Yogyakarta, 7 Juni 2012, 00.01 AM
Nampak sebuah siluet seorang laki-laki berbadan jangkung di depan sebuah
rumah megah bergaya klasik dengan rambut yang tak tertata rapi sedang
memasukkan telapak tangannya ke dalam saku celana jeans yang ia
kenakan dan tangan kirinya menggenggam sebuah ponsel keluaran terbaru.
Tak ketinggalan, ia menyampirkan sebuah tas berisikan gitar
kesayangannya di pundaknya. Ia menatap bangunan di hadapannya itu seraya
tersenyum miring.
Jemari tangan kanannya
memencet keypad-keypad pada ponsel itu dengan cepat. Beberapa detik
setelahnya, ia menempelkan ponsel itu tepat di daun telinga kanannya.
Senyumnya berubah menjadi senyum sumringah.
**
Drrt drrt..
Gadis yang tengah meringkuk di bawah selimut itu menggeliat, menyadari
sesuatu yang ia genggam sedang bergetar. Perlahan gadis itu membuka
matanya. Kamarnya gelap gulita. Tangannya pun terulur untuk menyalakan
lampu pada night stand. Dalam sekejap, kamar itu langsung berhiaskan cahaya kuning keemasan.
Tanpa melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, gadis itu
mengangkat sebuah panggilan masuk. Ia mengangkatnya seraya menguap
lebar. Terdengar seseorang yang sedang menahan tawa di seberang sana.
“.....Hey! Siapa?.....”
“.....Happy anniversary, sayang. Selamat tanggal 7 Juni yang ketiga.....”
Gadis itu langsung bangun dan duduk di bibir ranjangnya. Semburat merah
mulai muncul di kedua pipinya. Suara lembut lelaki di seberang sana
membuat kantuknya hilang dalam sekejap. Tangan kirinya yang bebas pun
bergerak menutup mulutnya yang terbuka karena kaget.
“.....Cakka?.....”
“.....Ada apa, Oikku sayang?.....”
“.....Happy anniversary, too. Thanks for always being on my side everytime I need you. Love you so much!.....”
“.....I love you more, sayang. Kamu bisa lihat keluar? Buka saja jendela kamarmu.....”
Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu –Oik- segera turun dari
ranjangnya, mengenakan sandal dengan boneka kepala kelincinya, dan
berlari kecil menuju jendela kamarnya. Ia menyibakkan tirai dan melongok
ke bawah. Kamarnya memang berada di lantai atas. Senyumnya makin
mengembang begitu menyadari ada Cakkanya berdiri di sana, tersenyum dan
melambaikan tangan padanya.
“.....Hey! Sedang apa kamu di sana? Ini masih malam, sayang!.....”
“.....Turunlah. Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan.....”
“.....Tunggu sebentar, ya. Aku ganti pakaian du---,”
“.....Ga usah, sayang. Kamu ambil jaket saja. Aku juga hanya memakai piyama, kok.....”
“.....Okay.....”
Oik pun memutus panggilan tersebut. Ia bergegas mengambil jaketnya yang
tersampir di gantungan pakaian dan memakainya dengan kilat. Ia membuka
pintu kamarnya dengan sangat pelan dan turun dengan mengendap-endap.
Berhasil! Ia telah berada di teras rumahnya tanpa membuat keributan
sedikitpun.
Oik segera menghampiri Cakka yang
hanya berada beberapa langkah saja di depan rumahnya. Rumah? Ah, rumah
Oik memang tidak berpagar.
Cakka tersenyum
lebar melihat sosok Oik yang berdiri di hadapannya. Oik yang memakai
piyama berwarna merah muda dan jaket berwarna hitam pekat. Dan, jangan
lupakan sandal rumahan dengan kepala kelinci sebagai hiasannya itu.
Cakka segera mengantongi ponselnya dan merengkuh Oik ke dalam
pelukannya. Oik tersenyum kecil dalam pelukan Cakka. Pipinya kembali
dihiasi dengan semburat merah. Cakka memeluknya semakin erat. Ia kecup
pula puncak kepala gadis yang telah menghiasi hari-harinya dalam tiga
tahun ini.
“Happy anniversary, sayang. Jangan nakal, ya. Jangan ngambekan juga. Makin sayang sama aku,” bisik Cakka.
Oik mengangguk kecil. Ia kembali tersenyum, begitupula dengan seseorang yang kini masih memeluknya erat-erat.
Oik pun juga berbisik pada Cakka, “Happy anniversary juga, Cakkaku. Jangan tinggalin aku, ya. Pokoknya harus makin sayang sama aku!”
Cakka tertawa kecil dan mengangguk.
“Pasti. Rasa sayangku ke kamu semakin besar seiring dengan berjalannya hari-hari yang kita lewati bersama.”
“Gombal!” Oik memukul-mukul dada bidang Cakka dengan tersenyum kecil.
Cakka pun melepas pelukannya pada Oik dan memegang kedua pipi Oik,
memaksa gadis di hadapannya itu untuk menatap matanya.
“Apa?” tanya Oik.
“Gombal dari mananya?” tanya Cakka balik.
Oik hanya mengangkat bahunya dengan cuek.
“Kamu ini...” Cakka menatap Oik dengan gemas.
Perlahan, Cakka mulai menyapu sudut bibir Oik dengan lembut. Hanya
beberapa detik saja. Walaupun begitu, wajah keduanya sudah semerah
kepiting. Cakka pun melepas tangannya dari kedua pipi Oik dan
memindahkan tas gitar itu ke pundak Oik. Setelahnya, ia naik ke atas
motornya dan menyalakan mesinnya.
“Ayo naik..” perintah Cakka.
“Mau ke mana?” tanya Oik.
“Sudah, naik saja.”
Oik pun naik ke motor sport
itu. Tak lama setelahnya, Cakka melajukan motornya dengan kecepatan
penuh. Membuat Oik berteriak tertahan dan memeluknya erat dari belakang
karena kaget bercampur takut.
**
Motor Cakka berhenti di depan sebuah Sekolah Menengah Atas. Itu masih
berstatus sebagai sekolah mereka setahun yang lalu. Kini keduanya telah
menjalani hari-hari sebagai mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Cakka melepas
helmnya, begitupula dengan Oik. Wajah Oik berubah cemberut ketika Cakka
menengok ke arahnya.
“Kenapa, sayang?” tanya Cakka, tangannya menyapu pipi kanan Oik dengan lembut.
“Kamu ngebut banget!” sungut Oik.
“Sini, sini, biar ga ngambek lagi..”
Cakka mendorong punggung Oik agar lebih dekat lagi dengannya. Tiba-tiba
saja, Oik merasakan sesuatu menempel di keningnya. Mata Oik melebar
pada detik-detik awal. Berikutinya, ia pun ikut tenggelam dalam suasana
tersebut. Oik nampak ikut memejamkan kedua kelopak matanya.
“Sudah ga ngambek, kan?” pertanyaan Cakka mengalir seiring dengan sedikit melebarnya jarak di antara keduanya.
Oik mengunci rapat bibirnya. Ia hanya mengangguk pelan dengan kepala
yang tertunduk dalam-dalam. Itu adalah salah satu usahanya agar tidak
terlihat bahwa ia benar-benar sudah blushing karena kelakuan Cakka barusan. Juga beberapa menit yang lalu di depan rumahnya.
“Kenapa kamu ajak aku ke sini?” tanya Oik.
Oik memutar tubuhnya untuk menghadap sekolahnya itu –yang juga sekolah
Cakka-. Begitupula Cakka, ia ikut menyusuri setiap bagian sekolah itu
dengan mata hazelnya. Perlahan, tangannya terulur untuk melingkari pinggang Oik.
“Kamu ingat? Aku dulu bilang ke kamu -kalau aku sayang kamu- di sini. Tiga tahun yang lalu..”
Oik keluar dari sekolahnya dengan terburu-buru. Seragam putih abu-abu
yang ia kenakan sampai terlihat berkibar diterpa angin sore itu.
Beberapa menit yang lalu, bundanya menelpon untuk memberitahukan bahwa
beliau maupun sopir dan ayahnya tidak dapat menjemput karena masih ada
acara. Jadilah Oik –yang ketika itu baru saja mengurusi ijazahnya-
cepat-cepat berlari keluar untuk mencari taxi. Seperti biasanya, jika
malam menjelang maka takkan ada satupun taxi yang melintas.
Oik sampai di gerbang sekolahnya dengan napas satu-satu. Ia menengok ke
kanan dan ke kiri. Nihil. Jalanan telah sepi karena –memang- ini sudah
menjelang maghrib. Oik terduduk lemas di depan gerbang sekolahnya.
Matanya menatap nanar jalanan lengang di hadapannya.
“Hey!” sapaan itu datang seiring dengan sebuah tepukan lembut di pundak Oik.
“Ya?” Oik pun menengok ke belakang dan mendapati.. “Cakka?”
“H-hm..” sosok laki-laki –nyaris- sempurna yang berdiri di belakangnya itu mengangguk pelan.
Jantung Oik mendadak berdegup kencang. Selalu. Selalu seperti ini jika
ia sedang mengobrol atau berpapasan dengan Cakka. Bahkan, jantungnya pun
sudah konser ketika ia tak sengaja melihat Cakka di kejauhan.
Oik lantas berdiri. Sejenak, ia membersihkan rok abu-abunya yang
diserbu oleh debu-debu halus. Ia pun menatap Cakka dan kunci motor yang
dibawa lelaki itu bergantian. Oik menggigit bibir bawahnya dengan gugup.
“Belum pulang, Ik?” tanya Cakka, nadanya masih sehalus tadi ketika menyapanya.
Oik menggeleng dengan wajah cemberut, “Belum. Bunda, ayah, dan sopir ga ada yang bisa jemput aku. Kamu.....”
“Aku apa?” sela Cakka.
“Aku bisa bareng kamu?” tanya Oik.
Senyum lebar mendadak terukir di wajah tampannya. Cakka mengangguk bersemangat, “Boleh! Asalkan.....”
“Apa?” tanya Oik lagi, dengan cepat.
“Kamu mau jadi pacarku.”
Oik berdecak, “Kamu jangan bercanda Cakka. Aku ingin pulang!”
“Aku serius, Oik.” Cakka menggenggam kedua tangan Oik dan menatap mata gadis itu dengan serius, “Aku. Sayang. Kamu.”
“Oke. Oke. Aku juga sayang kamu. Sekarang kamu antar aku pulang!” ujar
Oik, ia melepaskan genggaman Cakka dari kedua tangannya.
Dengan segera, Cakka menggenggam lembut jemari Oik dan menggandengnya
menuju pelataran parkir. Begitu sampai, Cakka segera menaikki motornya
dan menyalakan mesin. Oik pun naik ke boncengan. Keduanya melaju menuju
rumah Oik. Jalanan sudah mulai ramai karena maghrib telah berlalu.
“AKU SAYANG KAMU, OIK!” teriak Cakka, suara lelaki itu membelah malam Jogjakarta dengan sempurna.
“Kamu gila!” desis Oik, masih tetap menatap bangunan di depannya.
“Gila karena kamu,” lanjut Cakka.
Lagi-lagi, lelaki itu mengecup puncak kepala Oik dengan lembut dan
singkat. Oik kembali menahan napas dibuatnya. Ckck. Cakka ini memang
jago membuatnya terdiam kaku, speechless, dan blushing dalam waktu yang bersamaan.
“Ayo lanjut ke tempat berikutnya,” seru Cakka dengan riang.
Cakka memutar tubuhnya, melepaskan tangannya dari pinggang Oik, dan
kembali menghadap depan. Oik melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka
setelah berhasil memakai helm. Cakka pun mulai menyalakan mesin motornya
dan keduanya berlalu menuju tempat kedua.
**
“Malioboro?” lirih Oik, pelan-pelan ia dan Cakka membuka helm masing-masing.
Cakka tersenyum dan merangkul Oik dari samping begitu keduanya turun
dari atas motor. Malioboro pun masih ramai meskipun jam tengah
menunjukkan pukul satu malam.
“Iya. Masih ingat? Ini tempat kencan pertama kita.”
Cakka dan Oik berjalan di tengah keramaian Malioboro malam itu. Oik
menatap sekelilingnya dengan was-was. Takut ia akan terpisah dengan
Cakka saking ramainya Malioboro. Cakka sekilas melirik Oik. Ia sadar
betul ketakutan yang terpancar dari raut wajah gadisnya itu.
“Kenapa, sayang?” tanyanya.
“Engga. Ga kenapa-kenapa, kok.” kata Oik, ia memaksakan senyum terukir di bibirnya.
“Takut kepisah, ya?” bisik Cakka.
Oik mengangguk ragu-ragu. Cakka tersenyum kecil. Ia pun mengeratkan
genggamannya pada jemari Oik. Walaupun begitu, Oik tetap merasakan
kelembutan dan kenyaman dari eratnya genggaman Cakka. Oik mulai
tersenyum lepas, tak takut akan terpisah dengan Cakka lagi karena lelaki
di sampingnya itu tengah menggenggamnya sangat erat dan pasti tak akan
membiarkannya menjauh sedikitpun darinya.
“Ada yang jual kalung, Ik!” kata Cakka.
Oik mengekor arah telunjuk Cakka. Benar saja. Ada penjual kalung di
sana. Dengan antusias, Cakka membimbing Oik ke sana. Keduanya sampai di
depan penjual itu dalam beberapa detik berikutnya. Cakka dan Oik tampat
melihat-lihat terlebih dahulu.
“Mau pakai kalung kembaran?” tanya Cakka.
“Boleh,” Oik mengangguk cepat.
Beberapa menit kemudian, Cakka dan Oik berlalu dari penjual kalung
tersebut dengan wajah sumringah. Cakka memakai sebuah kalung
berliontinkan huruf O dan Oik memakai sebuah kalung berliontinkan huruf
C.
“Kamu takut kepisah dari aku,” goda Cakka, ia menoel dagu Oik dengan gemas.
“Kamu overprotektif!” balas Oik.
“Biar kamu ga hilang, sayang..” tutur Cakka, benar-benar dengan nada lembut.
**
“Ik..”
“Apa, sih, Kka?” tanya Oik, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari novel yang sedari tadi ia baca.
“Sudah gelap. Kamu ga mau pulang?” tanya Cakka.
Oik tak menanggapinya. Gadis itu sedang larut dalam dunianya sendiri. Cakka menggelengkan kepalanya.
“Sayang..” panggil Cakka, “Aku cium, nih, kalau masih pacaran sama novel itu!”
Oik kembali tak menanggapinya. Cakka semakin sebal. Ia pun beranjak
untuk duduk lebih dekat lagi dengan Oik. Kepalanya juga telah berada
tepat di samping kepala gadis itu. Tinggal beberapa centi lagi agar
bibirnya menempel di pipi Oik ketika.....
PLAK!
“Kamu ngapain?” tanya Oik, memandang datar wajah Cakka yang baru saja ia pukul dengan novelnya.
Cakka meminggirkan novel itu dari wajahnya dan memasang wajah cemberut
di depan Oik, “Kamu, sih, ngacangin aku. Yang pacar kamu itu aku, bukan
novel itu!” sungutnya.
“Memangnya ada alasan buat aku ga ngacangin kamu?” tanya Oik.
Cakka gelagapan. Ia menengok ke kanan, ke kiri, ke atas, dan..... “Kamu
lihat ke atas, deh. Ke langit. Rasi bintangnya bagus, sayang!”
Oik mengikuti perkataan Cakka. Ia mendongakkan kepalanya agar dapat menatap langit malam itu, “Indah!” gumamnya.
Cakka tersenyum lebar, “Tuh, kan! Apa aku bilang..”
Oik masih saja menatap kagum rasi bintang di atas sana. Ia kembali
mengabaikan Cakka. Cakka kembali sebal. Ia hanya memandangi wajah Oik
dari samping semenjak beberapa menit yang lalu. Mata Oik terlihat
berbinar ketika itu.
“Mengapa kamu sebegitu kagumnya dengan rasi bintang di atas sana?” tanya Cakka.
“Karena rasi bintangnya benar-benar indah,” lirih Oik.
“Mengapa kamu ga sadar kalau kamu lebih indah daripada rasi bintang itu?” tanya Cakka lagi.
“Mereka yang paling indah malam ini, Kka!” bantah Oik.
“Untuk aku, tetap kamu yang paling indah. Kapanpun dan dimanapun. Kamu
yang Tuhan kirim untuk aku, bukan rasi bintang di atas sana.” kata
Cakka.
Oik tersenyum kecil
dan Cakka menyadarinya. Perlahan, Oik menurunkan pandangannya menuju
hamparan rumput di hadapannya dengan masih tersenyum kecil.
“Dan untuk aku, ga ada yang bisa gantiin kamu. Berjuta rasi bintang
paling indah sekalipun,” Oik kembali tersenyum kecil, kali ini dengan
semburat merah yang menghiasi rona pipinya.
Oik pun bergerak untuk menengok Cakka. Belum sempat ia melihat wajah
Cakka sepenuhnya, tiba-tiba saja sesuatu menyabu seluruh bagian
bibirnya. Ia terpekik dalam hati. Hatinya mendadak berdesir. Begitupula
Cakka. Keduanya larut hingga bermenit-menit.
Oik mendorong pelan dada Cakka. Sedikit member jarak antara ia dan
Cakka. Ia menatap Cakka yang masih menatapnya itu. Dengan cepat, ia
menghambur dalam pelukan lelaki itu, sekedar untuk menyembunyikan rona
pipinya yang sudah menggila dan berubah menjadi semerah tomat.
“Gimana, sayang?” goda Cakka, tentu saja dengan menahan tawa.
“You stole my first kiss! It’s not fair!” desis Oik.
“Hey! Tapi buktinya kamu juga mau! Kan, bisa saja waktu itu kamu menolak dan langsung dorong aku,” kilah Cakka.
Oik kehabisan kata. Ia hanya memandang Cakka dengan kesal dan gemas.
Lelaki itu selalu saja bisa membuatnya merasakan kesal dan gemas dalam
waktu yang sama. Aneh, bukan?
“Sudah, ga usah cemberut. Mau dicium lagi biar ga cemberut?” goda Cakka, lagi.
Oik menggeleng cepat. Ia mencium pipi Cakka secepat kilat, “Karena aku
yang akan cium kamu duluan. Sudah, ayo ke tempat selanjutnya! Kamu mau
ajak aku ke mana lagi jam dua dini hari begini?”
**
“Kamu lapar?” tanya Cakka, dari balik helmnya.
“Banget! Tadi ga sempat makan. Kamu tau sendiri aku sibuk menyelesaikan tugas,” teriak Oik.
“Kita makan, ya? Kamu mau seafood yang di dekat UGM itu?” tanya Cakka lagi.
“Mau! Aku sudah lama ga makan di sana sama kamu!” teriak Oik lagi, dengan antusias.
Cakka pun melajukan motornya menuju daerah UGM. Di sepanjang jalan itu
banyak sekali pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan.
Cakka segera menepikan motornya di sebuah warung tenda kecil yang biasa
ia singgahi bersama Oik. Keduanya melepas helm dan duduk lesehan di
salah satu tempat yang tetap dapat melihat suasana di luar sana walaupun
tertutup oleh spanduk-spanduk.
Seorang lelaki
datang dengan membawa daftar menu sederhana dan sebuah kertas serta
bolpoin untuk mencatat pesanan mereka, “Pesan apa?” tanyanya.
“Saya es jeruk sama udang saus pedas aja,” kata Oik.
“Samakan aja, Mas.” kata Cakka.
Lelaki tadi pun berlalu. Keduanya kembali mengobrol. Hingga akhirnya,
pesanan pun datang. Oik dan Cakka mulai mencuci tangan mereka pada
sebuah mangkuk kecil berisikan air bersih. Setelahnya, mereka menyantap
makanan masing-masing dengan lahap.
“Ik..” panggil Cakka.
Oik mendongak dan menatap Cakka, “Kenapa?”
“Itu,” Cakka mengedik pada sudut bibir Oik, “Nasinya nyangkut di situ.”
“Oh,” Oik pun mengusap sudut bibirnya, berusaha mengenyahkan nasi itu dari sana.
“Masih ada..” kata Cakka.
“Mana, sih?” tanya Oik, tangannya kembali menyapu sudut bibirnya, “Ga ada, Kka.”
“Ada!” Cakka tetap keukeuh.
Cakka berdecak. Jemarinya terulur untuk menyapu sudut bibir Oik dan
mengenyahkan butiran nasi itu dari sana. Setelahnya, Cakka tersenyum
kecil.
“Tuh, ada..”
Oik hanya mengangguk kecil dan menunduk untuk menyembunyikan rona
pipinya yang kembali memerah karena perilaku Cakka padanya.
**
Oik menginjakka kakinya di teras rumah Cakka, mengedarkan pandangannya
pada setiap sudutnya. Rumah Cakka nampak sepi. Cakka sendiri, sedang
membuka pintunya dengan kunci yang tadi ia rogoh dari saku celananya.
“Kok rumah kamu sepi?” tanya Oik, menatapnya sekilas.
“Iya. Ayah lagi di rumah nenek, ada saudara yang datang dari Jakarta.
Mas Elang lagi ada perlu di Solo. Aku sendirian di rumah,” jawab Cakka.
Oik mengangguk mengerti. Pintu pun terbuka. Cakka melangkah masuk,
diikuti dengan Oik. Cakka kembali menutup pintunya. Setelah itu, ia
mengambil tas gitar dari pundak Oik dan meletakkannya di sofa ruang
tamu.
Cakka berlalu menuju ruang keluarga dan
menyalakn TV, lalu duduk di sebuah sofa empuk yang menghadap TV. Oik
duduk di sampingnya.
“Terus kamu ngapain ajak aku kemari kalau rumah kamu sepi?” tanya Oik.
“Mau ngapa-ngapain kamu,” jawab Cakka, singkat.
“HAH?!” Oik terlonjak dari sofa, buru-buru ia duduk menjauh dari Cakka.
Tawa Cakka meledak, “Kamu kenapa, sayang?” tanyanya, disela-sela tawanya.
“Kamu..... Mau ngapa-ngapain..... Aku?” tanya Oik, terbata.
“Takut banget, sih?” Cakka mengulurkan lengannya untuk menarik Oik agar
duduk kembali di sampingnya. Dengan berat hati, Oik kembali duduk tepat
di samping Cakka.
“Kamu mau ngapain?” tanya
Oik langsung ketika Cakka menyandarkan kepala Oik pada dada bidangnya
dan memeluk Oik dari samping.
“Memangnya kamu mau aku apain?” tanya Cakka balik.
“Gimana kalau kamu bunuh aku aja?” Oik berubah menjadi sinis.
Lagi-lagi tawa Cakka meledak, “Kamu takut sama aku? Kamu takut aku
apa-apain? Memangnya selama ini aku ga pernah ngapa-ngapain kamu?” tanya
Cakka beruntun.
Oik menggeleng cepat, “Aku pulang, nih, kalau kamu mau ngapa-ngapain aku!”
“Engga. Aku ga mau ngapa-ngapain kamu.” kata Cakka, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Oik.
“Jangan kenceng-kenceng peluknya, sayang. Aku ga bisa napas!” pekik Oik.
Cakka kembali tertawa. Ia pun melonggarkan pelukannya pada Oik dan
mengeceup singkat pipi gadisnya itu. Setelahnya, Cakka kembali fokus
dengan film yang diputar di salah satu channel TV swasta nasional itu.
“Kamu ingat? Dulu, di sini, untuk pertama kalinya kamu nangis di
depanku, di pelukanku..” bisik Cakka, lagi-lagi ia tersenyum kecil.
“Iya, waktu aku ingat eyangku yang sudah ga ada,” lanjut Oik.
“Dan aku peluk kamu seperti ini..” Cakka pun mengalihkan pandangannya
dari layar televisi dan memutar tubuhnya menghadapn Oik. Kembali ia
tenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. Oik kembali tersenyum dan
memejamkan matanya.
“Kita mau ke mana lagi setelah ini?” tanya Oik, masih tetap dengan mata tertutup.
“Rahasia. Tapi ini masih terlalu gelap. Kita tunggu sampai pukul lima, ya..” ujar Cakka.
Oik mengangguk dalam pelukannya, “Masih ada dua jam lagi. Aku tidur, ya, sayang. Ngantuk,”
“Iya. Tidur aja. Tapi tetap dalam posisi ini, ya..” balas Cakka.
Oik kembali mengangguk. Tak lama kemudian, ia sudah terlelap. Ketika
menyadari Oik telah terlelap, Cakka sedikit memiringkan kepalanya untuk
melihat wajah Oik yang sedang tertidur. Cakka memandang Oik dengan
gemas. Ia pun mencium ujung hidup Oik dan ikut tertidur bersama Oik,
dengan posisi ia yang masih memeluk Oik dengan kencang.
**
Oik menggeliat kecil. Masih dalam pelukan Cakka. Ia menguap lebar, tak
peduli dengan Cakka yang akan menatapnya aneh ketika tau ia menguap
sangat lebar. Perlahan, ia buka matanya. TV di hadapan keduanya masih
menyala. Oik berusaha mendorong tubuh Cakka sedikit. Gagal. Cakka
memeluknya sangat erat.
“Kka..” panggil Oik, suaranya terdengar parau.
“Hn,” Cakka menggumam kecil dengan mata yang masih tertutup rapat.
“Bangun!” Oik melirik ke jam dinding yang terpasang di atas televisi,
“Sudah pukul lima, Kka. Katanya kamu mau ajak aku ke suatu tempat.”
“Oh,”
Cakka menguap lebar. Oik tertawa kecil dibuatnya. Cakka pun menatap Oik
yang masih berada dalam pelukannya. Cakka tersenyum padanya, dengan
mata yang masih setengah terbuka.
“Gutten Morgen, Mrs Nuraga!” sapanya, dengan bersemangat. Ia mengecup singkat bibir gadisnya itu dan melepas pelukannya.
“Sugeng enjing, Mr Nuraga!” sapa Oik balik, “Usil banget, sih, kamu asal cium aja..” kata Oik, ia memencet ujung hidung Cakka dengan gemas.
“Oh, ga mau aku cium? Ya sudah, awas kalau kamu minta aku cium lagi!” ancam Cakka.
Sebelah alis Oik terangkat, “Memangnya ku pernah minta kamu untuk cium aku?”
Cakka terdiam. Memang. Biasanya Cakkalah yang langsung menciumnya tanpa
izin. Oik sampai kesal dibuatnya. Pernah, sekali waktu, Cakka
menciumnya di depan ayah Cakka. Kalian tau seberapa malunya Oik ketika
itu? Ia benar-benar ingin menenggelamkan Cakka di Pasifik saat itu juga.
Cakka pun berdiri. Ia lantas menarik tangan Oik menuju ruang tamu dan
menyampirkan tas gitar miliknya lagi di pundak Oik. Keduanya pun melaju
ke suatu tempat yang Cakka rahasiakan semenjak tadi.
**
Oik melepas sandal rumahannya dan menjinjingnya dengan tangan kiri.
Cakka pun juga. Ia melepas sandalnya dan menjinjingnya. Persis seperti
apa yang Oik lakukany. Keduanya menjejakkan kaki masing-masing di
putihnya pasir pantai itu. Pantai. Ya. Cakka mengajak Oik ke pantai.
Bukan Parangtritis, tentunya. Karena hanya ada mereka berdua di pantai
itu. Oik melingkarkan tangannya pada pinggang Cakka yang sedang berjalan
di kanannya.
“Tas gitarnya kamu taruh aja, sayang..” bisik Cakka.
“Sejak kapan, sih, kamu suka bisik-bisik seperti ini?” dengus Oik.
Oik pun melepas tas besar itu dan meletakkannya sembarangan. Di atas
pasir pantai itu, tak jauh dari tempat Cakka berdiri. Setelah memastikan
tas itu takkan terkena hempasan ombak, Oik berlari kecil ke arah Cakka.
Kembali melingkarkan tangannya di pinggang Cakka.
“Tunggu sampai mentarinya berwarna oranye, ya!” kata Cakka, Oik hanya mengangguk.
Keduanya menyusuri bibir pantai itu dengan sesekali tertawa riang.
Cakka pun melingkarkan tangannya di bahu Oik. Dan sekarang, dengan
jahilnya, Cakka menyiratkan air pantai itu ke arah Oik setelah melepas
pelukan mereka satu sama lain.
“CAKKA USIL BANGET!” teriak Oik dengan kesal.
Oik pun membalas ‘serangan’ dari Cakka. Keduanya bermain dengan air
hingga pakaian yang mereka kenakan hampir basah kuyup.
“Ik, lihat mentarinya!” perintah Cakka.
Oik menengok ke samping. Ia kembali berdecak kagum. Mentari itu tengah
berwarna oranye keemasan. Sang mentari bersiap menuju tahtanya dan
menyinari bumi pertiwi. Oik berjalan mendekat ke arah Cakka. Cakka
mencium pipinya pelan dan menggenggam tangan Oik menuju tas gitarnya.
Keduanya duduk di atas hamparan pasir pantai. Bersila dan menghadap
sang mentari yang tengah bersiap menyinari bumi pertiwi. Cakka segera
mengeluarkan gitar dari dalam tas itu dan mulai memetiknya asal-asalan.
Oik meliriknya sekilas, “Kamu mau main gitar?” tanya Oik.
“Iya, kenapa?” tanya Cakka balik.
“Ajarin aku, ya?” rengek Oik dengan nada manja.
Cakka tertawa sesaat. Akhirnya Cakka mengangguk. Oik memekik girang.
Dengan segera, Oik berpindah duduk menuju samping Cakka. Cakka
memeluknya dari samping. Sebuah gitar kini tengah berada dalam genggaman
keduanya. Keduanya berbagi gitar seraya menyambut bersinarnya sang
mentari.
“Gimana kalau aku nyanyi untuk kamu dulu?” tawar Cakka, Oik mengangguk.
Oik menggeser duduknya, member jaarak beberapa centi antara dirinya dan
Cakka. Cakka pun kembali memetik gitarnya. Cakka mulai bersenandung.
Tapi, tetap saja, dengan melihat wajah Oik dalam-dalam.
Cruising when the sun goes down
Cross the sea
Searching for something inside of me
I would find all the lost pieces
Hardly feel deep in real
I was blinded now I see
Hey hey hey you’re the one
Hey hey hey you’re the one
Hey hey hey I can’t live without you
Take me to your place
When our heart belongs together
I will follow you
You’re the reason that I breath
I’ll come running to you
Fill me with your love forever
Promise you one thing
That I would never let you go
‘Cause you are my everything
You’re the one, you’re my inspiration
You’re the one, kiss, you’re the one
You’re the light that would keep me safe and warm
You’re the one, kiss, you’re the one
Like the sun goes down, coming from above all
To the deepest ocean and highest mountain
Deep and reel deep I can see now
(You Are My Everything – Glenn Fredly)
Oik bertepuk tangan, tepat ketika Cakka mengakhiri senandungnya pagi
itu. Oik menatap Cakka dengan mata berbinar. Seulas senyum bahagia
muncul di bibir Cakka. Sungguh, hanya Oik yang mampu membuatnya
sebahagia ini. Hanya Oik. Ya, hanya dia.
“Kamu keren dan akan selalu jadi yang paling keren untuk aku,” kata Oik.
“Makasih,” gumam Cakka.
Cakka mencium kening Oik, “Makasih,” lalu kelopak matanya, “Karena
telah membuatku berarti,” lalu pipinya, “Karena telah membuatku
merasakan indahnya cinta,” lalu ujung hidungnya, “Dan karena telah
mengajariku apa itu arti kehidupan,”
Cakka
menarik kepalanya. Ia kembali tersenyum dan menatap Oik dalam. Oik hanya
menundukkan kepalanya seraya tersenyum kecil. Tangan kanan Cakka
mengangkat dagu Oik, memaksa gadis itu agar balik menatapnya. Ketika Oik
telah menatapnya balik, dengan cepat Cakka mengecup bibirnya.
“You are my everything..” gumam Cakka, disela-sela ciumannya.
Keduanya tetap berada dalam posisi itu dalam beberapa menit. Ah,
bahkan, dalam beberapa puluh menit. Bibir keduanya saling bertaut,
seiring dengan mentari yang mulai merangkak naik, diiringi suara deburan
ombak yang memecah keheningan, dan ditemani pemandangan pagi yange
begitu memukau.
(The End)
YOU ARE MY EVERYTHING [Cerpen #Caikers3rdAnniv]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar