Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

LOVE WILL FIND ITS WAY [Side Story of LOVE HURTS]

            Terdengar bunyi-bunyian yang memekakkan telinga dari dalam studio. Sebuah band beraliran heavy rock sedang berlatih di dalam dengan didampingi managernya. Jam dinding telah menunjuk angka sebelas dengan jarum panjangnya dan angka satu dengan jarum pendeknya. Di luar sedang turun hujan, membuat malam itu semakin dingin.
            Bunyi-bunyi berisik berangsur hilang. Studio perlahan menjadi senyap. Keempat anggota band yang sedang naik daun itu beristirahat untuk sementara, sang manager memperhatikan dalam diam. Jadwal latihan mereka memang semakin padat menjelang konser keliling Indonesia yang mereka gelar pada pertengahan bulan nanti.
            Rockability. Itulah mereka. Sebuah band dengan empat lelaki bertampang diatas rata-rata yang tergabung didalamnya. Cakka yang sudah nyaman sebagai vocalist, Gabriel dengan bass, Ozy dengan gitar, dan Ray bersama drum. Dan keempatnya berada dibawah kuasa penuh sang manager, Ashilla–atau yang lebih akrab disapa Shilla.
            Mereka berempat sedang meminum soft drink masing-masing ketika salah satu ponsel yang tergeletak di sudut ruangan meraung-raung pertanda sebuah pesan telah masuk. Kelimanya saling lirik.
            “Biar gue yang cek.” Ray melangkah untuk mengecek keempat ponsel tersebut dan mengambil salah satunya. “Punya lo, Kka.” Ray mengacungkannya pada Cakka lalu melemparkannya.
            Cakka dengan sigap menangkap. “Thanks, Ray!”

From: Oik
Kt ptus

            “Wh–––Are you kidding me?!” Cakka memekik kaget.
            Gabriel menatapnya dengan alis terangkat sebelah. “Got problem, Bro?” tanyanya penasaran. Cakka hanya mengangkat salah satu tangannya dan kembali fokus memelototi layar ponsel.

To: Oik
We’re just fine n u... Why?

            “Kka?” Ozy memanggil Cakka dan tak dihiraukan sedikit pun oleh sang obyek.

From: Oik
Aq bsn sm qm

            Cakka mengacak rambutnya frustasi. Dengan segera, ia mengantongi ponselnya lalu mengambil kunci mobil dan bergegas berlari ke parkiran. Ia sama sekali tak memerdulikan ketiga sahabatnya dan seorang managernya yang berteriak kencang dari dalam studio menanyakan ada apa padanya.
            Ia melajukan mobilnya seperti orang kesetanan ke wilayah Menteng, tempat dimana dorm Diamond –girlband Oik– berada. Hanya dalam waktu sepuluh menit –yang dalam keadaan normal Cakka harus menempuh perjalanan selama setengah jam lebih– ia sudah memarkirkan mobilnya asal-asalan di halaman depan dorm Diamond.
            Cakka turun dari mobilnya. Ia mengangguk sekilas pada seorang satpam paruh baya yang berjaga di pos. Dengan langkah lebar-lebar, Cakka berjalan menuju bangunan utama dorm. Tangannya menggedor pintu dengan keras.

**

            Kelima anggota Diamond sedang berada di kamar Oik di lantai dua ketika suara gedoran pintu yang dapat menulikan telinga itu terdengar. Sivia, yang sedang mengecat kukunya dengan kuteks motif leopard berwarna tosca-putih, berteriak nyaring karena cairan kuteks tersebut luntur hingga keibu jarinya.
            “Siapa, sih, malam-malam begini ngegedor pintu seperti orang kesurupan?!” Ify berkata sewot dari balik laptopnya.
            Acha melirik keempat partnernya dengan curiga, “Elo berempat nggak lagi delivery sesuatu, kan?”
            “Nggak!” Pricilla menggeleng kecil. Kemudian gadis itu kembali larut dalam majalah fashion yang ia baca.
            “Biar gue aja yang buka,” kata Oik.
            Gadis bergigi gingsul itu segera turun dari ranjangnya, mengenakan sandal boneka, dan pasti sudah keluar dari kamar ketika kakinya tidak sengaja mengantuk sebuah kotak berukuran sedang di bawah ranjang.
            Keadaan mendadak sunyi. Sivia berhenti mengoleskan kuteks kekukunya. Ify menutup laptopnya. Acha berhenti mengunyah jeruk. Pricilla meletakkan majalahnya. Oik memandang ngeri kearah boks tersebut.
            Dengan sigap, Sivia kembali mendorong boks tersebut ke bawah ranjang Oik tanpa memperhatikan kuteksnya yang masih basah.
            “Come on, Oik! Elo nggak pingin ngebuat orang kesetanan yang sedang ngetuk pintu itu makin kesetanan lagi, kan, karena elo nggak ngebukain?” Sivia mendorong punggung Oik menuju pintu kamar dan memaksa gadis itu turun.
            Oik mengangguk pelan tanpa melihat ekspresi keempatnya. Perlahan, ia pun turun. Meninggalkan keempat sahabatnya yang –tanpa mereka sadari– sedang menahan napas semenjak kaki Oik tidak sengaja mengantuk boks itu.
            Oik terlebih dahulu mengintip sesosok bayangan hitam yang sedang menggedor pintu dormnya itu melalui kaca jendela. Sialnya, lampu depan sudah padam semua dan Oik hanya bisa melihat siluet itu. Siluet laki-laki.
            Oik membuka pintu. Ia tersentak kaget begitu mendapati Cakka tengah berdiri di hadapannya dengan wajah merah padam. Oik segera menutup kembali pintunya. Wajahnya pucat pasi. Tapi sayangnya, tangan kokoh Cakka berhasil mencegah Oik melakukannya.
            “Buka, Oik!” suara Cakka terdengar frustasi di luar sana.
            “Nggak! Kamu ngapain malam-malam begini ke dorm?” Oik menyahut dari dalam.
            “Arrrggghh!!” Cakka mendorong pintu dorm Oik hingga membuat gadis mungil itu agak mundur. “For God’s sake, Oik! Buka pintunya! Kita perlu bicara.”
            Oik menggeleng dengan peluh yang sudah menetes dari dahinya. “Nggak mau. Sebaiknya kamu pulang aja.”
            “Please, Oik...” Cakka berkata pelan. “Sekali ini aja. Setelah itu, aku nggak akan ganggu kamu lagi.”
            “Janji?” tanya Oik dengan suara bergetar.
            Cakka memejamkan matanya. Mengapa suara Oik terdengar bergetar? Cakka memijat keningnya membayangkan ia akan menghabiskan sisa umurnya tanpa bayangan Oik. “IYA! OKE!” Cakka menggeram.
            Perlahan, Cakka merasakan pintu yang ia dorong tak lagi ditahan dari dalam. Pintu terbuka sedikit demi sedikit. Cakka dapat melihat wajah Oik yang pucat pasi dari balik daun pintu. Dengan tak sabar, Cakka mendorong pintu tersebut supaya terbuka lebar. Oik beringsut masuk ke dalam dorm.
            “Why were you doing this to me?” tanya Cakka dengan suara memohon.
            “Doing what?” tanya Oik balik dengan terbata-bata.
            “Look at me, Oik!” Cakka mengangkat dagu Oik agar pandangan mereka bertemu. “Kenapa, Ik?” tanya Cakka lagi, terdengar seperti suara orang kesakitan.
            Oik kembali melarikan pandangannya ke samping. “Ak––Gue bosen sama lo.”
            Cakka jatuh terduduk dikaki Oik. Menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Setetes air mata Oik jatuh ketika melihat lelaki itu begitu tersiksa karenanya. Cepat-cepat ia hapus air mata itu sebelum Cakka melihatnya.
            Cakka mendongak menatap Oik, “Can you think about it again? I’ll wait for it. ‘Til the end of time. Just... don’t leave me. Please.” Cakka memohon.
            Oik menggeleng, tetap pada keputusannya. “Ini udah malam, Kka. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Sukses buat konser keliling Indonesia Rockability.”
            Cakka menggeleng lesu. Oik sudah menutup pintunya keras-keras. Satu yang Cakka tak tahu, Oik juga terduduk di balik pintu. Ia tak tahu gadis itu juga sama tersiksanya dengan dirinya.
            “Ik, buka...” lirih Cakka.
            “Pulang, Kka!” bentak Oik.
            “Nggak.” Cakka menggeleng frustasi.
            “Pak satpam! Suruh dia pulang!” Oik berteriak dari dalam.
            Oik bangkit. Ia berjalan tertatih-tatih menuju kamarnya. Ia menyeret kakinya, memaksanya menaiki tangga. Telinganya mendengar Cakka dan satpamnya yang tengah berdebat diluar. Oik semakin lemas saja.
            Begitu sampai di kamarnya, Oik langsung menjatuhkan dirinya diatas ranjang. Sivia, Ify, Pricilla, dan Acha saling pandang.
            “Tadi siapa, Ik, yang datang?” tanya Acha seraya mengusap punggung Oik dengan lembut.
            “Ca...kka...”
            Keempatnya terpekik. Sivia melongokkan kepalanya ke bawah sana melalui jendela. Mobil Cakka meninggalkan pelataran dorm. Ia mengantar kepergian Cakka dengan alis terangkat sebelah. Sivia melirik kearah ranjang Oik. Ify, Pricilla, dan Acha tengah memeluk Oik bersamaan. Sivia menatap Oik kasihan.
            “Be strong, Oik.”

**

            Keesokan paginya, Diamond bertolak menuju kantor management mereka. Mereka sampai disana sekitar pukul sepuluh pagi. Lobby kantor terlihat ramai oleh penyanyi yang diorbitkan oleh TS-Entertainment. Kelima member Diamond segera menuju hall untuk menemui manager mereka–Zahra.
            “Mbak Zahra!” sapa Pricilla ketika kelimanya baru saja memasuki hall.
            “Hey!” Zahra menengok kearah mereka berlima, menyuruh mereka untuk menghampirinya. “Sudah lama datengnya?”
            “Belum, Mbak.” Acha menjawab dengan tersenyum lebar.
            Zahra menengok pada Oik, menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan artisnya itu. “Mata kamu sembab, Ik?”
            Oik terperangah kaget mengetahui Zahra menyadari matanya yang supersembab. Ia kemudian menggeleng lemas. “Nggak apa-apa, Mbak. Kurang tidur aja.”
            Baru saja Zahra akan kembali bertanya macam-macam pada Oik, Sivia sudah mendahuluinya. Ia tak mau Oik gelagapan menjawab pertanyaan manager mereka. “Itu siapa, Mbak?” tanya Sivia, melirik seorang lelaki di samping Zahra.
            Oik melirik Sivia. Ia tersenyum kikuk pada Sivia. Sivia hanya mengacungkan jempolnya tak kentara. Oik menghela napasnya. Bagaimanapun juga, Oik masih agak kikuk jika berbicara dengan gadis itu. Apalagi kalau bukan karena kejadian itu?
            “Oh, iya!” Zahra seakan baru mengingat bahwa ada seseorang di sampingnya. “Ini Alvin. Penyanyi baru orbitan TS-Entertainment.”
            Alvin tersenyum pada kelima member Diamond. Kelimanya pun mulai menyalami Alvin.
            “Penyanyi solo, member boyband, apa personel band?” tanya Pricilla.
            “Kebetulan penyanyi solo.” Alvin menjawab dengan disertai senyum manisnya. Kelima member Diamond mengangguk mengerti.
            “Oik!!!” Oik mendengar suara bass yang cukup ia kenali tengah mamanggil namanya. Oik menengok ke samping dan menemukan salah satu staf TS-Entertainment telah berada di sampingnya.
            “Kenapa, Biet?” tanya Oik pada lelaki itu–Obiet.
            “Kenapa lo nggak cerita ke kita, sih, Darling?” Obiet menatap Oik dengan mata sayunya. Ia sudah menganggap Oik sebagai adiknya sendiri.
            “Cerita apa?” tanya Oik balik.
            Obiet menghela napasnya. “Gue barusan lihat acara gossip di TV. Managernya Rockability, tuh... siapa?”
            “Shilla!” jawab Sivia cepat. Ia melirik Oik dengan pandangan meminta maaf. “Kenapa sama Shilla, Bang?”
            “Shilla bikin pernyataan kalau Cakka lagi frustasi, depresi, dan semacamnya. Gara-gara elo, Darling.” Obiet menatap Oik dalam-dalam. “Lo putus sama Cakka?”
            Oik memejamkan matanya. Ia sadar berita ini akan cepat menyebar. Tetapi ia tak mengira kalau akan secepat ini media mengendus hubungannya dan Cakka yang telah berakhir. Padahal baru semalam ia dan Cakka resmi putus.
            “Kamu putus, Ik? Itu yang bikin mata kamu sembab begini?” tanya Zahra was-was.
            Oik tersenyum jengah. “Padahal baru semalam gue dan Cakka putus.”
            Sivia bergerak mendekati Oik. Ia semakin merasa bersalah pada gadis itu. Sivia merangkul Oik. Oik berdiri diam dalam rangkulannya. Suasana mendadak senyap karena pernyataan singkat Oik barusan.
            “Oik?” Alvin memanggil gadis itu. “Maaf sebelumnya. Mau minum hot chocolate bareng? Banyak orang bilang kalau coklat bisa menimbulkan efek tenang.”
            Oik mengangguk kikuk. Ia melepaskan diri dari rangkulan Sivia dan berjalan bersama Alvin menuju coffee shop yang terletak di lobby kantor management mereka. Keempat member Diamond lainnya beserta Zahra dan Obiet menatap kepergian Oik dengan lesu.
            “Gue makin merasa bersalah sama Oik,” ujar Sivia lirih.

**

            Sore itu Oik beserta Ify tengah menandatangani beratus-ratus lembar foto Diamond yang akan dijadikan souvenir dalam peluncuran album terbaru mereka besok. Acha, Pricilla, dan Sivia sudah membubuhkan tandatangan mereka dalam foto-foto itu. Hanya Oik dan Ify yang belum.
            “Acha, Sivia, sama Pricilla kemana, Fy?” tanya Oik.
            Ify menggeleng tak tahu. “Sivia, sih, tadi lagi keluar. Nggak tahu kalau Acha sama Prissy. Lagi molor, kali. Itu anak dua, kan, pada kebo semua.” Oik tertawa.
            Ditengah-tengah kegiatan mereka membubuhkan tandatangan, terdengar keributan kecil dari luar dorm. Keduanya mendengar jelas keributan kecil antara dua gadis tersebut karena Oik dan Ify sedang berada di ruang tamu. Sepertinya keributan kecil itu berlangsung di teras dorm mereka.
            “Siapa?” tanya Oik bingung.
            “Nggak tahu. Biar gue aja yang cek.” Ify memberikan isyarat agar Oik tetap duduk saja.
            Ify bangkit dari duduknya. Baru saja ia akan membuka pintu, pintu sudah terlebih dahulu dibuka dari luar. Tubuh Sivia menyeruak masuk. Dengan cepat, Sivia kembali menutup pintu dorm. Ify menatapnya curiga.
            “Oik––,” Sivia membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali. Ia bingung akan berbicara apa.
            “Apa, Siv?” tanya Oik dengan alis terangkat sebelah.
            Ify berusaha mendorong tubuh Sivia agar menyingkir dari pintu. Ify ingin sekali melihat siapakah yang kini tengah berada di teras dorm. “Itu siapa, sih, Siv?”
            Sivia makin gelagapan saja. Melihat Sivia yang tengah bingung dengan pikirannya sendiri, Ify segera mendorong tubuh gadis itu dengan sekuat tenaga agar menyingkir dari pintu. Ify segera membuka pintu dorm dan melihat seorang gadis yang tengah berdiri di teras dorm dengan wajah merah padam.
            Ify terkesiap begitu menyadari siapa gadis itu. Ify pun kembali menutup pintu dan berbisik pada Sivia. “Kenapa orang itu bisa ada di sini, Siv? Lo hutang penjelasan sama gue.”
            “Ada siapa, Fy, di luar?” tanya Oik penasaran.
            “Nggak tahu. Nggak kelihatan. Sivia, nih, nggak mau minggir, gue jadi nggak bisa ngebuka pintunya.” Ify pun melangkah meninggalkan Oik dan Sivia.
            “Fy! Mau ke mana?” tanya Oik lagi.
            “Ke dapur!” jawab Ify cepat. “Haus gue. Lo mau gue ambilin minum juga?”
            “Nggak usah, deh.” Oik membalas dengan berteriak.
            “Ik..” panggil Sivia pelan. “Ada yang mau ketemu sama lo.” Sivia menggigit bibirnya gugup ketika melihat ekspresi penasaran yang memancar jelas dari wajah Oik.
            “Siapa?” tanya Oik penasaran. “DiAddict? Atau OikLovers?”
            “Sepupu gue,” jawab Sivia takut-takut.
            Oik berdiri ketika Sivia mulai membuka pintu dorm. Seorang gadis masuk kemudian berdiri di hadapan Oik. Gadis itu berwajah merah padam karena marah. Ia menggenggam beberapa lembar foto yang sudah lecek karena ia genggam terlalu keras.
            “Hay, Oik..” sapanya sinis.
            “Shilla?” suara Oik terdengar bergetar karena takut. Oik pun beralih pada Sivia. Rupanya gadis itu tengah menatapnya dengan pandangan meminta maaf. “Kenapa bisa ada dia di sini, Siv? Mana sepupu lo?”
            “Gue sepupunya Sivia,” ujar Shilla dengan senyum sinisnya.
            “Lo nyari Cakka, Shil? Cakka nggak di sini, kok.” Oik menatap Shilla dengan gemetar.
            “Gue nggak nyari Cakka,” Shilla berkata perlahan seraya berjalan semakin dekat kearah Oik. Wajahnya mendadak berubah sengit. Ia melemparkan lembaran foto yang ia genggam tadi tepat kearah wajah Oik. “Lihat foto itu!” teriaknya bengis.
            Oik terkesiap kaget mendapat perlakuan seperti itu dari Shilla. Ia beringsut mengambil beberapa lembar foto yang terjatuh dilantai. Oik memperhatikan keempat foto itu dengan seksama.
            “Gara-gara foto itu semuanya jadi kacau, Oik!” suara Shilla mulai terdengar berbahaya.
            “Kacau...?” Oik bergumam tak mengerti.
            “Gara-gara empat foto itu RockaFriends, terutama C~LUVers, pada ngamuk di twitter! Gara-gara foto itu! Gara-gara elo!” teriak Shilla sebal.
            Oik kembali memperhatikan empat foto tersebut. Keempatnya menunjukkan gambar dirinya dan Cakka. Cakka tengah mencium pipinya dengan latar belakang Menara Petronas, Kuala Lumpur. Oik ingat betul bahwa foto itu diambil seminggu yang lalu ketika ia dan Cakka menghabiskan waktu berdua di Malaysia.
            “Gimana bisa foto-foto ini ada di twitter?” tanya Oik tak mengerti.
            “Bukan Oik yang upload foto itu di twitter, Shil!” ujar Sivia.
            Shilla menatap Sivia tajam kemudian menatap Oik dengan pandangan membunuh. “Iya, gue tahu. Cakka yang upload foto itu––,”
            “Terus kenapa elo nyalahin gue?!” teriak Oik balik dengan suara bergetar antara marah dan ingin menangis karena gadis di hadapannya itu dari dulu tak pernah menyetujui hubungannya dengan Cakka.
            “Terus gue harus nyalahin siapa? Cakka?” tanya Shilla dengan senyum meremehkan.
            “Cakka yang upload foto itu. Bukan gue. Jangan salahin gue!” teriak Oik lagi.
            Shilla menatap Oik tak suka. “Lo berani sama gue?” tanya Shilla tak suka. Tangannya melayang akan menampar Oik. Tapi sayangnya, Sivia sudah menahannya terlebih dahulu.
            “Mending lo balik aja, Shil. Lo emang sepupu gue, tapi bukan berarti gue ngedukung apapun yang lo lakuin.” Sivia menatap Shilla dingin kemudian mendorong gadis itu agar cepat-cepat angkat kaki dari dorm Diamond.
            Selepas kepergian Shilla, Oik terduduk lemas pada sofa ruang tamu dorm Diamond. Oik terisak. Sivia bergerak untuk memeluk Oik tetapi ditepis olehnya. Sivia hanya mampu menatap Oik sedih. Ify, Pricilla, dan Acha datang tak lama kemudian. Oik sama sekali tak menolak ketika ketiganya memeluknya.

**

            “Jadi gitu ceritanya,” ujar Oik, mengakhiri ceritanya.
            Alvin mengangguk mengerti. “Jadi, Sivia itu sepupunya Shilla?” ulang Alvin.
            “Iya. Dan gue masih kikuk aja kalau ngomong sama Sivia. Masih kebayang-bayang gimana waktu itu dia ngebawa Shilla ke dorm Diamond aja.” Oik tersenyum tipis. “Eh, maaf, ya. Kita baru aja kenal tapi gue udah cerita nggak penting gini ke elo.”
            “Nggak apa-apa, kali.” Alvin tersenyum maklum. “Daripada elo pendem semuanya sendirian dan akhirnya jadi gila. Iya, kan?”
            Oik tertawa kecil. “Makasih banget, Vin.”
            “Lo nggak ada niatan untuk perbaikin hubungan lo sama Sivia? Takutnya ntar malah kecium media dan bakalan ada gossip nggak jelas.”
            “Asal Sivia nggak pernah bawa Shilla ke hadepan gue lagi, sih..” Oik mengerling.

**

            Hari itu, Oik kembali menjadi bintang tamu dalam acara Hitam Putih. Bedanya, kali ini ia tidak datang bersama Diamond, namun bersama Cakka. Keduanya duduk berdampingan sementara sang host –Dedy– menatap keduanya iri.
            “Jadi, kalian kapan resmi balikan?” tanya Dedy sembari menatap Cakka dan Oik bergantian.
            “Resminya tiga bulan lalu, Om,” Oik menjawab dengan tersenyum malu-malu sehingga membuat Cakka tertawa dan menariknya kedalam pelukan lelaki itu.
            “Terus sekarang udah main tunangan aja?!” tanya Dedy kaget.
            Cakka tertawa. “Kan, aslinya kita berdua udah dari lama, Om. Cuman sempet putus aja beberapa bulan lalu. Jadinya waktu kita balikan, ya, langsung dibawa kejenjang yang lebih serius aja.”
            “Kalian berdua waktu itu putusnya kenapa, sih? Waktu itu Oik juga sempet pacaran sama Alvin, kan? Ya, meskipun sebentar doang.” Dedy kembali berceloteh.
            “Nggak, Om. Aku sama Alvin nggak pacaran, kok. Kita berdua sahabat deket. Deket banget. Sampai sekarang masih sahabatan, kok. Isu yang bilang Alvin pernah nembak Oik juga nggak bener.” Oik kembali teringat isu bahwa ia dan Alvin pacaran kemudian tertawa bingung.
            “Bukannya waktu itu temen-temen kamu dari Diamond sendiri yang bilang kalau kamu sama Alvin pacaran?” tuntut Dedy.
            “Nggak!” Oik menggeleng keras. “Bercandaan doang itu, Om. Sekarang juga Alvin udah punya cewek, kali. Jangan sebut-sebut Alvin pacarku, dong. Lagian Om Dedy nggak bisa diajak bercandaan amat. Udah tua, sih.” Studio pun kembali riuh oleh tawa penonton.
            Dedy memandang Oik keki karena telah mengatainya sudah tua. “Putus, putus. Kalian putusnya kenapa waktu itu?”
            Cakka dan Oik berpandangan penuh arti. “Itu biar jadi rahasia kita berdua aja, Om,” jawab Cakka.
            Dedy menatap kamera lalu memasang wajah jengkelnya. “Begini ini bintang tamu minta diusir. Ditanyain malah sok main rahasia-rahasiaan.”
            “Om, nggak nanya kita nikahnya kapan?” tanya Oik dengan wajah polosnya.
            “Iya, iya! Kapan kalian berdua nikah?” tanya Dedy balik dengan terlampau bersemangat.
            “Tahun depan, Om!” jawab Cakka dan Oik berbarengan yang memancing gelak tawa penonton seisi studio.


THE END

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SEKEDAR CERITA [06]

            Matahari baru saja tenggelam diufuk barat dan Alvin masih tetap setia duduk diatas motornya di pelataran tempat kos Oik. Matanya menatap jendela kamar Oik. Sudah sejam lebih ia memandang jendela tersebut dan ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa Oik ada di dalam.
            “Mas, cari siapa?” tanya sebuah suara dari belakangnya.
            Alvin cepat-cepat menengok ke belakang dan mendapati seorang gadis mungil berkulit sawo matang tengah menatapnya curiga. “Oiknya ada?” tanya Alvin balik.
            “Ada,” jawab gadis itu dengan alis berkerut. “Mas ini siapa?”
            Alvin segera turun dari motornya dan mengulurkan tangannya pada gadis itu. “Aku Alvin. Teman kuliah Oik. Kamu teman kos Oik?”
            Gadis itu mengangguk sambil menerima ulura tangan Alvin. Keduanya berjabat tangan untuk beberapa detik. “Aku Osa. Mari, Mas..” Osa memberi kode pada Alvin untuk mengikutinya berjalan menuju teras.
            “Sa, Oiknya ada?” tanya Alvin lagi.
            Osa duduk pada sebuah kursi kayu di teras kosnya. “Ada, Mas. Tadi sekitar jam sembilan Oik udah pulang kuliah. Tapi keadaannya berantakan.”
            Alvin –yang telah duduk di hadapan Osa– menghela napasnya dengan lesu. “Dia belum keluar kamar dari pagi tadi?”
            “Belum, Mas,” Osa menggeleng kecil. “Dia tadi pagi belum sarapan juga sebelum berangkat kuliah. Mungkin tadi siang dia juga nggak makan. Kan, Oik nggak keluar kamar sama sekali. Ibu kos tadi juga tanya tapi nggak saya jawab, saya nggak tahu.”
            Alvin bangkit dari duduknya. “Kamu coba bujuk Oik keluar kamar, ya. Aku minta tolong. Aku keluar dulu, carikan makan buat Oik.”
            Osa mengangguk patuh dan Alvin pun melangkah meninggalkannya. Setelah melihat Alvin yang berlalu menggunakan motornya, Osa pun berdiri hendak menuju kamar Oik. Pintu kamar Oik masih tertutup rapat.
            “Oik, kamu kenapa lagi?” gumamnya sedih.
            Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu kamar Oik. Sudah hampir lima menit ia mengetuk pintu kamar Oik tapi tak ada jawaban dari dalam. “Oik! Buka pintunya, dong. Aku tahu kamu di dalam.”
            Osa berhenti mengetuk pintu kamar Oik setelah menyadari jemarinya telah memerah karena mengetuk daun pintu di hadapannya. “Ik, buka pintunya. Aku nggak bisa ketuk pintu kamu lagi, tanganku udah merah-merah karena ketuk pintu kamu terus dari tadi.”
            Osa mendengar bunyi benda jatuh dari dalam, disusul dengan suara saklar lampu yang ditekan. Ia dapat melihat cahaya lampu berpendar dari celah-celah pintu kamar Oik. Benar. Oik ada di dalam.
            “Ik, buka, dong. Tadi ada temanmu kesini. Namanya Alvin. Kamu kenapa, Ik?”
            Pintu mendadak dibuka dari dalam. Muncul Oik dengan rambut berantakan dan mata yang berair serta memerah. “Alvin kesini, Sa?” tanyanya dengan suara serak.
            “Iya.” Osa mengangguk. “Ayo, cuci muka dulu.”
            Osa menuntun Oik menuju kamar mandi yang terletak di bagian belakang rumah kos tersebut. Oik membasuh wajahnya dengan air, merapikan penampilannya, lalu keluar dari kamar mandi. Rupanya Osa masih menungguinya.
            “Alvin sekarang mana, Sa?” tanya Oik lagi.
            “Udah ada di dalam kamarmu. Barusan dia sampai waktu kamu di dalam. Aku suruh masuk ke kamarmu tadi.”
            Keduanya pun berjalan menuju bangunan utama rumah kos tersebut. Osa berhenti di depan pintu kamarnya dan segera masuk, meninggalkan Oik yang berjalan menuju kamarnya seorang diri. Ia melihat pintu kamarnya terbuka.
            “Vin?” sapa Oik pada seorang lelaki yang tengah duduk diatas ranjangnya.
            “Sini, Ik..” Alvin menepuk-nepuk tempat di sampingnya, menyuruh agar Oik duduk di situ. Oik melangkah dan duduk di sebelah Alvin.
            “Kamu kenapa kesini?” tanya Oik sambil menatap Alvin bingung.
            “Aku khawatir sama kamu.” Alvin menyerahkan sebuah kantung plastik berwarna hitam pada Oik. “Ini nasi padang kesukaan kamu. Kamu makan dulu, ya.”
            Oik mengangguk. Ia membuka bungkusan makanan tersebut dan mulai melahapnya. Ia melirik Alvin yang tengah berdiri menatap seluruh penjuru kamarnya. Tak ia hiraukan lelaki itu yang mulai berceloteh mengenai betapa berantakannya kamarnya.
            “Kamu makan aja, biar aku yang bereskan kamarmu.”
            Alvin mulai dengan mengumpulkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan dilantai kamar Oik. “Aku tadi udah ngomong dengan Pricilla. Dia bilang dia sama sekali nggak tahu soal perjodohannya dengan Gabriel.”
            Oik menelan nasi padangnya. “Iya. Jangan salahkan Pricilla seperti tadi lagi, Vin. Aku sadar perjodohan itu sepenuhnya orangtua mereka yang ngatur, bukan Gabriel dan Pricilla sendiri.”
            Alvin tersenyum. Ia membuang seluruh bungkus makanan ditangannya pada sebuah tong sampah di sudut kamar Oik. “Pricilla juga minta maaf soal ini. Dia masih belum berani bilang ke kamu langsung, takut kamu histeris, katanya.”
            “Sampaikan ke dia kalau aku juga minta maaf.” Oik tersenyum tipis, pandangannya menerawang.
            Alvin menepuk bahu Oik sambil terkekeh. “Jangan ngelamun terus, Oik. Ayo, lanjutkan makannya!” perintahnya.
            Oik pun kembali melahap makanannya, sedangkan Alvin kembali merapikan kamar Oik. Lelaki itu kini tengah merapikan meja belajar Oik yang dipenuhi buku-buku dalam keadaan berantakan.
            “Kamu ngobrol apalagi sama Pricilla, Vin?” tanya Oik penasaran.
            Alvin menghentikan aktivitasnya. “Tadi Pricilla langsung telepon Mamanya...”
            “Iya. Terus?” tanya Oik gemas. Pasalnya Alvin tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Instingnya mengatakan Alvin akan mengatakan sesuatu yang akan membuatnya sakit hati lagi.
            “Beliau bilang pertunangan Gabriel dan Pricilla akan dilaksanakan secepatnya. Mungkin bulan depan.” Alvin membalikkan badannya, melihat reaksi Oik.
            Oik telah selesai melahap nasi padangnya. Ia kemudian membuang bungkus makanannya pada tong sampah dan kembali duduk diatas ranjang. “Aku udah coba merelakan Gabriel buat Pricilla tapi itu bukan berarti aku sanggup datang ke acara pertunangan mereka.”
            Alvin tersenyum tipis. Dalam sekejap Alvin sudah berada dalam pelukannya. Alvin mengelus puncak kepala gadis itu dengan sayang. “Kamu kuat, Ik. Kamu bener-bener kuat. Dan kamu memang harus kuat.”
            “Rasanya lega, Vin. Aku memang belum merelakan mereka sepenuhnya tapi, paling nggak, aku udah merelakan keputusan Gabriel untuk putus. Itu pun rasanya udah lega banget. Seperti ada beban yang diangkat.”
            Alvin melepaskan pelukannya, membiarkan Oik kembali bernapas setelah sebelumnya –ia yakin– gadis itu sulit bernapas karena dekapan eratnya. “You’re fine, aren’t you?”
            “Aku baik-baik aja,” ujar Oik seraya tersenyum ragu-ragu. “No. I’m not fine at all.”
            Alvin sudah berancang-ancang akan kembali memeluknya jika saja Oik tidak menahannya. “Stop, Vin. Berhenti peluk aku. Aku susah napas!” serunya lalu terkekeh pelan.
            Alvin ikut tertawa karena Oik sudah bisa tertawa kembali. Lelaki itu kembali mengusap puncak kepala Oik. Dan Oik, senang sekali diperlakukan begitu oleh Alvin. Entah mengapa, Oik senang jika ada yang mau mengelus puncak kepalanya. Itu seperti mengalirkan energy tersendiri padanya.
            “Vin,” panggil Oik, suaranya mulai terdengar serius. “Jangan salahkan Pricilla seperti tadi, ya. Aku nggak mau para sahabatku jadi musuhan cuma gara-gara aku.”
            Alvin mengangguk mantap. “Aku janji aku nggak akan menyalahkan Pricilla seperti tadi. Kamu bisa pegang janjiku, Oik.”
            Oik bergerak-gerak gelisah di tempatnya. Ia sudah memikirkan hal ini dari tadi pagi tapi ia tak punya cukup keberanian untuk menanyakannya langsung pada Alvin. Ia takut hal ini benar adanya.
            “Kenapa, Ik? Mau ngomong sesuatu?” tanya Alvin. Oik menggeram, Alvin terlampau mengenal dirinya.
            “Aku mau tanya sesuatu..” Oik melirik Alvin takut-takut. Melihat Alvin yang mengangkat sebelah alisnya –mempersilahkannya untuk melanjutkan perkataan–, Oik pun kembali berujar. “Kenapa reaksi kami sebegitu marahnya begitu tahu Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?”
            Alvin terdiam di tempat. Tak menyangka pertanyaan macam itu terlontar dari bibir mungil Oik. Alvin segera mengalihkan pandangannya dari Oik. “Aku...”
            “Selama ini kamu anggep aku apa, Vin? Cuma sahabat, kan? Nggak lebih, kan? Ataupun kalau lebih, kamu anggap aku sebagai adik kamu. Iya, kan?” cecar Oik. Rupanya gadis itu telah menemukan keberaniannya untuk mengemukakan hal yang berkecamuk dihatinya.
            “Aku...” Alvin tidak menemukan kata-kata yang pas untuk mengatakannya pada Oik.
            “Kamu nggak menyimpan rasa buat aku, kan?” tanya Oik. Kali ini tepat menohok ulu hati Alvin.
            “Aku anggap kamu adik,” ujar Alvin dalam satu helaan napas. Rasa nyeri langsung menyergap hatinya.
            “Untung aja perkiraanku sejak tadi pagi salah.” Oik tersenyum senang dan segera menghambur dalam pelukan Alvin. “Aku nggak ngebayangin gimana jadinya kalau kamu nyimpen rasa buat aku, Vin.”
            “Iya.” Alvin mengangguk dengan berat hati. “Lagipula, kita berdua beda. Sama seperti kamu dan Gabriel. Nggak akan pernah jadi satu.”
            “Iya!” Oik mengangguk dengan bersemangat. “Pasti reaksi Oma kamu sama seperti reaksi kedua orangtua Gabriel jika tahu kita berpacaran. Sama sekali nggak lucu.” Oik tertawa geli.
            Alvin benci perbedaan. Alvin benci ada sekat pembeda yang menghampar abstrak tetapi tak tertembus antara dia dan Oik. Alvin benci perbedaan karena hal itulah yang memaksanya untuk berbohong pada Oik. Alvin benci perbedaan karena perbedaan itu membuat Alvin mengingkari perasaannya sendiri selama ini. Sungguh, Alvin ingin menghapus perbedaannya dengan Oik jika ia bisa.
            “Iya, aku cuman nganggap kamu sebagai adik. Nggak lebih.” Alvin bergumam seraya memeluk Oik. Ia menujukan gumaman tersebut lebih kepada dirinya sendiri, bukan kepada Oik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [07]

            Pagi itu, Oik sudah siap dengan blouse biru muda dan celana jeansnya. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam shoulder bag berwarna senada, Oik melangkah keluar dari apartemennya. Ray dan Gabriel sudah menunggu di apartemen mereka.
            Setelah memastikan ruang apartemennya terkunci, Oik bergegas menuju apartemen Ray dan Gabriel. Setelah mengetuk pintu beberapa kali, Ray muncul dengan kemeja kotak-kotaknya. Lelaki berambut cepak itu pun segera memanggil Gabriel. Ketiganya melangkah menuju basement dengan beriringan.
            “Lo mau jenguk siapa, Ik?” tanya Ray dengan alis bertaut bingung. Semalam Oik sudah mengiriminya sebuah pesan singkat berisi alamat tujuan mereka saat ini.
            “Saudara, Ray. Lo kaget?” tanya Oik balik.
            Ray menggeleng seraya mengangkat bahunya. “Nggak juga. Gue pernah kesana sebelumnya. Lo harus tahu, Ik.. Salah satu dokter disana ada yang cantik banget!” seru Ray dengan semangat.
            “Serius lo?” Oik tertawa. Matanya melirik Gabriel yang berjalan di sebelah kanannya –sementara Ray di sebelah kirinya–. “Lo kok, diem aja?”
            Gabriel terkesiap. Ia menatap Oik dari ekor matanya dan segera menunduk, menghalangi bertatap mata langsung dengan gadis itu. “Nggak. Nggak apa-apa. Cuman... ngantuk aja.”
            Ketiganya telah sampai di samping mobil Oik. Oik segera mengambil kunci mobil dari dalam tasnya dan melemparkannya pada Ray. “Lo aja yang nyetir. Gabriel masih ngantuk.”
            Setelah melihat Ray mengangguk dan membuka kunci mobilnya, Oik segera masuk ke dalam mobil. Ia duduk di bangku belakang, membiarkan Gabriel untuk duduk di depan menemani Ray. Tak lama kemudian, Ray sudah mengendarai mobil Oik menuju sebuah tempat. Gabriel bergerak-gerak gelisah di tempatnya.

**

            Alvin baru saja kembali dari dapur untuk membuat kopi ketika ia melihat ponselnya yang tergeletak diatas sofa ruang tengah bergetar. Ia segera meletakkan secangkir kopinya diatas meja dan beralih pada ponselnya. Ada sebuah pesan singkat masuk.

     From: Honeyy
     Maaf, vin. Aq gk bs skrg.
     Mnddk dimintain tlg bwt gntiin dkter yg jaga pg.
     Gnti ntar mlm aj ya? :-)

            Alvin menghela napasnya, kecewa. Ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya sedetail mungkin dan gadis itu membatalkannya begitu saja. Dengan perasaan yang berangsur memburuk, Alvin membalas pesan singkat tersebut.

     To: Honeyy
     Ok. Nnti mlm km lsg ke tmpt jnjian qt aj ya.
     Aq tkt oik tw kl km ke apartmnku dl.

            Alvin melirik sebuah kotak beludru yang tergeletak diatas meja–di samping kopinya. Ia mengambilnya lalu membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian murni menyilaukan mata Alvin. Namanya terukir dalam cincin tersebut.
            Alvin menatap tangan kirinya. Sebuah cincin tersemat dijari manisnya. Sebuah cincin yang sama persis dengan cincin dalam kotak beludru tersebut. Hanya satu perbedaannya. Dalam cincin yang dipakai Alvin, nama yang terukir adalah... nama gadis itu. Alvin tersenyum menatapnya.

**

            Cakka terlambat bangun pagi ini. Ini semua gara-gara Bundanya yang tak kunjung pulang dari Solo bersama Ayahnya. Cakka berjalan menuju kamar Agni sambil merapikan kemejanya. Dasi tak berbentuk tergantung dilehernya.
            “Mbak Agni!” panggil Cakka. Tangannya bergerak membuka pintu kamar Agni.
            Cakka terdiam diambang pintu kamar Agni. Kakaknya itu berdiri mematung di hadapan meja yang berisikan berbingkai-bingkai foto. Fokus matanya tertuju pada satu bingkai. Bingkai foto dengan sosok dua orang bocah kecil yang masing-masing menggenggam sebuah lollipop dan tersenyum pada kamera.
            Cakka berjalan pelan menghampiri Agni. “Mbak..” Cakka menepuk bahu Agni dari belakang.
            Agni terkesiap kaget. Ia menengok ke belakang dan memijit keningnya begitu mengetahui Cakkalah tersangka utama yang membuatnya terkesiap. “Apa, Kka?” tanyanya dengan nada lelah.
            “Dasi..” lirih Cakka. Ia melirik dasi yang tergantung sembarangan dilehernya.
            Agni tersenyum tipis dan maju selangkah, tangannya mulai merapikan dasi Cakka. Membentuk simpul-simpul –yang menurut Cakka– rumit. Beginilah keseharian Cakka bila tak ada Bundanya. Ia belum bisa memasang dasinya sendiri.
            “Kangen Mas Debo, Mbak?” tanya Cakka. Matanya menatap tajam mata Agni yang seperti menghindarinya.
            Agni menggeleng kecil. “Sudah sarapan?”
            “Mbak, nggak perlu mengalihkan topik pembicaraan.” Cakka mulai menatap Agni lembut. Kedua tangannya ia letakkan dibahu Agni. “Mbak Agni, kangen Mas Debo?”
            “Iya,” jawab Agni singkat. “Selalu.”
            Cakka menghembuskan napasnya berat. “Mbak Agni masih nggak bisa terima kematian Mas Debo? Udah hampir dua puluh tahun, Mbak.”
            “Debo nggak mati, Kka.” Agni mengangkat wajahnya dari dasi Cakka. Ia menatap Cakka tajam. Nada bicaranya mendadak dingin begitu Cakka menyinggung soal kematian Debo enam belas tahun silam.
            “Terima kenyataan, Mbak! Mbak Agni nggak bisa hidup dalam masa lalu terus. Hidup ada untuk dijalani, Mbak.” Cakka benci melihat kakaknya rapuh. Cakka benci melihat Agni yang seolah ikut mati jika seseorang membicarakan kematian Debo.
            “Mbak masih dendam... dengan gadis kecil itu?” tanya Cakka ragu.
            “Itu sudah jelas. Lo nggak perlu tanya lagi.” Agni telah selesai memasangkan dasi Cakka. Gadis itu berbalik, memunggungi Cakka. Ia tak ingin Cakka meneruskan pembicaraan mengenai hal ini.
            Cakka kembali menghela napas. “Gue ngantor, Mbak,” pamitnya.

**

            Plang besar bertuliskan RS Khusus Jiwa Dharma Graha menyambut kedatangan Oik, Ray, dan Gabriel pagi itu. begitu memasuki area parkir mobil dan mendapatkan tempat kosong, Ray langsung memarkirkan mobil Oik disana. Setelah itu, ketiganya turun dari mobil.
            “Saudara lo namanya siapa, Ik?” tanya Gabriel dengan suara tercekat.
            Oik bergumam tidak jelas kemudian berlari-lari kecil, meninggalkan Ray dan Gabriel di belakangnya. Gadis itu tampak sedang bercakap-cakap dengan seorang suster di belakang meja resepsionis. Gabriel memandang Ray dengan tatapan yang sulit diartikan.
            “Gab...?” tanya Ray bingung. “Maksud lo... yang ini?”
            Gabriel mengangguk lesu. “Iya.”
            Tak lama kemudian, Oik kembali menghampiri keduanya bersama dengan seorang suster. “Ayo! Kita bakal dianter suster ini ke ruang rawat saudara gue.” Oik menarik-narik lengan Ray dan Gabriel agar cepat-cepat mengekor suster tersebut yang sudah memasukki lorong-lorong rumah sakit.
            “Saudara lo? Kakak? Adik? Sepupu?” tanya Ray penasaran.
            “Adik gue sih, sebenernya. Namanya Raissa Safanah Arif. Gue biasa panggil dia Acha.” Oik mulai bercerita sambil berjalan mengikuti suster tersebut.
            Ray mengangguk mengerti. Ia kembali melirik Gabriel yang hanya menatap lurus ke depan–kearah suster tersebut. “Kenapa dia bisa masuk sini?”
            Oik tersenyum miris. “Gara-gara pacarnya meninggal dalam kecelakaan lima tahun lalu. Gue sama Acha juga ada disana waktu itu. Kami berdua juga kecelakaan bareng pacarnya Acha. Tapi keadaan pacarnya Acha waktu itu parah banget. Dia meninggal di tempat.”
            Tiba-tiba suster tersebut berhenti di depan sebuah ruang rawat yang pintunya tertutup. Ada sebuah papan kecil bertuliskan nama pasien yang tergantung dipintu. Nama Acha terukir disana, beserta penjelasan keadaannya secara singkat.
            Suster itu perlahan membuka pintu kamar Acha dan melongokkan kepalanya, melihat keadaan di dalam. Lalu ia kembali menatap Oik beserta Ray dan Gabriel. “Tunggu sebentar, ya. Nona Raissa masih diperiksa dokter. Nanti setelah sarapan, kalian boleh jenguk. Takutnya Nona Raissa mengamuk lagi seperti tadi malam.”
            “Acha ngamuk?” tanya Gabriel dengan napas tertahan.
            “Iya.” Suster di hadapannya mengangguk. “Tadi malam ada suster baru disini. Waktu suster itu mengantarkan Nona Raissa untuk tidur, suster itu lantas juga mengambil boneka beruang yang selalu ia peluk.”
            Oik mengangguk mengerti. “Jadi kita tunggu di lobby aja?”
            “Iya. Mari, saya antar ke lobby lagi.”
            Ketiganya kembali melangkah menuju lobby, beserta sang suster. Baru saja ketiganya berjalan beberapa langkah, terdengar suara pintu dibuka kemudian ditutup dan disusul suara lembut seseorang. “Sus!”
            Sang suster menengok ke belakang dan mendapati dokter yang tadi memeriksa Acha. “Kalian bertiga ke lobby saja duluan. Tahu jalannya, kan?” Setelah mendapat anggukan dari Ray, suster itu berbalik badan untuk menemui sang dokter.
            Sementara Oik, Ray, dan Gabriel kembali ke lobby, suster tersebut berbincang dengan dokter muda itu. “Siapkan sarapan untuk pasien Raissa, ya. Saya periksa pasien yang lainnya dulu.”
            Oik berhenti melangkah. Ia menengok ke belakang, penasaran seperti apa wajah dokter yang senantiasa memeriksa adiknya. Tapi yang didapatinya ketika ia telah menengok ke belakang hanyalah siluet seorang dokter wanita yang tengah memasukki ruang rawat lainnya.

**

            “Bagaimana keadaannya?”
            “Baik. Sudah nggak pernah menyinggung-nyinggung lagi soal kejadian itu. Sudah nggak pernah bertanya-tanya juga.”
            “Bagus. Tetap jaga dia. Jangan sampai orang itu kembali masuk kedalam kehidupannya. Saya nggak mau itu terjadi.”
            “Kenapa?”
            “Saya nggak mau dia menderita lagi. Seperti dulu. Orang itu nggak baik.”
            “Tapi menurut penglihatan saya, dia baik-baik saja.”
            “Turuti ucapan saya!”
            “Baik.”
            “Satu lagi. Jangan ceritakan apapun dulu padanya.”
            “Itu pasti.”

**

            Udara Bandung sore itu terbilang sejuk. Seorang gadis yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar, tengah meniup-niup soap bubbles di pekarangan rumahnya yang luas. Deru suara kendaraan bermotor yang lalu-lalang di jalanan depan rumahnya sama sekali tak ia hiraukan.
            “Lala! Lala!”
            Tiba-tiba saja sebuah suara mengagetkannya. Gadis kecil itu segera meletakkan botol beserta peniup soap bubblesnya disebuah meja di teras rumahnya dan berjalan menghampiri sumber suara, seorang lelaki beserta gadis kecil lainnya yang berdiri di belakang pagar rumahnya.
            “Aga? Cila? Kalian lulus juga, kan?” tanya Lala sembari membuka pagar rumahnya.
            Lelaki kecil di hadapannya mengangguk dengan bersemangat. “Iya! Kita berdua juga lulus. Kamu mau lanjut sekolah dimana, La?”
            “Aga!” Gadis kecil di samping lelaki itu mulai merajuk. “Aga nggak boleh panggil dia Lala lagi! Lala itu aku, Ga. Nggak boleh ada Lala lainnya.”
            “Tapi kamu nama kamu kan, Cila... bukan Lala.” Lala –yang merasa namanya disebut-sebut– ikut angkat suara. Ia menatap Cila sebal. “Lala itu aku!”
            Kedua gadis kecil itu mulai berdebat –lebih tepatnya, bertengkar– hanya karena masalah sepele. Aga mulai kebingungan memisah kedua gadis itu. Dengan paksa, ditariknya lengan Cila menjauh dari Lala.
            “Cil, kita pulang aja, yuk?! Aku nggak suka kamu bertengkar cuman karena nama aja,” Aga menatap Cila sebal kemudian beralih pada Lala. “La, kami pulang dulu. Dadah!”
            Setelah kembali menutup pagarnya, Lala mendengar kedua orangtuanya memanggilnya. Dengan berlari, gadis itu masuk ke dalam rumah. Seluruh barang-barang sudah masuk kedalam kardus. Kedua orangtuanya juga sudah siap.
            “Kita berangkat sekarang, Ma, Pa?” tanya gadis kecil itu dengan raut wajah sedih. “Aku mau disini aja. Nggak mau pindah. Lala udah punya banyak teman disini.”
            “Papa nggak nyaman tinggal disini. Kita pindah ke rumah yang lebih besar, dekat kebun teh. Mau, ya?” bujuk Papanya. Akhirnya gadis itu hanya dapat mengangguk pasrah.

**

            Sudah lima belas menit terduduk bosan di sofa lobby tetapi sang suster tak kunjung memperbolehkan mereka menjenguk Acha. Sudah tak terhitung Oik menguap berapa kali selama menunggu di lobby. Kebosanan dan kantuk menyergapnya.
            Ketika Oik telah mendongakkan kepalanya, ia melihat siluet seorang gadis yang mengenakan jas putih bersih tengah berdiri membelakanginya–bercakap-cakap dengan seorang suster. Oik merasa mengenali siluet tubuh tersebut.
            “Sus, saya keluar sebentar, ya. Nanti sebelum makan siang saya pasti kembali lagi. Pasien Raissa juga sudah selesai sarapan. Ada yang mau jenguk dia, kan?” celoteh gadis itu.
            “Iya, Dok. Tadi ada tiga kerabatnya mau menjenguk.”
            “Ya udah, saya pamit dulu.”
            Gadis itu berbalik, hendak keluar menuju area parkir. Sekelebat, Oik dapat melihat wajahnya. Wajah itu sangat dikenalnya. Oik mendadak sibuk dengan pikirannya sendiri. Sampai Ray dan Gabriel menarik lengannya untuk mengikuti suster tersebut menuju ruang rawat Acha.
            Nggak mungkin. Itu... gadis yang biasa gue lihat sama Alvin, kan? Jadi.. Dia dokter? Dan dia kerja disini? Dan dia sebut-sebut nama Acha? Itu berarti... dia dokter yang merawat Acha.
            Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak mungkin. Ini pasti salah. Tidak mungkin gadis yang biasa ia lihat di sekitar Alvin itu adalah dokter. Terlebih lagi, dokter yang merawat Acha. Dunia memang selebar daun kelor.
            “Kenapa, Ik?” bisik Gabriel. Ia menangkap gelagat aneh Oik semenjak beberapa menit yang lalu.
            Oik menggelengkan kepalanya. “Sus?” panggilnya pada suster yang berjalan di depannya.
            “Ya?” Suster tersebut menengok kepada Oik dengan alis terangkat sebelah.
            “Itu tadi dokter yang ngerawat Acha?” tanya Oik ragu-ragu.
            “Iya. Dia dokter muda tapi sudah dipercaya para senior untuk merawat Nona Raissa. Dia dokter muda kesayangan para senior.” Suster tersebut tersenyum dan kembali menghadap depan.
            Oik merasakan dunianya mendadak runtuh.

**

     From: Honeyy
     Vin, aq otw ya.
     Ini sdh bs keluar RS. Tp sbntr aj.
     Sblm jm mkn siang aq sdh hrs kmbli.

     To: Honeyy
     Ok. Km ke apartmnku aj. Kbtln oik gak ada.
     Dy ke rmh skt, jnguk acha. Km smpt ktmu dy?

**

            Gadis berwajah riang itu baru saja turun dari mobilnya. Ia memarkirkan mobilnya di pelataran depan apartemen Alvin. Ia pun bergegas memasuki bangunan apartemen megah di hadapannya. Setelah tersenyum pada seorang satpam paruh baya yang berjaga dipintu masuk, gadis itu segera berlari menuju lift.
            Tak sampai lima menit, ia telah sampai di depan pintu ruang apartemen Alvin. Akhirnya ia bisa leluasa berada dalam apartemen lelaki bermata sipit itu karena Oik sedang tidak ada. Ia patut menghela napas lega karena itu.
            Secarik kertas yang menempel pada pintu ruang apartemen Alvin menyambutnya. Tangannya terulur untuk mengambil secarik kertas yang hanya tertempel seadanya dengan selotip tersebut. Ia tersenyum. Itu tulisan tangan Alvin.

     Masuk aja. Pintu nggak dikunci :-)

            Gadis itu mendorong pintu di hadapannya. Dalam sekejap, ia telah berada dalam ruang apartemen Alvin. Keadaan di dalam benar-benar gelap. Tak ada penerangan dari apapun. Begitu pintu ditutup, semakin gelaplah ruangan itu.
            “Vin?” panggil gadis itu. Tak ada sahutan.
            Gadis itu melangkah. Tiba-tiba saja kakinya mengantuk sesuatu. Ia berjongkok, mengambil barang yang telah mengantuk kakinya. Sebuah senter kecil dan –lagi-lagi– secarik kertas. Ia menyalakan senter dan menyorotkan cahayanya pada secarik kertas itu.

     Jalan terus, ke kamarku ya.
     Jangan lupa arahkan terus senternya ke dinding di sebelah kanan kamu ;-)

            Gadis itu tersenyum. Jadi ini yang dimaksud Alvin dengan kejutan?
            Menuruti kata-kata Alvin dalam secarik kertas barusan, ia menyorotkan cahaya senter yang digenggamnya pada dinding di sebelah kanannya. Hal pertama yang ia lihat adalah foto. Fotonya bersama Alvin. Ia menyorotkan senternya pada sepanjang dinding menuju kamar Alvin. Ada dua puluh tiga foto yang tertempel disana. Masing-masing dengan tagline yang berbeda pada pojok bawah kiri foto.
            Seluruhnya adalah fotonya bersama Alvin. Mulai dari perayaan anniversary satu bulan hubungan mereka, hingga bulan ke-dua puluh tiga. Tak terasa, sudah dua puluh tiga bulan ia menjalin hubungan bersama Alvin–tanpa sepengetahuan Oik.
            Akhirnya ia pun tiba di depan pintu kamar Alvin. Ada secarik kertas yang tertempel didaun pintu tersebut. Gadis itu kembali menyorotkan cahaya senternya pada tulisan tangan Alvin yang tertera disana.

     Matikan aja senternya ;-)

            Gadis itu kembali menurut. Ia mematikan senternya. Setelah itu, ia membuka pintu kamar Alvin perlahan-lahan. Ia menangkupkan kedua telapak tangannya didepa dada. Merasa tersanjung dengan perlakuan Alvin padanya.
            Kamar Alvin telah dihias sedemikian rupa. Ranjang yang tadinya hanya berisi bantal, guling, dan selimut kini telah penuh dengan kelopak bunga mawar merah. Jalan menuju ranjang Alvin pun telah dilengkapi dengan lilin.
            Gadis itu menundukkan kepalanya. Ada barisan lilin di kanan dan kirinya yang membimbingnya menuju ranjang Alvin. Dengan wajah merona bahagia, ia mengikuti cahaya lilin tersebut dan duduk diatas ranjang Alvin.
            “Alvin?” panggilnya lagi.
            Tiba-tiba saja terdengar derap langkah pelan seseorang. Siluet tubuh seorang lelaki kini berada di hadapan gadis itu. Dengan bantuan cahaya temaram dari lilin-lilin kecil itu, gadis itu dapat mengenali bahwa lelaki di hadapannya kini adalah Alvin.
            Siluet lelaki di hadapannya itu tengah membawa sebuket bunga mawar pada tangan kanannya dan sesuatu –entah apa– ditangan kirinya.
            “Happy two years anniversary, Sayang..” ujar Alvin seraya menyerahkan buket bunga mawar tersebut pada gadis berwajah ceria itu.
            Lalu, tiba-tiba saja, Alvin berjongkok. Ia memindahkan sesuatu yang ternyata sebuah kotak beludru itu ketangan kanannya. Perlahan, ia membukanya. Sebuah cincin bertahtakan berlian itu kini telah berada dalam tangan Alvin.

            “Would you marry me, Sivia?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS