mobil.
            “Saudara lo namanya siapa, Ik?” tanya Gabriel dengan suara tercekat.
            Oik bergumam tidak jelas kemudian berlari-lari kecil, meninggalkan Ray dan Gabriel di belakangnya. Gadis itu tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang suster di belakang meja resepsionis. Gabriel memandang Ray dengan tatapan yang sulit diartikan.
            “Gab...?” tanya Ray bingung. “Maksud lo... yang ini?”
            Gabriel mengangguk lesu. “Iya.”
            Tak lama kemudian, Oik kembali menghampiri keduanya bersama dengan seorang suster. “Ayo! Kita bakal dianter suster ini ke ruang rawat saudara gue.” Oik menarik-narik lengan Ray dan Gabriel agar cepat-cepat mengekor suster tersebut yang sudah memasukki lorong-lorong rumah sakit.
            “Saudara lo? Kakak? Adik? Sepupu?” tanya Ray penasaran.
            “Adik gue sih, sebenernya. Namanya Raissa Safanah Arif. Gue biasa panggil dia Acha.” Oik mulai bercerita sambil berjalan mengikuti suster tersebut.
            Ray mengangguk mengerti. Ia kembali melirik Gabriel yang hanya menatap lurus ke depan–kearah suster tersebut. “Kenapa dia bisa masuk sini?”
            Oik tersenyum miris. “Gara-gara pacarnya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Gue sama Acha juga ada disana waktu itu. Kami berdua juga kecelakaan bareng pacarnya Acha. Tapi keadaan pacarnya Acha waktu itu parah banget. Dia meninggal di tempat.”
            Tiba-tiba suster tersebut berhenti di depan sebuah ruang rawat yang pintunya tertutup. Ada sebuah papan kecil bertuliskan nama pasien yang tergantung dipintu. Nama Acha terukir disana, beserta penjelasan keadaannya secara singkat.
            Suster itu perlahan membuka pintu kamar Acha dan melongokkan kepalanya, melihat keadaan di dalam. Lalu ia kembali menatap Oik beserta Ray dan Gabriel. “Tunggu sebentar, ya. Nona Raissa masih diperiksa dokter. Nanti setelah sarapan, kalian boleh jenguk. Takutnya Nona Raissa mengamuk lagi seperti tadi malam.”
            “Acha ngamuk?” tanya Gabriel dengan napas tertahan.
            “Iya.” Suster di hadapannya mengangguk. “Tadi malam ada suster baru disini. Waktu suster itu mengantarkan Nona Raissa untuk tidur, suster itu lantas juga mengambil boneka beruang yang selalu ia peluk.”
            Oik mengangguk mengerti. “Jadi kita tunggu di lobby aja?”
            “Iya. Mari, saya antar ke lobby lagi.”
            Ketiganya kembali melangkah menuju lobby, beserta sang suster. Baru saja ketiganya berjalan beberapa langkah, terdengar suara pintu dibuka kemudian ditutup dan disusul suara lembut seseorang. “Sus!”
            Sang suster menengok ke belakang dan mendapati dokter yang tadi memeriksa Acha. “Kalian bertiga ke lobby saja duluan. Tahu jalannya, kan?” Setelah mendapat anggukan dari Ray, suster itu berbalik badan untuk menemui sang dokter.
            Sementara Oik, Ray, dan Gabriel kembali ke lobby, suster tersebut berbincang dengan dokter muda itu. “Siapkan sarapan untuk pasien Raissa, ya. Saya periksa pasien yang lainnya dulu.”
            Oik berhenti melangkah. Ia menengok ke belakang, penasaran seperti apa wajah dokter yang senantiasa memeriksa adiknya. Tapi yang didapatinya ketika ia telah menengok ke belakang hanyalah siluet seorang dokter wanita yang tengah memasukki ruang rawat lainnya.

**

            “Bagaimana keadaannya?”
            “Baik. Sudah nggak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian itu. Sudah nggak pernah bertanya-tanya juga.”
            “Bagus. Tetap jaga dia. Jangan sampai orang itu kembali masuk kedalam kehidupannya. Saya nggak mau itu terjadi.”
            “Kenapa?”
            “Saya nggak mau dia menderita lagi. Seperti dulu. Orang itu nggak baik.”
            “Tapi menurut penglihatan saya, dia baik-baik saja.”
            “Turuti ucapan saya!”
            “Baik.”
            “Satu lagi. Jangan ceritakan apapun dulu padanya.”
            “Itu pasti.”

**

            Udara Bandung sore itu terbilang sejuk. Seorang gadis yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar, tengah meniup-niup soap bubbles di pekarangan rumahnya yang luas. Deru suara kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalanan depan rumahnya sama sekali tak ia hiraukan.
            “Lala! Lala!”
            Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkannya. Gadis kecil itu segera meletakkan botol beserta peniup soap bubblesnya disebuah meja di teras rumahnya dan berjalan menghampiri sumber suara, seorang lelaki beserta gadis kecil lainnya yang berdiri di belakang pagar rumahnya.
            “Aga? Cila? Kalian lulus juga, kan?” tanya Lala sembari membuka pagar rumahnya.
            Lelaki kecil di hadapannya mengangguk dengan bersemangat. “Iya! Kita berdua juga lulus. Kamu mau lanjut sekolah dimana, La?”
            “Aga!” Gadis kecil di samping lelaki itu mulai merajuk. “Aga nggak boleh panggil dia Lala lagi! Lala itu aku, Ga. Nggak boleh ada Lala lainnya.”
            “Tapi kamu nama kamu kan, Cila... bukan Lala.” Lala –yang merasa namanya disebut-sebut– ikut angkat suara. Ia menatap Cila sebal. “Lala itu aku!”
            Kedua gadis kecil itu mulai berdebat –lebih tepatnya, bertengkar– hanya karena masalah sepele. Aga mulai kebingungan memisah kedua gadis itu. Dengan paksa, ditariknya lengan Cila menjauh dari Lala.
            “Cil, kita pulang aja, yuk?! Aku nggak suka kamu bertengkar cuman karena nama aja,” Aga menatap Cila sebal kemudian beralih pada Lala. “La, kami pulang dulu. Dadah!”
            Setelah kembali menutup pagarnya, Lala mendengar kedua orangtuanya memanggilnya. Dengan berlari, gadis itu masuk ke dalam rumah. Seluruh barang-barang sudah masuk kedalam kardus. Kedua orangtuanya juga sudah siap.
            “Kita berangkat sekarang, Ma, Pa?” tanya gadis kecil itu dengan raut wajah sedih. “Aku mau disini aja. Nggak mau pindah. Lala udah punya banyak teman disini.”
            “Papa nggak nyaman tinggal disini. Kita pindah ke rumah yang lebih besar, dekat kebun teh. Mau, ya?” bujuk Papanya. Akhirnya gadis itu hanya dapat mengangguk pasrah.

**

            Sudah lima belas menit terduduk bosan di sofa lobby tetapi sang suster tak kunjung memperbolehkan mereka menjenguk Acha. Sudah tak terhitung Oik menguap berapa kali selama menunggu di lobby. Kebosanan dan kantuk menyergapnya.
            Ketika Oik telah mendongakkan kepalanya, ia melihat siluet seorang gadis yang mengenakan jas putih bersih tengah berdiri membelakanginya–bercakap-cakap dengan seorang suster. Oik merasa mengenali siluet tubuh tersebut.
            “Sus, saya keluar sebentar, ya. Nanti sebelum makan siang saya pasti kembali lagi. Pasien Raissa juga sudah selesai sarapan. Ada yang mau jenguk dia, kan?” celoteh gadis itu.
            “Iya, Dok. Tadi ada tiga kerabatnya mau menjenguk.”
            “Ya udah, saya pamit dulu.”
            Gadis itu berbalik, hendak keluar menuju area parkir. Sekelebat, Oik dapat melihat wajahnya. Wajah itu sangat dikenalnya. Oik mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Ray dan Gabriel menarik lengannya untuk mengikuti suster tersebut menuju ruang rawat Acha.
            Nggak mungkin. Itu... gadis yang biasa gue lihat sama Alvin, kan? Jadi.. Dia dokter? Dan dia kerja disini? Dan dia sebut-sebut nama Acha? Itu berarti... dia dokter yang merawat Acha.
            Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Ini pasti salah. Tidak mungkin gadis yang biasa ia lihat di sekitar Alvin itu adalah dokter. Terlebih lagi, dokter yang merawat Acha. Dunia memang selebar daun kelor.
            “Kenapa, Ik?” bisik Gabriel. Ia menangkap gelagat aneh Oik semenjak beberapa menit yang lalu.
            Oik menggelengkan kepalanya. “Sus?” panggilnya pada suster yang berjalan di depannya.
            “Ya?” Suster tersebut menengok kepada Oik dengan alis terangkat sebelah.
            “Itu tadi dokter yang ngerawat Acha?” tanya Oik ragu-ragu.
            “Iya. Dia dokter muda tapi sudah dipercaya para senior untuk merawat Nona Raissa. Dia dokter muda kesayangan para senior.” Suster tersebut tersenyum dan kembali menghadap depan.
            Oik merasakan dunianya mendadak runtuh.

**

     From: Honeyy
     Vin, aq otw ya.
     Ini sdh bs keluar RS. Tp sbntr aj.
     Sblm jm mkn siang aq sdh hrs kmbli.

     To: Honeyy
     Ok. Km ke apartmnku aj. Kbtln oik gak ada.
     Dy ke rmh skt, jnguk acha. Km smpt ktmu dy?

**

            Gadis berwajah riang itu baru saja turun dari mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartemen Alvin. Ia pun bergegas memasuki bangunan apartemen megah di hadapannya. Setelah tersenyum pada seorang satpam paruh baya yang berjaga dipintu masuk, gadis itu segera berlari menuju lift.
            Tak sampai lima menit, ia telah sampai di depan pintu ruang apartemen Alvin. Akhirnya ia bisa leluasa berada dalam apartemen lelaki bermata sipit itu karena Oik sedang tidak ada. Ia patut menghela napas lega karena itu.
            Secarik kertas yang menempel pada pintu ruang apartemen Alvin menyambutnya. Tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas yang hanya tertempel seadanya dengan selotip tersebut. Ia tersenyum. Itu tulisan tangan Alvin.

     Masuk aja. Pintu nggak dikunci :-)

            Gadis itu mendorong pintu di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berada dalam ruang apartemen Alvin. Keadaan di dalam benar-benar gelap. Tak ada penerangan dari apapun. Begitu pintu ditutup, semakin gelaplah ruangan itu.
            “Vin?” panggil gadis itu. Tak ada sahutan.
            Gadis itu melangkah. Tiba-tiba saja kakinya mengantuk sesuatu. Ia berjongkok, mengambil barang yang telah mengantuk kakinya. Sebuah senter kecil dan –lagi-lagi– secarik kertas. Ia menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya pada secarik kertas itu.

     Jalan terus, ke kamarku ya.
     Jangan lupa arahkan terus senternya ke dinding di sebelah kanan kamu ;-)

            Gadis itu tersenyum. Jadi ini yang dimaksud Alvin dengan kejutan?
            Menuruti kata-kata Alvin dalam secarik kertas barusan, ia menyorotkan cahaya senter yang digenggamnya pada dinding di sebelah kanannya. Hal pertama yang ia lihat adalah foto. Fotonya bersama Alvin. Ia menyorotkan senternya pada sepanjang dinding menuju kamar Alvin. Ada dua puluh tiga foto yang tertempel disana. Masing-masing dengan tagline yang berbeda pada pojok bawah kiri foto.
            Seluruhnya adalah fotonya bersama Alvin. Mulai dari perayaan anniversary satu bulan hubungan mereka, hingga bulan ke-dua puluh tiga. Tak terasa, sudah dua puluh tiga bulan ia menjalin hubungan bersama Alvin–tanpa sepengetahuan Oik.
            Akhirnya ia pun tiba di depan pintu kamar Alvin. Ada secarik kertas yang tertempel didaun pintu tersebut. Gadis itu kembali menyorotkan cahaya senternya pada tulisan tangan Alvin yang tertera disana.

     Matikan aja senternya ;-)

            Gadis itu kembali menurut. Ia mematikan senternya. Setelah itu, ia membuka pintu kamar Alvin perlahan-lahan. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya didepa dada. Merasa tersanjung dengan perlakuan Alvin padanya.
            Kamar Alvin telah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang tadinya hanya berisi bantal, guling, dan selimut kini telah penuh dengan kelopak bunga mawar merah. Jalan menuju ranjang Alvin pun telah dilengkapi dengan lilin.
            Gadis itu menundukkan kepalanya. Ada barisan lilin di kanan dan kirinya yang membimbingnya menuju ranjang Alvin. Dengan wajah merona bahagia, ia mengikuti cahaya lilin tersebut dan duduk diatas ranjang Alvin.
            “Alvin?” panggilnya lagi.
            Tiba-tiba saja terdengar derap langkah pelan seseorang. Siluet tubuh seorang lelaki kini berada di hadapan gadis itu. Dengan bantuan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil itu, gadis itu dapat mengenali bahwa lelaki di hadapannya kini adalah Alvin.
            Siluet lelaki di hadapannya itu tengah membawa sebuket bunga mawar pada tangan kanannya dan sesuatu –entah apa– ditangan kirinya.
            “Happy two years anniversary, Sayang..” ujar Alvin seraya menyerahkan buket bunga mawar tersebut pada gadis berwajah ceria itu.
            Lalu, tiba-tiba saja, Alvin berjongkok. Ia memindahkan sesuatu yang ternyata sebuah kotak beludru itu ketangan kanannya. Perlahan, ia membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian itu kini telah berada dalam tangan Alvin.

            “Would you marry me, Sivia?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [06]

            Sore hari yang cerah. Seorang gadis kecil dengan rambut dikepang dua tengah duduk disebuah bangku dekat tempat bermain anak-anak. Gadis kecil itu masih mengenakan seragam sekolahnya dengan badge kelas 4 SD.
            Ia menengok ke samping. Adiknya –yang hanya berbeda satu tahun dengannya– rupanya tengah bermain perosotan dengan teman-temannya. Ia mendengus kesal karena tak diajak bermain bersama dengan adiknya.
            “Halo!”
            Gadis itu menengok cepat ke samping dan menemukan seorang lelaki kecil seumuran dengannya telah duduk manis. Gigi ompong lelaki itu membuat sang gadis kecil terkekeh pelan. Tiba-tiba saja rasa kesal kepada adiknya hilang entah kemana.
            “Kamu dari mana aja, sih?” tanya gadis kecil itu dengan sedikit merajuk. “Aku nggak punya temen, tau!”
            “Tadi Mama bilang nggak boleh kesini dulu. Disuruh nunggu sebentar. Mama lagi bikin ini,” Lelaki kecil itu menyodorkan sebuah kotak makan pada gadis di sampingnya. “Mama bikin buat kamu.”
            Gadis kecil itu meliriknya sekilas dan tanpa basa-basi membuka kotak makan yang telah berada dalam genggamannya. “Sandwich isi tuna?!” pekiknya gembira.
            “Iya.” Lelaki kecil di sampingnya mengangguk.
            Dengan lahap, disantapnya sandwich-sandwich tersebut. “Kamu mau main perosotan juga?” tanya gadis kecil itu dengan mulut penuh makanan.
            Lelaki itu menggeleng lesu. “Nggak, deh. Kayaknya habis ini hujan.”
            Sang gadis kecil mendongak menatap langit. Gumpalan awan kelabu menggantung diatas sana. “Oh, iya! Lagi mendung, ya!” serunya dengan suara cempreng khas anak kecil.
            “Gimana kalau kita pulang aja? Nanti kita kehujanan, lho!” Wajah sang lelaki kecil mendadak panik membayangkan ia aka terserang flu berhari-hari hanya karena kehujanan. Seperti beberapa minggu yang lalu.
            “Tapi adikku gimana? Dia masih main perosotan sama temen-temennya,” gadis kecil itu mengedik pada sekumpulan anak kecil lainnya yang tengah mengantri bermain perosotan.
            “Udah, biarin aja. Biarin mereka nanti pilek soalnya kehujanan!” sungut sang lelaki kecil.
            “Yang udah, deh,” Sang gadis kecil hanya mengangguk pasrah.
            Keduanya pun bangkit berdiri lalu menyusuri jalanan taman dalam diam. Sang gadis kecil menyantap sandwich isi tunanya sambil berjalan. Tangan kirinya menggenggam erat sebuah kotak makan dan tangan kanannya menggenggam sandwich isi tuna yang sudah tinggal setengah bagian.
            Begitu sampai di pinggir jalan, keduanya diam sejenak. Melihat gadis kecil berambut pendek yang tengah gelisah di seberang jalan sana, keduanya saling pandang bingung. Gadis di seberang jalan berancang-ancang untuk menyebrang.
            “Hey! Kamu kenapa?” tanya sang lelaki kecil.
            Gadis kecil di seberang jalan menatap sang lelaki kecil dengan sedih. “Kalungku hilang. Mungkin jatuh.” Suaranya bergetar, seperti ingin menangis.
            “Jatuh dimana?” tanya sang gadis kecil yang baru saja menelan bulat-bulat sandwich isi tuna yang belum sempat ia kunyah.
            “Nggak tahu,” gadis kecil berambut pendek itu merajuk, seperti ingin menangis. Ia kembali menengok ke kanan dan ke kiri, mengambil ancang-ancang untuk menyebrang.
            “Eh! Kamu mau nyebrang?” tanya sang lelaki kecil. Begitu gadis di seberang sana mengangguk, ia tersenyum senang dan beralih pada gadis kecil di sampingnya. “Aku mau bantu dia nyebrang dulu, ya! Kamu tunggu sini aja!”
            Gadis kecil di sampingnya menggenggam kuat-kuat kotak makan. “Hati-hati ketabrak motor atau mobil, ya!”
            Lalu lelaki kecil itu tersenyum mantap dan berlari ke tengah jalan raya. Ia merentangkan tangannya lebar-lebar ke samping, menyuruh segala macam kendaraan untuk berhenti sejenak. Begitu melihat sudah tak ada lagi kendaraan yang akan melintas, ia menengok pada gadis kecil berambut pendek dan memberikan kode agar segera menyebrang.
            Dengan takut-takut, gadis kecil berambut pendek itu menyebrang jalan. Begitu ia telah sampai di seberang, ia melambaikan tangan pada sang lelaki kecil. Lelaki kecil itu berlari kencang menuju kearah dua gadis kecil.
            “Debo awaaaaaassss!!!!!” pekik sang gadis kecil yang tengah menggenggam sebuah kotak makanan.
            BRAK!

**

            Cakka dan Shilla baru saja tiba di pelataran Oicagraph. Keduanya segera turun dari mobil dan masuk ke dalam galeri. Ada Alvin, Oik, Rio, dan Ify yang tengah berkumpul di meja Ify. Aroma mie kuah langsung menyergap hidung mereka.
            Suara derap langkah keduanya menarik perhatian Ify. “Hay!” sapanya.
            Cakka dan Shilla mengangguk sopan dan segera menghampiri keempatnya. Rupanya Alvin dan Oik tengah makan semangkuk berdua. Hal itu membuat Cakka menautkan alisnya, mengingat apa yang terjadi semalam di apartemen Oik.
            “Kita duduk mana, nih?” tanya Shilla dengan tersenyum kikuk. Pasalnya, dua bangku yang biasanya diperuntukkan pada tamu di depan meja Ify kini tengah didudukki Alvin dan Oik.
            “Oh, iya. Bentar, Shil. Gue sama Alvin pindah aja.” Oik segera meletakkan sendok yang digenggamnya diatas mangkuk dan hendak berdiri jika saja suara Rio tidak menahannya.
            “Nggak usah! Lo duduk aja, Ik. Pamali makan sambil berdiri. Biar gue ambilin kursi di belakang.”
            Beberapa detik setelahnya, Rio datang dengan membawa dua buah kursi plastik yang ia ambil dari dapur Oicagraph. Ia meletakkannya di samping meja Ify. Cakka dan Shilla mengangguk berterima kasih dan segera duduk.
            “Makan dulu, Kka, Shill,” seru Alvin. Ia mengangkat mangkuknya sedikit, menawarkan pada Cakka dan Shilla. “Mau? Biar gue suruh office boy bikin.”
            “Nggak usah. Makasih.” Tolak Shilla halus. Ia harus mengontrol asupan makanannya jika ingin suara indahnya tetap terkontrol. Ia hanya makan makanan rumahan yang dimasak oleh Mama atau pembantunya saja, atau –sekali-kali– makanan resto mahal.
            Cakka tertarik untuk bertanya makanan apa yang sedang Alvin dan Oik santap ketika melihat keduanya sangat menikmati makanan tersebut. “Makan apa, Vin, Ik?”
            “Mie kuah,” jawab Oik singkat.
            Cakka kembali mendapatkan sentakan keras dalam hatinya. Pikirannya kembali berkecamuk. Satu lagi fakta yang yang mengganggu pikirannya. Apalagi ini?
            Mie kuah? Lala sama sekali nggak suka mie instant, apalagi mie kuah.

**

RADAR BANDUNG ––– 28 September 2008
REM BLONG, YAARIS MASUK JURANG

Satu Penumpang Tewas, Empat Luka

     BANDUNG – Kecelakaan maut terjadi di Ciburial, Kabupaten Bandung, kemarin (27/9). Sebuah Toyota Yaaris bernomor polisi B 5413 AI yang berisi empat penumpang dan satu sopir masuk ke dalam jurang sedalam 20 meter karena remnya blong. Akibat kecelakaan itu, satu penumpang meninggal di lokasi.
     Korban tewas adalah Nur Wachid Hidayat, 18. Sementara itu, empat penumpang mobil lainnya selamat. Yakni, Dadang Iskandar (sopir) beserta ketiga penumpang lainnya yang belum diketahui identitasnya. Semua adalah warga Bandung.
     Radar Bandung (Jawa Pos Group) melaporkan, kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.00. Udin, salah seorang saksi, mengungkapkan, kecelakaan bermula saat Yaaris melaju dari arah utara. Sesampai di jalan berkelok turun, kecepatan mobil tidak menurun. Tak ayal, mobil pun jatuh ke jurang karena oleng.
     Camat setempat menyatakan, pihaknya prihatin atas kecelakaan tersebut. Apalagi, itu bukan yang pertama. “Sudah lebih dari tiga kali terjadi kecelakaan di jalan berkelok ini sejak 2005.” ujarnya.

**

            Alvin dan Oik tengah berjalan menuju lobby apartemen ketika senja menjelang. Mereka baru saja selesai membantu Rio dalam proses editting foto pukul lima tadi. Dengan lesu, keduanya jalan beriringan menuju lift.
            “Mau makan malam di luar atau aku masakin?” tanya Oik sambil melirik Alvin.
            Alvin merangkul pinggang Oik dan tersenyum tipis. “Kamu aja yang masak. Udah lama kamu nggak masak buat aku.”
            “Oke,” Oik mengedikkan bahunya cuek. “Kamu mau makan apa? Biar aku ke minimarket dulu.”
            Keduanya berhenti di depan lift. Alvin melepaskan rangkulannya dan memencet tombol panah ke atas. Ia menatap anga empat di atas pintu lift. Menyadari lift masih berada di lantai empat, Alvin kembali menghadap Oik.
            “Terserah kamu aja,” ujarnya sambil memencet pelan ujung hidup Oik.
            Oik tersenyum malu-malu dan menyingkirkan telunjuk Alvin yang masih bertengger di telunjuknya. “Nasi goreng jamur aja, ya? Aku lagi malas masak yang macem-macem.”
            Alvin mengangguk.
            Kemudian pintu lift terbuka. Alvin mengusap puncak kepala Oik sejenak dan mencium sekilas kening gadis itu dan masuk ke dalam lift. Oik masih terbengong-bengong di tempatnya dengan wajah bersemu merah.
            “Alvin! Jahil banget?!” seru Oik dengan suara tertahan, membuat Alvin terkekeh.
            Pintu lift mulai tertutup. Oik seakan teringat sesuatu. Ia segera menyelipkan tangan kirinya pada ruang sisa pintu lift, mencegah agar pintu lift tak tertutup sekarang. Sedangkan tangan kanannya membongkar isi tas, mencari-cari sesuatu.
            “Ngapain, Ik?” tanya Alvin bingung.
            Oik bergumam tak jelas. Lalu, ia menyodorkan kartu apartemennya pada Alvin. “Kamu langsung ke apartemenku aja. Buatkan aku coklat hangat, ya.”
            Alvin mengangguk mengerti dan menerima kartu apartemen Oik. Pintu lift pun tertutup. Alvin seorang diri berada dalam lift. Ia menimang-nimang kartu apartemen Oik sambil bersiul. Begitu lift tiba di lantai apartemennya dan Oik, Alvin melangkah keluar.
            Lelaki bermata sipit itu melangkah menyusuri koridor apartemen. Pada persimpangan jalan, Alvin berbelok kanan. Ia berhenti pada pintu apartemen keempat di sebelah kiri–apartemen Oik. Setelah menempelkan kartu apartemen Oik pada sensor pintu, ia masuk ke dalam.
            Alvin segera menuju pantry. Ia menemukan sebuah teko untuk memanaskan air tergeletak diatas kompor. Ia segera mengambilnya dan berjalan menuju dispenser. Setelah mengisinya hingga penuh, Alvin kembali meletakkannya diatas kompor dan menyalakan kompr tersebut.
            Tiba-tiba saja ponsel dalam saku celananya bergetar. Alvin berdecak kesal begitu melihat notifikasi bahwa baterai ponselnya telah habis. Dengan menggerutu, ia berjalan ke kamar Oik. Dinyalakannya lampu tidur pada night stand dan ia duduk dibibir ranjang Oik.
            Alvin membuka laci night stand dan mencari-cari charger ponsel Oik, meminjamnya. Begitu menemukan benda yang dicari, Alvin segera mengambilnya. Ketika ia hendak mematikan lampu tidur Oik, matanya terantuk pada sebuah wristband berwarna biru yang tergeletak diatas night stand. Tangan Alvin terulur untuk mengambilnya.
            Setelah mematikan night stand, Alvin segera keluar dari kamar Oik. Begitu ia akan melangkahkan kaki menuju dapur, terdengar ketukan pintu. Alvin memutar tubuhnya dan membukakan pintu. Ia mendapati Oik yang tengah membawa sebuah tas plastik kecil telah menatapnya.
            “Hay,” sapanya.
            “Kayak nggak ketemu berhari-hari aja, Vin,” ejek Oik. Gadis itu lalu melangkah menuju pantry, Alvin mengekor di belakangnya.
            “Aku pinjem charger kamu, Ik,” kata Alvin begitu keduanya telah sampai di pantry. Alvin duduk dimeja counter, menunjukkan charger yang tadi telah diambilnya pada Oik yang tengah mengeluarkan isi tas plastik tersebut.
            “Ya,” Oik menjawab singkat seraya mengangguk.
            Alvin lalu bangkit dan men-charge baterai ponselnya di ruang tengah apartemen Oik. Setelah itu, ia kembali ke pantry dan menemukan Oik yang tengah memanaskan wajan penggorengan.
            Alvin bergerak ke samping Oik. Lelaki itu mematikan kompor dan membawa membawa teko panas itu ke meja counter. Ia telah menyiapkan dua cangkir berisikan bubuk coklat sebelumnya. Dengan berjingkat karena takut terkena tetesan air panas, Alvin menuangkannya pada kedua cangkir itu.
            Sepuluh menit kemudian, Alvin dan Oik telah duduk berhadapan dimeja counter. Dua piring nasi goreng jamur dan dua cangkir coklat hangat telah menunggu untuk disantap. Alvin dan Oik berdoa terlebih dahulu baru menyantap makan malam mereka.
            “Vin, besok bisa temani aku?” tanya Oik sambil mengunyah nasi goreng jamurnya.
            “Kemana?” tanya Alvin balik.
            “Jenguk dia,” lirih Oik. “Apa aku naik taxi aja, ya?”
            Alvin meletakkan sendok dan garpunya. Ia menatap Oik dingin. “Nggak. Nggak boleh. Kamu nggak boleh pergi jauh-jauh tanpa aku. Aku nggak mau kejadian lima tahun lalu terulang lagi.”
            “Alvin,” Oik merajuk dengan wajah sedihnya. “Ayolah..”
            “Besok lusa aja, Ik. Kamu tahu sendiri aku besok ada pemotretan buat year book SMA Karitas.” Alvin kembali menyantap nasi goreng buatan Oik.
            “Aku maunya besok, Vin. Aku udah kangen dia.” Oik tetap bersikeras.
            “Rio mungkin besok nggak ada jadwal editting foto. Biar aku telepon dia.” Alvin bangkit, hendak mengambil ponselnya untuk menghubungi Rio.
            “Nggak usah,” Oik juga ikut bangkit. Ia kembali mendudukkan Alvin dikursinya. “Aku nggak mau ganggu dia dan Ify. Biar aku tanya ke tetangga sebelah aja. Siapa tahu besok mereka free.” Oik mengedipkan sebelah matanya lalu berjalan keluar apartemen, menuju apartemen si lima sekawan.
            Baru saja Oik mengetuk pintu apartemen sang lima sekawan, sudah terdengar teriakan untuk menunggu sebentar dari dalam. Oik terkikik geli mendengar suara cempreng Ray yang tak ubahnya anak kecil.
            “Hay!” sapa Ray begitu ia melihat Oik tengah berdiri di depannya. “Masuk, masuk..” ajaknya. Ia mundur selangkah dan mempersilahkan Oik masuk. Begitu Oik masuk, ia langsung menutup kembali pintu apartemennya.
            “Halo, Oik!” sapa empat lelaki lainnya yang tengah menonton DVD di ruang tengah.
            Oik melambaikan tangan pada mereka dan duduk diatas sofa, di antara Gabriel dan Deva. “Lagi nonton apa?” tanyanya.
            “The Bay, Ik,” jawab Ozy sambil melahap popcorn-nya.
            “Mau minta tolong apa, Ik?” tanya Patton tanpa mengalihkan pandangannya dari TV plasma yang sedang menayangkan film keluaran terbaru tersebut.
            “Tahu aja lo kalau gue mau minta tolong,” ujar Oik seraya tertawa malu.
            “Karena kita berlima udah sehati sama lo,” sambung Deva lalu nyengir lebar.
            “Besok ada yang free ga?” tanya Oik langsung. Ia menatap Ray, Deva, Ozy, Patton dan Gabriel bergantian. Begitu matanya bertemu dengan mata Gabriel, Oik menelan ludah entah karena apa.
            “Wah, gue besok ada kuliah, Ik. Sorry, sorry..” Patton melirik Oik sekilas sambil tersenyum meminta maaf. Besok ia harus menjalani UAS di kampusnya.
            “Gue UAS besok, Ik,” lanjut Deva. “Mungkin lo bisa minta tolong Gabriel, Ozy, atau Ray. Kayaknya tiga orang itu besok free.”
            “Besok gue kerja. Cadangan cuti gue udah habis buat tahun ini.” Ozy tersenyum memaksa. Ia menggaruk tengkuknya begitu ingat bahwa cadangan cutinya telah habis.
            “Besok gue sama Gabriel free kok, Ik.” Ujar Ray yang baru saja kembali dari pantry. Ia menyerahkan tiga bungkus popcorn pada Ozy. “Mau minta tolong apa memangnya?”
            “Bisa anter gue ke Serpong?”
            Tiba-tiba saja Gabriel yang tengah mengunyah popcorn terbatuk-batuk. Ia melirik Oik dengan pandangan yang sulit diartikan lalu segera meneguk colanya. “Serpong? Untuk apa?”
            “Jenguk... saudara,” lirih gadis itu. “Pakai mobil gue. Salah satu dari kalian yang nyetir. Bisa? Alvin nggak ngebolehin gue keluar jauh-jauh sendirian dan besok dia ada jadwal motret.” Oik menatap Ray dan Gabriel dengan wajah memelas.
            “Oke, deh!” Ray menyanggupi sambil mengangguk mantap. “Besok berangkat jam berapa, Oik?”

**

            “Selamat malam. RS Khusus Jiwa Dharma Graha. Ada yang bisa dibantu?”
            “Halo, Sayang.”
            “Kamu? Astaga! Untung bukan suster atau dokter lain yang angkat!”
            “Karena aku tahu kalau pasti kamu yang bakal angkat teleponnya.”
            “Untuk apa malam-malam begini telepon?”
            “Aku kangen, Sayang. Besok ada jadwal praktek?”
            “Besok aku dinas siang. Mau ketemu?”
            “Boleh. Jam tujuh pagi ya, Sayang?”
            “Oke. Di tempat biasa, kan?”
            “Iya. Dandan yang cantik, ya. Aku ada kejutan buat kamu.”
            “Apa? Tiket untuk pergi ke Paris berdua?”
            “Aku serius, Sayang.”
            “Oke, oke.. Eh, Sayang, udahan dulu, ya. Ada pasien yang ngamuk, nih.”
            “Oke. Ketemu besok, ya.”


**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEKEDAR CERITA [05]

            Pagi-pagi sekali Alvin sudah berada di kantin kampusnya. Ia sengaja berangkat pagi-pagi buta karena ia yakin jalanan pasti macet. Beruntung Alvin sudah sampai di kampusnya tiga puluh menit sebelum kuliahnya dimulai.
            Sambil menyantap gado-gadonya, Alvin mengedarkan pandangan pada seluruh penjuru kantin. Kemana keempat sahabatnya itu? Bukannya mereka sama-sama mengambil kuliah pagi pada semester ini?
            “Hay, Vin,” sapa sebuah suara lembut. Alvin menengok ke samping dan mendapati Sivia di sana.
            Alvin tersenyum sekilas lalu menelan gado-gadonya. “Sendirian aja? Pricilla mana?”
            Sivia mengangkat bahunya dengan cuek. “Mungkin terlambat bangun lagi. Atau, kalau nggak, berarti dia––,”
            “Cari aku?” sela sebuah suara. Tiba-tiba saja Pricilla sudah berada di antara mereka. Ia baru saja datang bersama dengan Ray.
            “Ada yang kurang,” gumam Ray. Ia melirik satu-persatu sahabatnya. “Oik?”
            Pricilla meletakkan map yang sedari tadi ia peluk didepan dada. Binar dimatanya mulai meredup. “Oik kemana? Dia... masih marah?”
            Alvin menghembuskan napasnya dengan berat. “Oik sudah putus dengan Gabriel. Kemarin.” Alvin tersenyum kaku ketika menyadari ketiga sahabatnya tengah menahan napas.
            “Tapi dia baik-baik aja, kan?” todong Ray langsung.
            “Nggak tau, Ray,” Alvin menggeleng lemas. Ia menundukkan kepalanya, bermaksud mengecek ponselnya apakah Oik sudah membalas pesan singkatnya atau belum. Tetapi matanya terantuk pada map milik Pricilla. Wajahnya pias.
            “Kenapa, Vin?” tanya Pricilla. Ia menatap Alvin dan mapnya bergantian.
            “Itu map punya kamu?” tanya Alvin tak percaya.
            “Iya,” jawab Pricilla bingung. “Kenapa? Ada yang salah dengan mapku?”
            Rahang Alvin mengeras menatap milik Pricilla. “Bukan map punyamu yang salah. Tapi kamu.” Alvin tersenyum miring. Pantas saja ia merasa mengenal nama itu. Ternyata... “Elizabeth Agatha Pricilla Soekamto.” Alvin mengeja nama Pricilla yang tertera pada map berwarna biru itu dengan penekanan pada nama belakang sang pemilik.
            “Vin...” Sivia memegang lengan Alvin. Ia belum pernah melihat Alvin semarah ini sebelumnya. Ia menatap Pricilla penuh tanya yang hanya dibalas tatapan bingung gadis berbehel itu.
            “Kalian tahu kenapa Gabriel memutuskan Oik?” tanya Alvin.
            “Orangtua Gabriel nggak pernah menyetujui hubungan mereka. Iya, kan?” tanya Ray balik. Insting Ray mulai bekerja. Ia menyadari ada yang tidak beres dalam nada bicara dan ekspresi wajah Alvin.
            “Bukan cuma itu,” balas Alvin singkat. Matanya menatap Pricilla tajam.
            Pricilla bergedik ketakutan ditatap Alvin sebegitu tajamnya. “Apa la––,”
            “Gabriel dijodohkan dengan anak keluarga Soekamto.”
            Hening.
            “Apa?!” Pricilla memekik tertahan. Lelucon dari mana ini?
            Sivia menatap Alvin tajam. Ia tidak suka Alvin bercanda disaat seperti ini. Lagipula, ia tahu betul Pricilla sama sekali tak mengenal Gabriel. Pricilla hanya sebatas tahu bahwa adalah pacar Oik, dulu. Bagaimana bisa Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?
            “Alvin, jangan bercanda,” tegas Sivia.
            Alvin beralih menatap Sivia. “Apa aku kelihatan bercanda?”
            “Kamu tahu dari mana Gabriel dijodohkan dengan Pricilla, Vin?” tanya Ray, menengahi. Ia yakin perang dunia ketiga akan berlangsung diantara ketiga sahabatnya itu jika tak ia tengahi sekarang juga.
            Alvin memandang Pricilla dengan sinis. Bibirnya terbuka, menguntai cerita semalam tanpa ada yang dikurangi dan dilebihkan. Mulai dari surat yang diterima Oik, ajakan Oik untuk mengantarkan gadis itu, pertemuan Oik dengan Gabriel beserta Angel, Gabriel yang memutuskan hubungan secara sepihak, hingga alasan mengapa Gabriel memutuskan Oik.
            “Sudah cukup jelas, Nona Soekamto?” tanya Alvin sinis.
            Pricilla menelan ludahnya lalu menggelengkan kepala dengan lemas. “Aku nggak tahu,” lirihnya. Kemudian ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
            “Bagaimana bisa kamu nggak tahu, Pris?!” bentak Alvin.
            “Alvin!” Sivia menatap Alvin tajam. “Kalau memang Pricilla nggak tahu, mau bagaimana lagi? Sudahlah. Lagipula, kenapa kamu jadi sebegini peduli dengan Oik?”
            Alvin terdiam mendengar kalimat terakhir Sivia. “Aku peduli dengan Oik karena dia sahabatku.”
            “Pricilla juga sahabat kamu, Vin!” seru Sivia sebal.
            “Tapi dalam kondisi ini Oik yang terluka. Bukan Pricilla.” Alvin tak mau kalah.
            “Teman-teman, berhenti..” Ray mengingatkan dengan suara rendahnya.
            “Apa, Ray?” tantang Sivia. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya kembali pada Alvin. “Tapi kamu juga nggak seharusnya menyalahkan Pricilla! Namanya juga perjodohan. Pasti itu kehendak orangtua mereka. Bukan kehendak Gabriel dan Pricilla. Pricilla belum tahu soal ini.”
            “Apa kamu bilang, Siv? Pricilla belum tahu?” Alvin tertawa sumbang. “Bagaimana Pricilla belum tahu, sedangkan Gabriel sudah tahu?”
            “Alvin, Sivia.. Stop!” Ray kembali menengahi.
            Alvin menatap Ray tajam, menyuruh lelaki itu untuk diam saja. “Aku nggak percaya Pricilla sama sekali nggak tahu soal ini.” Alvin mendengus kesal.
            “Aku nggak tahu, Vin. Sama sekali nggak tahu.” Pricilla berujar lirih.
            “Bohong!” seru Alvin.
            “Seminggu ini Mama dan Papa memang selalu ngajak aku keluar untuk makan malam bareng. Karena aku yang memang sibuk sama tugas kuliah, aku selalu nolak. Mungkin itu...” aku Pricilla.
            “Teman-teman...” Ray kembali mengingatkan.
            “Apa, Ray?” tanya Sivia dengan galak. Ia sebal karena Ray terus saja menyuruh mereka untuk berhenti. Padahal ini hal serius. Sepuluh menit lagi kuliah dimulai dan Sivia mau pembicaraan mengenai ini harus selesai secepatnya.
            “Ada Oik...” Ray menengok pada seorang gadis yang tengah berdiri menatap mereka berempat dengan datar. Bibirnya bergetar.
            “Kenapa nggak bilang dari tadi, Ray?” bisik Alvin.
            Ray menatap ketiga sahabatnya dengan menggelengkan kepalanya. “Aku sudah ingatkan dari tadi tapi kalian tetap nggak mau berhenti.”
            “Ik...” Pricilla mendongakkan kepalanya. Menatap Oik dengan pandangan memohon maaf.
            “Jadi gini...?” tanya Oik datar. Gadis itu berusaha menekan luapan emosinya dalam-dalam. Ia tak mau menangis dan marah-marah di tempat umum. Sama sekali tidak sopan.
            “Aku bisa jelasin, Ik.” Pricilla bersuara dengan nada memohon.
            “Apalagi yang perlu dijelasin?” tanya Oik. Suaranya sudah mulai bergetar. “Kalau kamu mau tahu gimana rasanya jadi aku yang diputusin karena pacarku dijodohkan dengan sahabat sendiri.. Rasanya sakit. Banget.”
            Alvin, Ray, Sivia, dan Pricilla dapat melihat Oik yang berusaha mati-matian agar genangan kecil dipelupuk matanya tidak tumpah. Tapi gagal. Tetesan itu mulai turun satu-persatu. Oik cepat-cepat mengusapnya, menghilangkan jejaknya.
            “Lebih sakit lagi karena sahabatku nggak pernah cerita soal perjodohan ini sebelumnya.” Oik terisak. Dengan berlari-lari kecil, ia meninggalkan keempat sahabatnya.
            “Pris, kamu...” Alvin menggelengkan kepalanya tak paham. “Apa susahnya cerita dari awal?” bentaknya. Alvin kemudian berlari menyusul Oik.

**

            “Oik!” Alvin berteriak memanggil Oik yang sudah berlari jauh di depannya.
            Alvin menengok kesana-kemari. Untung saja koridor telah sepi. Itu berarti, ia dan Oik tak perlu jadi tontonan para mahasiswa lainnya karena berlari saling mengejar sambil berteriak-teriak. Alvin menyadari sesuatu. Ia menengok pada jam tangannya. Mata kuliah pertama sudah dimulai lima menit yang lalu. Alvin tak peduli. Sekarang, yang penting, ia harus menenangkan Oik.
            “Oik! Tunggu!” teriak Alvin lagi.
            Alvin melihat Oik yang mulai menurunkan kecepatan berlarinya hingga akhirnya berhenti. Gadis itu terduduk di parkiran mobil, dibawah sebuah pohon trembesi rindang. Oik terduduk dengan melihat lututnya. Ia membenamkan wajahnya pada lututnya.
            “Ik?” panggil Alvin lagi.
            Alvin berjongkok di hadapan Oik. Ia mengusap puncak kepala Oik dengan lembut. “Gimana perasaanmu?” tanyanya.
            Oik bergeming. Tak mengindahkan usaha Alvin untuk menghiburnanya dan menenangkannya. Alvin mendesah putus asa. Lelaki itu mendengar derap langkah yang semakin lama semakin terdengar keras. Ia menengok ke belakang dan mendapati Pricilla telah berada di belakangnya.
            “Mau apa kamu?” tanya Alvin dingin.
            Pricilla tak menggubris pertanyaan Alvin. Ia melewati lelaki itu dan duduk bersila di samping Oik. “Oik?”
            Mendengar suara Pricilla, Oik mendongakkan kepalanya. “Mau apa kamu?”
            “Aku... minta maaf,” Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tak tega menatap ekspresi terluka Oik.
            “Rasanya sakit, Pris,” seru Oik dengan suara bergetar. Ia kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Alvin serta Pricilla dalam keheningan yang membunuh.
            “Oik!” panggil Alvin. Lelaki itu berdiri, bersiap untuk menyusulnya kembali.         
            Oik mengangkat tangan kanannya tanpa menengok ke belakang. “Nggak usah cari aku dulu, Vin.”
            Pricilla segera berdiri dan menghampiri Oik. Gadis itu mencekal lengan Oik, mencegah gadis itu pergi. “Aku minta maaf, Ik. Sungguh.”

            Rahang Oik kembali mengeras. Ia kibaskan lengannya. Dengan sekali sentakan keras, tangan Pricilla telah menyingkir dari lengannya. “Kasih aku waktu untuk sendiri,” ujarnya dingin. Dan tanpa berpamitan pada Alvin dan Pricilla, Oik kembali melangkah pergi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS