“Oke.
Sampai nanti!” Alvin mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum manis.
Kaca
mobil pun tertutup. Sebelumnya, gadis berwajah riang itu pun melemparkan
senyumnya pada Alvin. Alvin mundur beberapa langkah, memberikan jalan pada sang
gadis berwajah riang untuk mengemudikan mobilnya keluar dari area parkir
Oicagraph.
Alvin
memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Ia terus berdiri di sana
sampai mobil sang gadis riang tertelan oleh puluhan mobil lain di jalanan.
Begitu memastikan mobil gadis berwajah riang itu telah hilang, Alvin pun
berbalik dan masuk kembali ke dalam Oicagraph Studio.
Alvin
mendapati Oik yang masih bersandar pada bahu Ify, dengan bibir seputih kapas.
Alvin pun duduk di samping Rio, terpisah oleh sebuah meja dengan Oik dan Ify.
Ia melirik Oik, gadis mungil itu tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Memikirkan
apa, Ik?” tanya Alvin, ia kibaskan tangan kanannya di depan wajah Oik.
Oik
tersadar dan kemudian menggeleng, “Ga, ga lagi memikirkan apa-apa.” Oik
menghembuskan napas dengan berat, “Tadi kamu bicara dengan siapa, Vin?”
Alvin
mendadak kikuk. Ia berusaha tersenyum senormal mungkin kepada Oik, “Bukan
siapa-siapa. Cuma orang yang tanya alamat. Iya, tanya alamat.”
“Oh,”
Oik membulatkan bibirnya, “Kok lama?” tanyanya lagi.
“Dia
tanya petunjuknya arah dan tetek-bengek lainnya. Mungkin dia orang baru di
sini.” Alvin mengedikkan bahunya, berusaha secuek mungkin.
“Cantik,
ya?” cecar Oik.
“Apa,
sih, Ik?” Alvin terlihat tidak senang dengan cercaan Oik barusan. Lantas, ia
mengambil undangan perkawinan Rio dan Ify yang tergeletak di meja lalu
membukanya, “Pestanya besok, Fy, Yo?” Alvin memandang Rio dan Ify bergantian.
Rio
dan Ify mengangguk bersamaan dan tersenyum lebar. Sedangkan Oik, gadis itu
melengos malas ketika menyadari Alvin sedang mengalihkan pembicaraan. Ada apa
sebenarnya? Siapa gadis berwajah riang tadi?
“Lalu,
kenapa kalian masuk kerja? Kenapa ga siap-siap untuk acara besok?” Alvin
menggeleng tak percaya.
“Tadi
niatnya ke sini cuma untuk ngantar undangan saja. Eh, ternyata ada klien dan
studio lagi sepi. Ya sudah, aku yang menangani kliennya.” Ify menjelaskan
dengan wajah malas.
“Kenapa
ga pulang saja sekarang?” tanya Oik, mulai masuk ke dalam pembicaraan.
“Ini
juga kami akan pulang.” Rio menyahut bersemangat.
Rio
pun berdiri. Menengadahkan tangan kanannya kepada Ify. Ify menerimanya, gadis
itu pun kemudian berdiri. Dengan tangan kiri, Ify mengambil tasnya. Setelahnya,
tangan kanan Ify mulai menggamit lengan Rio erat-erat.
“Kami
balik dulu, Ik, Vin. Jangan lupa datang besok malam! Awas kalau sampai kalian
ga datang. Sipa-siap saja aku damprat!” pamit Ify, Rio terkekeh di sebelahnya.
Alvin
tersenyum tipis. Keduanya menatap Rio dan Ify yang sudah masuk ke dalam mobil
Rio. Mobil itu pun melesat, meninggalkan Oicagraph Studio beserta Oik, Alvin,
dan karyawan lainnya. Oik kembali menghembuskan napasnya, kali ini untuk
menarik perhatian Alvin.
Alvin
menengok padanya dan tersenyum lucu, “Apa? Sudah ga tanya-tanya lagi soal orang
tadi?” godanya.
“Terus
saja goda aku!” Oik meninjukan kepalan tangannya ke lengan Alvin, “Aku ga jadi
masak, ah, kalau kamu nyebelin begini.”
“Eh,
jangan!” Alvin mendadak berteriak kencang, “Ya sudah, ayo pulang, peri kecil.”
Alvin berdiri, lalu menghampiri Oik dan membantunya berdiri.
“Ga
usah sok baik. Nanti juga kalau masakannya sudah selesai aku masak langsung
berubah nyebelin lagi!” sindir Oik.
Alvin
tertawa tepat di telinga Oik. Oik kontan menutup telinganya dan melepaskan
pegangannya pada lengan Alvin. Setelah Alvin berhenti tertawa, Oik menghujani
perut lelaki oriental itu dengan cubitan-cubitan tak kenal ampun.
^^^
Cakka
dan Shilla baru saja keluar dari sebuah cake
shop di bilangan Jakarta Selatan. Keduanya baru saja memesan sebuah wedding cake bertingkat sembilan –tanggal
dan bulan jadian mereka– di sana. Begitu sampai di depan mobil Shilla, Cakka
segera melemparkan kunci mobil kepada Shilla.
“Kamu
saja yang menyetir. Aku capek, Shill. Ya?” Cakka merayu Shilla dengan
menaik-turunkan kedua alisnya.
Shilla
melengos dan tersenyum jengah, “Ya sudah. Tidur saja kamu, biar aku yang
menyetir.” katanya, mengalah.
Keduanya
pun masuk ke dalam mobil. Kali ini, Shilla yang duduk di balik kemudi. Mesin
dinyalakan, Shilla segera mengemudikannya ke sebuah butik –tempat mereka akan fitting–.
Cakka
melongok ke luar jendela. Ini bukan jalan pulang ke rumahnya. Ia menengok pada
Shilla yang sedang menyetir, “Mau ke mana kita, Shill? Ini bukan jalan pulang
ke rumahku.”
Shilla
meliriknya sekilas dan tersenyum, “Kita ke butik, fitting baju dulu. Kenapa?”
Cakka
mendengus, “Aku capek, Shill. Kita pulang saja. Aku mau istirahat beberapa jam.
Nanti sore kita fitting baju. Ya?”
“Oke,
oke,” Shilla memutuskan untuk mengalah. Lagipula, jika nanti Cakka tidur, ia
bisa banyak bercerita dengan Mbak Agni.
Shilla
memutar kemudinya, tidak jadi ke butik. Cakka pun akhirnya terlelap begitu
menyadari Shilla akan membawanya pulang ke rumah. Shilla melirik lelaki di
sampingnya. Begitu beruntungnya dia memiliki lelaki seperti Cakka. Gadis itu
tersenyum penuh arti.
^^^
Alvin
dan Oik kini telah sampai di pelataran apartemen mereka. Setelah memarkirkan
mobil, keduanya pun turun. Alvin dan Oik bergandengan memasukki gedung
apartemen tersebut. Begitu sampai di depan minimarket di dalam gedung apartemen
tersebut, keduanya melepaskan gandengan tangan mereka.
“Kamu
mau aku temani berbelanja atau bagaimana?” tanya Alvin, menatap Oik.
Oik
terlihat berpikir sejenak dan kemudian menggeleng, “Kamu duluan ke kamar saja.
Minimarket lagi ramai,” Oik mengedik ke dalam, “Nanti takutnya kamu capek
nunggu aku.”
Alvin
tersenyum dan mengacak rambut Oik, “Ya sudah, aku tinggal. Kamu cari aku di
apartemenku, ya, nanti.”
Oik
mengangguk dan tersenyum lebar, “Oke. Sudah, sana! Hus hus!”
Alvin
tertawa. Ia pun akhirnya berbalik dan berjalan menuju lift dengan senyuman
penuh arti. Begitu melihat Alvin telah masuk ke dalam lift, Oik segera masuk ke
dalam minimarket. Mengambil sebuah keranjang kecil dan berjalan menuju lorong
makanan.
Siang
ini ia akan memasak nasi goreng superpedas dan pudding cokelat untuk penutupnya. Setelah memasukkan seluruh bahan
untuk membuat hidangan utamanya, Oik bergegas mencari bahan untung pudding cokelatnya.
Tangan
Oik terulur untuk mengambel sesachet
bubuk pudding cokelat ketika sebuah tangan
lagi terulur untuk mengambil sachet
yang sama. Oik terperanjat. Kepalanya terangkat untuk melihat tangan siapakah
itu.
“Eh,
Oik,” sapa orang tersebut.
“Mau
membuat pudding juga, Gab?” sapa Oik
balik pada orang itu, Gabriel.
Gabriel
mengangguk, “Iya. Patton lagi ngidam pudding.
Biasanya mamanya membuatkannya pudding
setiap minggu.”
Oik
melirik rak tempat bubuk pudding itu
terpajang, “Gab, bubuk pudding yang
cokelat tinggal ini saja,” Oik menyerahkannya pada Gabriel, “Untuk kamu dan
yang lainnya saja.”
“Eh?”
Gabriel mendadak salah tingkah, “Ga usah, Ik. Untuk kamu saja.” Gabriel
menyerahkan kembali sachet tersebut.
Oik
tersenyum tipis menerimanya, “Benar? Boleh?”
“Iya.”
Gabriel mengangguk, “Aku bisa ambil varian rasa lainnya, kok.”
“Terima
kasih!” Oik melebarkan senyumnya dan memasukkan sesachet bubuk pudding itu
ke dalam keranjang belanjaannya, “Aku duluan, Gab!”
Oik
berjalan menjauh. Hatinya sedikit berdesir ketika tak sengaja tatapannya
bertemu dengan tatapan milik Gabriel tadi. Lagi-lagi bola mata hitam legam itu
mengingatkannya pada seseorang. Tapi, siapa?
Gabriel
hanya mengangguk menatap kepergian Oik. Tatapannya benar-benar sulit diartikan.
Lelaki itu hanya menghembuskan napas dan kembali berkeliling minimarket untuk
membeli bahan-bahan keperluan sehari-hari lainnya.
^^^
Mobil
Shilla baru saja berhenti di depan rumah Cakka. Shilla segera mematikan mesin
mobilnya. Gadis itu menengok ke samping, Cakka belum juga bangun. Ia hanya
menggelengkan kepalanya, menyadari betapa kebonya Cakka.
“Kka,
udah sampai. Bangun.” Shilla menepuk pelan pipi Cakka.
“Hn,”
Cakka mengulat, kemudian kembali terlelap.
“Bangun,
dong, Kka. Ini sudah di depan rumah kamu.” Shilla kembali menepuk pipinya.
“Iya,”
Cakka menjawab dengan suara parau, lagi-lagi ia kembali terlelap.
Shilla
kembali menggeleng jengah. Ia bergerak pelan untuk mengecup pipi Cakka.
Setelahnya, ia menepuk lengan Cakka dengan keras, “Bangun, dong! Ih! Kebo
banget kamu, Kka!”
“Iya,
iya..” Cakka menguap lebar, lalu duduk dengan tegak dan tersenyum lebar ke arah
Shilla.
Keduanya
pun turun dari mobil. Cakka berjalan menuju kamarnya dan kembali terlelap.
Sedangkan Shilla, ia melangkah menuju kamar Agni. Banyak hal yang ingin ia
bicarakan dengan calon kakak iparnya itu.
“Mbak
Agni,” Shilla memanggil namanya seraya mengetuk daun pintu kamar tersebut.
“Iya!”
terdengar sahutan dari dalam, juga suara –seperti memindahkan sesuatu–.
Perlahan, terdengar langkah kaki yang semakin mendekat dan bunyi membuka kunci,
“Ada apa, Shill?”
Shilla
menatap Agni dengan aneh, “Tumben, Mbak, pakai dikunci segala kamarnya.”
Agni
mengedik, “Tadi... habis ganti pakaian.”
Shilla
menatap Agni menyelidik. Ganti pakaian? Pakaian Agni masih sama saja dengan
yang ia pakai ketika pagi tadi Shilla ke sini. Shilla hanya mengedikkan bahunya
dengan cuek. Ia masuk ke dalam kamar Agni dan rebahan di ranjangnya. Agni
segera menutup pintu kamarnya dan berbaring di samping Shilla.
“Mbak,
gue mau tanya sesuatu..” gumam Shilla.
Agni
menengoknya sekilas dan tersenyum tipis, “Mau tanya apa, Shill?”
“Cakka...
masih suka menyebut-nyebut Lala ga, Mbak?” tanya Shilla, ragu-ragu.
“Aduh,
gimana, ya.. Lo janji ga akan kesal, ya?” Agni menyodorkan kelingkingnya pada
Shilla, keduanya pun saling bertautan kelingking untuk beberapa saat. “Cakka
masih suka sebut-sebut Lala.”
“Lala
itu gue atau.....” Shilla menggantungkan kalimatnya.
Agni
menghembuskan napas berat, “Setelah dia sebut-sebut soal Lala, gue selalu
bilang kalau Lala itu lo. Tapi dia langsung melengos malas.”
Shilla
merubah posisinya menjadi duduk, “Dia... masih menyimpan Lala dalam
ingatannya..” Shilla bergumam sedih.
“Tenang
saja, Shill.. Gue cuma merestui kalau Cakka sama lo, bukan dengan yang
lainnya.” Agni bangkit dan mengusap pelan pundak Shilla dengan sayang.
“Makasih,
Mbak.” Shilla tersenyum miris kepada sang calon kakak ipar.
^^^
Setelah
membayar seluruh belanjaannya, Oik bergegas naik melalui lift. Begitu lift
sampai di lantai yang dituju, Oik pun keluar. Ia berpapasan dengan seorang gadis
yang sedang menunduk dalam-dalam yang akan masuk ke dalam lift.
Oik
pun keluar dari lift. Berdiri sejenak di depan lift karena pintunya belum juga
tertutup. Oik terus memandangi gadis itu lekat-lekat. Begitu pintu lift sudah
hampir tertutup, gadis itu mendongakkan kepalanya. Oik tersentak kaget.
Dia lagi. Gadis itu lagi. Dia, kan, yang
tadi ada di halaman parkir Oicagraph bersama Alvin..
Oik
menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia pun membalikkan badannya dan menyusuri
lorong gedung apartemen itu. Ketika ia tiba di depan ruang apartemen miik
Alvin, ia mengetuk pintunya perlahan. Ia terus menggelengkan kepalanya,
berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis itu dan soal bola mata hitam legam
milik Gabriel.
“Oik,
ya?” terdengar sahutan dari dalam.
Oik
mengangguk, “Iya!” Oik balas berteriak.
“Masuk
saja, peri kecil! Pintunya ga aku kunci!” Alvin kembali berseru.
Oik
mengedik cuek. Ia pun masuk ke dalam. Dilihatnya ruang tamu Alvin kosong. Ia
pun berjalan menuju dapur. Oik bersandar pada kulkas di sudut dapur, menatap
Alvin yang berdiri membelakanginya. Lelaki itu sedang mencuci dua gelas di
tempat mencuci piring.
“Gelas
siapa, Vin?” tanya Oik, tatapannya tak lepas dari punggung Alvin.
Alvin
menengok perlahan padanya, “Gelasku, dong, Ik. Gelas siapa lagi?”
“Kenapa
ada dua?”
“Iya,
tadi temanku ke sini.”
“Perempuan?”
Alvin
terdiam sejenak, “Bukan, laki-laki.”
Oik
melengos malas. Jelas-jelas ia tidak berpapasan dengan seorang laki-laki pun
tadi di lorong. Ia hanya berpapasan dengan seorang gadis. Gadis berwajah riang
itu. Gadis yang sama dengan yang ia lihat sedang mengobrol dengan Alvin di
studio tadi pagi. Oik melengos malas menyadari Alvin membohonginya, menutupi
sesuatu darinya.
“Aku
capek, Vin..” lirih Oik.
Alvin
baru saja selesai mencuci kedua gelas tersebut. Ia berbalik dan menghampiri Oik
lalu mengusap pelan pipinya, “Istirahat saja, Ik. Biar aku yang masak.”
“Kamu
ga bakalan pernah ngerti.” Oik kembali membuka mulutnya.
Alvin
mengambil sekantung plastik belanjaan dari tangan Oik dan melihatnya, “Kamu mau
memasak apa?”
“Nasi
goreng superpedas dan pudding
cokelat.” Oik menjawab seadanya.
“Kamu
tidur saja di kamarku.” Alvin mengantarkan Oik ke dalam kamarnya. Membantu Oik
merebahkan tubuhnya di ranjang, dan menyelimutinya dengan sebuah selimut tipis,
“Nanti kalau masakannya sudah matang, aku bangunkan.”
Oik
mengangguk dengan setengah hati. Alvin pun bangkit untuk menyalakan pendingin
ruangan. Setelahnya, ia keluar dan menutup pintunya. Oik sayup-sayup mendengar
langkah Alvin yang mulai menjauh. Setelah dirasa Alvin telah sampai di dapur,
Oik menyibak selimutnya dan memeriksa kamar Alvin.
Oik
mulai membuka satu-persatu laci Alvin. Dan, pada laci keempat, Oik menemukan
berlembar-lembar foto. Mulai dari pose konyol hingga pose mesra, ada dalam
lembar-lembar foto tersebut. Oik terduduk di ranjang Alvin dengan sebelah
tangan menutupi mulutnya.
“Alvin...
dengan gadis tadi..” lirih Oik.
^^^
Shilla
mengedik pada sebuah jam yang tergantung di dekat lemari pakaian milik Agni. Ia
terkesiap. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Dan, karena terlalu asyik
mengobrol dengan Agni, ia sampai lupa membangunkan Cakka yang kelewat kebo itu!
Gawat!
“Kenapa,
Shill?” tanya Agni, mengalihkan pandangannya dari majalah fashion terbaru.
Shilla
segera turun dari ranjang Agni dan merapikan rambutnya, mematut bayangan
dirinya di cermin milik Agni. Setelahnya, ia mengambil tasnya dan mengecup pipi
kanan dan kiri Agni, “Gue lupa bangunin Cakka, Mbak. Kami bakal fitting pakaian.”
Agni
hanya mengangguk, “Ati-ati, Shill!”
Shilla
tersenyum pada Agni dan berlalu menuju kamar Cakka. Shilla memutuskan untuk
langsung masuk ke dalam kamar Cakka. Ia yakin pasti Cakka belum bangun. Dan,
benar saja. Ketika ia memasukki kamar Cakka, lelaki itu masih tertidur lelap. Shilla
pun menghampirinya.
“Cakk---,”
omongan Shilla terputus. Ia menyadari bibir Cakka bergerak pelan, seperti
menyebut-nyebut sesuatu.
Shilla
pun mendekatkan dirinya pada Cakka. Sekarang, Shilla akhirnya mengerti apa yang
Cakka igaukan. Shilla menahan napas untuk beberapa detik. Ia mendadak gelisah
karenanya. Pasalnya, Cakka terus saja memanggil-manggil nama tersebut.
“Lala...
Lala... Lala... Lala...”
Shilla
mundur beberapa langkah. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Ternyata benar kata
Agni, Cakka masih terus menyebut nama tersebut. Lala. Shilla cemas, khawatir,
gelisah. Hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi juga.
Shilla
bersandar pada dinding kamar Cakka. Ia merasakan sesuatu di punggungnya. Begitu
ia berbalik, ia melihat sebuah bingkai dengan foto lama di dalamnya. Shilla memejamkan
matanya. Cakka pun masih menyimpan foto usang itu.
Shilla
berusaha menata hatinya, menata pikirannya. Ia rapikan penampilannya. Tak lupa,
ia ukirkan sebuah senyum lebar di bibirnya. Ia berlaku seolah-olah tak
mendengar igauan Cakka barusan. Tak ada Lala lain selain dirinya. Iya. Pasti. Pasti
yang Cakka igaukan tadi adalah dirinya. Lala. Shilla. Ashilla. Ashilla Zahrantiara.
Shilla
pun kembali mendekat ke ranjang Cakka, ia tepuk pelan lengan Cakka, “Bangun,
Kka. Sudah sore. Kita jadi fitting,
kan?” bisik Shilla.
Cakka
menggeliat. Tak lama kemudian, lelaki itu telah menyibakkan selimut tebalnya
dan kembali dari alam mimpi. Cakka tersenyum tipis menatap Shilla. Tanpa berkata
apa-apa lagi, Cakka masuk ke dalam kamar mandinya.
Shilla
terduduk di ranjang Cakka dengan pikiran kosong. Matanya menerawang entah ke
mana. Lima belas menit setelahnya, Cakka keluar dari kamar mandi. Keduanya pun
segera berangkat menuju butik yang telah Shilla pilih untuk membuat gaun
pengantinnya.
0 komentar:
Posting Komentar