“Aku tau ku takkan bisa menjadi seperti yang
engkau minta. Namun selama nafas berhembus, aku 'kan mencoba. Aku tau dia yang
bisa menjadi seperti yang engkau minta. Namun selama aku bernyawa, aku 'kan
mencoba menjadi seperti yang kau minta.” – Chrisye.
**
Gadis berparas imut itu
sibuk dengan perasaannya sendiri. Sesekali ia menatap lelaki di hadapannya dan,
lalu, menundukkan kepalanya. Telapak tangannya berkeringat, ia benar-benar
gugup. Akhirnya, ia kembali menatap lelaki jangkung di hadapannya.
“Aku... suka kamu,”
katanya, dengan perjuangan luar biasa untuk menahan kegugupannya.
Lelaki di hadapannya
hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menebarkan pandangannya di lapangan
basket sekolah, “Kamu sudah tau jawabannya. Maaf.”
Bahu gadis itu terkulai
lemas, “Tapi... bolehkah aku mencoba untuk.....”
“Itu terserah kamu saja.
Ingat ya, aku tak pernah menyuruhmu untuk tetap tinggal dan berusaha.”
Gadis itu mengangguk
perlahan, mengiringi kepergian sang lelaki jangkung. Ia pandang punggung lelaki
itu hingga ia duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan basket. Gadis
itu tau. Semuanya. Ya, ia tau semuanya. Tentang lelaki jangkung yang telah
berhasil merebut hatinya itu dan obsesinya serta perasaannya terhadap sang
primadona sekolah.
Ia tersenyum getir.
Melangkah pergi meninggalkan lorong sekolah yang mulai berangsur sepi sore itu.
Dengan bibir yang masih tersenyum getir, ia melangkah menuju parkiran dan
mengemudikan mobilnya menuju kediamannya.
**
Baru saja gadis itu
keluar dari dalam kamar mandi, ponselnya berbunyi. Sekilas ia membaca tulisan
pada layar ponselnya, lalu mengangkat panggilan dari salah satu sahabatnya itu.
“Gimana tadi? Berhasil?”
“Seperti biasa, Fy.
Gagal.”
“Hhh.. Sabar saja, Cil. Terus usaha ya!”
“Aku cape’, Fy. Dia terlalu
terobsesi dengan ‘primadona sekolah’ itu.”
“Tapi, kan, belum tentu dia akan begitu hingga seterusnya, Cil.
Pricilla harus semangat!”
“Dia tadi bilang kalau
dia tak pernah menyuruhku untuk tetap tinggal dan berusaha, Fy. Itu artinya dia
benar-benar tak menginginkanku, kan?”
“Kamu benar-benar sayang dia, kan, Cil? Kalau iya, jangan semudah itu
menyerah.”
“Lihat nanti saja, Fy.”
Gadis itu melempar
ponselnya ke ranjang. Ia menghembuskan napas dengan berat. Tak sengaja,
pandangannya terantuk pada sebingkai foto yang menempel pada dinding kamarnya.
Lelaki jangkung itu. Ia memandangi sebingkai foto itu dengan perasaan campur
aduk.
“Apa iya aku terus
berusaha? Haruskah?” gumamnya.
Gadis itu adalah
Pricilla Agatha. Seorang gadis berambut panjang lurus dan memakai behel dengan
karet berwarna biru. Ia adalah siswi kelas sepuluh di SMA Pangudi Luhur.
Sedangkan seseorang yang meneleponnya tadi adalah Ify Alyssa, salah satu
sahabatnya. Bisa dibilang, Ify adalah sahabatnya yang paling dewasa. Dua sahabat
Pricilla lainnya adalah Sivia Azizah dan Oik Ramadlani. Keduanya adalah gadis
berpipi chubby serta berambut sebahu.
Dan, ya! Pricilla beserta ketiga sahabatnya itu bersekolah di SMA Pangudi
Luhur.
**
Pricilla baru saja duduk di bangkunya. Rupanya ketiga
sahabatnya yang lain pun telah duduk di bangku masing-masing. Ia duduk bersama
Ify. Sedangkan Sivia berbagi meja dengan Oik.
“Kemarin... gagal lagi, Cil?” tanya Sivia.
Pricilla menengok ke belakang, tempat Sivia berada, dan
mengangguk seraya tersenyum pahit, “Memang biasanya begitu, kan?”
Dahi Oik mengernyit, “Ya itu memang dianya saja, Cil,
yang tak peka. Dia tidak melihat bahwa kamu yang selalu berusaha untuk
mendapatkannya. Dia terlalu terobsesi dengan---,”
“Sssstt!!” Pricilla meletakkan telunjuknya tepat pada
bibir mungilnya, “Sudahlah, Ik. Tidak usah menyebut namanya.”
“Kamu yang sabar, Cil. Tetap usaha. Jangan berhenti
berusaha kalau kamu masih yakin kamu sayang dia.” Ify menepuk pelan pundak
Pricilla, Pricilla hanya tersenyum dalam diam.
**
Bel istirahat baru saja berbunyi. Pricilla segera
mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam tasnya. Ia melihat ketiga
sahabatnya sedang menyalin catatan dari papan tulis. Dengan begitu, ia bisa
meninggalkan ketiganya tanpa rasa tak enak.
Pricilla pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar
kelas, menuju kelas sang lelaki jangkung. Ify, yang menyadari Pricilla telah
berlalu hanya menggeleng putus asa. Ia menghadap ke belakang dan menyenggol
pelan tangan Sivia serta Oik.
“Pricilla ke kelas ‘dia’ lagi.” Ify mengangkat sebelah
alisnya.
Sivia menatap punggung Pricilla dari jauh dan tersenyum
getir, “Pricilla kasihan. Andai saja ‘dia’ tau betapa Pricilla sayang padanya.
Aku yakin ‘dia’ takkan tega membuat Pricilla menjadi begini gilanya.”
“Bukan, bukan! ‘Dia’ bukan tidak menyadari betapa
Pricilla menyayanginya. ‘Dia’ hanya terlalu dibutakan oleh si primadona!” Oik
menyela perkataan Sivia, terdengar jelas kalau ia tidak setuju dengan perkataan
teman sebangkunya itu.
“Serba salah juga, Siv, Ik. Aku terus memberi Pricilla
semangat untuk mengejar ‘dia’ karena aku tau Pricilla sangat sayang padanya.
Tapi di sisi lain, Pricilla sudah terlalu jatuh karena ribuan penolakan dari
‘dia’.” Ify menatap Sivia dan Oik satu-persatu, kesedihan jelas terpancar dari
sorot mata beningnya.
**
Pricilla memasukki kelas lelaki jangkung itu dengan
senyum lebar terukir di bibirnya. Ia mengedarkan pandangan. Sama sekali tidak
ia temukan sosok lelaki pujaannya itu. Tiba-tiba saja, pundaknya ditepuk dari
belakang.
“Eh, Alvin.” Pricilla melambaikan tangan kanannya.
“Cari ‘dia’, Cil?” tanya Alvin.
“Iya,” Pricilla mengangguk, “Dia di mana, ya?”
“Di lapangan basket, seperti biasa. Kamu susul saja ke
sana.” Alvin tersenyum ketika melihat Pricilla menganggukkan kepalanya, “Eh,
Cil.. Sivia... ada di kelas?” tanyanya lagi, seraya menggaruk bagian kepalanya
yang tak gatal.
Pricilla terkekeh, “Ada kok. Sedang menyalin catatan.
Hampiri saja, Vin.”
Keduanya pun lantas berpisah di depan kelas Alvin.
Pricilla berbelok ke kanan menuju lapangan basket dan Alvin berbelok ke kiri
untuk menghampiri Sivia di kelasnya. Beberapa saat setelah berpisah, Alvin
menengok ke belakang. Ia mendapati Pricilla sedang berjalan dengan riang menuju
lapangan basket. Alvin hanya geleng kepala.
‘Dia’ benar-benar
tidak tau apa yang dinamakan bersyukur. Andai aku jadi ‘dia’, dengan senang
hati aku akan menerima Pricilla. Pricilla setia. Pricilla tetap menyayangi
‘dia’, apapun yang terjadi. Pricilla tetap tersenyum walaupun hanya ada sang
primadona sekolah di otak ‘dia’..
**
Begitu sampai di lapangan basket, Pricilla segera duduk
tepat di samping lelaki jangkung itu. Lelaki jangkung itu hanya memandangnya
tanpa ekspresi. Pricilla membalasnya dengan senyuman lebar.
“Ini.. Aku ada roti bakar selai coklat kesukaan kamu,”
Pricilla menyerahkan sebuah kotak makanan yang sedari tadi digenggamnya
erat-erat kepada lelaki jangkung itu, “Aku tau kalau kamu pasti tidak sempat ke
kantin untuk mengenyangkan perutmu jika sudah melihat mereka berlatih.”
Lelaki jangkung itu hanya diam. Sama sekali tak
menanggapi celotehan Pricilla ataupun sekedar berterima kasih pada gadis itu
karena telah membawakannya bekal makanan. Toh, pikirnya, ia sama sekali tak
pernah meminta dibawakan sesuatu oleh Pricilla. Tak dibawakan apapun olehnya
pun ‘dia’ tak masalah. Bahkan, ia ingin mengenyahkan gadis itu dari dekatnya.
Begitu mengganggu, pikirnya.
Sorot mata Pricilla berubah sendu ketika melihat ‘dia’
sedang menatap terpesona ke arah sekelompok anak cheers yang sedang berlatih di tengah lapangan basket. Pricilla
hanya mampu tersenyum. Getir. Biarkan saja lelaki jangkung itu jatuh pada
pesona sang primadona sekolah. Toh, ia bukan siapa-siapanya yang berhak
melarang ‘dia’ untuk jatuh cinta pada siapapun.
“Kamu membuatnya sendiri?” tanya lelaki itu, menengok
pada Pricilla.
Dengan cepat, Pricilla menyembunyikan sorot mata
sendunya itu ketika ‘dia’ menatap matanya, “Iya, aku membuatnya sendiri.
Bagaimana? Enak?”
‘Dia’ berdecak, “Apa? Enak? Masakan dia lebih enak
daripada masakanmu. Semua orang berkata begitu!” ‘dia’ menunjuk seorang gadis
yang sedang berada di puncak piramida cheers,
sang kapten cheers.
Pricilla terdiam, “Kamu sudah pernah merasakan
makanannya?” tanyanya.
“Belum. Tapi semua orang mengatakan hal demikian.”
“Tapi, kan, kamu belum pernah mencoba masakannya..”
lirih Pricilla.
Lelaki jangkung itu menatap Pricilla tak suka. Sontak,
Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam dan merutuk dalam hati. ‘Dia’
bangkit, lalu menghampiri sang kapten cheers
yang baru saja selesai berlatih dengan anggota cheers lainnya. Tak lupa, ‘dia’ membawakan sebuah handuk kecil
untuk sang primadona sekolah.
“Gabriel..” Pricilla memanggilnya lirih.
Sayangnya, ‘dia’ sudah berjalan terlalu jauh. Sama
sekali tak ia dengar panggilan Pricilla. Gabriel hanya menatap sang primadona
sekolah dengan mata berbinar.
“Zahra!”
**
Pricilla mengayun-ayunkan tasnya seraya tersenyum
lebar. Gabriel berjalan di depannya. Dengan langkah riang, gadis itu
menghampirinya. Ia memamerkan senyum terlebarnya pada sang pujaan hati.
“Hay, Gab!” sapa Pricilla.
Gabriel menatapnya sinis, “Kenapa kamu tidak ada
bosannya terus berusaha untuk mendapatkan hatiku?”
Pricilla mendadak diam. Tak ia ayun-ayunkan lagi
tasnya. Senyumnya pun sudah lenyap entah ke mana. Ia hanya menatap Gabriel
dengan sorot mata kecewa. Ia betul-betul kecewa. Entah sudah kekecewaan
keberapa yang ia dapat saat ini. Ia sudah tak ingat lagi berapa kali lelaki di
sampingnya itu membuatnya kecewa. Dan anehnya, ia tetap menyayangi laki-laki itu.
Melupakan segala kekecewaannya.
“Belum sadar juga kalau Zahra lebih cantik daripada
kamu?” desis Gabriel.
Pricilla menundukkan kepalanya. Digigitnya bibirnya
sekuat tenaga, mencegah bening kristal itu luruh dan mebasahi kedua pipinya.
Dan begitu ia mengangkat kepalanya, Gabriel sudah menjauh, menghampiri Zahra
yang sedang menunggu jemputan di pelataran sekolah.
Pricilla mengelus dadanya. Kecewa, sakit hati, minder,
sedih. Semuanya menjadi satu. Dengan cepat ia menghapus bening kristal itu dari
sudut matanya dan kembali tersenyum.
“Semangat, Pricilla!” Pricilla menunjukkan kepalan
tangan kanannya ke udara dan kembali tersenyum, lalu melangkah menuju area
parkir, “Cantik itu relatif, Cil. Kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari
wajahnya, tetapi hatinya juga.”
Tanpa ia sadari, sedari tadi ada seorang lelaki yang
melihat keseluruhan momen-momennya bersama Gabriel. Lelaki itu terlihat sangat
sedih ketika melihat perlakuan yang diterima oleh Pricilla. Perlahan, lelaki
itu melepaskan helmnya..
“Kak Cakka?” Pricilla terlihat kaget ketika mengetahui
ada Cakka di sana.
Cakka tersenyum miring, “Kenapa kamu masih usaha, Cil?”
tanya Cakka dengan lirih.
Pricilla tersenyum tipis, “Karena aku menyayanginya,
kak. Ini belum saatnya untuk aku menyerah.”
“Janji satu hal pada kakak. Kamu harus berhenti
berusaha ketika kamu sudah benar-benar kecewa. Ya?” Cakka menyodorkan jari
kelingkingnya di depan mata sang adik.
“Oke, kak.” Pricilla mengaitkan jari kelingkingnya
dengan kelingking Cakka, “Kak Cakka ada apa kemari? Aku, kan, membawa mobil
sen---,”
“Eits!” Cakka memotong kalimat Pricilla dan tersenyum
jahil, “Siapa bilang aku kemari untuk menjemputmu? Aku menjemput.....” Mendadak
pandangan Cakka beralih, menembus Pricilla dan semakin mengembangkan senyumnya,
tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk melambai pada seorang gadis yang sedang
berjalan menghampirinya, “Sini!”
Pricilla menengok ke belakang. Ia mendapati seorang
sahabatnya tengah berjalan ke arahnya dan kakaknya. Ia menatap kedua orang itu
bergantian. Jadi, selama ini.....
“Hay, kak!” gadis itu tersenyum malu-malu.
Cakka segera menarik tubuh mungil gadis itu ke
sampingnya dan merangkulnya, “Aku menjemput Oik, bukan kamu.”
“Kalian.....” Pricilla sengaja menggantungkan
kalimatnya, dan ketika ia melihat kedua orang itu tengah tersenyum malu-malu,
ia tertawa terbahak-bahak.
**
Pricilla tengah berjalan seorang diri di koridor utama
sekolah. Tak sengaja ia melihat Zahra baru saja datang. Tak sengaja pula ia
melihat primadona sekolah itu terpeleset karena sebuah plastik yang tercecer di
lantai koridor.
“Astaga, Zahra!” dengan cepat, Pricilla menghampiri
Zahra dan menolongnya untuk berdiri, “Kamu... baik-baik saja, kan?”
Zahra tersenyum menenangkan dan perlahan melepaskan
tangan Pricilla dari bahunya ketika ia merasa sudah cukup kuat untuk berjalan
sendiri, “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Cil. Aku duluan ya! Terima kasih
juga karena telah menolongku.”
Pricilla hanya mengangguk dan tersenyum, menatap siluet
Zahra yang semakin menjauh. Zahra memang baik. Tidak heran jika Gabriel begitu
memujanya. Tidak heran juga kalau ia menjadi primadona di Pangudi Luhur.
“Kamu pengacau! Harusnya tidak usah kau bantu Zahra
berdiri tadi! Biar aku saja yang membantunya!”
Pricilla menengok ke samping. Ada Gabriel. Pricilla
kembali diam seribu bahasa. Apalagi ketika matanya bertemu dengan mata Gabriel.
Terlihat jelas sekali kalau Gabriel tidak menyukai tindakan Pricilla barusan.
Tentu saja ia lebih menyukai kalau ialah yang membantu Zahra berdiri tadi. Gabriel
pun berlalu, meninggalkan Pricilla yang masih terpekur di tempat.
“Sebegitu terobsesinya kamu dengan Zahra, Gab? Oh, aku
sadar aku memang tidak ada apa-apanya dibanding dengan dia.” Pricilla berkata
lirih.
**
Pricilla baru saja akan duduk di bangkunya jika tidak
ada kakak kelasnya yang sedang mendudukkinya dengan nyaman. Pricilla berdeham.
Menyadarkan kedua orang itu akan keberadaannya. Sang kakak kelas pun langsung
berdiri dan mendorong tubuh Pricilla untuk duduk di tempatnya.
“Eh, maaf, Cil! Aku tidak tau. Kalau begitu, aku
kembali ke kelas saja.” kakak kelas itu, Rio, segera kembali ke kelasnya.
Ify pun tersenyum mengiringi kepergian laki-laki itu
dan memandang Pricilla dalam, “Ada apa lagi, Cil?” tanyanya.
“Apakah ini waktunya untuk aku menyerah?” gumam
Pricilla, senyum terukir di bibirnya namun tak bisa menutupi kekecewaan yang
teramat dalam yang telah Gabriel torehkan di hatinya.
Ify mengusap pelan lengannya dan tersenyum lembut,
“Cobalah sekali lagi. Jika kali ini gagal, kau boleh menyerah.”
Kenapa kau begitu
bodoh, Gab? Kau menyia-nyiakan seseorang yang benar-benar menyayangimu hanya
karena obsesimu pada gadis lain! Kau pasti menyesal. Ya. Karma akan selalu
menuntut balas..
Ify memandang sahabatnya itu dengan sedih.
**
Gabriel menatap kagum pada Zahra yang sedang memainkan
jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano sambil bernyanyi. Mereka sekarang
berada dalam Ruang Musik sekolah. Tidak hanya Gabriel yang menonton Zahra berlatih
untuk prom nanti, tetapi juga ada
puluhan siswa lainnya.
Tiba-tiba saja, Pricilla sudah duduk di samping
Gabriel. Gabriel melengos malas ketika menyadari kehadiran gadis itu. Ia lantas
kembali memusatkan pandangannya pada Zahra, tidak memperdulikan gadis di
sampingnya itu.
“Menonton Zahra berlatih, Gab?” tanya Pricilla dengan
suara seriang mungkin.
“Siapa lagi?” sinisnya, “Lihatlah! Dia pandai bermain
piano dan suaranya pun sangat merdu.”
“Aku juga bisa bernyanyi. Aku mahir memainkan gitar,
asal kau tau saja, Gab.” Pricilla tersenyum senang.
“Aku tidak menanyakannya padamu.” Gabriel membalas
dengan ketus.
Pricilla tersenyum. Kali ini begitu lepas. Tidak seperti
senyum-senyumnya yang lain, yang ia ukir di bibirnya hanya untuk menyembunyikan
kekecewaannya pada Gabriel. Ia biarkan kekecewaan menguap bersamaan dengan
perasaannya pada Gabriel. Walaupun sulit, ia akan mencobanya. Toh, Gabriel
sudah terlalu banyak memberikan torehan luka di hatinya. Tidak baik kalau
lama-lama ia pertahankan perasaannya pada Gabriel.
Pricilla berdiri dan menyentuh pelan lengan Gabriel
hingga lelaki itu mendongak menatapnya, “Aku duluan, Gab.” Pricilla pamit,
dengan senyum lepas.
Pricilla pun melangkah keluar dari Ruang Musik. Membiarkan
Gabriel yang masih terpesona pada Zahra. Oh, bukan! Membiarkan separuh jiwa
Gabriel terpesona pada Zahra dan separuhnya lagi yang menyadari bahwa ada yang
berbeda dari dirinya barusan. Senyuman lepasnya. Kekecewaannya yang sedikit
demi sedikit menguap.
Langkah Pricilla terasa begitu ringan. Walaupun, ya, ia
masih menyadari bahwa Gabriel masih bertahta di hatinya. Tetapi ia akan mencoba
untuk melepaskan Gabriel, membiarkannya terus berada dalam kubangan pesona
Zahra.
Salah siapa Gabriel masih terpesona pada Zahra? Tidak ada
yang bisa disalahkan. Biarkan saja semuanya mengalir seperti apa yang Dia
kehendaki. Pricilla percaya bahwa rencana-Nya akan jauh lebih indah daripada
rencananya untuk membantu Gabriel keluar dari kubangan pesona Zahra. Pricilla percaya
bahwa Gabriel akan kembali padanya jika Tuhan menghendaki.
**
Pricilla sedang terduduk di sebuah bangku taman. Menimang-nimang
ponselnya dengan gelisah. Tak ia sadari, ketiga sahabatnya tengah mengawasinya
dari jauh. Perintah kakaknya, Cakka. Ia takut adiknya kenapa-kenapa. Pricilla pun
mulai mengetikkan sebuah pesan singkat.
To: GabGabriel
Bs tlg ke tmn sebentar? Pntg! Ada yg hrs aku bicarakan.
From: GabGabriel
Gk bs. Aku sdg membuatkan lagu u/ Zahra. Aku sbk.
To: GabGabriel
Aku mhn! Aku janji, aku tdk akn mengusikmu lg stlh ini. Km bs pgng janjiku.
From: GabGabriel
Ok
Pricilla tersenyum tipis ketika membaca balasan dari
Gabriel. Semuanya harus selesai sekarang. Sampai di sini saja. Sudah cukup ia
menelan kekecewaan terus-menerus.
Tak sampai sepuluh menit, Gabriel sudah datang. Lelaki jangkung
itu lantas duduk di samping Pricilla dan menatap lurus-lurus ke depan. Tak mau
memandang gadis di sampingnya yang tengah tersenyum padanya.
“Apa kab---,”
Gabriel meliriknya malas, “Langsung pada inti saja.”
“Oke,” Pricilla mengangguk pelan, “Sebelumnya, maaf
karena sudah mengikutimu kemana-mana, selalu berusaha mengajakmu mengobrol,
menjadi benalu antara kamu dan Zahra.”
“Hn,” Gabriel mengangguk kaku.
“Aku hanya ingin kamu tau kalau aku... mundur. Aku...
sudah mundur, Gab.” Pricilla tersenyum tipis.
Gabriel terhenyak, ia menatap Pricilla dari sudut
matanya, “Lalu?”
“Kamu bisa kejar Zahra mulai saat ini. Aku tidak akan
mengganggumu. Aku sadar bahwa aku dan Zahra bagaikan langit dan bumi. Zahra langitnya
dan aku buminya. Benar katamu, aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan
dengannya.” Pricilla terus saja tersenyum tipis.
“Hn,” Gabriel tetap pada pendiriannya, cuek.
“Oke,” Pricilla berdiri dari duduknya, “Aku pamit
pulang dulu. Sukses yang penggarapan lagunya untuk Zahra.” Pricilla tersenyum
lebar dan menepuk pundak Gabriel sebelum ia melangkah pergi.
Gabriel menatap punggung Pricilla dengan sorot mata
sayu, entah mengapa.
“Never mind I’ll
find someone like you. I wish nothing but the best for you too. Don’t forget
me, I beg, I remember you said sometimes it lasts in love but sometimes it
hurts instead..” bibir mungil Pricilla mulai menyenandungkan sebait lagu,
lalu ia menengok ke belakang dan tersenyum pada Gabriel, “Kamu mendengarnya? Aku
bisa bernyanyi, Gab. Kak Cakka bilang suaraku merdu.”
Gabriel semakin terhenyak di bangku taman. Sorot matanya
semakin sayu seiring dengan berlalunya Pricilla, berlalunya gadis itu dari
hidupnya. Tiba-tiba saja Ify, Sivia, dan Oik sudah muncul di hadapannya.
“Sekarang kamu sudah tau arti kecewa, kan, Gab?” kata
Ify, ia tersenyum tipis.
“Jangan tahan Pricilla. Dia sudah terlampau kecewa. Kamu
sudah menorehkan luka terlalu banyak di hatinya.” Sivia menyahut.
“Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa
membandingkan Pricilla dengan Zahra. Mereka berdua berbeda. Mereka memiliki
kelebihan masing-masing, Gab.” Oik geleng-geleng kepala menatap Gabriel.
Ify, Sivia, dan Oik berlalu. Meninggalkan Gabriel yang
terhenyak dalam kekecewaannya sendiri. Lihatlah.. Karma just found its way.
(THE END)
0 komentar:
Posting Komentar