Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BLESSED BY THE SIXTHSENSE [Cerpen]

            Siang itu, Oik sedang membaca sebuah novel yang baru ia beli di dalam kamarnya. Bola matanya tampak melirik kesana-kemari. Pandangannya tak fokus pada deretan tulisan di hadapannya. Keringat dingin membanjiri wajah manisnya.
            Cukup! Ia tak akan bisa berkonsentransi membaca bila begini caranya. Ia tutup novelnya dengan kasar dan melemparnya ke sembarang arah. Matanya menatap nyalang pada sesosok makhluk tembus pandang dengan darah disekujur tubuhnya yang berdiri di sudut kamarnya.
            “Mau apa kamu?” tanya Oik, pada akhirnya.
            Oik berjingkat dan segera menutup hidungnya. Selalu begini. Hanya ia yang dapat mencium bau danur. Hanya ia yang dapat mengendus anyir darah itu.
            “Kamu bisa melihat saya?” tanya sosok itu balik.
            Oik mengangguk jengah. “Kamu ‘baru’, ya?”
            “Iya,” kini ganti sosok berdarah-darah itu yang mengangguk. “Kecelakaan di jalanan kompleks depan. Bisa bantu saya?”
            “Tentu,” Oik mengedikkan bahunya.
            “Sebenarnya saya ke Jakarta mau menghampiri adik saya, tetapi saya kecelakaan. Tolong sampaikan keadik saya kalau ibu kami di desa sedang sakit.”
            Oik menghela napas panjang. “Masalahnya... saya nggak kenal adik kamu.”
            “Dia bekerja sebagai pelayan di restoran yang baru sebulan buka tak jauh dari sini.”
            “Oke, oke.. Nanti–,”
            Pintu kamar Oik tiba-tiba saja terbuka. Mamanya sedang berkacak pinggang di ambang pintu. Oik mengatupkan bibirnya ketika mendapati mamanya sedang menatapnya tajam. Ia melirik sosok di sudut kamarnya kembali, sudah hilang. Oik menghembuskan napasnya.
            “Berbicara sama tembok, Ik?” tanya mamanya tajam.
            “Mama nggak ngerti!” Oik menjawab dengan menahan kesal.
            “Mama memang nggak ngerti! Kamu nggak seperti anak-anak kebanyakan, Ik. Mereka yang sudah beranjak dewasa langsung bisa meninggalkan teman bayangan mereka sewaktu kecil. Tapi kamu nggak, Ik.”
            “Ini semua bukan bayangan aku aja, Ma.” Oik menundukkan kepalanya, lelah.
            “Sudah, sudah! Mama nggak mau berdebat lagi sama kamu. Cepat keluar, Acha sudah mengepak barangnya dan akan kembali ke asramanya di Yogyakarta.”
            Setelah itu, mama Oik keluar dari kamar Oik tanpa menutup pintunya.
            Air mata Oik luruh saat itu juga.
            “Kenapa nggak ada yang percaya? Kenapa mama nggak bisa seperti mama-mama anak bersixthsense lainnya? Kenapa mama nggak percaya kalau ‘mereka’ memang ada?” ujar Oik lirih.
            Oik bangkit, menghapus air matanya, dan beranjak menuju teras. Pasti mama, papa, dan Acha sudah menunggunya disana.
            Tiba-tiba saja pandangan Oik kabur. Ia berpegangan pada handle pintu kamarnya. Jemarinya memijit pelipisnya perlahan. Pusing sekali rasanya.

**

            Acha baru saja menaikki sebuah bus yang akan membawanya menuju Yogyakarta. Gadis itu duduk bersandar pada jendela dengan kedua lengan memeluk tas ranselnya. Bus pun melaju.
            Bus mulai kehilangan kontrol di jalan tol. Sang sopir menyadari ada yang tidak beres dengan ban bus yang dikendarainya. Dikarenakan rest area yang masih jauh, maka ia memutuskan untuk tetap menjalankan busnya dengan kecepatan diatas rata-rata.
            Bus kembali oleng. Para penumpang beserta kondektur mulai panik tetapi sopir bus masih terlihat tenang-tenang saja. Hingga pada akhirnya...
            BRUUUUUKKK!!!
            Bus terbalik di badan jalan tol.

**

            Oik mendadak pucat pasi. Astaga!
            Ia sampai di teras rumahnya ketika papa, mama, dan Acha sudah naik kedalam mobil. Mereka berdua akan mengantarkan Acha ke terminal. Oik menghampiri mobil dan mengetuk kaca mobil di samping kemudi.
            “Ada apa, Ik?” tanya papanya.
            “Acha nggak boleh pergi, Pa, Ma! Kamu nggak boleh pergi, Cha! Bus yang kamu tumpangi akan mengalami kecelakaan di tol!” Oik berteriak histeris seperti orang kesetanan.
            “Lo ngapain, sih, Ik? Dengan atau tanpa persetujuan dari lo, gue bakalan tetep balik ke Yogyakarta. Dasar freak!” Acha mencibir seraya memutar bola matanya.
            “Oik, kamu ini kenapa?! Selalu seperti ini!” papa mulai kehilangan kesabaran dan langsung memacu mobilnya meninggalkan Oik yang terduduk lemas di halaman rumahnya.

**

            Minggu pagi. Oik sedang bersiap-siap di kamar tidurnya untuk pergi ke restoran yang dimaksud sosok itu kemarin. Dengan langkah ringan, ia keluar dari kamar dan hendak melajukan motornya ketika mama dan papanya keluar dari dalam rumah dengan tergesa-gesa.
            “Mau kemana, Ma, Pa?” tanya Oik ketika kedua orang tuanya memasuki mobil.
            “Dasar anak kurang ajar kamu! Tega-teganya kemarin kamu menyumpahi Acha? Lihat sekarang, bus yang Acha tumpangi benar-benar kecelakaan. Dasar terkutuk!” maki mamanya.
            “Acha kecelakaan?” tanya Oik kaget.
            “Iya,” jawab papanya, dingin.
            Oik langsung turun dari motornya dan hendak membuka pintu mobil di belakang kemudi ketika suara mama kembali mengalihkan perhatiannya.
            “Ngapain kamu?” tanya mamanya galak.
            “Hm? Mau ikut papa sama mama jenguk Acha.”
            Papa menggeleng tegas. “Kamu di rumah saja. Nanti kamu sumpahin Acha yang aneh-aneh lagi, kan, papa sama mama juga yang repot.”
            Oik membatu di tempat. Ia hanya dapat melihat papa dan mamanya pergi menjenguk Acha dan menelan bulat-bulat makian papa serta mamanya untuk yang kesekian lagi. Ya Tuhan...
            “Tunggu apa lagi?”
            Oik menengok ke samping. Sosok berlumuran darah itu kembali muncul dan menatapnya penuh harap. Oik mengangguk lemas dan kembali menaikki sepeda motornya, lalu memakai helmnya.
            “Nama adik kamu siapa?” tanya Oik.
            “Keke.”
            Oik tersenyum paksa pada sosok itu dan menjalankan motornya. Sosok itu pun kembali menghilang entah kemana.

**

            Oik memasuki sebuah restoran bergaya klasik dengan fokus pandangan yang meloncat kesana-kemari. Ia memilih duduk di tengah-tengah restoran agar dapat dengan mudah mencari Keke, adik sosok berdarah-darah itu.
            “Hey!”
            Oik melengos kaget kesebuah kursi di sampingnya. Sosok itu lagi. Oik memandangnya gemas.
            “Jangan ngagetin, dong!” pekikan Oik membuat sosok itu terkekeh pelan, tentunya hanya Oik yang dapat mendengarnya.
            “Mau pesan apa, Mbak?” seorang pelayan tiba-tiba saja muncul dan menyerahkan sebuah daftar menu pada Oik. Ia memandang Oik aneh karena sempat melihat Oik berbicara sendiri tadi.
            “Apa, ya?” Oik membuka lembar demi lembar daftar menu berbentuk scrapbook itu. “Lasagna sama dragon cocktail aja, Mbak.”
            “Oke, lasagna dan dragon cocktail. Ada lagi?” pelayan itu mencatat pesanan Oik pada sebuah notekecil.
            “Nggak,” Oik menggeleng. “Eh, Mbak, pelayan disini ada yang namanya Keke, kan?”
            “Ada.”
            “Bisa tolong dia aja yang nganterin pesanan saya?” tanya Oik.
            “Anda ini siapanya Keke?” tanya pelayan itu balik.
            Oik melirik sosok kasat mata di sampingnya dan membaca gerak bibir sosok itu. “Saya teman lamanya dari kampung, Mbak.”
            “Oh, baiklah... nanti Keke yang akan mengantarkan pesanan Anda.” Pelayan itu berlalu dengan membawa daftar menu dan secarik kertas kecil bertuliskan pesanan Oik.
            “Jangan ajak ngobrol aku disini, nanti mereka semua ngiranya aku ngomong sendiri.” Oik berbisik pelan, sosok itu mengangguk.
            Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dengan membawa pesanan Oik. Ia memandangi Oik penuh tanya dan meletakkan pesanan Oik dimeja.
            “Keke?” tanya Oik. Pelayan itu mengangguk. Oik tersenyum. “Duduk sini,” Oik menepuk-nepuk sebuah kursi kosong di sampingnya.
            “Mbak... siapa, ya?” tanyanya, perlahan ia duduk di samping Oik.
            “Aku Oik,” Oik melirik sosok di samping kanannya. “Kakak kamu... kecelakaan.”
            Pelayan itu terperangah. “Hah? Maksud mbak ini apa?”
            “Gimana kalau kamu ikut aku aja ke rumah sakit...” Oik melirik sosok di sampingnya yang tengah mengangguk. “Jasad kakak kamu masih ada disana.”
            “Mbak Gita sudah nggak ada? Kamu tahu dari mana?”
            “Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, lihat jasad kakak kamu. Kata kakak kamu, ibu kalian sedang sakit di kampung.”

**

            Oik dan Keke baru saja tiba di rumah sakit. Oik segera mengantarkan Keke ke kamar mayat. Keduanya berhenti sejenak di depan pintu kamar mayat. Keke melirik ke dalam dengan gelisah.
            “Kamu yang sabar, ya.” Oik menepuk pelan pundak Keke.
            Keke mengangguk. “Iya... makasih, Mbak.”
            “Ya udah, aku tinggal. Kamu masuk ke dalam.”
            Keke pun masuk ke dalam. Oik menengok ke samping. Sosok berlumuran darah itu –Gita– muncul. Ia tersenyum pada Oik. Oik membalasnya dengan senyum simpul. Tak lama kemudian, Oik mendengar isakan tangis Keke.
            Oik kembali menengok ke samping. Bayangan Gita telah lenyap. Oik pun melangkahkan kakinya keluar dari area rumah sakit ini. Ia tengah melewati deretan paviliun ketika matanya tak sengaja menangkap dua sosok tubuh yang ia kenali.
            “Mama? Papa? Jadi, Acha dirawat disini?” gumam Oik.
            Oik pun mengikuti papa dan mamanya. Kedua orang tuanya memasuki salah satu paviliun. Oik mengitip ke dalam. Kebetulan, pintu paviliun tak tertutup sepenuhnya. Ada Acha yang terbaring diranjang. Oik perlahan masuk.
            “Hay, Acha..” sapa Oik.
            Papa, mama, dan Acha kontan menengok kearah Oik. Kontan wajah Acha berubah sangar melihat Oik.
            “Lo ngapain disini?! Mau nyumpahin gue apalagi? HAH?!” Acha melemparkan buah-buahan dari beberapa teman yang menjenguknya kearah Oik.
            “Aku nggak nyumpahin kamu, Cha.” Oik menampik perkataan Acha.
            “Ma, mama mending masukin Oik ke rumah sakit jiwa, deh! Dia bener-bener nggak waras!” seru Acha tak suka.
            Oik mematung. Adiknya sendiri yang menginginkannya masuk ke rumah sakit jiwa.
            “Sebaiknya kamu jauh-jauh dari kami, Oik.” Oik mendongak mendengar perkataan papanya.

**

            Seminggu kemudian, Oik mendapati dirinya tengah meringkuk di dalam mobilnya dengan tangan dan kaki terikat serta bibir yang diplester ketika ia bangun pagi hari. Ia memandang keluar. Rupanya ia mulai meninggalkan kawasan Jakarta.
            Oik menengok ke samping. Acha sedang memainkan ponselnya sambil melahap camilan. Mama dan papa duduk di depan dengan papa sebagai sang pengemudi. Oik menyenggol tubuh Acha.
            Acha melirik Oik sekilas. “Udah bangun lo?”
            Oik mengangguk. Hanya gumaman tak jelas yang keluar dari bibirnya.
            “Apa, sih?” sergah Acha. “Oh,” dengan kasar, Acha melepaskan lakban yang menempel dibibir Oik.
            “AAAAAHHH!! Pelan, dong, Cha.” Oik memekik kesakitan saat itu juga.
            “Berisik lu!”
            “Ini kita... kemana?” tanya Oik, matanya memandang keluar dan mendapati mobilnya telah memasuki area sebuah...
            “Rumah sakit jiwa,” jawab mamanya.
            “Tapi... kenapa?” tanya Oik lirih.
            Mobil berhenti. Papa memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon yang rindang. Mesin mobil dimatikan dan papa, mama, serta Acha turun. Oik mendongak ketika papanya bergerak menggendongnya memasuki gedung rumah sakit jiwa itu.
            “Mama! Papa! Acha! Ini rumah sakit jiwa peninggalan Belanda! ‘Mereka’ ada dimana-mana!” Oik berteriak histeris dalam gendongan papanya.
            “Lihat, kamu memang pantas masuk tempat ini,” bisik mamanya.
            Oik terpekur. Mereka bertiga memang serius akan membuangnya ke tempat ini. Oik terisak perlahan. Bahkan, papanya sama sekali tak membelanya ketika mama dan Acha mencibirnya tadi.
            “Welcome to your new house, Oik!” bisik Acha seraya tertawa sinis.
            Oik terdiam melihat papa dan mamanya berbicara dengan salah seorang suster. Oik bergidik melihat manusia-manusia ajaib yang berlalu-lalang di hadapannya. Membayangkan dirinya akan menjadi bagian dari mereka saja sudah mau mati begini.
            Oik kembali mengangkat kepalanya. Kini ia dibawa menyusuri sebuah lorong panjang dengan pintu di kanan dan kiri bertuliskan penghuni ruangan masing-masing. Mereka berhenti di ujung lorong dan menengok ke kanan. Oik mendesah. Bahkan, pintu itu pun sudah bertuliskan namanya. Sah menjadi miliknya.
            Suster itu membukakan pintu. Inilah kamar baru Oik. Ada sebuah ranjang, lemari, televisi, sebuah meja serta kursi, dan jendela yang menghadap kearah taman. Papa segera melemparkan tubuh Oik keranjang dan membuka ikatan pada tangan dan kakinya.
            Mama meletakkan sebuah tas besar berisi pakaian Oik diatas meja. Acha bergidik ngeri di ambang pintu. Papa, mama, Acha, beserta suster tadi sudah menghilang dari pandangan Oik.
            Oik menarik sebuah kursi ke dekat jendela. Matanya menerawang memandang ke taman. Kenapa papa dan mamanya sejahat ini padanya? Kenapa mereka tidak berusaha mencari tahu tentang ‘penglihatan’ Oik ini? Bukan malah membuangnya ke tempat ini.
            “Oik,”
            Oik menengok ke pintu. Suster tadi kembali lagi. Ia menghampiri Oik yang terduduk lesu di dekat jendela.
            “Saya nggak gila, Sus,” kata Oik, memandang suster itu sedih.
            “Saya Pricilla. Panggil Suster Prissy aja, ya?” katanya dengan riang.
            “Saya nggak gila, Sus,” ulang Oik.
            “Kamu mau saya antar jalan-jalan ke taman?” tanya Pricilla.
            Oik bangkit dari duduknya, matanya menatap Pricilla penuh amarah. “Kenapa nggak ada yang mau dengerin saya? Saya nggak gila!”
            Oik berderap keluar dari kamar barunya, meninggalkan Pricilla yang memandangnya maklum. Oik melangkahkan kakinya ke sembarang arah. Berbelok ke kiri, lalu ke kanan, lurus terus, dan mendapati sebuah taman luas telah terhampar di hadapannya.
            Oik menatap manusia-manusia ajaib di sekitarnya dengan sedih. Kedua bola matanya juga menangkap sosok-sosok tak berpijak pada tanah yang menggunakan pakaian ala Belanda. Rumah sakit jiwa ini memang peninggalan Belanda.
            Oik mengedarkan pandangannya. Fokusnya tertuju pada seorang lelaki yang duduk pada kursi taman dan dikelilingi anak-anak kecil berpakaian ala Belanda. Oik berjalan kearahnya dan duduk di samping lelaki itu.
            Lelaki itu melirik Oik dan tersenyum kecil. “Hay.”
            “Hay juga.” Oik memandangnya aneh. “Kok kamu nggak seperti mereka, sih?” tanya Oik.
            “Kamu juga nggak seperti mereka.” lelaki itu terkikik. “Kamu menjenguk siapa disini?”
            “Siapa bilang aku disini cuma menjenguk?” tanya Oik balik dengan ketus.
            “Kamu... suster baru?” tanya lelaki itu lagi.
            “Bukan. Aku penghuni baru disini! Puas kamu?” Oik menatap lelaki di sampingnya dengan mata menyala-nyala sebal.
            Lelaki itu mengangguk mengerti. “Berarti kamu tetangga baruku.”
            “Hah?!” Oik terperangah. “Kamu penghuni rumah sakit jiwa ini juga? Bukan perawat disini? Kok bisa? Kamu kan... nggak ajaib seperti mereka.”
            Lelaki itu tersenyum simpul. Cukup membuat Oik menahan napas dibuatnya. “Aku Cakka. Kamu?”
            “Oik.” Oik menerima uluran tangan lelaki di hadapannya.
            “Kenapa kamu bisa masuk sini?” tanya Cakka.
            Oik mengedikkan bahunya. “Karena bisa melihat mereka.” Oik mengedik pada makhluk-makhluk kecil yang mengelilingi mereka.
            “Kamu bisa lihat mereka?” tanya Cakka kaget.
            “Iya,” Oik melirik Cakka geli. “Kenapa? Mau bilang aku gila juga?”
            “Nggak,” Cakka menggeleng. “Kita sama.”
            “Kamu juga... punya sixthsense?” tanya Oik tak percaya.
            “Iya!” Cakka mengangguk bersemangat.
            “Berarti kamu bisa kenalin aku sama mereka?” tanya Oik, Cakka mengangguk.
            “Yang itu namanya Bastian.” Cakka menunjuk seorang anak laki-laki kecil dengan gigi ompong yang melambaikan tangan pada Oik.
            “Itu Ourel,” seorang anak perempuan kecil dengan wajah imutnya tersenyum pada Oik.
            “Dia Nyopon,” seorang anak laki-laki dengan tinggi sepinggang Oik maju lalu mencium pipi Oik. Oik merasakan dingin menjalari pipinya.
            “Hay, aku Oik.” Oik melambaikan tangan pada mereka bertiga.
            “Kak Oik bisa lihat kami?”
            “Kak Oik temannya Kak Cakka?”
            “Kak Oik kenapa bisa disini?”

**

            Seminggu kemudian, Pricilla kembali menemukan Oik yang tengah memandang taman dari jendela kamarnya dengan mata kosong. Pricilla menepuk pelan bahu Oik, menarik gadis manis itu kembali pada realita.
            “Waktunya makan siang.”
            “Kenapa papa dan mama ngebuang aku kesini, Sus?” tanya Oik.
            Pricilla memandang Oik lembut. Akhirnya ia memutuskan memberitahu Oik tentang semuanya karena berpikir Oik tak mungkin mengerti apa maksud perkataannya. “Karena kamu suka meracau nggak jelas dan berbicara sendiri.”
            “Begitu ya..” gumam Oik.
            Pricilla lalu menarik lembut lengan Oik keluar dari kamar. Kebetulan, saat itu pula Cakka juga keluar dari kamarnya. Kamar Cakka dan oik memang berhadapan.
            “Waktunya makan siang, Cakka,” kata Pricilla.
            “Iya, Sus,” Cakka mengangguk. “Suster panggil yang lain aja. Biar aku yang ajak Oik ke ruang makan.”
            Pricilla mengangguk acuh. Ia pun melenggang meninggalkan Cakka dan Oik. Oik memandang Cakka dan Pricilla bingung.
            “Kok suster Prissy bisa berlaku senormal itu sama kamu?” tanya Oik curiga.
            Cakka mengedikkan bahunya. “Mungkin karena aku sudah lumayan lama disini.”
            Keduanya pun kembali berjalan ke ruang makan. Cakka memandang Oik heran. Oik diam sekali hari ini. Bibirnya terkunci rapat, tak mengucapkan sepatah kata apa pun lagi. Oik tampak sedang memikirkan sesuatu. Tidak, tidak... Cakka tidak boleh menggunakan kemampuan membaca pikirannya tanpa seizing Oik. Apalagi Oik tidak seajaib penghuni rumah sakit jiwa ini yang lainnya.
            “Lagi mikirin apa, Ik?” tanya Cakka pada akhirnya.
            “Jangan coba-coba pakai kemampuan membaca pikiran kamu.” Oik menjawab dingin.
            Oik menengok pada Cakka sekilas dan berlalu meninggalkannya, berjalan cepat-cepat menuju ruang makan. Cakka menghela napas memandang punggung Oik yang semakin menjauh darinya.
            “Susah, ya, memahami makhluk bernama perempuan itu. Aku cuman nggak mau kamu ngelakuin yang aneh-aneh, Ik. Perasaanku nggak enak.” Cakka tersenyum tipis.

**

            Malamnya, Cakka berniat mengajak Oik melihat kunang-kunang di taman rumah sakit. Cakka sudah siap dan akan mengetuk pintu kamar Oik ketika didengarnya rintihan kesakitan seseorang. Cakka menengok kesana-kemari. Pandangannya tertuju pada daun pintu di hadapannya. Perasaannya makin tak enak saja.
            Cakka mengetuk pintu kamar Oik. Tak ada jawaban. Ia coba memutar handle pintu dan ternyata terkunci.
            “Ik! Buka, Ik! Buka pintunya!” Cakka berteriak dari luar dengan cemas.
            “Buka, dong, Oik! Jangan bikin aku khawatir begini. Oik! Buka!” Cakka menggedor pintu kamar Oik.
            Cakka akhirnya memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Oik. Begitu pintu terbuka, Cakka tak menemukan Oik diatas ranjangnya, juga dikursinya. Cakka menggeram, rintihan itu semakin jelas terdengar.
            Cakka melangkah memasuki kamar Oik. Lututnya melemas melihat tubuh Oik yang meringkuk di bawah jendela. Tangannya berlumuran darah. Sebuah garpu yang juga berlumuran darah tergeletak tak jauh darinya. Cakka menghampiri Oik dan berjongkok di hadapannya.
            “Kamu kenapa, Ik?” tanya Cakka, ia menangkup wajah Oik pada kedua telapak tangannya. Belum juga menyadari apa yang terjadi.
            Oik menggelengkan kepalanya. Kedua telapak tangannya masih menutupi wajahnya rapat-rapat.
            “Kenapa tangan kamu banyak darahnya?” tanya Cakka lagi.
            Lagi-lagi Oik tak menjawab.
            Perlahan Cakka menyingkirkan telapak tangan Oik dari wajahnya. Dunia Cakka seakan runtuh melihat keadaan Oik. Cakka segera menarik Oik kedalam pelukannya, memeluknya erat, mengusap punggung Oik, mengecup puncak kepala Oik dengan hati yang tersayat perih.
            “Mata kamu kenapa berdarah semua gitu, Ik?” tanya Cakka dengan suara bergetar.
            Oik luruh dalam pelukan Cakka. “Suster Prissy bilang papa dan mama ngebuang aku kesini karena aku bisa melihat ‘mereka’ dan ini satu-satunya cara yang bisa bikin aku berhenti lihat ‘mereka’ dan kembali ke rumah, Kka.”
            Cakka melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Oik. Ia menatap Oik dalam-dalam. “Kenapa kamu mau kembali ke rumah itu? Kamu punya aku disini, Oik. Aku ngerti kamu nggak seperti apa yang dipikir papa dan mama kamu.”
            Cakka kembali menenggelamkan Oik kedalam pelukannya. Ia mengecup kening Oik. “Janji kamu nggak akan ngulangin ini lagi, ya.”
            Oik mengangguk.
            “Jangan pernah berpikir kalau mata ketiga kamu itu bencana.”
            “Iya,”
            “Jangan tinggalin aku sendiri disini. Ingat, kamu masih punya aku.”
            Cakka tidak lagi menghiraukan reaksi Oik. Ia sudah menggendong Oik menuju ruang perawat. Oik merasakan nyeri yang menjalari kedua bola matanya dalam gendongan Cakka. Ini semua ia lakukan semata karena ia ingin kembali ke rumah. Ia lupa bahwa ada Cakka disini.

**

            Cakka dan Pricilla duduk disebuah bangku panjang di depan ruang isolasi. Oik ada di dalam. Cakka dapat melihatnya melalui sebuah kaca tembus pandang yang memisahkan mereka. Pricilla menatap Cakka penuh tanya.
            “Kenapa kamu sebegini khawatirnya dengan Oik, Kka?” tanyanya.
            Cakka melirik Pricilla sekilas dan tersenyum jengah. “Karena kami sama.”
            “Sama? Maksud kamu... Oik juga seperti kamu?”
            “Iya,” Cakka mengangguk.
            “Astaga!” Pricilla membekap mulutnya karena kaget. “Satu lagi orang tua yang bodoh.”
            Cakka tersenyum lembut memandang Oik di dalam sana. Mata gadis manis itu terperban. Ia baru saja menjalani sebuah operasi kecil untuk menyelamatkan penglihatannya sejam yang lalu. Perban itu baru bisa dibuka esok, siang hari.
            “Yakin hanya karena itu kamu khawatir sama Oik?” goda Pricilla.
            “Apalagi memangnya?” tanya Cakka balik.
            Pricilla menghela napas. “Kamu hanya menganggapnya teman biasa?”
            “Iya... pada awalnya,” mata Cakka menerawang jauh. “Tapi, seiring berjalannya waktu, dia menjadi bagian dari hidupku. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja aku menyadari bahwa duniaku mendadak kelabu tanpanya.”
            “Perjuangkan perasaanmu.” Pricilla menepuk pundak Cakka bersahabat.

**

            “Suster Prissy! Sus! Suster!”
            Cakka terbangun tengah malam. Teriakan Oik dari dalam ruang isolasi membangunkannya. Cakka menengok sekeliling. Sepi. Kemana perginya Pricilla? Cakka menghela napas dan bangkit. Ia memakai sebuah pakaian steril terlebih dahulu sebelum masuk kedalam ruang isolasi.
            “Kenapa, Oik?” tanya Cakka dengan suara khas bangun tidurnya.
            “Cakka?” panggil Oik, ragu. “Suster Prissy mana?”
            “Aku nggak tahu kemana perginya dia.” Cakka pun duduk di samping ranjang Oik. Tangannya menggenggam tangan kanan Oik erat. “Kamu butuh apa?”
            “Kamu baru bangun tidur, ya?”
            “Iya.” Cakka membawa jemari Oik menyentuh pipinya. Merasakan kehangatan yang mulai menjalari setiap inci tubuhnya.
            “Aku ngebangunin kamu?” tanya Oik lagi dengan suara menyesal.
            “Nggak apa-apa. Bilang aja kamu lagi butuh apa. Aku akan jadi mata dan tangan kamu untuk sementara.”
            Oik tersenyum simpul. Perlahan ia mulai mencoba untuk duduk.
            “Eh! Kamu mau duduk?”
            “Iya.”
            Tiba-tiba saja Oik sudah merasakan lengan Cakka yang melingkari bahunya dan membantunya untuk duduk. Oik tersenyum berterimakasih pada lelaki itu. Hatinya mendadak hangat karena perlakuan manisnya.
            “Cakka..”
            “Ya?” Cakka menatap wajah Oik dalam-dalam.
            “Aku mau minum.”
            “Aku ambilkan dulu.”
            “Jangan! Jangan! Arahkan tanganku kegelas minum saja.”
            Cakka mengangguk mengerti. Tangannya membimbing tangan Oik untuk meraih segelas air putih yang terletak pada sebuah meja di samping ranjang Oik. Setelahnya, tangan Cakka kembali membimbing tangan Oik untuk meminumnya.
            “Janji sama aku kalau kamu nggak akan ngelakuin hal-hal konyol seperti kemarin.” Cakka memandang Oik tanpa berkedip.
            Oik menahan napasnya. “Aku ingin pulang, Cakka..” rengeknya.
            “Sssttt!!” Cakka meletakkan telunjuknya dibibir mungil Oik. “Kamu tega ninggalin aku disini sendirian?”
            Oik terdiam cukup lama kemudian menggeleng. “Tapi–,”
            Belum sempat Oik melanjutkan kalimatnya, Cakka sudah beranjak berdiri dan merengkuhnya kembali. Oik kembali terdiam. Kali ini, dengan sebuah senyuman kecil terukir dibibirnya.
            Beberapa menit kemudian, Cakka melepaskan pelukannya dan mencium kening Oik singkat. “Kamu tidur lagi, ya. Besok aku ajak kamu ke taman. Bastian, Ourel, dan Nyopon sudah kangen kamu.”
            Oik mengangguk riang.
            Cakka kembali membantu Oik untuk merebahkan badannya. Setelahnya, Cakka kembali duduk. Ketika ia rasa Oik telah kembali terlelap, Cakka menelungkupkan kepalanya di dekat tangan Oik. Tertidur dengan menggenggam tangan Oik memang hal terindah untuknya.
            Pricilla menatap keduanya dari kaca ruang isolasi dengan tersenyum simpul.

**

            Paginya, ketika Pricilla mengantarkan sarapan Oik ke dalam ruang isolasi, suster muda itu menemukan Cakka dan Oik yang masih terlelap. Ia meletakkan nampan berisi makanan Oik diatas meja lalu membangunkan keduanya.
            Cakka mengerang ketika Pricilla memukul lengannya. Ia segera mengangkat kepalanya dan melepaskan tangan Oik dari genggamannya. Wajahnya mendadak masam ketika mendapati Pricilla telah berada di sampingnya.
            “Suster Prissy, ya?” tanya Oik.
            “Iya, Oik.” Pricilla menyahut dengan riang.
            “Perban mataku bisa dibuka kapan, Sus?” tanya Oik lagi.
            “Hari ini juga. Lukanya pasti sudah mongering.” Pricilla mengedik kearah nampan makanan Oik. “Ini sarapan kamu. Dimakan, ya.”
            “Sus, suapin aku..” rajuk Oik.
            “Boleh–,”
            “Biar aku yang suapi kamu!” Cakka menyela dengan cepat.
            Dahi Oik mengkerut seketika. Berbeda dengannya, Pricilla sudah menahan tawanya hingga wajahnya berubah merah padam.
            “Ya sudah... kamu disuapi Cakka, ya Oik.”
            “Tapi, Sus–,”
            “Oke, semoga cepat sembuh, Oik! Masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau butuh aku, panggil saja.”
            Pricilla meninggalkan ruang isolasi. Membiarkan Cakka dan Oik larut dalam keheningan untuk beberapa saat. Cakka menggeram dalam hati. Usil sekali suster muda yang satu itu.
            “Sarapan sekarang, Ik?” tawar Cakka.
            “Boleh..” Oik mengangguk perlahan.
            Dalam hitungan detik, Cakka sudah membantu Oik untuk duduk.
            “Makasih.” Oik mencium pipi Cakka sebagai wujud rasa terima kasihnya.
            Cakka mematung sesaat, menyadari jantungnya sudah berdegup tak karuan karena Oik. Cakka tersenyum lebar dan membantu Oik menyantap sarapannya. Tentu saja sesuai janjinya kemarin, ia akan menjadi mata dan tangan Oik.

**

            Cakka berjalan di belakang Oik. Keduanya sedang menyusuri lorong rumah sakit menuju taman dengan Cakka yang membantu Oik berjalan. Cakka merangkul pinggang Oik dari belakang dengan satu tangannya lagi membimbing tangan Oik menyusuri tembok lorong.
            “Hati-hati jalannya. Kanan dan kiri itu dinding. Nggak lucu kalau kamu sampai nabrak.” ejek Cakka.
            Oik menghentakkan kakinya gemas. “Cakka! Serius! Bawa aku ke taman!”
            Cakka mengangguk seraya tersenyum simpul.
            Keduanya telah sampai di taman dan duduk dibangku seperti biasa. Oik menghirup aroma rumput yang baru saja disiram dengan senyum mengembang.
            “Perban dimataku sudah boleh dibuka, Kka.” Oik berkata dengan riang.
            “Bolah nggak kalau... aku yang ngebuka perban dimata kamu?” tanya Cakka.
            Oik menengok kearah Cakka. “Kok tiba-tiba jadi serius gini?”
            “Boleh nggak?” tanya Cakka lagi.
            “Memangnya kenapa, kok, kamu pingin ngebuka perban ini?” tanya Oik balik.
            Tangan Cakka bergerak menggenggam tangan Oik dan meremasnya lembut. “Aku mau jadi orang pertama yang kamu lihat.”
            Oik kembali tersenyum dan balas meremas lembut tangan Cakka. “Oke.”
            “Boleh?”
            Oik mengangguk dan terkikik pelan.
            “Sekarang?”
            “Nggak, tahun depan... ya sekarang, dong, Kka!” seru Oik gemas.
            Cakka bergerak mendekati Oik. Tangannya terulur untuk membuka perban dimata Oik perlahan-lahan. Ketika perban telah lepas sepenuhnya, Oik masih memejamkan matanya.
            “Buka mata kamu sekarang.”
            Oik mengerjap. Perlahan membuka matanya. Silaunya mentari pagi mulai menusuk matanya. Ia kembali mengerjap dan menemukan Cakka yang telah tersenyum kearahnya dan menatapnya dalam-dalam. Oik rindu dia. Oik rindu semua tentangnya yang tak bisa ia lihat kemarin.
            “Cakka?”
            Cakka mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa?”
            “Aku kangen kamu!” seru Oik. Dengan brutal ia memeluk Cakka sampai lelaki itu agak terdorong ke belakang.
            Cakka mengelus puncak kepala Oik dan melepaskan pelukan mereka. “Bastian, Ourel, dan Nyopon kangen kamu.”
            Oik mengedik ke samping. Tiga bocah yang tak berpijak pada tanah yang sama dengan dirinya itu tengah memandang mereka berdua dengan misterius. Oik merentangkan tangannya lebar-lebar, bersiap memeluk ketiganya.
            “Nggak mau peluk Kak Oik?” tanya Oik heran. “Katanya kangen!”
            Ketiga bocah itu menggelengkan kepalanya bersamaan, membuat dahi Oik berkerut bingung karenanya. Ketiganya saling lirik kemudian.
            “Kak..”
            Bastian mengeluarkan selembar kertas dari punggungnya bertuliskan ‘Cakka’.
            Kemudian Ourel juga, selembar kertas dengan tulisan ‘Sayang’.
            Dan yang terakhir, Nyopon mengeluarkan selembar kertas dengan ‘Oik’ tertulis diatasnya.
            Oik memandang ketiganya takjub. Ia lalu melirik Cakka. Rupanya lelaki itu tak kunjung mengalihkan pandangannya dari dirinya semenjak tadi. Oik menatap Cakka dengan pandangan yang sulit diartikan.
            “Gimana?” tanya Cakka.
            “Apanya?” tanya Oik tak mengerti.
            “Perasaan kamu... keaku.”
            Oik menggeleng tak percaya. “Kamu masih tanya soal itu?”
            “Jadi?”
            Oik mengedikkan bahunya. Merentangkan tangannya untuk menerima pelukan Cakka.
            “Jangan pergi, ya..” bisik Cakka, disela-sela pelukannya.
            “Iya. Aku janji.” Oik mengangguk mantap.
            Keduanya melepaskan pelukan dan mendapati ketiga bocah itu tersenyum lucu pada mereka. Bastian, Ourel, dan Nyopon langsung menghilang entah kemana. Cakka tertawa pelan, begitu pula Oik.
            Tangan kanan Oik menepuk pipi Cakka, membuat lelaki itu kembali menghadapnya dengan pandangan bertanya.
            “Mari kita lihat bagaimana kita kedepannya..” Oik memejamkan matanya, berusaha menembus ruang waktu dan berhenti pada beberapa tahun kedepan.
            “Stop!” Cakka mengguncangkan lengan Oik. Tangannya turun, menggenggam tangan Oik erat-erat. “Jangan pakai kemampuan menembus dimensi waktu kamu itu. Biarkan takdir yang membawa kita kesana.”
            Oik akhirnya mengangguk menyetujui. Gadis manis itu pun kembali menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Cakka.
            Keduanya mematung dalam posisi itu. Tak menyadari bahwa Pricilla memandang keduanya dengan senyum mengembang dari dalam sana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

THE DEATHLY WAY [Cerpen]

            Kelas tampak lengang. Hanya ada seorang mahasiswa yang masih betah duduk di bangkunya untuk menyalin tulisan acak-acakan dari papan tulis. Mata kuliah memang telah usai semenjak beberapa menit yang lalu.
            Mahasiswa itu pun kini telah selesai menyalin. Ia segera membereskan alat tulisnya dan memasukkannya kedalam tas. Ia berjalan keluar kelas dengan mencangklong tas punggungnya. Tepat ketika ia berada di ambang pintu kelas, seseorang menutup akses keluarnya.
            “Eits, eits, eits! Mau kemana lo?” sapa suara itu.
            Mahasiswa itu mengangkat wajahnya perlahan, seorang lelaki berwajah Chinese tengah berdiri di hadapannya dengan wajah menantang.
            “Ada apa, ya?” tanyanya.
            Keenam lelaki di hadapannya tertawa bengis. Ia pun mundur beberapa langkah.
            “Sepi, Vin. Langsung aja!” seorang laki-laki berambung gondrong memberi aba-aba pada lelaki Chinese di sampingnya –Alvin–.
            Alvin mengangguk. Ia melirik kelima temannya bergantian, memberikan kode. Kelima orang temannya itu langsung mendorong seorang mahasiswa tadi masuk ke dalam kelas dengan kasar.
            Pandangan Alvin menyapu setiap sudut koridor kampusnya. Baguslah, tak ada seorang pun di sana. Alvin segera masuk ke dalam kelas dan mengunci pintunya. Ia mendapati kelima temannya tengah berdiri mengelilingi seseorang berpenampilan cupu yang terduduk di lantai.
            “Cakka, Cakka, Cakka..” Alvin bergumam seraya tersenyum sinis.
            “Sikat, Vin!” seru seseorang dengan mata lebarnya.
            Alvin meliriknya dan kembali melemparkan senyum sinisnya kepada Cakka. “Maksud lo apa?”
            “Apa?” Cakka memandang Alvin tak mengerti.
            “Lo ngapain ngedeketin Oik?” tanya seseorang bertubuh kurus dan tinggi.
            “Gue? Kapan?”
            Keenam lelaki di hadapan Cakka kembali tertawa meremehkan, mengantarkan Cakka mengulang kembali kejadian beberapa hari yang lalu. Cakka mengangguk mengerti.
            “Gimana? Udah inget?” tanya seorang lelaki berbehel di samping Alvin.
            Cakka mengangguk. “Tapi gue ga ada maksud ngedeketin Oik.”
            Seorang lelaki berwajah kalem menendang tubuh Cakka yang masih terduduk di lantai dengan gemas. “Ga usah ngeles lo!”
            “Gue saranin sekarang juga lo minta maaf sama Alvin.” ujar seseorang berambut gondrong.
            “Buat apa?” tanya Cakka dengan wajah mendongak tinggi-tinggi.
            “Lo nantang?” lelaki bertubuh kurus dan tinggi itu mengangkat tangannya, bersiap untuk menonjok Cakka.
            Temannya yang bermata lebar menahannya. “Lo mau ga selamet, ya?”
            “Kalaupun gue ngedeketin Oik, memang kenapa? Alvin pacarnya? Suaminya?” tanya Cakka.
            Alvin tersenyum sinis. “Minta. Maaf. Sama. Gue. Sekarang. Juga.”
            Cakka tetap menggeleng. “Lo bukan siapa-siapanya Oik. Gue ga perlu minta maaf ke elo.”
            Lelaki berbehel itu melayangkan tinjunya kepada Cakka. Cakka mengaduh kesakitan.
            “Ayo.. Lo mau minta maaf apa babak belur ditangan kita?” tanya lelaki berwajah kalem.
            “Maaf.” Cakka bergumam singkat.
            “Lo diajarin tata krama sama nyokap lo ga, sih?” Alvin berseru kencang.
            Cakka mendongak menatap Alvin. “Maaf.”
            “Sambil cium kaki gue kalau perlu!” Alvin kembali menambahkan.
            Cakka menggeram dalam hati. Ia bergerak untuk mencium kaki Alvin. Begitu keningnya telah menyentuh permukaan sepatu Alvin, keenam lelaki yang mengelilinginya tertawa puas. Cakka mengepalkan kedua telapak tangannya erat-erat.

**

            Seorang lelaki berwajah manis sedang mengaduk-aduk minumannya dengan gusar. Berkali-kali ia melirik jam tangannya tetapi yang ia tunggu tak kunjung datang. Ia mengedarkan pandangannya, tak terlihat sama sekali sosok itu. Kemana dia?
            “Cakka lelet banget, sih?! Nyalin catetan aja seabad!” gumamnya gusar.
            Tak menunggu lama, ia segera membayar minumannya dan berjalan cepat keluar dari kantin kampus lalu menuju kelas Cakka.
            “Hay, Gab!” sapa seseorang.
            Lelaki itu –Gabriel– menengok. “Eh, Oik.”
            “Buru-buru banget? Mau kemana?” tanya gadis berwajah manis itu, Oik.
            “Nyusulin Cakka ke kelas. Dia lelet banget.” Gabriel menjawab dengan tersenyum.
            Oik mengangguk mengerti. “Ya udah, gue duluan ya. Salam buat–”
            “Cakka.” Gabriel yang meneruskan.
            “Iya, buat Cakka. Sekalian bilangin makasih kedia.”
            Kini giliran Gabriel yang mengangguk.
            Oik pun melambaikan tangannya pada Gabriel lalu melenggang menuju lapangan parkir kampus. Gabriel hanya mengedikkan bahunya dan berlalu menyusuri koridor kampus yang bermuara di kelas Cakka.
            Gabriel menatap sekitarnya dengan bingung. Sepi sekali koridornya. Berarti mata kuliah sudah lama usai. Lalu, kemana Cakka?
            Gabriel telah sampai di depan kelas Cakka. Tangannya menyentuh handle pintu. Gabriel memutarnya dan sedikit mendorongnya. Kening Gabriel mengkerut. Pintunya tak dapat dibuka.
            Gabriel pun memutuskan untuk mengintip ke dalam melalui jendela. Matanya melebar melihat apa yang tengah terjadi di dalam sana.
            “Alvin? Rio? Ray? Deva? Ozy? Dayat?” gumamnya, tak percaya.
            Lalu pandangannya beradu dengan Cakka. Cakka menatapnya dengan wajah memelas. Gabriel mengalihkan pandangannya kepada keenam lelaki yang mengelilingi Cakka dengan penuh amarah.

**

            Gabriel membuka pintu kamar kosnya dengan sebelah tangan sebelah sebelah tangannya yang lain menahan tubuh Cakka agar tidak ambruk. Darah masih menetes dari sudut bibir Cakka. Gabriel menatapnya tak mengerti.
            Setelah pintu terbuka, Gabriel segera mendudukkan Cakka diatas kasurnya. Ia meletakkan tasnya dan tas milik Cakka di sudut kamar. Gabriel bergerak mengambil kotak P3K didalam lemari dan menyerahkannya pada Cakka.
            “Kok bisa gini, Kka?” tanya Gabriel.
            “Ga tau.” Cakka menjawab singkat.
            “Oik?” tebak Gabriel.
            Cakka hanya mengedikkan bahunya. Tangannya sibuk membersihkan darah di sudut bibirnya dengan kapas.
            “Elo, sih, susah banget gue bilangin! Gue udah bilang... jangan deket-deket Oik karena Alvin udah ngeklaim Oik sebagai miliknya! Gini, kan, jadinya.” Gabriel masih saja berceloteh heboh.
            Cakka memandang Gabriel datar. “Daripada lo ngoceh ga jelas, mending lo bantuin gue bersihin nih luka.”
            Gabriel berdecak kesal. Tapi akhirnya ia pun membantu Cakka membersihkan luka disudut bibirnya. Memangnya siapa lagi yang akan membantu Cakka kalau bukan Gabriel? Sahabatnya di Jakarta hanya Gabriel seorang.
            “Udah, lo ga usah pikirin lagi itu mereka. Atau... lo mau balas dendam?” ujar Gabriel.
            Cakka memasang wajah datarnya. “Karma masih berlaku, Gab.”
            “Kalau elo mau balas dendam kemereka, gue bisa bantu.”
            “Ya, ya, ya..”

**

            Cakka terduduk disebuah kursi panjang di depan ruang dosen. Tangannya menggenggam sebuket mawar merah yang wangi. Ia melirik pintu ruang dosen dengan gelisah. Pintu itu tak kunjung terbuka.
            Akhirnya setelah menunggu sekian lama, pintu itu terbuka. Seorang gadis manis keluar. Cakka segera berdiri dan menghampirinya dengan kaki bergetar karena grogi.
            “Hay!” sapa Cakka.
            Gadis manis itu menengok kearahnya dan tersenyum simpul. “Hay juga. Siapa, ya?”
            “Cakka, temennya Gabriel.”
            “Oh,” gadis itu membulatkan bibirnya. “Kenapa, Cakka?”
            “Ini..” Cakka menyerahkan sebuket mawar merah yang ia bawa. “Happy birthday, Oik.”
            Gadis manis itu –Oik– menerimanya dengan senang. “Makasih, ya!”
            Cakka pun juga ikut tersenyum.
            Tanpa keduanya sadari, Alvin menatap kejadian itu dari balik papan mading dengan api yang menyala-nyala dari kedua mata sipitnya.

**

            Suasana kampus pagi itu terlihat lebih ramai dari biasanya. Puluhan mahasiswa bergerombol di depan perpustakaan kampus. Pita berwarna kuning telah menutup seluruh akses untuk masuk ke dalam perpustakaan. Seluruh mahasiswa melongokkan kepala ke dalam dengan penasaran.
            Beberapa polisi berlalu-lalang di sekitar kampus. Sebuah ambulance juga telah terparkir di depan perpustakaan. Seorang polisi tampak sedang berkoordinasi dengan petugas ambulance.
            Oik memandang keanehan tersebut dengan kening berkerut. Ia menyenggol lengan Alvin yang sedang berjalan di sampingnya.
            “Ada apa, sih, Vin?” tanya Oik.
            Alvin menggelengkan kepalanya tak tahu. “Coba tanya polisi aja.” Alvin mengedik pada seorang polisi yang berjalan menuju mereka.
            “Pak, permisi... ada apa, ya?” tanya Oik pada sang polisi.
            Sang polisi mengedik beberapa saat pada perpustakaan kampus dan menghela napas prihatin.
            Tepat saat itu, ponsel Alvin bergetar. Alvin segera mengambilnya dari saku celana dan membaca sebuah pesan singkat yang baru saja masuk. Mata Alvin kontan melebar membaca pesan singkat dari Deva tersebut.
            “Ada seorang mahasiswa yang tewas di dalam. Kami sedang dalam proses evakuasi mayatnya. Tadi pagi petugas perpustakaan menelepon kami dan melaporkan bahwa seorang mahasiswa telah tewas tertimpa rak-rak buku.”
            Oik membekap mulutnya kaget. “Siapa, Pak?”
            “Mahasiswa itu bernama–”
            “Dayat..” Alvin bergumam dengan pandangan kosong.
            “Hah?!” Oik menatap Alvin. Ia segera mengambil alih ponsel Alvin dan membaca pesan singkat tersebut. Oik beralih pada sang polisi. “Dayat, Pak?” tanyanya, tak percaya.
            Polisi tersebut mengangguk. “Maaf, saya tidak bisa berlama-lama disini.”
            Oik hanya mengangguk. Polisi tersebut pun berlalu. Oik kini menatap Alvin. Lelaki itu masih menatap kosong kearah gedung perpustakaan.
            “Vin?” panggilnya.
            “Aku kemarin masih ngobrol sama Dayat, Ik. Kok sekarang...”
            “Ssstt!!” Oik menenangkan Alvin dengan cara mengusap bahunya lembut.
            Oik mengedik pada perpustakaan kampus. Gerombolan mahasiswa tengah memberi jalan untuk empat orang polisi yang menenteng sebuah kantung mayat berwarna kuning menuju ambulance.
            Alvin mengikuti arah pandang Oik. Mata keduanya terpaku kepada kantung kuning yang membungkus mayat Dayat tersebut. Kantung sedikit terbuka, menampakkan wajah Dayat yang mulai memucat. Matanya melotot sempurna, seakan-akan melihat sang malaikat pencabut nyawa sedang berdiri di depannya.

**

            Deva baru saja tiba di rumah kontrakannya. Setelah menghadiri pemakaman Dayat tadi siang, ia bersama keempat sahabatnya yang lain berkumpul di rumah Ray. Rupanya mereka semua benar-benar kehilangan Dayat.
            Deva melemparkan tasnya ke sembarang arah dan bergegas menuju kamar mandi tanpa mengunci pintu. Badannya sudah lengket semua karena keringat. Yang ia butuhkan sekarang hanya mandi.
            Deva menyalakan lampu kamar mandinya. Setelah melepas pakaiannya, ia menyibakkan tirai kamar mandi lalu menutupnya kembali. Tangannya terulur untuk menyalakan shower. Ia mengatur suhushowernya agar air yang mengucur bertemperatur hangat.
            Lelaki bermata lebar itu bersiul-siul ditengah mandinya. Tanpa ia sadari, seorang lelaki yang menggunakan penutup kepala berwarna hitam memasukki rumah kontrakannya. Lelaki berpenutup kepala itu segera memasukki satu-persatu ruangan dalam rumah kontrakannya. Ia menemukan Deva yang tengah berada di kamar mandi.
            Lelaki itu bergerak perlahan memasukki kamar mandi. Kakinya berjingkat hati-hati. Ia dapat melihat siluet tubuh Deva yang tengah mencuci rambutnya di balik tirai. Ia melihat sekeliling. Tak ada satu benda pun yang dapat ia gunakan untuk...
            “AAAAAAHHH!!!”
            Suara teriakan Deva menggema di dalam kamar mandi. Deva berusaha menggapai-gapai sesuatu tapi hasilnya nihil. Setiap ia hampir berhasil memukul sang lelaki berpenutup kepala, lelaki itu sudah melayangkan bogemnya terlebih dahulu.
            Deva kehabisan napas karena lelaki itu telah membalut tubuhnya dengan tirai kamar mandi. Karena tirai tersebut tidak berwarna, lelaki itu dapat melihat ekspresi wajah Deva yang tersiksa karena tidak mendapat pasokan oksigen. Lelaki itu tertawa puas.
            Kebetulan lelaki itu tak sengaja menemukan sabuk Deva yang tergeletak begitu saja di lantai kamar mandi. Ia segera mengambilnya dan melingkarkannya pada leher Deva.
            “AAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!”
            Darah segar keluar dari mulut Deva dan menodai tirai bening kamar mandi yang membungkusnya. Dadanya sudah tak lagi naik-turun, menandakan ia tak lagi bernapas. Kedua kelopak mata Deva perlahan menutup dan akhirnya... menutup sepenuhnya.
            Lelaki berpenutup kepala itu menggeletakkan tubuh Deva begitu saja di lantai kamar mandi. Dengan tersenyum miring, ia berjalan meninggalkannya.

**

            Ozy berlari-lari kecil menuju rumah Deva. Ia berniat mengembalikan jaket Deva yang tadi tertinggal di Ray. Suasana petang itu –entah mengapa– terasa berbeda. Ozy berusaha mengabaikan perasaan tak enaknya dan mengetuk pintu rumah Deva.
            “Ini udah lima menit ngetuk, kok, Deva ga keluar-keluar?!” gerutunya, sebal.
            Ia iseng membuka pintu rumah kontrakan Deva. Dan ternyata, pintunya tak terkunci. Ozy hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia pun masuk ke dalam.
            Ozy tak menemukan Deva di kamarnya, di ruang tengah, di ruang tamu, dan di dapur. Ozy tak habis pikir. Kemana sahabatnya yang satu itu?
            “Ah! Kamar mandi!”
            Dengan segera, Ozy menuju kamar mandi Deva. Lagi-lagi, pintunya tak terkunci. Ia melongo hebat begitu masuk ke dalam. Matanya melebar dan tubuhnya mulai gemetar.
            “AAAAAAAHHHH!!!!! DEVAAAAAAAA?????!!!!!”

**

            Alvin, Rio, dan Ray berjalan menghampiri Ozy. Ketiganya dapat melihat dengan jelas Ozy yang masih shock dan terduduk lemas di atas motornya. Ketiganya menghampiri Ozy dan berusaha menenangkannya.
            “Kok bisa, sih, Zy?” tanya Rio, tak percaya.
            Ozy hanya menggelengkan kepalanya. Ia menunjuk rumah kontrakan Deva dengan pandangan kosong.
            “Lo bener-bener ga lihat ada yang mencurigakan?” tanya Ray.
            Ozy menggeleng kembali. Bibir pucatnya terkunci rapat.
            Alvin hanya dapat memandang hilir-mudik polisi di depannya dengan pandangan bertanya. Ada apa ini sebenarnya?

**

            Alvin, Rio, Ray, Ozy, dan beberapa teman Deva yang lain kini berada di bandara. Mereka semua mengantarkan jasad Deva pulang ke kota asalnya, Denpasar. Jasad Deva memang sudah diperbolehkan oleh pihak kepolisian untuk dibawa pulang setelah semalaman ‘menginap’ di ruang otopsi.
            Setelah pesawat yang membawa jasad Deva lepas landas, kerumunan kecil itu perlahan bubar. Alvin, Rio, Ray, dan Ozy berjalan beriringan menuju tempat parkir. Keempatnya berhenti di depan mobil Ray.
            “Kalian berempat balik, gih. Istirahat.” Ray memandang ketiga sahabatnya dengan tersenyum tipis.
            “Lo sendiri ga balik, Ray?” tanya Ozy.
            Ray menggeleng pelan. “Gue mau ke Puncak sebentar. Sepupu gue udah nunggu dijemput.”
            “Ya udah,” Alvin mengangguk. “Ati-ati lo.”
            Ray pun segera masuk ke dalam mobilnya setelah berpamitan pada Alvin, Rio, dan Ozy. Ray membunyikan klakson mobilnya ketika melewati ketiga sahabatnya yang sedang berjalan menuju parkiran motor. Alvin, Rio, dan Ozy melambaikan tangan pada Ray. Ray pun melesat meninggalkan mereka.
            “Kok perasaan gue ga enak, ya?” gumam Rio.
            Alvin menepuk bahu Rio dan tersenyum. “Lo butuh istirahat, Yo.”
            “Iya. Gue langsung tidur begitu sampai kos.” Rio mengangguk paham.
            “Masalahnya... perasaan gue juga ga enak.” Ozy berkata lirih.
            “Apa, Zy?” tanya Alvin yang tidak sepenuhnya mendengar perkataan Ozy.
            “Ga,” Ozy menggeleng. “Bukan apa-apa.”

**

            Ray mengemudikan mobilnya dengan tenang. Jalanan berkelok-kelok di hadapannya ia anggap remeh karena –memang– ia telah berkali-kali melewatinya. Ray pun menginjak gas mobilnya lebih dalam lagi sehingga mobilnya melaju lebih kencang.
            Ponsel Ray tiba-tiba saja berbunyi. Dengan masih memandang jalanan di depannya, Ray membaca sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal yang baru saja masuk ke ponselnya.
Elo yg slnjtnya!
            “Apa, sih? Ini kerjaan orang iseng atau salah kirim?” Ray terkekeh membaca isi pesan singkat tersebut.
            Ray kembali meletakkan ponselnya begitu saja. Beberapa puluh meter di hadapannya, jalan mulai berkelok turun dengan jurang yang berada di kanan dan kirinya. Ray harus menurunkan kecepatan mobilnya atau –paling tidak– menginjak rem. Tunggu dulu...
            “Kenapa remnya ga berfungsi?!” Ray berteriak frustasi.
            Kelokan tajam di depannya semakin mendekat. Ray menginjak pedal rem mobilnya berkali-kali dan sama-sekali tidak ada efeknya. Ray bergerak-gerak dengan gusar. Jalanan sepi. Tak ada yang bisa menolongnya.
            Lalu, tiba-tiba saja, ponselnya terjatuh di dekat kakinya.
            “Elah! Dikeadaan begini masih aja aneh-aneh!”
            Ray pun membungkuk, berusaha meraih ponselnya. Tanpa ia ketahui, mobilnya telah berada di sebuah kelokan dengan jurang curam di sampingnya. Ray tak sempat membelokkan mobilnya dan jadilah ia beserta mobilnya meluncur bebas masuk ke dalam jurang.
            “AAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!!”

**

            Lelaki berpenutup kepala yang sama. Ia melirik kerumunan kecil di lobby bandara. Sebentar lagi, pekerjaannya hampir selesai.
            Nah! Kabel rem mobil itu telah putus.
            Dengan senyum sesinis setan, ia bergerak meninggalkan bandara tanpa seorang pun yang mencurigai gerak-geriknya.

**

            Suasana di TPU Kalibata pagi itu terlihat ramai. Belasan karangan bunga yang ditujukan untuk keluarga Ray terpampang di pintu masuk TPU. Tiga orang lelaki sedang berdiri di bawah rindangnya pohon dengan wajah gusar.
            “Sekarang tinggal kita bertiga. Ini ada, sih, sebenernya?!” tanya Rio.
            “Mana gue tau?!” balas Ozy dengan tak kalah gusarnya.
            “Ini semua pasti kerjaan dia..” Alvin berkata dengan dingin.
            “Siapa?” tanya Rio dan Ozy berbarengan.
            “Cakka.” Alvin bergumam dengan amarah tertahan.
            “Cakka? Anak culun itu? Ngaco lo!” Ozy berjingkat tak percaya.
            “Siapa lagi?!” Alvin menatap Ozy sangar.
            “Gabriel?” gumam Rio.
            “Iya!” Ozy berkata takut-takut. “Dia, kan, sohibnya Cakka banget!”
            “Sekarang ga penting siapa pelakunya. Yang jelas, dia ga akan berhenti sampai disini aja. Masih ada gue dan lo berdua yang belum di bunuh. Selanjutnya siapa? Gue?” Alvin beralih menatap Ozy. “Lo?” Lalu, beralih pada Rio. “Atau lo?”

**

            “Udah ada tiga orang yang mampus!”
            “Terus?”
            “Ngaku aja kalau elo yang bunuh mereka!”
            “Punya bukti apa lo, nuduh-nuduh gue?”
            “Please, lo berhenti.”
            “Berhenti apa? Bukan gue yang bunuh mereka!”
            “Gue tahu lo bohong!”
            “Ya ini karma mereka!”

**

            Sudah seminggu berlalu semenjak kematian Ray dan mereka bertiga –Alvin, Rio, Ozy– sehat-sehat saja. Tak ada sesuatu yang membahayakan terjadi pada mereka bertiga. Alvin sudah kembali sibuk mendekati Oik, Rio sibuk dengan skripsinya, dan Ozy sibuk dengan pekerjaan sampingannya sebagai seorang fotografer.
            Kini ketiganya tengah berkumpul di kantin kampus dan mengobrol bersama.
            “Sepi ya, sekarang kita tinggal bertiga.” Ozy berkata dengan raut wajah sedih.
            “Kalau gitu, kita bertiga harus terus sama-sama,” ujar Rio, menepuk pundak Ozy dan Alvin bergantian.
            “Kalian gimana sekarang?” tanya Alvin.       
            “Gue sidang skripsi bulan depan. Doain, ya!” Rio tersenyum lebar setelahnya.
            “Lo?” Alvin melirik Ozy yang tengah mengaduk-aduk jusnya.
            “Biasa..” Ozy mengedikkan bahunya. “Besok gue ada job di stasiun yang udah ga kepakai gitu. Anak-anak SMP mau bikin buku tahunan.”
            Alvin mengangguk-angguk mendengar jawaban kedua sahabatnya yang tersisa.
            “Kalau lo sendiri?” tanya Rio, melirik Alvin.
            “Si culun udah ga pernah deket-deket Oik lagi.” Alvin tersenyum miring.
            “Cepet tembak, dong, makanya kalau ga mau ada yang deketin dia, bro!” Ozy menepuk pundak Alvin dengan bersemangat.
            “Ga usah pacaran, langsung kawin aja.” kata Alvin, kalem.
            Rio dan Ozy tertawa lebar mendengar jawaban Alvin. Keduanya meninju lengan Alvin dan dibalas dengan lemparan kerupuk oleh laki-laki sipit itu.

**

            “Mas, yakin mau di tengah rel kereta gini?” tanya seorang gadis cilik.
            Ozy hanya tersenyum mengiyakan. Rupanya klien-klien kecilnya ini masih parno dengan lokasi pemotretan buku tahunan mereka. Ozy masih sibuk mengatur kameranya ketika anak-anak SMP itu sudah siap difoto.
            “Ga usah takut. Ini stasiunnya udah ga difungsikan lagi. Jadi ga bakalan ada kereta yang nabrak elo-elo pada.” kata Ozy.
            Anak-anak SMP itu hanya mengangguk mengerti. Mereka pun segera berdiri di tempat masing-masing untuk difoto bersama-sama terlebih dahulu. Mereka semua berjejer di pinggir rel dengan latar belakang sebuah gerbong kereta yang tidak terpakai.
            Ozy pun segera membidikkan kameranya kearah mereka semua dan melihat hasilnya.
            “Kurang bagus!” desisnya.
            Ozy melangkah menghampiri anak-anak itu dan mengarahkan mereka agar terlihat bagus dalam jepretannya. Mereka semua larut dalam arahan Ozy, tak menyadari sesuatu...
            Deru mesin kereta api terdengar ditelinga mereka. Mereka sama-sekali tak menghiraukannya dan mengira kereta itu lewat di rel tak jauh dari mereka. Sampai akhirnya...
            “AAAAAAAAAAAHHHHHHH!!!!!!!!!”
            “MAAAASSS????!!!!”
            Anak-anak SMP itu melihat sendiri bagaimana tubuh Ozy tertabrak kereta dan terseret hingga beberapa meter. Semuanya terdiam di tempat ketika melihat tubuh Ozy yang sudah tak berbentuk tak jauh dari mereka.
            Seorang lelaki berpenutup kepala kembali memamerkan seringaiannya di bawah plang kereta api.

**

            “Sekarang bener-bener tinggal gue dan elo.” Rio sudah akan menangis setelah mendapat kabar kematian Ozy.
            Alvin dan Oik yang berdiri di hadapannya juga sama sepertinya. Ketiganya benar-benar tak habis pikir dengan kematian sahabat-sahabat Alvin dan Rio akhir-akhir ini.
            “Pasti Cakka. Iya. Pasti.” Alvin bergumam dengan rahang mengeras.
            “Maksud kamu?” tanya Oik.
            “Pelakunya pasti Cakka, Ik. Pasti Cakka yang ngebunuh Dayat, Deva, Ray, dan Ozy. Dan sebentar lagi pasti giliran gue dan Alvin!” seru Rio frustasi.
            “Kenapa kalian nuduh Cakka?” teriak Oik balik.
            “Karena... karena–” Alvin tidak dapat melanjutkan kalimatnya.
            “Karena kami semua nyuruh dia cium kaki Alvin setelah dia ngedeketin elo tempo hari.” Rio berkata jujur.
            “Cium kaki Alvin?” Oik terperangah.
            “Maaf, Ik..” gumam Alvin.
            “Kalian berdua...” Oik menampar Alvin dan Rio satu-persatu. “Jahat banget!” desisnya.
            Oik berderap meninggalkan Alvin dan Rio tanpa menengok kembali pada dua lelaki itu.

**

            Malam itu, ketika Cakka membuka tirai kamar kosnya, ia melihat Gabriel yang pergi dengan terburu-buru menggunakan motornya. Cakka segera mengambil jaket dan kunci motornya lalu diam-diam mengikuti Gabriel.

**

            Rio membuka pintu rumahnya dengan lesu. Ia baru bermain futsal dengan teman-teman sekampusnya. Entah kemana tante, om, dan sepupunya. Sepertinya mereka sedang bepergian dan lupa berpamitan kepada Rio sebelumnya.
            Dengan tidak menghiraukan badannya yang lengket semua karena keringat, Rio berjalan menuju kamarnya. Tanpa berganti pakaian pula, Rio tertidur di kasurnya.

**

            Ia berhasil masuk ke dalam rumah itu. Dengan segera, ia bergegas menuju dapur. Ketika ia melewati sebuah kamar, ia membuka pintunya. Ada Rio yang tertidur pulas di dalam. Dengan tanpa menutup pintunya, ia kembali berjalan menuju dapur.
            Ia juga sudah memastikan seluruh jendela di rumah ini tertutup rapat. Ketika ia sampai di dapur, ia segera berjalan menuju tabung LPG dan melepas selangnya.
            Setelah itu, dengan cepat ia keluar dari rumah tersebut. Tak lupa pula ia mengunci dari luar pintu ruang tamu –satu-satunya akses keluar dari rumah tersebut– dan berjalan menuju sebuah pohon rindang. Ia mengamati rumah itu dari bawah pohon dengan tersenyum miring.

**

            Rio terbangun karena bau-bauan aneh menusuk hidungnya. Begitu ia membuka mata, seluruh sudut rumahnya telah penuh dengan asap keabu-abuan. Bau-bauan aneh itu mulai membuatnya sesak napas dan lemas.
            Rio segera bangkit dan berlari keluar rumah. Ketika ia sampai di ruang tamu, pintu sudah dalam keadaan terkunci dan ia tak menemukan kunci itu dimanapun. Rio panik.
            “Sial! Mana, sih, itu kunci?!”

**

            Setengah jam berlalu.
            Lelaki berpenutup kepala itu melebarkan senyumannya. Sudah tak ada lagi aktivitas yang terlihat di dalam rumah. Gedoran-gedoran paksa dari dalam rumah juga sudah tak tampak lagi. Ia yakin, pasti seseorang di dalam sana sudah pergi kealam lain.

**

            Alvin berjalan dengan malas menuju ruang tamu kediamannya. Semenjak lima menit yang lalu, seseorang menggedor-gedor pintu rumahnya seperti orang kesetanan. Dan begitu Alvin membukanya, pandangannya mendadak murka.
            “Lo ngapain kesini?!” seru Alvin.
            “Dengerin gue! Lo harus selametin Rio sebelum–”
            Ponsel dalam saku Alvin berbunyi, ada sebuah telepon masuk. Alvin segera mengangkatnya dan mengabaikan lelaki di hadapannya. Alvin terdiam mendengarkan lawan bicaranya.
            “Apa? Rio... mati?”

**

            “Gue mohon lo berhenti.”
            “Ga akan.”
            “Biarin Alvin. Jangan dendam. Gue aja udah ga dendam sama dia.”
            “Diem lo! Selangkah lagi dan dendam kita berdua akan terbalaskan.”
            “Ayolah! Lo udah bunuh lima orang!”
            “Bukan urusan lo!”

**

            Alvin termenung seorang diri di pelataran kampusnya malam itu. Ia memutar kembali kejadian-kejadian beruntun yang menimpa sahabat-sahabatnya dan menyebabkan kematian mereka.
            Ia baru saja membuka paksa loker milik kelima sahabatnya dan mengambil seluruh barang-barang mereka untuk disimpang sebagai kenang-kenangan. Alvin telah memasukkan seluruh barang-barang Rio, Ozy, Ray, Deva, dan Dayat ke dalam mobilnya. Kini, ia tengah bersandar di kap mobilnya dengan pandangan menerawang.
            Tin tin!
            Suara klakson mobil terdengar begitu nyaring di pelataran kampus. Alvin terkesiap dan memandang sebuah mobil di dekatnya.
            “Tinggal elo yang belum mampus.” desis sang pengemudi.
            “Elo?!” Alvin menatap sang pengemudi tak percaya.
            “Kenapa? Heran? Gue yang udah bunuh lima sohib lo dan sekarang... waktunya gue bunuh elo!”
            Alvin merasakan kakinya lemas. Ia melangkah menuju mobilnya.
            “Mau kemana lo, naik mobil? Asal lo tahu aja, gue udah sabotase mesin mobil lo.”
            Alvin mengumpat kesal dengan keringat dingin yang terus membanjiri wajahnya. Dengan gemetar, Alvin berlari meninggalkan pelataran kampus. Sayangnya, pintu keluar kampus masih sangat jauh.
            “Mau lari kemana lo?”
            Sang pengemudi menginjak gas mobilnya dalam-dalam. Dan, dalam satu sentakan, ia sudah menabrak tubuh Alvin hingga terpental beberapa meter ke depan. Ia tertawa puas ketika melihat tubuh Alvin yang sudah tak bergerak dan berlumuran darah.

**

            Police line kembali terpasang di area kampus ini. Walaupun jam sudah menunjukkan pukul satu malam, warga sekitar berbondong-bondong untuk melihat apa yang telah terjadi. Polisi kembali hilir-mudik di kampus ini.
            Oik datang bersama lelaki yang menggandeng tangannya. Keduanya memandang dua orang polisi yang mengawal sang pengemudi mobil. Oik menatapnya tak percaya.
            “Cakka..”
            Polisi berserta sang pengemudi –Cakka– berjalan melewati Oik dan lelaki itu –Gabriel–.
            “Gue udah bilang, Kka, jangan dendam.” Gabriel menggeleng sedih.
            “Sia-sia ternyata waktu itu gue belain elo di depan Rio dan Alvin.” Oik mengerjap tak percaya.
            “Maaf..” hanya itu yang dapat Cakka ucapkan. Kedua polisi itu pun segera membawanya naik ke dalam mobil dan meluncur menuju kantor polisi.
            Oik dan Gabriel memandang kosong mobil polisi itu hingga lenyap ditelan kegelapan malam.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS