Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

STILL.. [1 of 2] : Ify-Rio-Shilla

Aku bagaikan perokok pasif dan kaulah perokok aktifnya. Kau yang merokok dan akulah yang paling terkena efeknya. Kaulah yang melakukan dan aku yang akan paling tersakiti. – no name

**

            Ify baru saja turun dari stage. Dengan long dress berwarna merah menyala dan mic yang masih berada di tangannya, ia berjalan menuju backstage. Sesekali ia tersenyum ramah pada para IFC –penggemarnya-. Pengawalan ketat selalu diberlakukan untuk dirinya. Bodyguard berada di kanan dan kirinya.

            Begitu sampai di backstage, ia segera menghambur ke ruangan yang memang diperuntukkan padanya dan para crewnya. Segera ia buka pintunya dan menghempaskan diri ke sebuah sofa besar di sudut ruangan. Ruangan itu sepi. Para crewnya telah memboyong peralatannya ke minni bus IFCrew.

            “Istirahat dulu, Fy..” sapa sebuah suara.

            Ify mendongak, mencari sumber suara. Ada Gabriel –managernya- di sana. Ify hanya mengangguk. Gadis berwajah tirus itu pun kembali mengistirahatkan matanya, menutup kelopaknya secara perlahan. Sedangkan Gabriel, dengan perlahan, melepas sepatu Ify dan mengangkat kedua kaki Ify menuju sofa.

            Ify telah terlelap. Wajar saja karena jadwalnya akhir-akhir ini memang terlampau padat. Gabriel menghandle seluruhnya dengan baik. Ify pun telah percaya dengan lelaki itu sepenuhnya. Ya, sepenuhnya.

            Drrt drrt..

            Gabriel terkesiap. Ia meletakkan sejenak sebuah tas besar berisikan pakaian show Ify dan mengambil ponsel di saku celananya. Ponsel Ify. Memang. Gabriel lah yang memegang ponsel itu ketika Ify sedang show. Gabriel juga yang biasa mengangkat panggilan dari Rio –pacar Ify- yang merupakan seorang anak dari direktur utama RiStar, sebuah management artis terbesar di Indonesia.

            Rio Hunnn is calling

            “Ada apa, Yo?”

            “Di mana Ify? Kenapa selalu kamu yang mengangkat panggilanku?”

            “Ify sedang beristirahat. Ia baru saja turun dari stage.”

            “Dia selalu lupa mengabariku. Cih!”

            “Maklum, Yo. Jadwal Ify bulan ini sangat padat.”

            “Katakan padanya padanya bahwa kami harus bertemu besok. Di tempat biasa. Pukul delapan malam.”

            “Ba---,”

            Tut tut tut..

            Gabriel terkesiap. Rupanya Rio telah memutuskan panggilan sepihak. Lelaki jangkung itu hanya mengedik dan kembali mengantongi ponsel Ify. Gabriel kembali pada tas besar itu. Mulai mengangkatnya dan.....

            Drrt drrt..

            “Sial! Ada saja yang mengganggu pekerjaanku!” umpatnya.

            Ia letakkan tas itu –untuk yang kedua kalinya- dan menyamber ponselnya sendiri. Ia mengedik sekilas pada layarnya. Sepupunya yang menelepon. Dengan cepat, ia angkat panggilan tersebut. Menyadari ada yang tidak beres karena sepupunya itu sampai meneleponnya.

            “Ada apa?”

            “Ibu kamu kritis, Gab. Kamu harus cepat-cepat ke Bandung!”

            “Ibu kritis? Kamu serius?”

            “Iya! Untuk apa aku bohong padamu soal ini?”

            “Tap- Tapi aku tidak bisa meninggalkan Ify begitu saja di sini. Jadwalnya padat sekali. Aku harus mencari manager pengganti terlebih dahulu.”

            “Kamu bisa percaya padaku, Gab. Biar aku yang menangani Ify untuk beberapa hari, sampai ibumu sadar. Kamu hanya perlu mengajariku bagaimana cara mengurus artismu itu.”

            “Kamu serius? Baiklah. Sore ini juga aku akan ke Bandung. Kamu standyby di rumah sakit saja. Aku langsung ke sana.”

            “Baiklah. Kami semua menunggu kedatanganmu, Gab.”

            Gabriel menutup panggilan dari sepupunya itu dengan mengumpat pelan. Ia harus cepat-cepat mengantar Ify pulang dan berangkat ke Bandung. Gabriel segera meletakkan ponselnya, mengangkat tas besar tadi ke minni bus IFCrew, dan membangunkan Ify.

            Begitu keduanya telah berada di dalam Mercedes-Benz milik Ify –dengan Gabriel yang menyetir dan Ify duduk di sampingnya-, Gabriel sibuk merangkai kata untuk menajukan izin kepada Ify. Pasalnya, ia sudah berjanji kepada sepupunya itu bahwa ia akan berangkat ke Bandung hari ini juga.

            “Fy..”

            Ify menengok kepadanya dengan alis terangkat sebelah, “Ada apa, Gab?”

            “Ibuku kritis di Bandung dan seluruh keluargaku menungguku di sana. Aku boleh izin untuk menjenguk ibuku beberapa hari, kan?” tanya Gabriel.

            “Lalu siapa yang akan mengatur seluruh jadwalku?” mata Ify membulat sempurna.

            Gabriel meliriknya sekilas, “Tetap aku yang akan mengatur. Sepupuku dari Bandung yang akan menemanimu selama aku berada di sana. Aku akan tetap mengontrolmu.”

            “Hn,”

            “Dan, ah ya! Rio memintamu untuk datang ke tempat biasa, besok, pukul delapan malam. Sudah kumasukkan ke jadwalmu.”

            Ify hanya mengangguk. Malas. Ia menyadari bahwa –pasti- kinerja sepupu Gabriel nanti tak sebagus kinerja Gabriel sendiri. Perasaannya mulai tak enak.

**

            Begitu sampai di apartemennya –setelah mengantar Ify pulang-, Gabriel langsung bergegas mengemasi barangnya untuk beberapa hari ke depan. Setelahnya, ia turun dan menuju receptionist untuk menitipkan kunci apartemennya. Ia pun langsung meluncur menuju Bandung, menyetir sendiri.

**

            Gabriel memarkirkan Yaarisnya di pelataran sebuah rumah sakit yang cukup terkenal di Bandung. Ia menuju bagasi dan menarik keluar sebuah tas ransel, menutupnya, dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Tangan kanannya sibuk memencet keypad ponselnya, menghubungi sepupunya –yang sepertinya- telah menunggu di salah satu sudut lobby rumah sakit.

            “Gabriel!”

            Gabriel mendongak. Ia acuhkan ponselnya dan mengedarkan pandangan, mencari asal suara. Ada sepupunya di dekat sebuah sofa panjang. Gabriel mengangkat tangan kanannya. Ia pun melepas kaca mata hitamnya dan berjalan menghampiri sepupunya tersebut.

            “Bagaimana keadaan ibu?”

            “Masih kritis. Lebih baik kita cepat-cepat ke ruang perawatannya saja.”

            Keduanya berjalan berdampingan. Sesekali mengobrol. Beberapa saat berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit, keduanya sampai di depan sebuah ruang perawatan VVIP. Sepupunya itu pun membuka perlahan daun pintu, terlihat beberapa sanak saudara di dalam sana. Gabriel menghambur masuk dan menuju bed tempat ibunya terbujur lemah.

            “Kamu tunggui beliau sampai sadar, ya. Aku bisa menggantikanmu di Jakarta.” sepupunya itu menepuk pundak Gabriel dari belakang.

            Gabriel menengok ke belakang tanpa membalikkan badannya. Ia tersenyum berterima kasih kepada sepupunya itu.

            Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada sang sepupu, juga memberikan sebuah agenda berisikan jadwal Ify untuk seminggu ke depan, sepupu Gabriel itu langsung menggeret kopernya dan mencari taxi di pelataran rumah sakit. Taxi itu melaju menuju seuah stasiun tak jauh dari situ.

**

            Ify berada di dalam Mercedes-Benz miliknya. Sopirnya telah berada di luar, menunggu sepupu Gabriel yang turun dari kereta. Ify mendengus kesal. Ia telah menunggu sepupu Gabriel itu lebih dari sepuluh menit. Ia sebenarnya mau-mau saja tidak ikut menjemputnya. Tapi, bukankah itu tidak sopan? Jadilah ia di sini sekarang. Bersembunyi di dalam mobil agar tak digeruduk fansnya.

            “Neng Ify, ini sepupunya mas Gabriel sudah datang,”

            Ify terkesiap. Ia mengucek matanya pelan dan mendapati sopirnya berada di luar, mengetuk kaca mobilnya. Ify segera membuka kaca mobilnya. Gadis itu melongok, menatap seorang gadis berpenampilan cupu di belakang sopirnya. Ify pun tersenyum.

            “Sepupunya Gabriel, ya?” tanya Ify.

            Gadis dengan rambut kepang dua itu mengangguk, “Iya, mba’..”

            “Ya udah, ayo masuk sini..” ajak Ify.

            Pintu pun terbuka dari luar. Gadis kepang dua itu segera masuk dan duduk bersebelahan dengan Ify. Sopir Ify kembali menutup pintunya dan beralih meletakkan koper besar itu di bagasi. Setelahnya, ketiganya pun melesat menuju rumah Ify. Untuk sementara, Ify menyuruh sepupu Gabriel itu tinggal di rumahnya. Ia tak mau gadis itu tinggal seorang diri di apartemen Gabriel.

**

            Ify dan gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah megah Ify. Koper telah digeret oleh sopir Ify menuju kamar tamu, tepat di samping kamar Ify. Ify segera menggandeng gadis itu menuju ke sana. Dengan canggung, gadis kepang dua itu berjalan melewati ruangan-ruangan paling mewah yang pernah ia lihat.

            “Nah, kita sampai!” seru Ify dengan girang.

            Keduanya tengah berada di depan sebuah daun pintu besar. Ify melepas gandengan tangannya dan mendorong daun pintu di depannya. Pintu perlahan terbuka. Gadis di sampingnya nampak menahan napas ketika daun pintu itu telah terbuka lebar.

            “Ini kamar kamu untuk beberapa hari ke depan,” kata Ify.

            Ify menyeruak masuk ke dalam kamar bernuansa hitam dan putih tersebut. Gadis itu mengekor. Ia melihat kopernya telah terbuka dan kosong. Rupanya seluruh pakaiannya telah tertata rapi di dalam sebuah almari dengan pintu geser di pojok kamar itu.

            “Mba’, apa ini tidak terlalu mewah untuk saya?” tanyanya, ragu-ragu.

            “Hn?” Ify menengok padanya dan tersenyum tipis, “Anggap rumah sendiri saja.”

            “Terima kasih,” gumam gadis itu.

            Ify melihat gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut panjang yang terkepang dua, kaca mata tebal yang sesekali melorot hingga ke hidung, wajah yang kusam, blouse tua yang warnanya telah memudar, rok lipit yang semakin lebar ke bawah, dan sandal jepit yang biasa dijual di warung-warung pinggir jalan. Seketika itu pula, sebuah ide menghampiri otak gadis cantik itu. Senyumnya mengembang.

            “Sekarang kamu istirahat dulu,” Ify mendorong pelan gadis itu hingga ia terduduk di kasur empuk kingsize, “Nanti sore, sekitar pukul empat, aku ajak kamu jalan-jalan.”

            Gadis kepang dua itu hanya mengangguk perlahan. Ify pun tersenyum senang. Ia menepuk pelan pundak gadis itu dan berlalu menuju kamarnya sendiri. Gadis kepang dua itu tersenyum senang. Ia diperlakukan dengan baik di sini.

**

            “Mba’, kita ngapain kemari?” tanya gadis kepang dua itu, ia menahan lengan Ify yang sudah akan mendorong pintu semi kaca di depannya itu.

            Dahi Ify berkerut heran. Ia menatap butik di depannya itu. boutIFY. Butik miliknya sendiri, “Kita beli pakaian untuk kamu. Apa lagi?”

            Gadis itu mengerjapkan matanya. Tangannya terulur untuk mengambil sebuah dompet plastic di saku roknya. Wajahnya berubah sedih ketika melihat tak selembar uang pun bertengger di sana. Ia mendongak, menatap Ify dengan wajah sedih, “Aku tidak punya uang, mba’ Ify.”

            Ify mengibaskaskan tangannya, “Panggil aku teh Ify saja, aku juga orang Bandung, sama sepertimu.”

            Gadis itu mengangguk, “Kita ke pasar saja, yuk, teh. Kalau di pasar, kan, bisa hutang. Nanti kalau sudah dapat kiriman dari Gabriel, baru aku bayar. Ya, teh?” bujuknya.

            Wajah Ify berubah. Ia mendadak tertawa lebar. Dengan segera, ia menggeret gadis itu masuk ke dalam butiknya, “Ini butik milikku. Kamu bisa mengambil seluruh pakaian yang kamu mau. Dan, jangan lupa! Kamu harus memakainya. Titik! Tidak ada tapi-tapi!”

            “Tapi teh---,”

            Ify menyilangkan telunjuknya di depan bibir, “Sudah---, nama kamu siapa? Aku belum tahu nama kamu semenjak tadi kita bertemu di stasiun.”

            “Aku Shilla, teh. Ashilla Zahrantiara.”

            Ify mengangguk mengerti. Ia mendudukkan Shilla di sebuah kursi kayu di dekatnya, “Kamu duduk di sini dulu, ya, Shill. Aku cari styler dulu. Biar dia yang nanti pilihin pakaian untuk kamu.”        

            Shilla mengangguk mengerti. Ify kembali tersenyum. Dalam sekejap, Ify sudah menghilang di antara pakaian-pakaian yang terpajang di sana. Shilla menghembuskan napasnya. Ia memandang sekeliling. Dress mewah bertebaran di mana-mana. Harganya pun pasti tak murah, seperti di pasar-pasar tradisional yang biasa ia beli.

            Beberapa menit kemudian, Ify kembali dengan menggandeng seorang gadis berkaca mata minus dengan frame tebal berwarna hitam dan dandanan yang modis. Ini pasti styler yang Ify maksud tadi. Shilla pun berdiri, menghadap kedua gadis cantik di hadapannya.

            “Nah, Shill.. Ini Angel. Styler andalan butikku. Kamu memilih pakaian dengan dia saja, ya. Aku tunggu kamu di sini,” kata Ify, Shilla mengangguk.

            Ify pun beralih pada Angel, “Carikan pakaian yang cocok untuk Shilla, Ngel. Dia akan jadi managerku untuk beberapa hari ke depan.”

            “Oke, teh.. Teteh bisa percaya sama saya.”

            Kedua gadis berpenampilan yang jauh berbeda itu pun melenggang, meninggalkan Ify. Ify lantas duduk dan membaca berbagai majalah fashion yang disediakan di sana. Kebetulan, butik tidak terlalu ramai sore ini. Jadilah Angel bisa mendampingi Shilla mencari pakaian.

**

            “Teh Ify.. Bangun, teh.. Teh.. Teteh..” Shilla menepuk-nepuk pipi Ify, Ify tertidur di kursi kayu butiknya.

            “Hn,” Ify mengulat.

            Detik berikutnya, Ify menguap lebar. Shilla dan Angel cekikikan di depannya. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Ify berdiri. Begitu matanya telah terbuka, ia dapat melihat Shilla yang sudah berganti pakaian. Gadis kepang dua itu kini tengah menggunakan dress one shoulder selutut berwarna tosca.

            “Nah! Ini baru cantik, Shill!” seru Ify, suaranya masih agak terdengar parau karena baru saja bangun tidur.

            Shilla menunduk dan tersenyum malu-malu. Ify mengangguk puas. Ia menjabat tangan Angel dengan tersenyum lebar.

            “Rambut dan riasan Shilla masih perlu dipermak, teh. Teteh bawa ke sebelah saja,” kata Angel.

            Ify mengangguk, “Iya. Ini aku akan membawanya ke sana. Kamu pilihkan pakaian-pakaian yang modis, kan, Ngel?” tanya Ify.

            “Iya. Teteh tidak usah khawatir. Aku juga sudah ajarkan bagaimana cara memakainya, kok.” lanjut Angel.

            Ify kembali mengangguk, “Ya sudah. Aku dan Shilla ke sebelah dulu, Ngel!” pamit Ify.

            Angel mengangguk. Ify pun segera menggandeng tangan Shilla keluar dari boutIFY dan menuju sebuah bangunan -yang tampak girly- yang berada tepat di samping boutIFY. Tas-tas belanjaan Shilla pun sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil oleh sopir Ify.

            “Ini tempat apa?” gumam Shilla, matanya menatap takjub bangunan girly di hadapannya.

            “Ini namanya salon, Shill. Salon milikku. Kamu tidak keberatan, kan, kalau rambut dan riasan kamu dipermak?” tanya Ify, Shilla hanya menggeleng.

            Keduanya pun segera masuk. Ify segera menyerahkan Shilla kepada salah seorang pegawainya. Lagi-lagi Ify hanya menunggu dan tertidur di sofa empuk berwarna shocking pink di sudut ruang tunggu.

**

            Keduanya telah sampai di rumah Ify. Seluruh barang belanjaan Shilla pun telah dibawakan oleh sopir Ify dan diletakkannya di kamar Shilla. Penampilan Shilla yang sekarang dengan yang beberapa jam lalu pun sudah berbeda jauh.

            Ify mengantar Shilla ke kamarnya. Ia ikut masuk ke dalam dan duduk di bibir ranjang Shilla, memandangi Shilla yang tengah mematut bayangan dirinya di depan sebuah cermin berukuran besar di sebelah almari pakaian. Shilla nampak tak percaya dengan apa yang ia lihat.

            “Itu benar-benar kamu, Shill. Kenapa kamu tidak percaya? Kamu itu cantik!” seru Ify.

            Shilla menggeleng tak percaya, “Terima kasih, teteh.”

            Ify mengangguk seraya tersenyum. Ia pun berdiri dan ikut mematut bayangan dirinya, di samping Shilla. Ia merangkul bahu Shilla. Keduanya tersenyum lebar di depan cermin.

            “Tidur yang nyenyak, Shilla. Sepertinya besok jadwalku sangat padat. Gabriel sudah memberimu agenda, kan?”

            Shilla mengangguk, “Sudah, teh. Iya, teteh juga tidur yang nyenyak, ya.”

            “Oke. Guten nacht, Shilla!”

            Ify pun beranjak mematikan lampu kamar Shilla. Kini hanya lampu redup night stand yang menyala. Ify keluar dari kamar Shilla dan menuju kamarnya sendiri.

**

            Shilla menengok ke jam tangannya. Sudah pukul enam lewat beberapa menit. Gadis itu pun segera menuju kamar Ify. Membuka pintunya dan menyibak tirai. Sinar matahari perlahan menelusup masuk ke kamar Ify. Ify mengubah posisi tidurnya, tidak tangan dengan sinar matahari yang menusuk kelopak matanya.

            “Teteh, bangun! Sudah pukul enam lewat! Teteh hari ini ada show!” seru Shilla, tangannya menepuk-nepuk lengan Ify pelan.

            “Hn,” Ify mengulat, semakin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut biru itu.

            Shilla berdecak. Dengan cepat, ia menyibak selimut tersebut. Memperlihatkan Ify yang masih tertidur. Shilla pun memutuskan untuk membangunkan badan Ify secara paksa. Ia tarik kedua tangan gadis berdagu tirus itu agar posisinya berubah menjadi duduk. Setelahnya, Ify pun membuka mata.

            “Teteh susah sekali dibangunkannya,” komentar Shilla.

**

            19.58, Reslaw Café

            Ify dan Shilla baru saja tiba. Keduanya pun segera masuk. Ify memilih untuk duduk di sudut terdalam café agar tak terlihat pengunjung lainnya. Bisa jumpa fans mendadak kalau begitu caranya. Ify menggandeng lengan Shilla menuju sebuah meja bundar dengan tiga kursi mengelilinginya. Keduanya duduk bersebelahan.

            “Ketemu bang Mario, ya, teh?” tanya Shilla, ketika keduanya telah nyaman di posisi duduk masing-masing.

            Ify mengangkat bola matanya dari buku menu yang ia pelototi beberapa detik belakangan, “Rio, Shill. Sebut dia Rio saja.”

            “Iya. Itu maksud aku, teh!” Shilla menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal.

            Ify hanya mengangguk, “Kamu pesan apa?”

            “Samakan dengan teteh saja.”

            Dahi Ify berkerut heran, “Aku hanya pesan salad dan green tea. Kamu mau makanan dan minuman seperti itu? Tidak mau makanan berat saja?” tanya Ify.

            Shilla menggeleng, “Aku tidak lapar, teh.”

            Sang pramusaji yang sedari tadi berdiri di dekat Ify dan Shilla pun segera mencatat pesanan keduanya. Setelahnya, ia pergi meninggalkan Ify dan Shilla dalam keheningan dan suasana yang temaram. Beberapa kali Ify mengedik pada jam tangan diamondnya, namun Rio tak kunjung datang. Ify mendengus menyadari ketidak tepatan waktu kekasihnya itu.

            “Shill, aku ke toilet sebentar..” pamit Ify.

            Shilla mengangguk, mempersilahkan. Ify berdiri dan melenggang menuju toilet. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh kurus dan jangkung berjalan menghampiri Shilla.

**

            Rio baru saja tiba di tempat ia dan Ify janjian. Ia tahu bahwa ia tak tepat waktu. Maka dari itu, dengan segera ia masuk ke café tersebut dan berjalan ke meja tempat ia dan Ify biasa duduk.

            Pelan-pelan, Rio menghampiri siluet seorang gadis yang duduk seorang diri di meja paling ujung. Ketika Rio sudah berada tepat di belakangnya, Rio menutup kedua mata gadis itu dari belakang dengan tangannya. Perlahan, ia maju dan mencondongkan wajahnya pada telinga gadis itu.

            “Tebak ini siapa..” bisiknya.

            Gadis itu menggeleng.

            Rio melepas tutupan matanya pada gadis itu. Ia menarik tubuh itu agar berdiri. Dengan segera, ia balikkan tubuh itu dan memeluknya dengan cepat. Ada yang aneh. Ini bukan perasaan yang biasa muncul ketika aku memeluk Ify..

            “Maaf aku terlambat. Maaf aku membuatmu menunggu. Aku kangen kamu..” bisik Rio lagi.

            Gadis dalam pelukan Rio itu bergeming. Tak membalas pelukan Rio dan tak berusaha melepas pelukan lelaki manis itu. Sudut-sudut bibirnya tergerak untuk menciptakan lekuk indah.

**

            Ify baru saja keluar dari toilet. Ia melongok sebentar untuk melihat deretan mobil yang terparkir di depan sana. Ada mobil Rio. Senyum Ify mengembang. Itu berarti, Rio sudah datang. Dengan ceria, Ify berjalan kembali ke tempatnya tadi.

            Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah.

            Ify terdiam di tempat. Ia memegang ulu hatinya. Terasa nyeri sekali di sana. Seperti ada ribuan jarum yang menusuknya. Seakan ada ratusan pisau yang menorehkan bekas di sana. Ify meggigit bagian bawah bibirnya hingga bibir itu berubah warna menjadi merah sekali.

            “Ehm..” Ify berdeham cukup keras, tepat selangkah di belakang sejoli yang sedang berpelukan itu.

            Rio tersadar. Ia menengok ke sumber suara. Ada Ify di belakangnya. Ekspresi wajah Rio berubah kaget. Ia pun segera melepaskan pelukannya pada gadis yang ia kira Ify tadi dengan perasaan campur aduk.

To be continued..

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Aw mengatakan...

hayoloh rio wkwkwk u.u bagus veritanya :D visit back ya :) *klomau*

Posting Komentar