Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SESUATU YANG BARU [05] : Tentang Sivia

            Sivia baru saja tiba di rumah pohonnya. Ketika itu, Ify dan Oik sedang berbincang heboh seraya saling melempar bantal. Lalu, tiba-tiba saja, kepala Sivia muncul dari pintu rumah pohon mereka. Setelahnya, Sivia pun bergegas menuju ranjangnya dan langsung mengehempaskan badan, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.

            Oik kembali melemparkan sebuah bantal ke arah Ify. Ify pun menengok. Oik menunjuk Sivia dengan dagunya, Ify otomatis mengerti dan membalikkan tubuhnya pada Sivia.

            “Baru selesai berlatih, Siv?” tanya Ify, hanya terdengar sebuah gumaman tak jelas dari Sivia dan anggukkan samar gadis berambut pendek itu.

            “Sudah makan malam?” tanya Ify lagi, tak terdengar jawaban, Sivia menggeleng perlahan.

            Oik terlonjak kaget. Gadis berbehel itu pun segera berdiri dan berkacak pinggang menatap Sivia, “Sudah minum obat?” tanyanya dengan lantang.

            Sivia berbalik, menatap Ify dan Oik bergantian secara sekilas dan kembali menutup wajahnya dengan selimut, “Belum.” gumamnya.

            “Lalu, kenapa tidak minum obat sekarang?” pekik Oik.

            Sivia menurunkan selimut dari wajahnya. Ia ambil sebuah bantal dan ia lemparkan tepat di wajah Oik, “Bagaimana, sih, kamu?! Kan, tidak boleh minum obat kalau belum makan!”

            Ify menutup telinganya ketika mendengar pekikan Oik dan Sivia, “Sssstt!! Ya sudah, makan sekarang saja, Siv..”

            “Aku sudah mengantuk!” jawab Sivia, pendek.

            Ify dan Oik hanya mampu berdecak menghadapi perilaku Sivia. Sivia langsung tenggelam dalam selimutnya dan tertidur, tidak menghiraukan Ify dan Oik yang khawatir akan keadaannya. Perlahan, Ify dan Oik dapat memaklumi perilaku Sivia yang cenderung menyebalkan itu. Mungkin karena gadis itu terlampau lelah.

^^^

            Pagi-pagi sekali, keributan jelas terdengar dari dalam kamar mandi. Mulai dari suara gemericik air dari shower, bunyi benda-benda yang terjatuh, dan suara melengking seorang gadis yang sedang mengatur temperatur showernya. Ya, dia Sivia. Ia sudah bangun pagi buta tadi.

            Beberapa menit kemudian, ketika sinar sang mentari baru saja menyembul masuk ke dalam rumah pohon, Sivia keluar dari dalam kamar mandi dengan sudah mengenakan seragamnya.

            Sivia pun bergegas menuju meja belajarnya dan menyiapkan keperluannya bersekolah dengan cepat. Lagi-lagi, banyak barang berjatuhan karenanya. Dan karenanya, Ify terbangun dengan kaget. Sivia sukses membangunkan sang ratu tidur itu hanya dalam sekejap.

            “Sivia? Sedang apa?” tanya Ify, matanya belum terbuka sempurna ketika itu.

            Sivia mengedik padanya beberapa saat dan kembali sibuk dengan keperluan sekolahnya, “Mau cepat-cepat ke kelas. Latihan lagi sama Aren, Agni, Irsyad, dan Alvin.” katanya.

            Karena penasaran, dan karena Sivia yang berdiri membelakanginya, Ify menyibak selimutnya dan berdiri lalu melangkah ke arah meja belajar Sivia. Sebelumnya, ia telah menggoyang-goyangkan kaki Oik agar gadis mungil itu juga terbangun. Sadar akan Oik yang mulai beranjak dari mimpinya, Ify kembali melangkah menuju tempat Sivia saat ini.

            “Nah! Aku duluan, Fy, Ik!”

            Baru saja Ify membuka mulutnya untuk kembali bertanya, Sivia sudah berbalik ke arahnya seraya menggendong tasnya. Ify menatapnya bingung. Tepat ketika Sivia telah sampai di bawah sana, Oik menyentuh pundak Sivia dengan salah satu alis terangkat.

            “Sivia, kok, tumben sudah berangkat?” tanya Oik.

            Ify menggeleng tak mengerti seraya mengangkat bahunya, “Ga tau.” Ify tak sengaja menengok pada American breakfast milik Sivia yang masih utuh, “Sivia ga sarapan?!” desahnya.

            Oik menggeleng. Ia pun bergegas menuju jendela dan membukanya. Terlihat Sivia yang belum jauh dari rumah pohonnya, “SIVIA! GA SARAPAN SAJA DULU?” teriak Oik.

            Sivia berbalik dan mendongak menatap Oik. Ia menggeleng pelan, “GA USAH!”

            Sebelah alis Oik kembali terangkat, “GA MINUM.....” Oik sengaja menggantungkan kata-katanya.

            Sivia terlihat bingung untuk beberapa detik. Lalu akhirnya ia kembali menggeleng dan tersenyum tipis kepada Oik, “GA USAH. I’LL BE FINE, IK.” teriak Sivia, lagi.

^^^

            Begitu sampai di Kelas Seni Suara, Sivia mendapati keempat teman sekelompoknya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aren dan Agni yang sedang melahap American breakfastnya. Irsyad dan Alvin yang tengah berkutat dengan lima kertas bertuliskan lirik lagu Jet Lag.

            “Hay!” sapa Sivia ketika ia baru saja duduk di antara Aren dan Irsyad.

            “Eh, Sivia..” sapa Agni balik, ketika ia baru saja selesai mengunyah omelettenya.

            Sementara Aren, ia hanya mengangkat tangan kanannya sekedar untuk berhigh five dengan Sivia. Sivia menyambutnya dengan tertawa lebar.

            “Sudah.. Lanjutkan saja dulu sarapannya, Ren, Ag.” kata Sivia, ketika ia melihat kedua temannya itu baru saja membuka mulut lagi untuk mengobrol dengannya.

            Aren dan Agni mengangguk. Sivia lalu beralih pada Irsyad dan Alvin. Keduanya masih saja sibuk dengan kertas yang sudah dicoret-coret untuk pembagian suara dll. Sivia menepuk pundak Irsyad dan ikut melongok pada kertas-kertas itu.

            “Sudah selesai pembagiannya?” tanya Sivia, masih terpaku pada kertas yang digenggam Irsyad.

            Alvin dan Irsyad mengangguk. Sivia pun mengangguk mengerti, “Kertasku yang mana?” tanya Sivia, tangannya mengobrak-abrik ketiga kertas yang tercecer di depan Irsyad dan Alvin.

            “Yang ini..” Sivia mendongak dan tersenyum lebar ketika ia mendapati Alvin tengah menyodorkan sebuah kertas.

            Sivia menerimanya, “Merci..”

^^^

            “Dan kelompok terakhir yang akan maju adalah Agni and friends..” ucap Madam Eva.

            Agni menghirup udara sebanyak-banyaknya. Akhirnya, ia pun berdiri. Diikuti oleh Sivia, Aren, Irsyad, dan Alvin. Kelimanya berjalan menuju depan kelas. Pertama-tama, kelimanya berbaris sejajar memanjang menghadap teman-temannya dengan saling bergandengan tangan. Lalu, sedikit membungkuk untuk member hormat. Dan kemudian, siap pada posisi masing-masing.

What time is it? Where you are?
I miss you more than anything
Back at home you feel so far
Waiting for the phone to ring

It’s getting, lonely living upside down
I don’t even wanna be in this town
Trying to figure out the time zones
Making me crazy

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

What time is it? Where you are?
Five more days and I’ll be home
I keep your picture in my car
I hate the thought of you alone

I’ve been keeping busy all the time
Just to try to keep you off my mind
Trying to figure out the time zones
Making me crazy

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

I miss you so bad
I wanna share your horizon
And see the same sun rising
Turn the hour hand back to
When you were holding me

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

(Jet Lag – Simple Plan ft Natasha Bedingfield)

            Tepukan tangan mulai terdengar. Semakin bergerumuh dengan seiring berakhirnya lagu yang mereka berlima bawakan. Madam Eva pun ikut bertepuk tangan dan tersenyum tipis. Mereka kembali saling bergandengan tangan dan sedikit membungkuk. Tepuk tangan kembali terdengar. Kelimanya tersenyum lebar dan kembali duduk.

            “Thank God! Kita bisa!” kata Alvin, setengah tak percaya.

            Sivia hanya tersenyum. Perlahan tapi pasti, sakit mulai menjalari lengannya –yang didiami tumor itu- dan juga kepalanya. Pandangan Sivia mulai kabur, ia meremas tangan Agni yang –kebetulan- berada di dekatnya. Hingga akhirnya... Gelap.

            “Madaaam! Sivia pingsaaan!” teriak Agni.

^^^

            Madam Eva dan sang kepala sekolah baru saja tiba di rumah sakit tempat Sivia biasa check up. Dua orang suster segera memindahkan Sivia ke sebuah bed dan mendorongnya menuju ruang periksa. Madam Eva dan sang kepala sekolah menunggu di luar dengan perasaan khawatir.

            Beberapa menit kemudian, seorang dokter laki-laki yang masih cukup muda pun keluar lalu menghampiri keduanya, “Sivia dehidrasi. Kurang istirahat juga. Tapi perlu ada serangkaian tes yang harus ia jalani dan mengharuskan ia untuk opname beberapa hari.” Jelas dokter tersebut, tanpa ditanya.

            “Tapi tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan, kan, Dok?” tanya Madam Eva.

            Dokter itu menggeleng, “Tidak. Tenang saja. Kalian bisa kembali ke sekolah. Biar nanti saya yang mengabari orang tuanya.”

            Madam Eva dan sang kepala sekolah mengangguk. Keduanya pun berjabat tangan dengan sang dokter dan berlalu setelahnya.

^^^

            Perlahan, kelopak mata Sivia mulai terbuka. Ketika itu, dua orang suster sedang ada bersamanya. Seorang suster yang memasang infusnya, dan seorang lagi yang sedang membereskan peralatan pemeriksaan.

            Sivia menggeram kecil ketika menyadari ia telah berada di rumah sakit. Suster yang telah selesai memasang infusnya pun tersenyum padanya.

            “Kamu dehidrasi, Sivia..” katanya.

            Setelahnya, dua orang suster itu pun meninggalkannya. Selang beberapa menit, seorang dokter masuk untuk menengok keadaan Sivia. Sivia terlihat agak bingung ketika melihat dokter itu, bukan dokter yang biasa menanganinya.

            “Dokter Wirya sudah dipindah tugaskan ke rumah sakit lainnya,” kata dokter itu. Ia tersenyum lembut pada Sivia, “Saya dokter barumu. Gabriel.” Dokter Gabriel mengulurkan tangannya pada Sivia.

            Sivia mengangguk dan membalas uluran tangan dokter barunya itu dengan senyuman tipis, “Saya Sivia. Kalau boleh saya tau.. Kenapa saya bisa ada di sini, Dok?”

            Gabriel tersenyum. Ia mengambil sebuah kursi plastik yang tak jauh darinya dan meletakkannya tepat di samping bed Sivia. Ia dudukki kursi itu, “Panggil saya Gabriel saja. Saya dokter baru di sini.”

            “Iya, tapi saya sudah pernah melihat kamu bersama Dokter Wirya..” seru Sivia.

            Gabriel menjentikkan jarinya, “Kamu masih ingat rupanya. Dan, oh ya. Soal kamu yang telah berada di sini, tadi dua orang dari sekolahmu membawamu ke sini dalam keadaan pingsan. Tapi mereka berdua sudah kembali ke sekolahmu. Tanpa mengetahui penyakitmu.”

            Sebelah alis Sivia terangkat, “Lalu?”

            Mimik wajah Gabriel berubah, “Ada berita buruk.”

            “Apa?” tanya Sivia lagi.

            Gabriel menatap Sivia dalam. Seolah-olah itu adalah salah satu cara paling ampuh untuk menguatkan hati seseorang, “Saya baru saja melihat hasil tes yang baru saja kamu jalani. Dan hasilnya..... Buruk.”

            “Seburuk apa, dok... Eh, maksud saya... Seburuk apa, Gab?” Sivia masih saja sempat tersenyum.

            “Tumor di lenganmu itu... Telah berubah menjadi kanker. Beberapa centi tulangmu pun sudah hampir lapuk karena kanker itu. Jadi, kamu harus menjalani operasi dalam beberapa hari kedepan.”

            Sivia sudah menutup mulutnya dengan tangan. Ia terlampau kaget dengan berita yang baru saja ia dengar. Badannya mulai bergetar hebat karena menahan tangis.

            Gabriel jadi serba salah. Ia hanya mempu menggenggam tangan kiri Sivia erat-erat, “Tenang. Besok sore kamu sudah dioperasi. Tulang lenganmu yang sudah lapuk itu akan kami ganti dengan tulang dari panggulmu.”

            “Lalu? Bagaimana dengan panggulku?” tanya Sivia dengan suara bergetar.

            “Panggulmu akan baik-baik saja. Tulang di sana nanti akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Karena ini merupakan operasi besar, setelah operasi kamu harus benar-benar bed rest selama satu hari penuh.”

            Sivia mengangguk mengerti. Getaran tubuhnya pun mulai berangsur menghilang. Redaman isakannya juga sudah mulai tak terdengar. Gabriel kembali manatpnya dalam dan tersenyum.

            “Kamu tidak mau memberitahu orang tuamu dan kedua temanmu itu?” tanyanya.

            Sivia mengangguk saja.

^^^

            Pagi-pagi sekali, Sivia sudah selesai membersihkan badannya. Sarapan yang telah disediakan oleh rumah sakit pun langsung ia lahap. Begitupula obat-obatan yang diperuntukan baginya. Pukul tujuh tepat, Sivia sudah selesai melahap semuanya.

            Sivia kembali berbaring di bednya. Tangan kanannya terulur untuk mengambil sebuah apel merah yang tak jauh darinya. Ia memakan apel itu, tanpa mengupas ataupun memotong-motongnya terlebih dahulu.

            Tiba-tiba saja, terdengar ketukan dari luar sana. Beberapa detik kemudian, kepala seseorang menyembul dari luar. Gabriel. Sivia tersenyum lebar padanya. Gabriel pun masuk dan menghampiri Sivia.

            “Ayo, cepat mandi!” perintah Gabriel.

            “Sayang sekali, dokter.. Aku sudah mandi,” balas Sivia, lalu kembali menggigit apelnya.

            “Ya sudah.. Ayo makan, lalu minum obat.” perintah Gabriel lagi.

            Sivia meliriknya dan tersenyum mengejek, “Sudah juga,”

            Gabriel terlihat kaget. Ia hanya tersenyum samar, “Baiklah, baiklah. Cepat habiskan apelmu karena sebentar lagi aku akan mengajakmu berkeliling rumah sakit.”

            Sivia tiba-tiba saja mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya berbinar, “Benar? Oke!”

            Dengan cepat, Sivia menghabiskan apelnya. Gabriel tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Setelah itu, Sivia pun turun dari bednya dan mengenakan sebuah sandal yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.

            “AYO!!” ajak Sivia, dengan bersemangat.

            Gabriel mengernyit bingung melihat Sivia yang sudah berdiri di hadapannya. Dan itu membuat Sivia semakin kesal. Memangnya tadi siapa yang mengajaknya berkeliling rumah sakit? Dan sekarang, siapa yang membuat rencana itu terhambat?

            “Kenapa lagi, Gabriel?” Sivia merengek, “Ayo kita berkeliling rumah sakit!” Sivia sampai menarik-narik lengan Gabriel karenanya.

            “Kamu mau berkeliling dengan jalan kaki? Serius?” tanya Gabriel.

            Sivia melengos, “Ya iya, Gab! Mau bagaimana lagi? Masa iya kamu menggendongku?!”

            Gabriel gelagapa, “Bukan! Bukan itu maksudku! Kamu pakai kursi roda!”

            Sivia melotot kaget. Lalu, Gabriel mengambil sebuah kursi roda yang sedari tadi berada di sudut ruang rawat Sivia. Gabriel mendorongnya menuju tempat Sivia terkaget-kaget.

            “Tunggu apa lagi? Katanya mau berkeliling rumah sakit..” goda Gabriel.

            Sivia cemberut lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Kenapa harus pakai kursi roda, sih?!”

            “Sudah. Duduk saja. Mau jalan-jalan ga?” ujar Gabriel.

            Sivia melengos malas untuk yang kedua kalinya. Tapi akhirnya, ia duduk juga di atas kursi roda itu. Gabriel tertawa. Gabriel pun mendorong kursi roda tersebut mengelilingi rumah sakit. Menjelajahi setiap sudut salah satu rumah sakit terbaik itu bersama seorang pasien barunya.

            “Itu apa, Gab?” tanya Sivia, tangannya menunjuk sebuah pondok bamboo kecil yang terletak di tengah-tengah salah satu taman rumah sakit.

            Gabriel mengikuti arah jemari Sivia, “Tempat main anak kecil. Biasanya pasien anak-anak suka bermain di situ ketika sore hari.”

            “Kalau pagi-pagi begini, pasien anak-anak biasanya di mana?” tanya Sivia, ia mendongak menatap Gabriel.

            Gabriel terlihat berpikir sebentar, “Mungkin mereka ada di perpustakaan. Tepat di samping kantin. Kamu mau ke sana?” tawarnya.

            Sivia mengangguk bersemangat, “Boleh! Ayo kita ke sana! Tapi nanti traktir aku di kantin, ya, Gab..” bujuk Sivia, Gabriel mengangguk saja.

^^^

            Gabriel membuka pintu perpustakaan dan mendorong kursi roda Sivia masuk. Sivia langsung tersenyum lebar ketika melihat sekelompok anak kecil sedang menggambar di salah satu sudut perpustakaan yang dihampari oleh karpet berwarna merah marun.

            Sivia pun menggerakan kursi rodanya menuju sekelompok anak itu. Gabriel membiarkannya. Tepat ketika Sivia telah sampai di sana, Gabriel berangsur duduk di salah stau kursi yang dekat dengan rak-rak berisikan buku pengetahuan. Gabriel mengambil salah satunya dan membacanya.

            Sivia perlahan turun dari kursi rodanya dan duduk di samping seorang anak kecil yang sedang menggambar dengan mimik serius.

            “Gambar apa, dek?” tanya Sivia, ia mengintip gambaran anak kecil itu.

            Anak kecil itu mengedik ke arah Sivia dan tersenyum lucu, “Ini gambal lumah cakit, kakak.”

            Sivia kembali tersenyum dan ikut larut dalam dunia mereka. Hingga tanpa disadarinya, hari sudah beranjak siang. Kalau tidak karena Gabriel yang menghampirinya dan mengajak makan siang, mungkin ia akan di sini terus bersama anak-anak kecil itu.

            “Kamu traktir aku, lho, Gab. Tadi kamu sudah janji!” seru Sivia, matanya memelototi setiap makanan yang tersaji di kantin rumah sakit itu.

            Gabriel mengangguk, “Ya sudah. Kamu mau makan apa?” tanyanya.

            Sivia berdecak pelan, bingung memilih makanan, “Terserah, deh. Aku bingung mau piluh yang mana. Pilihkan yang paling enak saja.”

            Lagi-lagi Gabriel hanya mengangguk. Ia menyebutkan beberapa nama makanan kepada sang pramusaji dan, kemudian, mendorong kursi roda Sivia ke sebuah meja yang kosong. Beberapa menit kemudian, makanan sudah tersaji di meja mereka. Mereka melahapnya ketika itu juga.

^^^

            Begitu Sivia membuka matanya sore itu, Ify dan Oik sudah berada di samping bednya. Kedua sahabatnya itu sedang tersenyum lebar kepadanya. Sivia tertawa. Apalagi ketika keduanya menyodorkan sebuket mawar merah kepadanya.

            “Kalian ngapain bawa mawar, sih?” tanya Sivia, disela-sela laju tawanya.

            Oik menggeleng tak tau, “Tanya Ify saja. Tadi dia yang memaksa bawa mawar buat kamu.”

            Sivia memberikan tatapan menyelidiknya pada Ify. Ify hanya tersenyum lebar dengan jari telunjuk dan tengah yang terangkat, “Sorry, Siv. Habis aku ga tau bunga apa yang biasa dibawa untuk orang yang lagi sakit.”

            “Dasar Ify,” lirih Sivia, kepalanya menggeleng pelan, “Selalu ga jelas.” lanjutnya.

            Ify melotot, “Apa, Siv? Selalu ga jelas?” dan dengan brutalnya, Ify mencubiti lengan Sivia hingga memerah dan Sivia yang tertawa nyaring sekali.

            “Ada apa ini?” suara seseorang terdengar menggema di ruang perawatan Sivia, ketiga gadis itu langsung menengok ke sumber suara.

            Ify dan Oik hanya saling pandanga dengan tatapan bingung. Sedangkan Sivia melambaikan tangannya pada laki-laki di ambang pintu tersebut, “Gab! Sini!” oh, Gabriel.

            Gabriel berjalan ke arah ketiganya dengan senyum mengembang menatap Ify dan Oik. Ify dan Oik menyikut Sivia dan bertanya kepada Sivia siapakah laki-laki itu dengan gerakan bibir. Sivia hanya mengedik pada Gabriel, tanpa memberikan penjelasan apapun.

            “Halo! Saya Gabriel, dokter barunya Sivia.” ujar Gabriel, menyalami Ify dan Oik bergantian. Ify dan Oik mengangguk mengerti.

            Gabriel pun beralih pada Sivia, “Suster akan ke sini sebentar lagi. Kamu operasi 30 menit lagi, ya?”

            “Oke,” Sivia menganggung, “Ify dan Oik bisa menunggu di ruang tunggu, kan?” tanyanya balik, Gabriel pun mengangguk.

            Tepat saat itu juga, dua orang suster memasukki ruang rawat Sivia. Salah satunya pun mulai menyuntikkan obat bius untuk Sivia. Perlahan, rasa kantuk mulai menyergap Sivia hingga gadis itu tertidur pulas. Rombongan itu pun mendorong bed Sivia masuk ke dalam ruang operasi dan menyisakan Ify dan Oik di ruang tunggu.

^^^

            Keesokan harinya, ketika seorang suster sedang memeriksa infuse Sivia, Sivia terbangun. Suster itu pun segera memeriksa Sivia. Beruntung, operasi kemarin berjalan lancer dan tidak terjadi komplikasi dalam tubuh gadis itu.

            “Sarapan, Sivia?” tawar suster itu.

            “Iya, sus. Aku lapar.” jawab Sivia dengan lirih.

            Suster itu pun bergegas keluar untuk mengambilkan makanan. Lima menit tak kunjung kembali, Sivia agak sedikit menegakkan tubuhnya. Sayangnya, badannya terlalu lemah untuk melakukannya sendirian. Tepat saat itu, seseorang berangsur masuk dan berteriak kaget ketika melihat Sivia berusaha untuk duduk.

            Sivia menoleh sebal pada orang tersebut, “Ini masih pagi, Gabriel! Jangan berteriak seperti itu!” dumelnya.

            Gabriel berdecak. Ia segera meletakkan sebuah nampan berisikan menu makanan Sivia pagi ini di atas sebuah meja dan menghampiri bed Sivia, “Kamu ini masih terlalu lemah, Sivia. Kamu, kan, bisa panggil suster.” kata Gabriel, seraya membantu Sivia untuk duduk.

            “Terlalu lama! Suster yang mau ngambilkan aku makanan saja ga kembali-kembali dari beberapa menit yang lalu!” sewotnya.

            Gabriel kembali mengambil nampan itu dan duduk di kursi samping bed Sivia, “Ini makanan kamu,” Gabriel mengacungkannya pada Sivia, “Suster tadi dipanggil dokter senior, makanya aku langsung ngambil alih nampan makanan kamu.”

            Sivia melunak, ia menatap Gabriel dengan datar, “Ya sudah. Taruh bed saja makananku. Aku mau makan. Lapar!” desisnya.

            Kening Gabriel terlihat berkerut, “Mau makan sendiri? Lupa kalau kamu masih terlalu lemah? Biar aku yang suapi!”

            “Genit! Aku bisa makan sendiri, Gab!” ujar Sivia, ia mencubit keras-keras lengan Gabriel.

            Gabriel meringis kesakitan dan meniup-niup bekas cubitan Sivia dengan sesekali melirik melas pada gadis yang menatapnya tanpa ekspresi itu, “Siapa yang genit, Siv? Suster tadi bilang ke aku kalau kamu belum boleh makan sendiri. Rencananya, ya, suster tadi yang mau suapi kamu. Tapi ternyata--,”

            “Oke, oke. Fine! Ayo, suapi aku sekarang. Aku lapar!” Sivia mengangkat kedua tangannya, menghentikan laju ucapan Gabriel.

            “Nah!” Gabriel mengacungkan jempolnya pada Sivia dan tersenyum lebar.

            Gabriel pun perlahan menyuapi Sivia. Tentu saja dengan Sivia yang tak mau berhenti berbicara tentang apapun kalau saja Gabriel tidak kembali menyendokkan makanan untuknya. Dan sekarang, Gabriel tau seberapa cerewetnya pasien barunya ini.

^^^

            Jam makan malam telah tiba. Seluruh siswa-siswi Witchy School of Art pun berbondong-bondong menuju Caffetaria. Begitu pula dengan Ify dan Oik. Keduanya menyeruak di antara ratusan siswa-siswi lainnya dengan terburu-buru. Begitu sampai di meja mereka, keduanya pun duduk dan mengatur napas terlebih dahulu.

            “Oik? Kenapa?” tanya Cakka, begitu menyadari gadis mungil itu mengatur napas dengan diliputi keresahan luar biasa.

            Nadya menyenggol pelan perut Cakka. Cakka menengok padanya dan meringis. Sekarang, ganti Nadya yang bertanya, “Ada apa, Fy?”

            “Kita berdua.. Hhh.. Lagi bingung.. Hhh..” ujar Ify.

            “Kita.. Hhh.. Ga bisa.. Hhh.. Jemput Sivia.. Hhh..” lanjut Oik.

            “Terus, siapa yang jemput Sivia di rumah sakit?” tanya Zevana.

            “Ik, kita ada tugas kelompok sama Cakka dan Nadya. Jangan lupa. Setelah makan malam.” seloroh Lintar.

            Oik mengedik pada Lintar dan mengangguk, “Iya, aku ingat. Makanya aku bilang kalau aku dan Ify ga bisa jemput Sivia malam ini.”

            Agni mengaduk jusnya dengan bingung, “Lalu, Ify kenapa juga ga bisa jemput?”

            “Aku belum menghafalkan not-not balok sama sekali. Ini tugas. Apalagi not-notnya susah dihafal!” dumel Ify.

            Cakka menatap Oik, “Kamu, kan, tau kalau aku dan Nadya juga ga bisa jemput Sivia. Kita berdua dan kamu serta Lintar ada tugas kelompok.”

            Oik mengangguk, “Iya, aku tau..” lirihnya.

            Zevana memandang Oik dan Ify bergantian dengan tatapan memohon maaf, “Maaf, aku juga ga bisa bantu kalian berdua. Ada korea yang harus aku hafalkan untuk besok.”

            Ify pun tersenyum untuk sekedar menenangkan Zevana dari rasa bersalahnya, “Iya, aku tau. Kelasmu sangat sibuk. Ga apa-apa, kok. Mungkin yang lainnya bisa menggantikan aku dan Oik untuk jemput Sivia.”

            “Maaf, Fy, Ik.. Aku belum selesai mengerjakan tugas. Maaf banget.” kata Irsyad.

            “Aku juga belum..” Agni ikut mengiyakan perkataan Irsyad.

            Alvin meletakkan sendok serta garpunya dan menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi, “Kebetulan tugasku sudah selesai. Jam berapa aku bisa jemput Sivia?” tanyanya. Sungguh, nadanya benar-benar datar.

            Ify melotot tak percaya, “Bener, Vin? Sungguh? Oke! Kamu bisa jemput Sivia setelah makan malam selesai. Kereta kudanya ada di gate depan. Aku dan Oik sudah izinkan ke kepala sekolah, kok.”

            Alvin hanya mengangguk.

            “Makasih, Vin! Thanks! Merci! Sankyu! Xie xie! Matur nuwun! Hatur nuhun!” Oik berkata dengan hebohnya seraya mengatupkan kedua telapak tangannya rapat-rapat di depan dada dan membungkuk dalam-dalam pada Alvin.

            Nadya, Zevana, Ify, Agni, Lintar, dan Irsyad tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sedangkan Alvin, menahan tawanya agar tidak melaju keluar karena tindakan Oik ini. Cakka? Menatap gadis mungil itu dengan senyum yang amat sangat tipis.

^^^

            Alvin turun dari kereta kuda milik sekolahnya dan berjalan masuk ke dalam bangunan rumah sakit itu. Ia mengikuti petunjuk Oik dan Ify yang ditulis pada secarik kertas yang ia genggam. Ia mengikuti arah yang tertera di sana. Sampai akhirnya, ia tiba di dengan sebuah kamar inap dan masuk ke dalamnya.

            Alvin melongok. Ia mendapati Sivia duduk di atas bednya. Dan seorang lagi, mengenakan pakaian dokter, yang duduk membelakanginya.

            “Ehmm..” Alvin berdehem kecil.

            Sivia menengok ke arahnya dan nampak kaget. Perlahan, bibir gadis itu mulai tersenyum kikuk padanya, “Hay, Alvin! Sini!” Sivia menepuk-nepuk sebuah kursi lagi di samping sosok dokter itu.

            Alvin balik tersenyum dan berdiri di samping kursi itu, “Makasih. Tapi aku Cuma mau jemput kamu. Ify dan Oik sedang ada banyak tugas.”

            Sivia hanya mengangguk. Ia pun beralih pada sosok dokter di samping Alvin, “Gab, aku sudah boleh pulang, kan?” tanyanya.

            Gabriel mengangguk dan berangsur berdiri, “Boleh. Obatnya jangan lupa diminum. Jangan dehidrasi dan terlalu lelah lagi, ya.” pesannya, Sivia mengangguk.

            Perlahan, Sivia turun dari bednya dengan dibantu Alvin dan Gabriel. Setelahnya, Alvin merangkulnya dan membantunya berjalan mengambil tas pakaiannya. Gabriel tetap saja mengekor ke mana pun mereka berdua bergerak.

            Sivia menengok ke belakang dan tersenyum pada Gabriel dalam rangkulan Alvin, “Gab, aku pulang dulu, ya! Minggu depan, kan, jadwal check upku?”

            “Iya. Jangan mangkir lagi dari jadwal check up, Siv, kalau kamu ga mau dehidrasi dan terlalu lelah lagi!” seloroh Gabriel.

            Sivia menahan senyumnya. Gadis itu mengepalkan sebuah tangannya dan memperlihatkannya kepada Gabriel. Gabriel hanya tertawa. Disusul dengan tawa Sivia. Setelah itu, Alvin mulai menuntun Sivia untuk keluar dari ruang rawatnya, rumah sakit itu, dan masuk ke dalam kereta kuda.

            “Tadi itu siapa, Siv?” tanya Alvin.

            Sivia meliriknya sekilas, “Gabriel, dokterku.”

            “Oh,”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

YOU ARE MY EVERYTHING [Cerpen #Caikers3rdAnniv]

Yogyakarta, 7 Juni 2012, 00.01 AM

            Nampak sebuah siluet seorang laki-laki berbadan jangkung di depan sebuah rumah megah bergaya klasik dengan rambut yang tak tertata rapi sedang memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan dan tangan kirinya menggenggam sebuah ponsel keluaran terbaru. Tak ketinggalan, ia menyampirkan sebuah tas berisikan gitar kesayangannya di pundaknya. Ia menatap bangunan di hadapannya itu seraya tersenyum miring.

            Jemari tangan kanannya memencet keypad-keypad pada ponsel itu dengan cepat. Beberapa detik setelahnya, ia menempelkan ponsel itu tepat di daun telinga kanannya. Senyumnya berubah menjadi senyum sumringah.

**

            Drrt drrt..

            Gadis yang tengah meringkuk di bawah selimut itu menggeliat, menyadari sesuatu yang ia genggam sedang bergetar. Perlahan gadis itu membuka matanya. Kamarnya gelap gulita. Tangannya pun terulur untuk menyalakan lampu pada night stand. Dalam sekejap, kamar itu langsung berhiaskan cahaya kuning keemasan.

            Tanpa melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, gadis itu mengangkat sebuah panggilan masuk. Ia mengangkatnya seraya menguap lebar. Terdengar seseorang yang sedang menahan tawa di seberang sana.

            “.....Hey! Siapa?.....”

            “.....Happy anniversary, sayang. Selamat tanggal 7 Juni yang ketiga.....”

            Gadis itu langsung bangun dan duduk di bibir ranjangnya. Semburat merah mulai muncul di kedua pipinya. Suara lembut lelaki di seberang sana membuat kantuknya hilang dalam sekejap. Tangan kirinya yang bebas pun bergerak menutup mulutnya yang terbuka karena kaget.

            “.....Cakka?.....”

            “.....Ada apa, Oikku sayang?.....”

            “.....Happy anniversary, too. Thanks for always being on my side everytime I need you. Love you so much!.....”

            “.....I love you more, sayang. Kamu bisa lihat keluar? Buka saja jendela kamarmu.....”

            Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu –Oik- segera turun dari ranjangnya, mengenakan sandal dengan boneka kepala kelincinya, dan berlari kecil menuju jendela kamarnya. Ia menyibakkan tirai dan melongok ke bawah. Kamarnya memang berada di lantai atas. Senyumnya makin mengembang begitu menyadari ada Cakkanya berdiri di sana, tersenyum dan melambaikan tangan padanya.

            “.....Hey! Sedang apa kamu di sana? Ini masih malam, sayang!.....”

            “.....Turunlah. Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan.....”

            “.....Tunggu sebentar, ya. Aku ganti pakaian du---,”

            “.....Ga usah, sayang. Kamu ambil jaket saja. Aku juga hanya memakai piyama, kok.....”

            “.....Okay.....”

            Oik pun memutus panggilan tersebut. Ia bergegas mengambil jaketnya yang tersampir di gantungan pakaian dan memakainya dengan kilat. Ia membuka pintu kamarnya dengan sangat pelan dan turun dengan mengendap-endap. Berhasil! Ia telah berada di teras rumahnya tanpa membuat keributan sedikitpun.

            Oik segera menghampiri Cakka yang hanya berada beberapa langkah saja di depan rumahnya. Rumah? Ah, rumah Oik memang tidak berpagar.

            Cakka tersenyum lebar melihat sosok Oik yang berdiri di hadapannya. Oik yang memakai piyama berwarna merah muda dan jaket berwarna hitam pekat. Dan, jangan lupakan sandal rumahan dengan kepala kelinci sebagai hiasannya itu.

            Cakka segera mengantongi ponselnya dan merengkuh Oik ke dalam pelukannya. Oik tersenyum kecil dalam pelukan Cakka. Pipinya kembali dihiasi dengan semburat merah. Cakka memeluknya semakin erat. Ia kecup pula puncak kepala gadis yang telah menghiasi hari-harinya dalam tiga tahun ini.

            “Happy anniversary, sayang. Jangan nakal, ya. Jangan ngambekan juga. Makin sayang sama aku,” bisik Cakka.

            Oik mengangguk kecil. Ia kembali tersenyum, begitupula dengan seseorang yang kini masih memeluknya erat-erat.

            Oik pun juga berbisik pada Cakka, “Happy anniversary juga, Cakkaku. Jangan tinggalin aku, ya. Pokoknya harus makin sayang sama aku!”

            Cakka tertawa kecil dan mengangguk.

            “Pasti. Rasa sayangku ke kamu semakin besar seiring dengan berjalannya hari-hari yang kita lewati bersama.”

            “Gombal!” Oik memukul-mukul dada bidang Cakka dengan tersenyum kecil.

            Cakka pun melepas pelukannya pada Oik dan memegang kedua pipi Oik, memaksa gadis di hadapannya itu untuk menatap matanya.

            “Apa?” tanya Oik.

            “Gombal dari mananya?” tanya Cakka balik.

            Oik hanya mengangkat bahunya dengan cuek.

            “Kamu ini...” Cakka menatap Oik dengan gemas.

            Perlahan, Cakka mulai menyapu sudut bibir Oik dengan lembut. Hanya beberapa detik saja. Walaupun begitu, wajah keduanya sudah semerah kepiting. Cakka pun melepas tangannya dari kedua pipi Oik dan memindahkan tas gitar itu ke pundak Oik. Setelahnya, ia naik ke atas motornya dan menyalakan mesinnya.

            “Ayo naik..” perintah Cakka.

            “Mau ke mana?” tanya Oik.

            “Sudah, naik saja.”

            Oik pun naik ke motor sport itu. Tak lama setelahnya, Cakka melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Membuat Oik berteriak tertahan dan memeluknya erat dari belakang karena kaget bercampur takut.

**

            Motor Cakka berhenti di depan sebuah Sekolah Menengah Atas. Itu masih berstatus sebagai sekolah mereka setahun yang lalu. Kini keduanya telah menjalani hari-hari sebagai mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Cakka melepas helmnya, begitupula dengan Oik. Wajah Oik berubah cemberut ketika Cakka menengok ke arahnya.

            “Kenapa, sayang?” tanya Cakka, tangannya menyapu pipi kanan Oik dengan lembut.

            “Kamu ngebut banget!” sungut Oik.

            “Sini, sini, biar ga ngambek lagi..”

            Cakka mendorong punggung Oik agar lebih dekat lagi dengannya. Tiba-tiba saja, Oik merasakan sesuatu menempel di keningnya. Mata Oik melebar pada detik-detik awal. Berikutinya, ia pun ikut tenggelam dalam suasana tersebut. Oik nampak ikut memejamkan kedua kelopak matanya.

            “Sudah ga ngambek, kan?” pertanyaan Cakka mengalir seiring dengan sedikit melebarnya jarak di antara keduanya.

            Oik mengunci rapat bibirnya. Ia hanya mengangguk pelan dengan kepala yang tertunduk dalam-dalam. Itu adalah salah satu usahanya agar tidak terlihat bahwa ia benar-benar sudah blushing karena kelakuan Cakka barusan. Juga beberapa menit yang lalu di depan rumahnya.

            “Kenapa kamu ajak aku ke sini?” tanya Oik.

            Oik memutar tubuhnya untuk menghadap sekolahnya itu –yang juga sekolah Cakka-. Begitupula Cakka, ia ikut menyusuri setiap bagian sekolah itu dengan mata hazelnya. Perlahan, tangannya terulur untuk melingkari pinggang Oik.

            “Kamu ingat? Aku dulu bilang ke kamu -kalau aku sayang kamu- di sini. Tiga tahun yang lalu..”

            Oik keluar dari sekolahnya dengan terburu-buru. Seragam putih abu-abu yang ia kenakan sampai terlihat berkibar diterpa angin sore itu. Beberapa menit yang lalu, bundanya menelpon untuk memberitahukan bahwa beliau maupun sopir dan ayahnya tidak dapat menjemput karena masih ada acara. Jadilah Oik –yang ketika itu baru saja mengurusi ijazahnya- cepat-cepat berlari keluar untuk mencari taxi. Seperti biasanya, jika malam menjelang maka takkan ada satupun taxi yang melintas.

            Oik sampai di gerbang sekolahnya dengan napas satu-satu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri. Nihil. Jalanan telah sepi karena –memang- ini sudah menjelang maghrib. Oik terduduk lemas di depan gerbang sekolahnya. Matanya menatap nanar jalanan lengang di hadapannya.

            “Hey!” sapaan itu datang seiring dengan sebuah tepukan lembut di pundak Oik.

            “Ya?” Oik pun menengok ke belakang dan mendapati.. “Cakka?”

            “H-hm..” sosok laki-laki –nyaris- sempurna yang berdiri di belakangnya itu mengangguk pelan.

            Jantung Oik mendadak berdegup kencang. Selalu. Selalu seperti ini jika ia sedang mengobrol atau berpapasan dengan Cakka. Bahkan, jantungnya pun sudah konser ketika ia tak sengaja melihat Cakka di kejauhan.

            Oik lantas berdiri. Sejenak, ia membersihkan rok abu-abunya yang diserbu oleh debu-debu halus. Ia pun menatap Cakka dan kunci motor yang dibawa lelaki itu bergantian. Oik menggigit bibir bawahnya dengan gugup.

            “Belum pulang, Ik?” tanya Cakka, nadanya masih sehalus tadi ketika menyapanya.

            Oik menggeleng dengan wajah cemberut, “Belum. Bunda, ayah, dan sopir ga ada yang bisa jemput aku. Kamu.....”

            “Aku apa?” sela Cakka.

            “Aku bisa bareng kamu?” tanya Oik.

            Senyum lebar mendadak terukir di wajah tampannya. Cakka mengangguk bersemangat, “Boleh! Asalkan.....”

            “Apa?” tanya Oik lagi, dengan cepat.

            “Kamu mau jadi pacarku.”

            Oik berdecak, “Kamu jangan bercanda Cakka. Aku ingin pulang!”

            “Aku serius, Oik.” Cakka menggenggam kedua tangan Oik dan menatap mata gadis itu dengan serius, “Aku. Sayang. Kamu.”

            “Oke. Oke. Aku juga sayang kamu. Sekarang kamu antar aku pulang!” ujar Oik, ia melepaskan genggaman Cakka dari kedua tangannya.

            Dengan segera, Cakka menggenggam lembut jemari Oik dan menggandengnya menuju pelataran parkir. Begitu sampai, Cakka segera menaikki motornya dan menyalakan mesin. Oik pun naik ke boncengan. Keduanya melaju menuju rumah Oik. Jalanan sudah mulai ramai karena maghrib telah berlalu.

            “AKU SAYANG KAMU, OIK!” teriak Cakka, suara lelaki itu membelah malam Jogjakarta dengan sempurna.

            “Kamu gila!” desis Oik, masih tetap menatap bangunan di depannya.

            “Gila karena kamu,” lanjut Cakka.

            Lagi-lagi, lelaki itu mengecup puncak kepala Oik dengan lembut dan singkat. Oik kembali menahan napas dibuatnya. Ckck. Cakka ini memang jago membuatnya terdiam kaku, speechless, dan blushing dalam waktu yang bersamaan.

            “Ayo lanjut ke tempat berikutnya,” seru Cakka dengan riang.

            Cakka memutar tubuhnya, melepaskan tangannya dari pinggang Oik, dan kembali menghadap depan. Oik melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka setelah berhasil memakai helm. Cakka pun mulai menyalakan mesin motornya dan keduanya berlalu menuju tempat kedua.

**

            “Malioboro?” lirih Oik, pelan-pelan ia dan Cakka membuka helm masing-masing.

            Cakka tersenyum dan merangkul Oik dari samping begitu keduanya turun dari atas motor. Malioboro pun masih ramai meskipun jam tengah menunjukkan pukul satu malam.

            “Iya. Masih ingat? Ini tempat kencan pertama kita.”

            Cakka dan Oik berjalan di tengah keramaian Malioboro malam itu. Oik menatap sekelilingnya dengan was-was. Takut ia akan terpisah dengan Cakka saking ramainya Malioboro. Cakka sekilas melirik Oik. Ia sadar betul ketakutan yang terpancar dari raut wajah gadisnya itu.

            “Kenapa, sayang?” tanyanya.

            “Engga. Ga kenapa-kenapa, kok.” kata Oik, ia memaksakan senyum terukir di bibirnya.

            “Takut kepisah, ya?” bisik Cakka.

            Oik mengangguk ragu-ragu. Cakka tersenyum kecil. Ia pun mengeratkan genggamannya pada jemari Oik. Walaupun begitu, Oik tetap merasakan kelembutan dan kenyaman dari eratnya genggaman Cakka. Oik mulai tersenyum lepas, tak takut akan terpisah dengan Cakka lagi karena lelaki di sampingnya itu tengah menggenggamnya sangat erat dan pasti tak akan membiarkannya menjauh sedikitpun darinya.

            “Ada yang jual kalung, Ik!” kata Cakka.

            Oik mengekor arah telunjuk Cakka. Benar saja. Ada penjual kalung di sana. Dengan antusias, Cakka membimbing Oik ke sana. Keduanya sampai di depan penjual itu dalam beberapa detik berikutnya. Cakka dan Oik tampat melihat-lihat terlebih dahulu.

            “Mau pakai kalung kembaran?” tanya Cakka.

            “Boleh,” Oik mengangguk cepat.

            Beberapa menit kemudian, Cakka dan Oik berlalu dari penjual kalung tersebut dengan wajah sumringah. Cakka memakai sebuah kalung berliontinkan huruf O dan Oik memakai sebuah kalung berliontinkan huruf C.

            “Kamu takut kepisah dari aku,” goda Cakka, ia menoel dagu Oik dengan gemas.

            “Kamu overprotektif!” balas Oik.

            “Biar kamu ga hilang, sayang..” tutur Cakka, benar-benar dengan nada lembut.

**

            “Ik..”

            “Apa, sih, Kka?” tanya Oik, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari novel yang sedari tadi ia baca.

            “Sudah gelap. Kamu ga mau pulang?” tanya Cakka.

            Oik tak menanggapinya. Gadis itu sedang larut dalam dunianya sendiri. Cakka menggelengkan kepalanya.

            “Sayang..” panggil Cakka, “Aku cium, nih, kalau masih pacaran sama novel itu!”

            Oik kembali tak menanggapinya. Cakka semakin sebal. Ia pun beranjak untuk duduk lebih dekat lagi dengan Oik. Kepalanya juga telah berada tepat di samping kepala gadis itu. Tinggal beberapa centi lagi agar bibirnya menempel di pipi Oik ketika.....

            PLAK!

            “Kamu ngapain?” tanya Oik, memandang datar wajah Cakka yang baru saja ia pukul dengan novelnya.

            Cakka meminggirkan novel itu dari wajahnya dan memasang wajah cemberut di depan Oik, “Kamu, sih, ngacangin aku. Yang pacar kamu itu aku, bukan novel itu!” sungutnya.

            “Memangnya ada alasan buat aku ga ngacangin kamu?” tanya Oik.

            Cakka gelagapan. Ia menengok ke kanan, ke kiri, ke atas, dan..... “Kamu lihat ke atas, deh. Ke langit. Rasi bintangnya bagus, sayang!”

            Oik mengikuti perkataan Cakka. Ia mendongakkan kepalanya agar dapat menatap langit malam itu, “Indah!” gumamnya.

            Cakka tersenyum lebar, “Tuh, kan! Apa aku bilang..”

            Oik masih saja menatap kagum rasi bintang di atas sana. Ia kembali mengabaikan Cakka. Cakka kembali sebal. Ia hanya memandangi wajah Oik dari samping semenjak beberapa menit yang lalu. Mata Oik terlihat berbinar ketika itu.

            “Mengapa kamu sebegitu kagumnya dengan rasi bintang di atas sana?” tanya Cakka.

            “Karena rasi bintangnya benar-benar indah,” lirih Oik.

            “Mengapa kamu ga sadar kalau kamu lebih indah daripada rasi bintang itu?” tanya Cakka lagi.

            “Mereka yang paling indah malam ini, Kka!” bantah Oik.

            “Untuk aku, tetap kamu yang paling indah. Kapanpun dan dimanapun. Kamu yang Tuhan kirim untuk aku, bukan rasi bintang di atas sana.” kata Cakka.

            Oik tersenyum kecil dan Cakka menyadarinya. Perlahan, Oik menurunkan pandangannya menuju hamparan rumput di hadapannya dengan masih tersenyum kecil.

            “Dan untuk aku, ga ada yang bisa gantiin kamu. Berjuta rasi bintang paling indah sekalipun,” Oik kembali tersenyum kecil, kali ini dengan semburat merah yang menghiasi rona pipinya.

            Oik pun bergerak untuk menengok Cakka. Belum sempat ia melihat wajah Cakka sepenuhnya, tiba-tiba saja sesuatu menyabu seluruh bagian bibirnya. Ia terpekik dalam hati. Hatinya mendadak berdesir. Begitupula Cakka. Keduanya larut hingga bermenit-menit.

            Oik mendorong pelan dada Cakka. Sedikit member jarak antara ia dan Cakka. Ia menatap Cakka yang masih menatapnya itu. Dengan cepat, ia menghambur dalam pelukan lelaki itu, sekedar untuk menyembunyikan rona pipinya yang sudah menggila dan berubah menjadi semerah tomat.

            “Gimana, sayang?” goda Cakka, tentu saja dengan menahan tawa.

            “You stole my first kiss! It’s not fair!” desis Oik.

            “Hey! Tapi buktinya kamu juga mau! Kan, bisa saja waktu itu kamu menolak dan langsung dorong aku,” kilah Cakka.

            Oik kehabisan kata. Ia hanya memandang Cakka dengan kesal dan gemas. Lelaki itu selalu saja bisa membuatnya merasakan kesal dan gemas dalam waktu yang sama. Aneh, bukan?

            “Sudah, ga usah cemberut. Mau dicium lagi biar ga cemberut?” goda Cakka, lagi.

            Oik menggeleng cepat. Ia mencium pipi Cakka secepat kilat, “Karena aku yang akan cium kamu duluan. Sudah, ayo ke tempat selanjutnya! Kamu mau ajak aku ke mana lagi jam dua dini hari begini?”

**

            “Kamu lapar?” tanya Cakka, dari balik helmnya.

            “Banget! Tadi ga sempat makan. Kamu tau sendiri aku sibuk menyelesaikan tugas,” teriak Oik.

            “Kita makan, ya? Kamu mau seafood yang di dekat UGM itu?” tanya Cakka lagi.

            “Mau! Aku sudah lama ga makan di sana sama kamu!” teriak Oik lagi, dengan antusias.

            Cakka pun melajukan motornya menuju daerah UGM. Di sepanjang jalan itu banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan. Cakka segera menepikan motornya di sebuah warung tenda kecil yang biasa ia singgahi bersama Oik. Keduanya melepas helm dan duduk lesehan di salah satu tempat yang tetap dapat melihat suasana di luar sana walaupun tertutup oleh spanduk-spanduk.

            Seorang lelaki datang dengan membawa daftar menu sederhana dan sebuah kertas serta bolpoin untuk mencatat pesanan mereka, “Pesan apa?” tanyanya.

            “Saya es jeruk sama udang saus pedas aja,” kata Oik.

            “Samakan aja, Mas.” kata Cakka.

            Lelaki tadi pun berlalu. Keduanya kembali mengobrol. Hingga akhirnya, pesanan pun datang. Oik dan Cakka mulai mencuci tangan mereka pada sebuah mangkuk kecil berisikan air bersih. Setelahnya, mereka menyantap makanan masing-masing dengan lahap.

            “Ik..” panggil Cakka.

            Oik mendongak dan menatap Cakka, “Kenapa?”

            “Itu,” Cakka mengedik pada sudut bibir Oik, “Nasinya nyangkut di situ.”

            “Oh,” Oik pun mengusap sudut bibirnya, berusaha mengenyahkan nasi itu dari sana.

            “Masih ada..” kata Cakka.

            “Mana, sih?” tanya Oik, tangannya kembali menyapu sudut bibirnya, “Ga ada, Kka.”

            “Ada!” Cakka tetap keukeuh.

            Cakka berdecak. Jemarinya terulur untuk menyapu sudut bibir Oik dan mengenyahkan butiran nasi itu dari sana. Setelahnya, Cakka tersenyum kecil.

            “Tuh, ada..”

            Oik hanya mengangguk kecil dan menunduk untuk menyembunyikan rona pipinya yang kembali memerah karena perilaku Cakka padanya.

**

            Oik menginjakka kakinya di teras rumah Cakka, mengedarkan pandangannya pada setiap sudutnya. Rumah Cakka nampak sepi. Cakka sendiri, sedang membuka pintunya dengan kunci yang tadi ia rogoh dari saku celananya.

            “Kok rumah kamu sepi?” tanya Oik, menatapnya sekilas.

            “Iya. Ayah lagi di rumah nenek, ada saudara yang datang dari Jakarta. Mas Elang lagi ada perlu di Solo. Aku sendirian di rumah,” jawab Cakka.

            Oik mengangguk mengerti. Pintu pun terbuka. Cakka melangkah masuk, diikuti dengan Oik. Cakka kembali menutup pintunya. Setelah itu, ia mengambil tas gitar dari pundak Oik dan meletakkannya di sofa ruang tamu.

            Cakka berlalu menuju ruang keluarga dan menyalakn TV, lalu duduk di sebuah sofa empuk yang menghadap TV. Oik duduk di sampingnya.

            “Terus kamu ngapain ajak aku kemari kalau rumah kamu sepi?” tanya Oik.

            “Mau ngapa-ngapain kamu,” jawab Cakka, singkat.

            “HAH?!” Oik terlonjak dari sofa, buru-buru ia duduk menjauh dari Cakka.

            Tawa Cakka meledak, “Kamu kenapa, sayang?” tanyanya, disela-sela tawanya.

            “Kamu..... Mau ngapa-ngapain..... Aku?” tanya Oik, terbata.

            “Takut banget, sih?” Cakka mengulurkan lengannya untuk menarik Oik agar duduk kembali di sampingnya. Dengan berat hati, Oik kembali duduk tepat di samping Cakka.

            “Kamu mau ngapain?” tanya Oik langsung ketika Cakka menyandarkan kepala Oik pada dada bidangnya dan memeluk Oik dari samping.

            “Memangnya kamu mau aku apain?” tanya Cakka balik.

            “Gimana kalau kamu bunuh aku aja?” Oik berubah menjadi sinis.

            Lagi-lagi tawa Cakka meledak, “Kamu takut sama aku? Kamu takut aku apa-apain? Memangnya selama ini aku ga pernah ngapa-ngapain kamu?” tanya Cakka beruntun.

            Oik menggeleng cepat, “Aku pulang, nih, kalau kamu mau ngapa-ngapain aku!”

            “Engga. Aku ga mau ngapa-ngapain kamu.” kata Cakka, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Oik.

            “Jangan kenceng-kenceng peluknya, sayang. Aku ga bisa napas!” pekik Oik.

            Cakka kembali tertawa. Ia pun melonggarkan pelukannya pada Oik dan mengeceup singkat pipi gadisnya itu. Setelahnya, Cakka kembali fokus dengan film yang diputar di salah satu channel TV swasta nasional itu.

            “Kamu ingat? Dulu, di sini, untuk pertama kalinya kamu nangis di depanku, di pelukanku..” bisik Cakka, lagi-lagi ia tersenyum kecil.

            “Iya, waktu aku ingat eyangku yang sudah ga ada,” lanjut Oik.

            “Dan aku peluk kamu seperti ini..” Cakka pun mengalihkan pandangannya dari layar televisi dan memutar tubuhnya menghadapn Oik. Kembali ia tenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. Oik kembali tersenyum dan memejamkan matanya.

            “Kita mau ke mana lagi setelah ini?” tanya Oik, masih tetap dengan mata tertutup.

            “Rahasia. Tapi ini masih terlalu gelap. Kita tunggu sampai pukul lima, ya..” ujar Cakka.

            Oik mengangguk dalam pelukannya, “Masih ada dua jam lagi. Aku tidur, ya, sayang. Ngantuk,”

            “Iya. Tidur aja. Tapi tetap dalam posisi ini, ya..” balas Cakka.

            Oik kembali mengangguk. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap. Ketika menyadari Oik telah terlelap, Cakka sedikit memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Oik yang sedang tertidur. Cakka memandang Oik dengan gemas. Ia pun mencium ujung hidup Oik dan ikut tertidur bersama Oik, dengan posisi ia yang masih memeluk Oik dengan kencang.

**

            Oik menggeliat kecil. Masih dalam pelukan Cakka. Ia menguap lebar, tak peduli dengan Cakka yang akan menatapnya aneh ketika tau ia menguap sangat lebar. Perlahan, ia buka matanya. TV di hadapan keduanya masih menyala. Oik berusaha mendorong tubuh Cakka sedikit. Gagal. Cakka memeluknya sangat erat.

            “Kka..” panggil Oik, suaranya terdengar parau.

            “Hn,” Cakka menggumam kecil dengan mata yang masih tertutup rapat.

            “Bangun!” Oik melirik ke jam dinding yang terpasang di atas televisi, “Sudah pukul lima, Kka. Katanya kamu mau ajak aku ke suatu tempat.”

            “Oh,”

            Cakka menguap lebar. Oik tertawa kecil dibuatnya. Cakka pun menatap Oik yang masih berada dalam pelukannya. Cakka tersenyum padanya, dengan mata yang masih setengah terbuka.

            “Gutten Morgen, Mrs Nuraga!” sapanya, dengan bersemangat. Ia mengecup singkat bibir gadisnya itu dan melepas pelukannya.

            “Sugeng enjing, Mr Nuraga!” sapa Oik balik, “Usil banget, sih, kamu asal cium aja..” kata Oik, ia memencet ujung hidung Cakka dengan gemas.

            “Oh, ga mau aku cium? Ya sudah, awas kalau kamu minta aku cium lagi!” ancam Cakka.

            Sebelah alis Oik terangkat, “Memangnya ku pernah minta kamu untuk cium aku?”

            Cakka terdiam. Memang. Biasanya Cakkalah yang langsung menciumnya tanpa izin. Oik sampai kesal dibuatnya. Pernah, sekali waktu, Cakka menciumnya di depan ayah Cakka. Kalian tau seberapa malunya Oik ketika itu? Ia benar-benar ingin menenggelamkan Cakka di Pasifik saat itu juga.

            Cakka pun berdiri. Ia lantas menarik tangan Oik menuju ruang tamu dan menyampirkan tas gitar miliknya lagi di pundak Oik. Keduanya pun melaju ke suatu tempat yang Cakka rahasiakan semenjak tadi.

**

            Oik melepas sandal rumahannya dan menjinjingnya dengan tangan kiri. Cakka pun juga. Ia melepas sandalnya dan menjinjingnya. Persis seperti apa yang Oik lakukany. Keduanya menjejakkan kaki masing-masing di putihnya pasir pantai itu. Pantai. Ya. Cakka mengajak Oik ke pantai. Bukan Parangtritis, tentunya. Karena hanya ada mereka berdua di pantai itu. Oik melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka yang sedang berjalan di kanannya.

            “Tas gitarnya kamu taruh aja, sayang..” bisik Cakka.

            “Sejak kapan, sih, kamu suka bisik-bisik seperti ini?” dengus Oik.

            Oik pun melepas tas besar itu dan meletakkannya sembarangan. Di atas pasir pantai itu, tak jauh dari tempat Cakka berdiri. Setelah memastikan tas itu takkan terkena hempasan ombak, Oik berlari kecil ke arah Cakka. Kembali melingkarkan tangannya di pinggang Cakka.

            “Tunggu sampai mentarinya berwarna oranye, ya!” kata Cakka, Oik hanya mengangguk.

            Keduanya menyusuri bibir pantai itu dengan sesekali tertawa riang. Cakka pun melingkarkan tangannya di bahu Oik. Dan sekarang, dengan jahilnya, Cakka menyiratkan air pantai itu ke arah Oik setelah melepas pelukan mereka satu sama lain.

            “CAKKA USIL BANGET!” teriak Oik dengan kesal.

            Oik pun membalas ‘serangan’ dari Cakka. Keduanya bermain dengan air hingga pakaian yang mereka kenakan hampir basah kuyup.

            “Ik, lihat mentarinya!” perintah Cakka.

            Oik menengok ke samping. Ia kembali berdecak kagum. Mentari itu tengah berwarna oranye keemasan. Sang mentari bersiap menuju tahtanya dan menyinari bumi pertiwi. Oik berjalan mendekat ke arah Cakka. Cakka mencium pipinya pelan dan menggenggam tangan Oik menuju tas gitarnya.

            Keduanya duduk di atas hamparan pasir pantai. Bersila dan menghadap sang mentari yang tengah bersiap menyinari bumi pertiwi. Cakka segera mengeluarkan gitar dari dalam tas itu dan mulai memetiknya asal-asalan.

            Oik meliriknya sekilas, “Kamu mau main gitar?” tanya Oik.

            “Iya, kenapa?” tanya Cakka balik.

            “Ajarin aku, ya?” rengek Oik dengan nada manja.

            Cakka tertawa sesaat. Akhirnya Cakka mengangguk. Oik memekik girang. Dengan segera, Oik berpindah duduk menuju samping Cakka. Cakka memeluknya dari samping. Sebuah gitar kini tengah berada dalam genggaman keduanya. Keduanya berbagi gitar seraya menyambut bersinarnya sang mentari.

            “Gimana kalau aku nyanyi untuk kamu dulu?” tawar Cakka, Oik mengangguk.

            Oik menggeser duduknya, member jaarak beberapa centi antara dirinya dan Cakka. Cakka pun kembali memetik gitarnya. Cakka mulai bersenandung. Tapi, tetap saja, dengan melihat wajah Oik dalam-dalam.

Cruising when the sun goes down
Cross the sea
Searching for something inside of me

I would find all the lost pieces
Hardly feel deep in real
I was blinded now I see

Hey hey hey you’re the one
Hey hey hey you’re the one
Hey hey hey I can’t live without you

Take me to your place
When our heart belongs together
I will follow you
You’re the reason that I breath

I’ll come running to you
Fill me with your love forever
Promise you one thing
That I would never let you go
‘Cause you are my everything

You’re the one, you’re my inspiration
You’re the one, kiss, you’re the one
You’re the light that would keep me safe and warm
You’re the one, kiss, you’re the one

Like the sun goes down, coming from above all
To the deepest ocean and highest mountain
Deep and reel deep I can see now

(You Are My Everything – Glenn Fredly)

            Oik bertepuk tangan, tepat ketika Cakka mengakhiri senandungnya pagi itu. Oik menatap Cakka dengan mata berbinar. Seulas senyum bahagia muncul di bibir Cakka. Sungguh, hanya Oik yang mampu membuatnya sebahagia ini. Hanya Oik. Ya, hanya dia.

            “Kamu keren dan akan selalu jadi yang paling keren untuk aku,” kata Oik.

            “Makasih,” gumam Cakka.

            Cakka mencium kening Oik, “Makasih,” lalu kelopak matanya, “Karena telah membuatku berarti,” lalu pipinya, “Karena telah membuatku merasakan indahnya cinta,” lalu ujung hidungnya, “Dan karena telah mengajariku apa itu arti kehidupan,”

            Cakka menarik kepalanya. Ia kembali tersenyum dan menatap Oik dalam. Oik hanya menundukkan kepalanya seraya tersenyum kecil. Tangan kanan Cakka mengangkat dagu Oik, memaksa gadis itu agar balik menatapnya. Ketika Oik telah menatapnya balik, dengan cepat Cakka mengecup bibirnya.

            “You are my everything..” gumam Cakka, disela-sela ciumannya.

            Keduanya tetap berada dalam posisi itu dalam beberapa menit. Ah, bahkan, dalam beberapa puluh menit. Bibir keduanya saling bertaut, seiring dengan mentari yang mulai merangkak naik, diiringi suara deburan ombak yang memecah keheningan, dan ditemani pemandangan pagi yange begitu memukau.

(The End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

STILL.. [1 of 2] : Ify-Rio-Shilla

Aku bagaikan perokok pasif dan kaulah perokok aktifnya. Kau yang merokok dan akulah yang paling terkena efeknya. Kaulah yang melakukan dan aku yang akan paling tersakiti. – no name

**

            Ify baru saja turun dari stage. Dengan long dress berwarna merah menyala dan mic yang masih berada di tangannya, ia berjalan menuju backstage. Sesekali ia tersenyum ramah pada para IFC –penggemarnya-. Pengawalan ketat selalu diberlakukan untuk dirinya. Bodyguard berada di kanan dan kirinya.

            Begitu sampai di backstage, ia segera menghambur ke ruangan yang memang diperuntukkan padanya dan para crewnya. Segera ia buka pintunya dan menghempaskan diri ke sebuah sofa besar di sudut ruangan. Ruangan itu sepi. Para crewnya telah memboyong peralatannya ke minni bus IFCrew.

            “Istirahat dulu, Fy..” sapa sebuah suara.

            Ify mendongak, mencari sumber suara. Ada Gabriel –managernya- di sana. Ify hanya mengangguk. Gadis berwajah tirus itu pun kembali mengistirahatkan matanya, menutup kelopaknya secara perlahan. Sedangkan Gabriel, dengan perlahan, melepas sepatu Ify dan mengangkat kedua kaki Ify menuju sofa.

            Ify telah terlelap. Wajar saja karena jadwalnya akhir-akhir ini memang terlampau padat. Gabriel menghandle seluruhnya dengan baik. Ify pun telah percaya dengan lelaki itu sepenuhnya. Ya, sepenuhnya.

            Drrt drrt..

            Gabriel terkesiap. Ia meletakkan sejenak sebuah tas besar berisikan pakaian show Ify dan mengambil ponsel di saku celananya. Ponsel Ify. Memang. Gabriel lah yang memegang ponsel itu ketika Ify sedang show. Gabriel juga yang biasa mengangkat panggilan dari Rio –pacar Ify- yang merupakan seorang anak dari direktur utama RiStar, sebuah management artis terbesar di Indonesia.

            Rio Hunnn is calling

            “Ada apa, Yo?”

            “Di mana Ify? Kenapa selalu kamu yang mengangkat panggilanku?”

            “Ify sedang beristirahat. Ia baru saja turun dari stage.”

            “Dia selalu lupa mengabariku. Cih!”

            “Maklum, Yo. Jadwal Ify bulan ini sangat padat.”

            “Katakan padanya padanya bahwa kami harus bertemu besok. Di tempat biasa. Pukul delapan malam.”

            “Ba---,”

            Tut tut tut..

            Gabriel terkesiap. Rupanya Rio telah memutuskan panggilan sepihak. Lelaki jangkung itu hanya mengedik dan kembali mengantongi ponsel Ify. Gabriel kembali pada tas besar itu. Mulai mengangkatnya dan.....

            Drrt drrt..

            “Sial! Ada saja yang mengganggu pekerjaanku!” umpatnya.

            Ia letakkan tas itu –untuk yang kedua kalinya- dan menyamber ponselnya sendiri. Ia mengedik sekilas pada layarnya. Sepupunya yang menelepon. Dengan cepat, ia angkat panggilan tersebut. Menyadari ada yang tidak beres karena sepupunya itu sampai meneleponnya.

            “Ada apa?”

            “Ibu kamu kritis, Gab. Kamu harus cepat-cepat ke Bandung!”

            “Ibu kritis? Kamu serius?”

            “Iya! Untuk apa aku bohong padamu soal ini?”

            “Tap- Tapi aku tidak bisa meninggalkan Ify begitu saja di sini. Jadwalnya padat sekali. Aku harus mencari manager pengganti terlebih dahulu.”

            “Kamu bisa percaya padaku, Gab. Biar aku yang menangani Ify untuk beberapa hari, sampai ibumu sadar. Kamu hanya perlu mengajariku bagaimana cara mengurus artismu itu.”

            “Kamu serius? Baiklah. Sore ini juga aku akan ke Bandung. Kamu standyby di rumah sakit saja. Aku langsung ke sana.”

            “Baiklah. Kami semua menunggu kedatanganmu, Gab.”

            Gabriel menutup panggilan dari sepupunya itu dengan mengumpat pelan. Ia harus cepat-cepat mengantar Ify pulang dan berangkat ke Bandung. Gabriel segera meletakkan ponselnya, mengangkat tas besar tadi ke minni bus IFCrew, dan membangunkan Ify.

            Begitu keduanya telah berada di dalam Mercedes-Benz milik Ify –dengan Gabriel yang menyetir dan Ify duduk di sampingnya-, Gabriel sibuk merangkai kata untuk menajukan izin kepada Ify. Pasalnya, ia sudah berjanji kepada sepupunya itu bahwa ia akan berangkat ke Bandung hari ini juga.

            “Fy..”

            Ify menengok kepadanya dengan alis terangkat sebelah, “Ada apa, Gab?”

            “Ibuku kritis di Bandung dan seluruh keluargaku menungguku di sana. Aku boleh izin untuk menjenguk ibuku beberapa hari, kan?” tanya Gabriel.

            “Lalu siapa yang akan mengatur seluruh jadwalku?” mata Ify membulat sempurna.

            Gabriel meliriknya sekilas, “Tetap aku yang akan mengatur. Sepupuku dari Bandung yang akan menemanimu selama aku berada di sana. Aku akan tetap mengontrolmu.”

            “Hn,”

            “Dan, ah ya! Rio memintamu untuk datang ke tempat biasa, besok, pukul delapan malam. Sudah kumasukkan ke jadwalmu.”

            Ify hanya mengangguk. Malas. Ia menyadari bahwa –pasti- kinerja sepupu Gabriel nanti tak sebagus kinerja Gabriel sendiri. Perasaannya mulai tak enak.

**

            Begitu sampai di apartemennya –setelah mengantar Ify pulang-, Gabriel langsung bergegas mengemasi barangnya untuk beberapa hari ke depan. Setelahnya, ia turun dan menuju receptionist untuk menitipkan kunci apartemennya. Ia pun langsung meluncur menuju Bandung, menyetir sendiri.

**

            Gabriel memarkirkan Yaarisnya di pelataran sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Bandung. Ia menuju bagasi dan menarik keluar sebuah tas ransel, menutupnya, dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Tangan kanannya sibuk memencet keypad ponselnya, menghubungi sepupunya –yang sepertinya- telah menunggu di salah satu sudut lobby rumah sakit.

            “Gabriel!”

            Gabriel mendongak. Ia acuhkan ponselnya dan mengedarkan pandangan, mencari asal suara. Ada sepupunya di dekat sebuah sofa panjang. Gabriel mengangkat tangan kanannya. Ia pun melepas kaca mata hitamnya dan berjalan menghampiri sepupunya tersebut.

            “Bagaimana keadaan ibu?”

            “Masih kritis. Lebih baik kita cepat-cepat ke ruang perawatannya saja.”

            Keduanya berjalan berdampingan. Sesekali mengobrol. Beberapa saat berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit, keduanya sampai di depan sebuah ruang perawatan VVIP. Sepupunya itu pun membuka perlahan daun pintu, terlihat beberapa sanak saudara di dalam sana. Gabriel menghambur masuk dan menuju bed tempat ibunya terbujur lemah.

            “Kamu tunggui beliau sampai sadar, ya. Aku bisa menggantikanmu di Jakarta.” sepupunya itu menepuk pundak Gabriel dari belakang.

            Gabriel menengok ke belakang tanpa membalikkan badannya. Ia tersenyum berterima kasih kepada sepupunya itu.

            Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada sang sepupu, juga memberikan sebuah agenda berisikan jadwal Ify untuk seminggu ke depan, sepupu Gabriel itu langsung menggeret kopernya dan mencari taxi di pelataran rumah sakit. Taxi itu melaju menuju seuah stasiun tak jauh dari situ.

**

            Ify berada di dalam Mercedes-Benz miliknya. Sopirnya telah berada di luar, menunggu sepupu Gabriel yang turun dari kereta. Ify mendengus kesal. Ia telah menunggu sepupu Gabriel itu lebih dari sepuluh menit. Ia sebenarnya mau-mau saja tidak ikut menjemputnya. Tapi, bukankah itu tidak sopan? Jadilah ia di sini sekarang. Bersembunyi di dalam mobil agar tak digeruduk fansnya.

            “Neng Ify, ini sepupunya mas Gabriel sudah datang,”

            Ify terkesiap. Ia mengucek matanya pelan dan mendapati sopirnya berada di luar, mengetuk kaca mobilnya. Ify segera membuka kaca mobilnya. Gadis itu melongok, menatap seorang gadis berpenampilan cupu di belakang sopirnya. Ify pun tersenyum.

            “Sepupunya Gabriel, ya?” tanya Ify.

            Gadis dengan rambut kepang dua itu mengangguk, “Iya, mba’..”

            “Ya udah, ayo masuk sini..” ajak Ify.

            Pintu pun terbuka dari luar. Gadis kepang dua itu segera masuk dan duduk bersebelahan dengan Ify. Sopir Ify kembali menutup pintunya dan beralih meletakkan koper besar itu di bagasi. Setelahnya, ketiganya pun melesat menuju rumah Ify. Untuk sementara, Ify menyuruh sepupu Gabriel itu tinggal di rumahnya. Ia tak mau gadis itu tinggal seorang diri di apartemen Gabriel.

**

            Ify dan gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah megah Ify. Koper telah digeret oleh sopir Ify menuju kamar tamu, tepat di samping kamar Ify. Ify segera menggandeng gadis itu menuju ke sana. Dengan canggung, gadis kepang dua itu berjalan melewati ruangan-ruangan paling mewah yang pernah ia lihat.

            “Nah, kita sampai!” seru Ify dengan girang.

            Keduanya tengah berada di depan sebuah daun pintu besar. Ify melepas gandengan tangannya dan mendorong daun pintu di depannya. Pintu perlahan terbuka. Gadis di sampingnya nampak menahan napas ketika daun pintu itu telah terbuka lebar.

            “Ini kamar kamu untuk beberapa hari ke depan,” kata Ify.

            Ify menyeruak masuk ke dalam kamar bernuansa hitam dan putih tersebut. Gadis itu mengekor. Ia melihat kopernya telah terbuka dan kosong. Rupanya seluruh pakaiannya telah tertata rapi di dalam sebuah almari dengan pintu geser di pojok kamar itu.

            “Mba’, apa ini tidak terlalu mewah untuk saya?” tanyanya, ragu-ragu.

            “Hn?” Ify menengok padanya dan tersenyum tipis, “Anggap rumah sendiri saja.”

            “Terima kasih,” gumam gadis itu.

            Ify melihat gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut panjang yang terkepang dua, kaca mata tebal yang sesekali melorot hingga ke hidung, wajah yang kusam, blouse tua yang warnanya telah memudar, rok lipit yang semakin lebar ke bawah, dan sandal jepit yang biasa dijual di warung-warung pinggir jalan. Seketika itu pula, sebuah ide menghampiri otak gadis cantik itu. Senyumnya mengembang.

            “Sekarang kamu istirahat dulu,” Ify mendorong pelan gadis itu hingga ia terduduk di kasur empuk kingsize, “Nanti sore, sekitar pukul empat, aku ajak kamu jalan-jalan.”

            Gadis kepang dua itu hanya mengangguk perlahan. Ify pun tersenyum senang. Ia menepuk pelan pundak gadis itu dan berlalu menuju kamarnya sendiri. Gadis kepang dua itu tersenyum senang. Ia diperlakukan dengan baik di sini.

**

            “Mba’, kita ngapain kemari?” tanya gadis kepang dua itu, ia menahan lengan Ify yang sudah akan mendorong pintu semi kaca di depannya itu.

            Dahi Ify berkerut heran. Ia menatap butik di depannya itu. boutIFY. Butik miliknya sendiri, “Kita beli pakaian untuk kamu. Apa lagi?”

            Gadis itu mengerjapkan matanya. Tangannya terulur untuk mengambil sebuah dompet plastic di saku roknya. Wajahnya berubah sedih ketika melihat tak selembar uang pun bertengger di sana. Ia mendongak, menatap Ify dengan wajah sedih, “Aku tidak punya uang, mba’ Ify.”

            Ify mengibaskaskan tangannya, “Panggil aku teh Ify saja, aku juga orang Bandung, sama sepertimu.”

            Gadis itu mengangguk, “Kita ke pasar saja, yuk, teh. Kalau di pasar, kan, bisa hutang. Nanti kalau sudah dapat kiriman dari Gabriel, baru aku bayar. Ya, teh?” bujuknya.

            Wajah Ify berubah. Ia mendadak tertawa lebar. Dengan segera, ia menggeret gadis itu masuk ke dalam butiknya, “Ini butik milikku. Kamu bisa mengambil seluruh pakaian yang kamu mau. Dan, jangan lupa! Kamu harus memakainya. Titik! Tidak ada tapi-tapi!”

            “Tapi teh---,”

            Ify menyilangkan telunjuknya di depan bibir, “Sudah---, nama kamu siapa? Aku belum tahu nama kamu semenjak tadi kita bertemu di stasiun.”

            “Aku Shilla, teh. Ashilla Zahrantiara.”

            Ify mengangguk mengerti. Ia mendudukkan Shilla di sebuah kursi kayu di dekatnya, “Kamu duduk di sini dulu, ya, Shill. Aku cari styler dulu. Biar dia yang nanti pilihin pakaian untuk kamu.”        

            Shilla mengangguk mengerti. Ify kembali tersenyum. Dalam sekejap, Ify sudah menghilang di antara pakaian-pakaian yang terpajang di sana. Shilla menghembuskan napasnya. Ia memandang sekeliling. Dress mewah bertebaran di mana-mana. Harganya pun pasti tak murah, seperti di pasar-pasar tradisional yang biasa ia beli.

            Beberapa menit kemudian, Ify kembali dengan menggandeng seorang gadis berkaca mata minus dengan frame tebal berwarna hitam dan dandanan yang modis. Ini pasti styler yang Ify maksud tadi. Shilla pun berdiri, menghadap kedua gadis cantik di hadapannya.

            “Nah, Shill.. Ini Angel. Styler andalan butikku. Kamu memilih pakaian dengan dia saja, ya. Aku tunggu kamu di sini,” kata Ify, Shilla mengangguk.

            Ify pun beralih pada Angel, “Carikan pakaian yang cocok untuk Shilla, Ngel. Dia akan jadi managerku untuk beberapa hari ke depan.”

            “Oke, teh.. Teteh bisa percaya sama saya.”

            Kedua gadis berpenampilan yang jauh berbeda itu pun melenggang, meninggalkan Ify. Ify lantas duduk dan membaca berbagai majalah fashion yang disediakan di sana. Kebetulan, butik tidak terlalu ramai sore ini. Jadilah Angel bisa mendampingi Shilla mencari pakaian.

**

            “Teh Ify.. Bangun, teh.. Teh.. Teteh..” Shilla menepuk-nepuk pipi Ify, Ify tertidur di kursi kayu butiknya.

            “Hn,” Ify mengulat.

            Detik berikutnya, Ify menguap lebar. Shilla dan Angel cekikikan di depannya. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Ify berdiri. Begitu matanya telah terbuka, ia dapat melihat Shilla yang sudah berganti pakaian. Gadis kepang dua itu kini tengah menggunakan dress one shoulder selutut berwarna tosca.

            “Nah! Ini baru cantik, Shill!” seru Ify, suaranya masih agak terdengar parau karena baru saja bangun tidur.

            Shilla menunduk dan tersenyum malu-malu. Ify mengangguk puas. Ia menjabat tangan Angel dengan tersenyum lebar.

            “Rambut dan riasan Shilla masih perlu dipermak, teh. Teteh bawa ke sebelah saja,” kata Angel.

            Ify mengangguk, “Iya. Ini aku akan membawanya ke sana. Kamu pilihkan pakaian-pakaian yang modis, kan, Ngel?” tanya Ify.

            “Iya. Teteh tidak usah khawatir. Aku juga sudah ajarkan bagaimana cara memakainya, kok.” lanjut Angel.

            Ify kembali mengangguk, “Ya sudah. Aku dan Shilla ke sebelah dulu, Ngel!” pamit Ify.

            Angel mengangguk. Ify pun segera menggandeng tangan Shilla keluar dari boutIFY dan menuju sebuah bangunan -yang tampak girly- yang berada tepat di samping boutIFY. Tas-tas belanjaan Shilla pun sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil oleh sopir Ify.

            “Ini tempat apa?” gumam Shilla, matanya menatap takjub bangunan girly di hadapannya.

            “Ini namanya salon, Shill. Salon milikku. Kamu tidak keberatan, kan, kalau rambut dan riasan kamu dipermak?” tanya Ify, Shilla hanya menggeleng.

            Keduanya pun segera masuk. Ify segera menyerahkan Shilla kepada salah seorang pegawainya. Lagi-lagi Ify hanya menunggu dan tertidur di sofa empuk berwarna shocking pink di sudut ruang tunggu.

**

            Keduanya telah sampai di rumah Ify. Seluruh barang belanjaan Shilla pun telah dibawakan oleh sopir Ify dan diletakkannya di kamar Shilla. Penampilan Shilla yang sekarang dengan yang beberapa jam lalu pun sudah berbeda jauh.

            Ify mengantar Shilla ke kamarnya. Ia ikut masuk ke dalam dan duduk di bibir ranjang Shilla, memandangi Shilla yang tengah mematut bayangan dirinya di depan sebuah cermin berukuran besar di sebelah almari pakaian. Shilla nampak tak percaya dengan apa yang ia lihat.

            “Itu benar-benar kamu, Shill. Kenapa kamu tidak percaya? Kamu itu cantik!” seru Ify.

            Shilla menggeleng tak percaya, “Terima kasih, teteh.”

            Ify mengangguk seraya tersenyum. Ia pun berdiri dan ikut mematut bayangan dirinya, di samping Shilla. Ia merangkul bahu Shilla. Keduanya tersenyum lebar di depan cermin.

            “Tidur yang nyenyak, Shilla. Sepertinya besok jadwalku sangat padat. Gabriel sudah memberimu agenda, kan?”

            Shilla mengangguk, “Sudah, teh. Iya, teteh juga tidur yang nyenyak, ya.”

            “Oke. Guten nacht, Shilla!”

            Ify pun beranjak mematikan lampu kamar Shilla. Kini hanya lampu redup night stand yang menyala. Ify keluar dari kamar Shilla dan menuju kamarnya sendiri.

**

            Shilla menengok ke jam tangannya. Sudah pukul enam lewat beberapa menit. Gadis itu pun segera menuju kamar Ify. Membuka pintunya dan menyibak tirai. Sinar matahari perlahan menelusup masuk ke kamar Ify. Ify mengubah posisi tidurnya, tidak tangan dengan sinar matahari yang menusuk kelopak matanya.

            “Teteh, bangun! Sudah pukul enam lewat! Teteh hari ini ada show!” seru Shilla, tangannya menepuk-nepuk lengan Ify pelan.

            “Hn,” Ify mengulat, semakin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut biru itu.

            Shilla berdecak. Dengan cepat, ia menyibak selimut tersebut. Memperlihatkan Ify yang masih tertidur. Shilla pun memutuskan untuk membangunkan badan Ify secara paksa. Ia tarik kedua tangan gadis berdagu tirus itu agar posisinya berubah menjadi duduk. Setelahnya, Ify pun membuka mata.

            “Teteh susah sekali dibangunkannya,” komentar Shilla.

**

            19.58, Reslaw Café

            Ify dan Shilla baru saja tiba. Keduanya pun segera masuk. Ify memilih untuk duduk di sudut terdalam café agar tak terlihat pengunjung lainnya. Bisa jumpa fans mendadak kalau begitu caranya. Ify menggandeng lengan Shilla menuju sebuah meja bundar dengan tiga kursi mengelilinginya. Keduanya duduk bersebelahan.

            “Ketemu bang Mario, ya, teh?” tanya Shilla, ketika keduanya telah nyaman di posisi duduk masing-masing.

            Ify mengangkat bola matanya dari buku menu yang ia pelototi beberapa detik belakangan, “Rio, Shill. Sebut dia Rio saja.”

            “Iya. Itu maksud aku, teh!” Shilla menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal.

            Ify hanya mengangguk, “Kamu pesan apa?”

            “Samakan dengan teteh saja.”

            Dahi Ify berkerut heran, “Aku hanya pesan salad dan green tea. Kamu mau makanan dan minuman seperti itu? Tidak mau makanan berat saja?” tanya Ify.

            Shilla menggeleng, “Aku tidak lapar, teh.”

            Sang pramusaji yang sedari tadi berdiri di dekat Ify dan Shilla pun segera mencatat pesanan keduanya. Setelahnya, ia pergi meninggalkan Ify dan Shilla dalam keheningan dan suasana yang temaram. Beberapa kali Ify mengedik pada jam tangan diamondnya, namun Rio tak kunjung datang. Ify mendengus menyadari ketidak tepatan waktu kekasihnya itu.

            “Shill, aku ke toilet sebentar..” pamit Ify.

            Shilla mengangguk, mempersilahkan. Ify berdiri dan melenggang menuju toilet. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh kurus dan jangkung berjalan menghampiri Shilla.

**

            Rio baru saja tiba di tempat ia dan Ify janjian. Ia tahu bahwa ia tak tepat waktu. Maka dari itu, dengan segera ia masuk ke café tersebut dan berjalan ke meja tempat ia dan Ify biasa duduk.

            Pelan-pelan, Rio menghampiri siluet seorang gadis yang duduk seorang diri di meja paling ujung. Ketika Rio sudah berada tepat di belakangnya, Rio menutup kedua mata gadis itu dari belakang dengan tangannya. Perlahan, ia maju dan mencondongkan wajahnya pada telinga gadis itu.

            “Tebak ini siapa..” bisiknya.

            Gadis itu menggeleng.

            Rio melepas tutupan matanya pada gadis itu. Ia menarik tubuh itu agar berdiri. Dengan segera, ia balikkan tubuh itu dan memeluknya dengan cepat. Ada yang aneh. Ini bukan perasaan yang biasa muncul ketika aku memeluk Ify..

            “Maaf aku terlambat. Maaf aku membuatmu menunggu. Aku kangen kamu..” bisik Rio lagi.

            Gadis dalam pelukan Rio itu bergeming. Tak membalas pelukan Rio dan tak berusaha melepas pelukan lelaki manis itu. Sudut-sudut bibirnya tergerak untuk menciptakan lekuk indah.

**

            Ify baru saja keluar dari toilet. Ia melongok sebentar untuk melihat deretan mobil yang terparkir di depan sana. Ada mobil Rio. Senyum Ify mengembang. Itu berarti, Rio sudah datang. Dengan ceria, Ify berjalan kembali ke tempatnya tadi.

            Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah.

            Ify terdiam di tempat. Ia memegang ulu hatinya. Terasa nyeri sekali di sana. Seperti ada ribuan jarum yang menusuknya. Seakan ada ratusan pisau yang menorehkan bekas di sana. Ify meggigit bagian bawah bibirnya hingga bibir itu berubah warna menjadi merah sekali.

            “Ehm..” Ify berdeham cukup keras, tepat selangkah di belakang sejoli yang sedang berpelukan itu.

            Rio tersadar. Ia menengok ke sumber suara. Ada Ify di belakangnya. Ekspresi wajah Rio berubah kaget. Ia pun segera melepaskan pelukannya pada gadis yang ia kira Ify tadi dengan perasaan campur aduk.

To be continued..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS