Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [02]

            “Oke. Sampai nanti!” Alvin mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum manis.

            Kaca mobil pun tertutup. Sebelumnya, gadis berwajah riang itu pun melemparkan senyumnya pada Alvin. Alvin mundur beberapa langkah, memberikan jalan pada sang gadis berwajah riang untuk mengemudikan mobilnya keluar dari area parkir Oicagraph.

            Alvin memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Ia terus berdiri di sana sampai mobil sang gadis riang tertelan oleh puluhan mobil lain di jalanan. Begitu memastikan mobil gadis berwajah riang itu telah hilang, Alvin pun berbalik dan masuk kembali ke dalam Oicagraph Studio.

            Alvin mendapati Oik yang masih bersandar pada bahu Ify, dengan bibir seputih kapas. Alvin pun duduk di samping Rio, terpisah oleh sebuah meja dengan Oik dan Ify. Ia melirik Oik, gadis mungil itu tampak sedang memikirkan sesuatu.

            “Memikirkan apa, Ik?” tanya Alvin, ia kibaskan tangan kanannya di depan wajah Oik.

            Oik tersadar dan kemudian menggeleng, “Ga, ga lagi memikirkan apa-apa.” Oik menghembuskan napas dengan berat, “Tadi kamu bicara dengan siapa, Vin?”

            Alvin mendadak kikuk. Ia berusaha tersenyum senormal mungkin kepada Oik, “Bukan siapa-siapa. Cuma orang yang tanya alamat. Iya, tanya alamat.”

            “Oh,” Oik membulatkan bibirnya, “Kok lama?” tanyanya lagi.

            “Dia tanya petunjuknya arah dan tetek-bengek lainnya. Mungkin dia orang baru di sini.” Alvin mengedikkan bahunya, berusaha secuek mungkin.

            “Cantik, ya?” cecar Oik.

            “Apa, sih, Ik?” Alvin terlihat tidak senang dengan cercaan Oik barusan. Lantas, ia mengambil undangan perkawinan Rio dan Ify yang tergeletak di meja lalu membukanya, “Pestanya besok, Fy, Yo?” Alvin memandang Rio dan Ify bergantian.

            Rio dan Ify mengangguk bersamaan dan tersenyum lebar. Sedangkan Oik, gadis itu melengos malas ketika menyadari Alvin sedang mengalihkan pembicaraan. Ada apa sebenarnya? Siapa gadis berwajah riang tadi?

            “Lalu, kenapa kalian masuk kerja? Kenapa ga siap-siap untuk acara besok?” Alvin menggeleng tak percaya.

            “Tadi niatnya ke sini cuma untuk ngantar undangan saja. Eh, ternyata ada klien dan studio lagi sepi. Ya sudah, aku yang menangani kliennya.” Ify menjelaskan dengan wajah malas.

            “Kenapa ga pulang saja sekarang?” tanya Oik, mulai masuk ke dalam pembicaraan.

            “Ini juga kami akan pulang.” Rio menyahut bersemangat.

            Rio pun berdiri. Menengadahkan tangan kanannya kepada Ify. Ify menerimanya, gadis itu pun kemudian berdiri. Dengan tangan kiri, Ify mengambil tasnya. Setelahnya, tangan kanan Ify mulai menggamit lengan Rio erat-erat.

            “Kami balik dulu, Ik, Vin. Jangan lupa datang besok malam! Awas kalau sampai kalian ga datang. Sipa-siap saja aku damprat!” pamit Ify, Rio terkekeh di sebelahnya.

            Alvin tersenyum tipis. Keduanya menatap Rio dan Ify yang sudah masuk ke dalam mobil Rio. Mobil itu pun melesat, meninggalkan Oicagraph Studio beserta Oik, Alvin, dan karyawan lainnya. Oik kembali menghembuskan napasnya, kali ini untuk menarik perhatian Alvin.

            Alvin menengok padanya dan tersenyum lucu, “Apa? Sudah ga tanya-tanya lagi soal orang tadi?” godanya.

            “Terus saja goda aku!” Oik meninjukan kepalan tangannya ke lengan Alvin, “Aku ga jadi masak, ah, kalau kamu nyebelin begini.”

            “Eh, jangan!” Alvin mendadak berteriak kencang, “Ya sudah, ayo pulang, peri kecil.” Alvin berdiri, lalu menghampiri Oik dan membantunya berdiri.

            “Ga usah sok baik. Nanti juga kalau masakannya sudah selesai aku masak langsung berubah nyebelin lagi!” sindir Oik.

            Alvin tertawa tepat di telinga Oik. Oik kontan menutup telinganya dan melepaskan pegangannya pada lengan Alvin. Setelah Alvin berhenti tertawa, Oik menghujani perut lelaki oriental itu dengan cubitan-cubitan tak kenal ampun.

^^^

            Cakka dan Shilla baru saja keluar dari sebuah cake shop di bilangan Jakarta Selatan. Keduanya baru saja memesan sebuah wedding cake bertingkat sembilan –tanggal dan bulan jadian mereka– di sana. Begitu sampai di depan mobil Shilla, Cakka segera melemparkan kunci mobil kepada Shilla.

            “Kamu saja yang menyetir. Aku capek, Shill. Ya?” Cakka merayu Shilla dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

            Shilla melengos dan tersenyum jengah, “Ya sudah. Tidur saja kamu, biar aku yang menyetir.” katanya, mengalah.

            Keduanya pun masuk ke dalam mobil. Kali ini, Shilla yang duduk di balik kemudi. Mesin dinyalakan, Shilla segera mengemudikannya ke sebuah butik –tempat mereka akan fitting–.

            Cakka melongok ke luar jendela. Ini bukan jalan pulang ke rumahnya. Ia menengok pada Shilla yang sedang menyetir, “Mau ke mana kita, Shill? Ini bukan jalan pulang ke rumahku.”

            Shilla meliriknya sekilas dan tersenyum, “Kita ke butik, fitting baju dulu. Kenapa?”

            Cakka mendengus, “Aku capek, Shill. Kita pulang saja. Aku mau istirahat beberapa jam. Nanti sore kita fitting baju. Ya?”

            “Oke, oke,” Shilla memutuskan untuk mengalah. Lagipula, jika nanti Cakka tidur, ia bisa banyak bercerita dengan Mbak Agni.

            Shilla memutar kemudinya, tidak jadi ke butik. Cakka pun akhirnya terlelap begitu menyadari Shilla akan membawanya pulang ke rumah. Shilla melirik lelaki di sampingnya. Begitu beruntungnya dia memiliki lelaki seperti Cakka. Gadis itu tersenyum penuh arti.

^^^

            Alvin dan Oik kini telah sampai di pelataran apartemen mereka. Setelah memarkirkan mobil, keduanya pun turun. Alvin dan Oik bergandengan memasukki gedung apartemen tersebut. Begitu sampai di depan minimarket di dalam gedung apartemen tersebut, keduanya melepaskan gandengan tangan mereka.

            “Kamu mau aku temani berbelanja atau bagaimana?” tanya Alvin, menatap Oik.

            Oik terlihat berpikir sejenak dan kemudian menggeleng, “Kamu duluan ke kamar saja. Minimarket lagi ramai,” Oik mengedik ke dalam, “Nanti takutnya kamu capek nunggu aku.”

            Alvin tersenyum dan mengacak rambut Oik, “Ya sudah, aku tinggal. Kamu cari aku di apartemenku, ya, nanti.”

            Oik mengangguk dan tersenyum lebar, “Oke. Sudah, sana! Hus hus!”

            Alvin tertawa. Ia pun akhirnya berbalik dan berjalan menuju lift dengan senyuman penuh arti. Begitu melihat Alvin telah masuk ke dalam lift, Oik segera masuk ke dalam minimarket. Mengambil sebuah keranjang kecil dan berjalan menuju lorong makanan.

            Siang ini ia akan memasak nasi goreng superpedas dan pudding cokelat untuk penutupnya. Setelah memasukkan seluruh bahan untuk membuat hidangan utamanya, Oik bergegas mencari bahan untung pudding cokelatnya.

            Tangan Oik terulur untuk mengambel sesachet bubuk pudding cokelat ketika sebuah tangan lagi terulur untuk mengambil sachet yang sama. Oik terperanjat. Kepalanya terangkat untuk melihat tangan siapakah itu.

            “Eh, Oik,” sapa orang tersebut.

            “Mau membuat pudding juga, Gab?” sapa Oik balik pada orang itu, Gabriel.

            Gabriel mengangguk, “Iya. Patton lagi ngidam pudding. Biasanya mamanya membuatkannya pudding setiap minggu.”

            Oik melirik rak tempat bubuk pudding itu terpajang, “Gab, bubuk pudding yang cokelat tinggal ini saja,” Oik menyerahkannya pada Gabriel, “Untuk kamu dan yang lainnya saja.”

            “Eh?” Gabriel mendadak salah tingkah, “Ga usah, Ik. Untuk kamu saja.” Gabriel menyerahkan kembali sachet tersebut.

            Oik tersenyum tipis menerimanya, “Benar? Boleh?”

            “Iya.” Gabriel mengangguk, “Aku bisa ambil varian rasa lainnya, kok.”

            “Terima kasih!” Oik melebarkan senyumnya dan memasukkan sesachet bubuk pudding itu ke dalam keranjang belanjaannya, “Aku duluan, Gab!”

            Oik berjalan menjauh. Hatinya sedikit berdesir ketika tak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan milik Gabriel tadi. Lagi-lagi bola mata hitam legam itu mengingatkannya pada seseorang. Tapi, siapa?

            Gabriel hanya mengangguk menatap kepergian Oik. Tatapannya benar-benar sulit diartikan. Lelaki itu hanya menghembuskan napas dan kembali berkeliling minimarket untuk membeli bahan-bahan keperluan sehari-hari lainnya.

^^^

            Mobil Shilla baru saja berhenti di depan rumah Cakka. Shilla segera mematikan mesin mobilnya. Gadis itu menengok ke samping, Cakka belum juga bangun. Ia hanya menggelengkan kepalanya, menyadari betapa kebonya Cakka.

            “Kka, udah sampai. Bangun.” Shilla menepuk pelan pipi Cakka.

            “Hn,” Cakka mengulat, kemudian kembali terlelap.

            “Bangun, dong, Kka. Ini sudah di depan rumah kamu.” Shilla kembali menepuk pipinya.

            “Iya,” Cakka menjawab dengan suara parau, lagi-lagi ia kembali terlelap.

            Shilla kembali menggeleng jengah. Ia bergerak pelan untuk mengecup pipi Cakka. Setelahnya, ia menepuk lengan Cakka dengan keras, “Bangun, dong! Ih! Kebo banget kamu, Kka!”

            “Iya, iya..” Cakka menguap lebar, lalu duduk dengan tegak dan tersenyum lebar ke arah Shilla.

            Keduanya pun turun dari mobil. Cakka berjalan menuju kamarnya dan kembali terlelap. Sedangkan Shilla, ia melangkah menuju kamar Agni. Banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan calon kakak iparnya itu.

            “Mbak Agni,” Shilla memanggil namanya seraya mengetuk daun pintu kamar tersebut.

            “Iya!” terdengar sahutan dari dalam, juga suara –seperti memindahkan sesuatu­–. Perlahan, terdengar langkah kaki yang semakin mendekat dan bunyi membuka kunci, “Ada apa, Shill?”

            Shilla menatap Agni dengan aneh, “Tumben, Mbak, pakai dikunci segala kamarnya.”

            Agni mengedik, “Tadi... habis ganti pakaian.”

            Shilla menatap Agni menyelidik. Ganti pakaian? Pakaian Agni masih sama saja dengan yang ia pakai ketika pagi tadi Shilla ke sini. Shilla hanya mengedikkan bahunya dengan cuek. Ia masuk ke dalam kamar Agni dan rebahan di ranjangnya. Agni segera menutup pintu kamarnya dan berbaring di samping Shilla.

            “Mbak, gue mau tanya sesuatu..” gumam Shilla.

            Agni menengoknya sekilas dan tersenyum tipis, “Mau tanya apa, Shill?”

            “Cakka... masih suka menyebut-nyebut Lala ga, Mbak?” tanya Shilla, ragu-ragu.

            “Aduh, gimana, ya.. Lo janji ga akan kesal, ya?” Agni menyodorkan kelingkingnya pada Shilla, keduanya pun saling bertautan kelingking untuk beberapa saat. “Cakka masih suka sebut-sebut Lala.”

            “Lala itu gue atau.....” Shilla menggantungkan kalimatnya.

            Agni menghembuskan napas berat, “Setelah dia sebut-sebut soal Lala, gue selalu bilang kalau Lala itu lo. Tapi dia langsung melengos malas.”

            Shilla merubah posisinya menjadi duduk, “Dia... masih menyimpan Lala dalam ingatannya..” Shilla bergumam sedih.

            “Tenang saja, Shill.. Gue cuma merestui kalau Cakka sama lo, bukan dengan yang lainnya.” Agni bangkit dan mengusap pelan pundak Shilla dengan sayang.

            “Makasih, Mbak.” Shilla tersenyum miris kepada sang calon kakak ipar.

^^^

            Setelah membayar seluruh belanjaannya, Oik bergegas naik melalui lift. Begitu lift sampai di lantai yang dituju, Oik pun keluar. Ia berpapasan dengan seorang gadis yang sedang menunduk dalam-dalam yang akan masuk ke dalam lift.

            Oik pun keluar dari lift. Berdiri sejenak di depan lift karena pintunya belum juga tertutup. Oik terus memandangi gadis itu lekat-lekat. Begitu pintu lift sudah hampir tertutup, gadis itu mendongakkan kepalanya. Oik tersentak kaget.

            Dia lagi. Gadis itu lagi. Dia, kan, yang tadi ada di halaman parkir Oicagraph bersama Alvin..

            Oik menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia pun membalikkan badannya dan menyusuri lorong gedung apartemen itu. Ketika ia tiba di depan ruang apartemen miik Alvin, ia mengetuk pintunya perlahan. Ia terus menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis itu dan soal bola mata hitam legam milik Gabriel.

            “Oik, ya?” terdengar sahutan dari dalam.

            Oik mengangguk, “Iya!” Oik balas berteriak.

            “Masuk saja, peri kecil! Pintunya ga aku kunci!” Alvin kembali berseru.

            Oik mengedik cuek. Ia pun masuk ke dalam. Dilihatnya ruang tamu Alvin kosong. Ia pun berjalan menuju dapur. Oik bersandar pada kulkas di sudut dapur, menatap Alvin yang berdiri membelakanginya. Lelaki itu sedang mencuci dua gelas di tempat mencuci piring.

            “Gelas siapa, Vin?” tanya Oik, tatapannya tak lepas dari punggung Alvin.

            Alvin menengok perlahan padanya, “Gelasku, dong, Ik. Gelas siapa lagi?”

            “Kenapa ada dua?”

            “Iya, tadi temanku ke sini.”

            “Perempuan?”

            Alvin terdiam sejenak, “Bukan, laki-laki.”

            Oik melengos malas. Jelas-jelas ia tidak berpapasan dengan seorang laki-laki pun tadi di lorong. Ia hanya berpapasan dengan seorang gadis. Gadis berwajah riang itu. Gadis yang sama dengan yang ia lihat sedang mengobrol dengan Alvin di studio tadi pagi. Oik melengos malas menyadari Alvin membohonginya, menutupi sesuatu darinya.

            “Aku capek, Vin..” lirih Oik.

            Alvin baru saja selesai mencuci kedua gelas tersebut. Ia berbalik dan menghampiri Oik lalu mengusap pelan pipinya, “Istirahat saja, Ik. Biar aku yang masak.”

            “Kamu ga bakalan pernah ngerti.” Oik kembali membuka mulutnya.

            Alvin mengambil sekantung plastik belanjaan dari tangan Oik dan melihatnya, “Kamu mau memasak apa?”

            “Nasi goreng superpedas dan pudding cokelat.” Oik menjawab seadanya.

            “Kamu tidur saja di kamarku.” Alvin mengantarkan Oik ke dalam kamarnya. Membantu Oik merebahkan tubuhnya di ranjang, dan menyelimutinya dengan sebuah selimut tipis, “Nanti kalau masakannya sudah matang, aku bangunkan.”

            Oik mengangguk dengan setengah hati. Alvin pun bangkit untuk menyalakan pendingin ruangan. Setelahnya, ia keluar dan menutup pintunya. Oik sayup-sayup mendengar langkah Alvin yang mulai menjauh. Setelah dirasa Alvin telah sampai di dapur, Oik menyibak selimutnya dan memeriksa kamar Alvin.

            Oik mulai membuka satu-persatu laci Alvin. Dan, pada laci keempat, Oik menemukan berlembar-lembar foto. Mulai dari pose konyol hingga pose mesra, ada dalam lembar-lembar foto tersebut. Oik terduduk di ranjang Alvin dengan sebelah tangan menutupi mulutnya.

            “Alvin... dengan gadis tadi..” lirih Oik.

^^^

            Shilla mengedik pada sebuah jam yang tergantung di dekat lemari pakaian milik Agni. Ia terkesiap. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Dan, karena terlalu asyik mengobrol dengan Agni, ia sampai lupa membangunkan Cakka yang kelewat kebo itu! Gawat!

            “Kenapa, Shill?” tanya Agni, mengalihkan pandangannya dari majalah fashion terbaru.

            Shilla segera turun dari ranjang Agni dan merapikan rambutnya, mematut bayangan dirinya di cermin milik Agni. Setelahnya, ia mengambil tasnya dan mengecup pipi kanan dan kiri Agni, “Gue lupa bangunin Cakka, Mbak. Kami bakal fitting pakaian.”

            Agni hanya mengangguk, “Ati-ati, Shill!”

            Shilla tersenyum pada Agni dan berlalu menuju kamar Cakka. Shilla memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar Cakka. Ia yakin pasti Cakka belum bangun. Dan, benar saja. Ketika ia memasukki kamar Cakka, lelaki itu masih tertidur lelap. Shilla pun menghampirinya.

            “Cakk---,” omongan Shilla terputus. Ia menyadari bibir Cakka bergerak pelan, seperti menyebut-nyebut sesuatu.

            Shilla pun mendekatkan dirinya pada Cakka. Sekarang, Shilla akhirnya mengerti apa yang Cakka igaukan. Shilla menahan napas untuk beberapa detik. Ia mendadak gelisah karenanya. Pasalnya, Cakka terus saja memanggil-manggil nama tersebut.

            “Lala... Lala... Lala... Lala...”

            Shilla mundur beberapa langkah. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Ternyata benar kata Agni, Cakka masih terus menyebut nama tersebut. Lala. Shilla cemas, khawatir, gelisah. Hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi juga.

            Shilla bersandar pada dinding kamar Cakka. Ia merasakan sesuatu di punggungnya. Begitu ia berbalik, ia melihat sebuah bingkai dengan foto lama di dalamnya. Shilla memejamkan matanya. Cakka pun masih menyimpan foto usang itu.

            Shilla berusaha menata hatinya, menata pikirannya. Ia rapikan penampilannya. Tak lupa, ia ukirkan sebuah senyum lebar di bibirnya. Ia berlaku seolah-olah tak mendengar igauan Cakka barusan. Tak ada Lala lain selain dirinya. Iya. Pasti. Pasti yang Cakka igaukan tadi adalah dirinya. Lala. Shilla. Ashilla. Ashilla Zahrantiara.

            Shilla pun kembali mendekat ke ranjang Cakka, ia tepuk pelan lengan Cakka, “Bangun, Kka. Sudah sore. Kita jadi fitting, kan?” bisik Shilla.

            Cakka menggeliat. Tak lama kemudian, lelaki itu telah menyibakkan selimut tebalnya dan kembali dari alam mimpi. Cakka tersenyum tipis menatap Shilla. Tanpa berkata apa-apa lagi, Cakka masuk ke dalam kamar mandinya.

            Shilla terduduk di ranjang Cakka dengan pikiran kosong. Matanya menerawang entah ke mana. Lima belas menit setelahnya, Cakka keluar dari kamar mandi. Keduanya pun segera berangkat menuju butik yang telah Shilla pilih untuk membuat gaun pengantinnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

AKU BUKAN DIA [Cerpen]

Aku tau ku takkan bisa menjadi seperti yang engkau minta. Namun selama nafas berhembus, aku 'kan mencoba. Aku tau dia yang bisa menjadi seperti yang engkau minta. Namun selama aku bernyawa, aku 'kan mencoba menjadi seperti yang kau minta.” – Chrisye.

**

              Gadis berparas imut itu sibuk dengan perasaannya sendiri. Sesekali ia menatap lelaki di hadapannya dan, lalu, menundukkan kepalanya. Telapak tangannya berkeringat, ia benar-benar gugup. Akhirnya, ia kembali menatap lelaki jangkung di hadapannya.

              “Aku... suka kamu,” katanya, dengan perjuangan luar biasa untuk menahan kegugupannya.

              Lelaki di hadapannya hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menebarkan pandangannya di lapangan basket sekolah, “Kamu sudah tau jawabannya. Maaf.”

              Bahu gadis itu terkulai lemas, “Tapi... bolehkah aku mencoba untuk.....”

              “Itu terserah kamu saja. Ingat ya, aku tak pernah menyuruhmu untuk tetap tinggal dan berusaha.”

              Gadis itu mengangguk perlahan, mengiringi kepergian sang lelaki jangkung. Ia pandang punggung lelaki itu hingga ia duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan basket. Gadis itu tau. Semuanya. Ya, ia tau semuanya. Tentang lelaki jangkung yang telah berhasil merebut hatinya itu dan obsesinya serta perasaannya terhadap sang primadona sekolah.

              Ia tersenyum getir. Melangkah pergi meninggalkan lorong sekolah yang mulai berangsur sepi sore itu. Dengan bibir yang masih tersenyum getir, ia melangkah menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya menuju kediamannya.

**

              Baru saja gadis itu keluar dari dalam kamar mandi, ponselnya berbunyi. Sekilas ia membaca tulisan pada layar ponselnya, lalu mengangkat panggilan dari salah satu sahabatnya itu.

              “Gimana tadi? Berhasil?”

              “Seperti biasa, Fy. Gagal.”

              “Hhh.. Sabar saja, Cil. Terus usaha ya!”

              “Aku cape’, Fy. Dia terlalu terobsesi dengan ‘primadona sekolah’ itu.”

              “Tapi, kan, belum tentu dia akan begitu hingga seterusnya, Cil. Pricilla harus semangat!”

              “Dia tadi bilang kalau dia tak pernah menyuruhku untuk tetap tinggal dan berusaha, Fy. Itu artinya dia benar-benar tak menginginkanku, kan?”

              “Kamu benar-benar sayang dia, kan, Cil? Kalau iya, jangan semudah itu menyerah.”

              “Lihat nanti saja, Fy.”

              Gadis itu melempar ponselnya ke ranjang. Ia menghembuskan napas dengan berat. Tak sengaja, pandangannya terantuk pada sebingkai foto yang menempel pada dinding kamarnya. Lelaki jangkung itu. Ia memandangi sebingkai foto itu dengan perasaan campur aduk.

              “Apa iya aku terus berusaha? Haruskah?” gumamnya.

              Gadis itu adalah Pricilla Agatha. Seorang gadis berambut panjang lurus dan memakai behel dengan karet berwarna biru. Ia adalah siswi kelas sepuluh di SMA Pangudi Luhur. Sedangkan seseorang yang meneleponnya tadi adalah Ify Alyssa, salah satu sahabatnya. Bisa dibilang, Ify adalah sahabatnya yang paling dewasa. Dua sahabat Pricilla lainnya adalah Sivia Azizah dan Oik Ramadlani. Keduanya adalah gadis berpipi chubby serta berambut sebahu. Dan, ya! Pricilla beserta ketiga sahabatnya itu bersekolah di SMA Pangudi Luhur.

**

              Pricilla baru saja duduk di bangkunya. Rupanya ketiga sahabatnya yang lain pun telah duduk di bangku masing-masing. Ia duduk bersama Ify. Sedangkan Sivia berbagi meja dengan Oik.

              “Kemarin... gagal lagi, Cil?” tanya Sivia.

              Pricilla menengok ke belakang, tempat Sivia berada, dan mengangguk seraya tersenyum pahit, “Memang biasanya begitu, kan?”

              Dahi Oik mengernyit, “Ya itu memang dianya saja, Cil, yang tak peka. Dia tidak melihat bahwa kamu yang selalu berusaha untuk mendapatkannya. Dia terlalu terobsesi dengan---,”

              “Sssstt!!” Pricilla meletakkan telunjuknya tepat pada bibir mungilnya, “Sudahlah, Ik. Tidak usah menyebut namanya.”

              “Kamu yang sabar, Cil. Tetap usaha. Jangan berhenti berusaha kalau kamu masih yakin kamu sayang dia.” Ify menepuk pelan pundak Pricilla, Pricilla hanya tersenyum dalam diam.

**

              Bel istirahat baru saja berbunyi. Pricilla segera mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam tasnya. Ia melihat ketiga sahabatnya sedang menyalin catatan dari papan tulis. Dengan begitu, ia bisa meninggalkan ketiganya tanpa rasa tak enak.

              Pricilla pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kelas, menuju kelas sang lelaki jangkung. Ify, yang menyadari Pricilla telah berlalu hanya menggeleng putus asa. Ia menghadap ke belakang dan menyenggol pelan tangan Sivia serta Oik.

              “Pricilla ke kelas ‘dia’ lagi.” Ify mengangkat sebelah alisnya.

              Sivia menatap punggung Pricilla dari jauh dan tersenyum getir, “Pricilla kasihan. Andai saja ‘dia’ tau betapa Pricilla sayang padanya. Aku yakin ‘dia’ takkan tega membuat Pricilla menjadi begini gilanya.”

              “Bukan, bukan! ‘Dia’ bukan tidak menyadari betapa Pricilla menyayanginya. ‘Dia’ hanya terlalu dibutakan oleh si primadona!” Oik menyela perkataan Sivia, terdengar jelas kalau ia tidak setuju dengan perkataan teman sebangkunya itu.

              “Serba salah juga, Siv, Ik. Aku terus memberi Pricilla semangat untuk mengejar ‘dia’ karena aku tau Pricilla sangat sayang padanya. Tapi di sisi lain, Pricilla sudah terlalu jatuh karena ribuan penolakan dari ‘dia’.” Ify menatap Sivia dan Oik satu-persatu, kesedihan jelas terpancar dari sorot mata beningnya.

**

              Pricilla memasukki kelas lelaki jangkung itu dengan senyum lebar terukir di bibirnya. Ia mengedarkan pandangan. Sama sekali tidak ia temukan sosok lelaki pujaannya itu. Tiba-tiba saja, pundaknya ditepuk dari belakang.

              “Eh, Alvin.” Pricilla melambaikan tangan kanannya.

              “Cari ‘dia’, Cil?” tanya Alvin.

              “Iya,” Pricilla mengangguk, “Dia di mana, ya?”

              “Di lapangan basket, seperti biasa. Kamu susul saja ke sana.” Alvin tersenyum ketika melihat Pricilla menganggukkan kepalanya, “Eh, Cil.. Sivia... ada di kelas?” tanyanya lagi, seraya menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal.

              Pricilla terkekeh, “Ada kok. Sedang menyalin catatan. Hampiri saja, Vin.”

              Keduanya pun lantas berpisah di depan kelas Alvin. Pricilla berbelok ke kanan menuju lapangan basket dan Alvin berbelok ke kiri untuk menghampiri Sivia di kelasnya. Beberapa saat setelah berpisah, Alvin menengok ke belakang. Ia mendapati Pricilla sedang berjalan dengan riang menuju lapangan basket. Alvin hanya geleng kepala.

              ‘Dia’ benar-benar tidak tau apa yang dinamakan bersyukur. Andai aku jadi ‘dia’, dengan senang hati aku akan menerima Pricilla. Pricilla setia. Pricilla tetap menyayangi ‘dia’, apapun yang terjadi. Pricilla tetap tersenyum walaupun hanya ada sang primadona sekolah di otak ‘dia’..

**

              Begitu sampai di lapangan basket, Pricilla segera duduk tepat di samping lelaki jangkung itu. Lelaki jangkung itu hanya memandangnya tanpa ekspresi. Pricilla membalasnya dengan senyuman lebar.

              “Ini.. Aku ada roti bakar selai coklat kesukaan kamu,” Pricilla menyerahkan sebuah kotak makanan yang sedari tadi digenggamnya erat-erat kepada lelaki jangkung itu, “Aku tau kalau kamu pasti tidak sempat ke kantin untuk mengenyangkan perutmu jika sudah melihat mereka berlatih.”

              Lelaki jangkung itu hanya diam. Sama sekali tak menanggapi celotehan Pricilla ataupun sekedar berterima kasih pada gadis itu karena telah membawakannya bekal makanan. Toh, pikirnya, ia sama sekali tak pernah meminta dibawakan sesuatu oleh Pricilla. Tak dibawakan apapun olehnya pun ‘dia’ tak masalah. Bahkan, ia ingin mengenyahkan gadis itu dari dekatnya. Begitu mengganggu, pikirnya.

              Sorot mata Pricilla berubah sendu ketika melihat ‘dia’ sedang menatap terpesona ke arah sekelompok anak cheers yang sedang berlatih di tengah lapangan basket. Pricilla hanya mampu tersenyum. Getir. Biarkan saja lelaki jangkung itu jatuh pada pesona sang primadona sekolah. Toh, ia bukan siapa-siapanya yang berhak melarang ‘dia’ untuk jatuh cinta pada siapapun.

              “Kamu membuatnya sendiri?” tanya lelaki itu, menengok pada Pricilla.

              Dengan cepat, Pricilla menyembunyikan sorot mata sendunya itu ketika ‘dia’ menatap matanya, “Iya, aku membuatnya sendiri. Bagaimana? Enak?”

              ‘Dia’ berdecak, “Apa? Enak? Masakan dia lebih enak daripada masakanmu. Semua orang berkata begitu!” ‘dia’ menunjuk seorang gadis yang sedang berada di puncak piramida cheers, sang kapten cheers.

              Pricilla terdiam, “Kamu sudah pernah merasakan makanannya?” tanyanya.

              “Belum. Tapi semua orang mengatakan hal demikian.”

              “Tapi, kan, kamu belum pernah mencoba masakannya..” lirih Pricilla.

              Lelaki jangkung itu menatap Pricilla tak suka. Sontak, Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam dan merutuk dalam hati. ‘Dia’ bangkit, lalu menghampiri sang kapten cheers yang baru saja selesai berlatih dengan anggota cheers lainnya. Tak lupa, ‘dia’ membawakan sebuah handuk kecil untuk sang primadona sekolah.

              “Gabriel..” Pricilla memanggilnya lirih.

              Sayangnya, ‘dia’ sudah berjalan terlalu jauh. Sama sekali tak ia dengar panggilan Pricilla. Gabriel hanya menatap sang primadona sekolah dengan mata berbinar.

              “Zahra!”

**

              Pricilla mengayun-ayunkan tasnya seraya tersenyum lebar. Gabriel berjalan di depannya. Dengan langkah riang, gadis itu menghampirinya. Ia memamerkan senyum terlebarnya pada sang pujaan hati.

              “Hay, Gab!” sapa Pricilla.

              Gabriel menatapnya sinis, “Kenapa kamu tidak ada bosannya terus berusaha untuk mendapatkan hatiku?”

              Pricilla mendadak diam. Tak ia ayun-ayunkan lagi tasnya. Senyumnya pun sudah lenyap entah ke mana. Ia hanya menatap Gabriel dengan sorot mata kecewa. Ia betul-betul kecewa. Entah sudah kekecewaan keberapa yang ia dapat saat ini. Ia sudah tak ingat lagi berapa kali lelaki di sampingnya itu membuatnya kecewa. Dan anehnya, ia tetap menyayangi laki-laki itu. Melupakan segala kekecewaannya.

              “Belum sadar juga kalau Zahra lebih cantik daripada kamu?” desis Gabriel.

              Pricilla menundukkan kepalanya. Digigitnya bibirnya sekuat tenaga, mencegah bening kristal itu luruh dan mebasahi kedua pipinya. Dan begitu ia mengangkat kepalanya, Gabriel sudah menjauh, menghampiri Zahra yang sedang menunggu jemputan di pelataran sekolah.

              Pricilla mengelus dadanya. Kecewa, sakit hati, minder, sedih. Semuanya menjadi satu. Dengan cepat ia menghapus bening kristal itu dari sudut matanya dan kembali tersenyum.

              “Semangat, Pricilla!” Pricilla menunjukkan kepalan tangan kanannya ke udara dan kembali tersenyum, lalu melangkah menuju area parkir, “Cantik itu relatif, Cil. Kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari wajahnya, tetapi hatinya juga.”

              Tanpa ia sadari, sedari tadi ada seorang lelaki yang melihat keseluruhan momen-momennya bersama Gabriel. Lelaki itu terlihat sangat sedih ketika melihat perlakuan yang diterima oleh Pricilla. Perlahan, lelaki itu melepaskan helmnya..

              “Kak Cakka?” Pricilla terlihat kaget ketika mengetahui ada Cakka di sana.

              Cakka tersenyum miring, “Kenapa kamu masih usaha, Cil?” tanya Cakka dengan lirih.

              Pricilla tersenyum tipis, “Karena aku menyayanginya, kak. Ini belum saatnya untuk aku menyerah.”

              “Janji satu hal pada kakak. Kamu harus berhenti berusaha ketika kamu sudah benar-benar kecewa. Ya?” Cakka menyodorkan jari kelingkingnya di depan mata sang adik.

              “Oke, kak.” Pricilla mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Cakka, “Kak Cakka ada apa kemari? Aku, kan, membawa mobil sen---,”

              “Eits!” Cakka memotong kalimat Pricilla dan tersenyum jahil, “Siapa bilang aku kemari untuk menjemputmu? Aku menjemput.....” Mendadak pandangan Cakka beralih, menembus Pricilla dan semakin mengembangkan senyumnya, tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk melambai pada seorang gadis yang sedang berjalan menghampirinya, “Sini!”

              Pricilla menengok ke belakang. Ia mendapati seorang sahabatnya tengah berjalan ke arahnya dan kakaknya. Ia menatap kedua orang itu bergantian. Jadi, selama ini.....

              “Hay, kak!” gadis itu tersenyum malu-malu.

              Cakka segera menarik tubuh mungil gadis itu ke sampingnya dan merangkulnya, “Aku menjemput Oik, bukan kamu.”

              “Kalian.....” Pricilla sengaja menggantungkan kalimatnya, dan ketika ia melihat kedua orang itu tengah tersenyum malu-malu, ia tertawa terbahak-bahak.

**

              Pricilla tengah berjalan seorang diri di koridor utama sekolah. Tak sengaja ia melihat Zahra baru saja datang. Tak sengaja pula ia melihat primadona sekolah itu terpeleset karena sebuah plastik yang tercecer di lantai koridor.

              “Astaga, Zahra!” dengan cepat, Pricilla menghampiri Zahra dan menolongnya untuk berdiri, “Kamu... baik-baik saja, kan?”

              Zahra tersenyum menenangkan dan perlahan melepaskan tangan Pricilla dari bahunya ketika ia merasa sudah cukup kuat untuk berjalan sendiri, “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Cil. Aku duluan ya! Terima kasih juga karena telah menolongku.”

              Pricilla hanya mengangguk dan tersenyum, menatap siluet Zahra yang semakin menjauh. Zahra memang baik. Tidak heran jika Gabriel begitu memujanya. Tidak heran juga kalau ia menjadi primadona di Pangudi Luhur.

              “Kamu pengacau! Harusnya tidak usah kau bantu Zahra berdiri tadi! Biar aku saja yang membantunya!”

              Pricilla menengok ke samping. Ada Gabriel. Pricilla kembali diam seribu bahasa. Apalagi ketika matanya bertemu dengan mata Gabriel. Terlihat jelas sekali kalau Gabriel tidak menyukai tindakan Pricilla barusan. Tentu saja ia lebih menyukai kalau ialah yang membantu Zahra berdiri tadi. Gabriel pun berlalu, meninggalkan Pricilla yang masih terpekur di tempat.

              “Sebegitu terobsesinya kamu dengan Zahra, Gab? Oh, aku sadar aku memang tidak ada apa-apanya dibanding dengan dia.” Pricilla berkata lirih.

**

              Pricilla baru saja akan duduk di bangkunya jika tidak ada kakak kelasnya yang sedang mendudukkinya dengan nyaman. Pricilla berdeham. Menyadarkan kedua orang itu akan keberadaannya. Sang kakak kelas pun langsung berdiri dan mendorong tubuh Pricilla untuk duduk di tempatnya.

              “Eh, maaf, Cil! Aku tidak tau. Kalau begitu, aku kembali ke kelas saja.” kakak kelas itu, Rio, segera kembali ke kelasnya.

              Ify pun tersenyum mengiringi kepergian laki-laki itu dan memandang Pricilla dalam, “Ada apa lagi, Cil?” tanyanya.

              “Apakah ini waktunya untuk aku menyerah?” gumam Pricilla, senyum terukir di bibirnya namun tak bisa menutupi kekecewaan yang teramat dalam yang telah Gabriel torehkan di hatinya.

              Ify mengusap pelan lengannya dan tersenyum lembut, “Cobalah sekali lagi. Jika kali ini gagal, kau boleh menyerah.”

              Kenapa kau begitu bodoh, Gab? Kau menyia-nyiakan seseorang yang benar-benar menyayangimu hanya karena obsesimu pada gadis lain! Kau pasti menyesal. Ya. Karma akan selalu menuntut balas..

              Ify memandang sahabatnya itu dengan sedih.

**

              Gabriel menatap kagum pada Zahra yang sedang memainkan jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano sambil bernyanyi. Mereka sekarang berada dalam Ruang Musik sekolah. Tidak hanya Gabriel yang menonton Zahra berlatih untuk prom nanti, tetapi juga ada puluhan siswa lainnya.

              Tiba-tiba saja, Pricilla sudah duduk di samping Gabriel. Gabriel melengos malas ketika menyadari kehadiran gadis itu. Ia lantas kembali memusatkan pandangannya pada Zahra, tidak memperdulikan gadis di sampingnya itu.

              “Menonton Zahra berlatih, Gab?” tanya Pricilla dengan suara seriang mungkin.

              “Siapa lagi?” sinisnya, “Lihatlah! Dia pandai bermain piano dan suaranya pun sangat merdu.”

              “Aku juga bisa bernyanyi. Aku mahir memainkan gitar, asal kau tau saja, Gab.” Pricilla tersenyum senang.

              “Aku tidak menanyakannya padamu.” Gabriel membalas dengan ketus.

              Pricilla tersenyum. Kali ini begitu lepas. Tidak seperti senyum-senyumnya yang lain, yang ia ukir di bibirnya hanya untuk menyembunyikan kekecewaannya pada Gabriel. Ia biarkan kekecewaan menguap bersamaan dengan perasaannya pada Gabriel. Walaupun sulit, ia akan mencobanya. Toh, Gabriel sudah terlalu banyak memberikan torehan luka di hatinya. Tidak baik kalau lama-lama ia pertahankan perasaannya pada Gabriel.

              Pricilla berdiri dan menyentuh pelan lengan Gabriel hingga lelaki itu mendongak menatapnya, “Aku duluan, Gab.” Pricilla pamit, dengan senyum lepas.

              Pricilla pun melangkah keluar dari Ruang Musik. Membiarkan Gabriel yang masih terpesona pada Zahra. Oh, bukan! Membiarkan separuh jiwa Gabriel terpesona pada Zahra dan separuhnya lagi yang menyadari bahwa ada yang berbeda dari dirinya barusan. Senyuman lepasnya. Kekecewaannya yang sedikit demi sedikit menguap.

              Langkah Pricilla terasa begitu ringan. Walaupun, ya, ia masih menyadari bahwa Gabriel masih bertahta di hatinya. Tetapi ia akan mencoba untuk melepaskan Gabriel, membiarkannya terus berada dalam kubangan pesona Zahra.

              Salah siapa Gabriel masih terpesona pada Zahra? Tidak ada yang bisa disalahkan. Biarkan saja semuanya mengalir seperti apa yang Dia kehendaki. Pricilla percaya bahwa rencana-Nya akan jauh lebih indah daripada rencananya untuk membantu Gabriel keluar dari kubangan pesona Zahra. Pricilla percaya bahwa Gabriel akan kembali padanya jika Tuhan menghendaki.

**

              Pricilla sedang terduduk di sebuah bangku taman. Menimang-nimang ponselnya dengan gelisah. Tak ia sadari, ketiga sahabatnya tengah mengawasinya dari jauh. Perintah kakaknya, Cakka. Ia takut adiknya kenapa-kenapa. Pricilla pun mulai mengetikkan sebuah pesan singkat.

To: GabGabriel
Bs tlg ke tmn sebentar? Pntg! Ada yg hrs aku bicarakan.

From: GabGabriel
Gk bs. Aku sdg membuatkan lagu u/ Zahra. Aku sbk.

To: GabGabriel
Aku mhn! Aku janji, aku tdk akn mengusikmu lg stlh ini. Km bs pgng janjiku.

From: GabGabriel
Ok

              Pricilla tersenyum tipis ketika membaca balasan dari Gabriel. Semuanya harus selesai sekarang. Sampai di sini saja. Sudah cukup ia menelan kekecewaan terus-menerus.

              Tak sampai sepuluh menit, Gabriel sudah datang. Lelaki jangkung itu lantas duduk di samping Pricilla dan menatap lurus-lurus ke depan. Tak mau memandang gadis di sampingnya yang tengah tersenyum padanya.

              “Apa kab---,”

              Gabriel meliriknya malas, “Langsung pada inti saja.”

              “Oke,” Pricilla mengangguk pelan, “Sebelumnya, maaf karena sudah mengikutimu kemana-mana, selalu berusaha mengajakmu mengobrol, menjadi benalu antara kamu dan Zahra.”

              “Hn,” Gabriel mengangguk kaku.

              “Aku hanya ingin kamu tau kalau aku... mundur. Aku... sudah mundur, Gab.” Pricilla tersenyum tipis.

              Gabriel terhenyak, ia menatap Pricilla dari sudut matanya, “Lalu?”

              “Kamu bisa kejar Zahra mulai saat ini. Aku tidak akan mengganggumu. Aku sadar bahwa aku dan Zahra bagaikan langit dan bumi. Zahra langitnya dan aku buminya. Benar katamu, aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya.” Pricilla terus saja tersenyum tipis.

              “Hn,” Gabriel tetap pada pendiriannya, cuek.

              “Oke,” Pricilla berdiri dari duduknya, “Aku pamit pulang dulu. Sukses yang penggarapan lagunya untuk Zahra.” Pricilla tersenyum lebar dan menepuk pundak Gabriel sebelum ia melangkah pergi.

              Gabriel menatap punggung Pricilla dengan sorot mata sayu, entah mengapa.

              Never mind I’ll find someone like you. I wish nothing but the best for you too. Don’t forget me, I beg, I remember you said sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead..” bibir mungil Pricilla mulai menyenandungkan sebait lagu, lalu ia menengok ke belakang dan tersenyum pada Gabriel, “Kamu mendengarnya? Aku bisa bernyanyi, Gab. Kak Cakka bilang suaraku merdu.”

              Gabriel semakin terhenyak di bangku taman. Sorot matanya semakin sayu seiring dengan berlalunya Pricilla, berlalunya gadis itu dari hidupnya. Tiba-tiba saja Ify, Sivia, dan Oik sudah muncul di hadapannya.

              “Sekarang kamu sudah tau arti kecewa, kan, Gab?” kata Ify, ia tersenyum tipis.

              “Jangan tahan Pricilla. Dia sudah terlampau kecewa. Kamu sudah menorehkan luka terlalu banyak di hatinya.” Sivia menyahut.

              “Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa membandingkan Pricilla dengan Zahra. Mereka berdua berbeda. Mereka memiliki kelebihan masing-masing, Gab.” Oik geleng-geleng kepala menatap Gabriel.

              Ify, Sivia, dan Oik berlalu. Meninggalkan Gabriel yang terhenyak dalam kekecewaannya sendiri. Lihatlah.. Karma just found its way.

(THE END)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS