Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [02]

            “Oke. Sampai nanti!” Alvin mengangkat sebelah tangannya dan tersenyum manis.

            Kaca mobil pun tertutup. Sebelumnya, gadis berwajah riang itu pun melemparkan senyumnya pada Alvin. Alvin mundur beberapa langkah, memberikan jalan pada sang gadis berwajah riang untuk mengemudikan mobilnya keluar dari area parkir Oicagraph.

            Alvin memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana. Ia terus berdiri di sana sampai mobil sang gadis riang tertelan oleh puluhan mobil lain di jalanan. Begitu memastikan mobil gadis berwajah riang itu telah hilang, Alvin pun berbalik dan masuk kembali ke dalam Oicagraph Studio.

            Alvin mendapati Oik yang masih bersandar pada bahu Ify, dengan bibir seputih kapas. Alvin pun duduk di samping Rio, terpisah oleh sebuah meja dengan Oik dan Ify. Ia melirik Oik, gadis mungil itu tampak sedang memikirkan sesuatu.

            “Memikirkan apa, Ik?” tanya Alvin, ia kibaskan tangan kanannya di depan wajah Oik.

            Oik tersadar dan kemudian menggeleng, “Ga, ga lagi memikirkan apa-apa.” Oik menghembuskan napas dengan berat, “Tadi kamu bicara dengan siapa, Vin?”

            Alvin mendadak kikuk. Ia berusaha tersenyum senormal mungkin kepada Oik, “Bukan siapa-siapa. Cuma orang yang tanya alamat. Iya, tanya alamat.”

            “Oh,” Oik membulatkan bibirnya, “Kok lama?” tanyanya lagi.

            “Dia tanya petunjuknya arah dan tetek-bengek lainnya. Mungkin dia orang baru di sini.” Alvin mengedikkan bahunya, berusaha secuek mungkin.

            “Cantik, ya?” cecar Oik.

            “Apa, sih, Ik?” Alvin terlihat tidak senang dengan cercaan Oik barusan. Lantas, ia mengambil undangan perkawinan Rio dan Ify yang tergeletak di meja lalu membukanya, “Pestanya besok, Fy, Yo?” Alvin memandang Rio dan Ify bergantian.

            Rio dan Ify mengangguk bersamaan dan tersenyum lebar. Sedangkan Oik, gadis itu melengos malas ketika menyadari Alvin sedang mengalihkan pembicaraan. Ada apa sebenarnya? Siapa gadis berwajah riang tadi?

            “Lalu, kenapa kalian masuk kerja? Kenapa ga siap-siap untuk acara besok?” Alvin menggeleng tak percaya.

            “Tadi niatnya ke sini cuma untuk ngantar undangan saja. Eh, ternyata ada klien dan studio lagi sepi. Ya sudah, aku yang menangani kliennya.” Ify menjelaskan dengan wajah malas.

            “Kenapa ga pulang saja sekarang?” tanya Oik, mulai masuk ke dalam pembicaraan.

            “Ini juga kami akan pulang.” Rio menyahut bersemangat.

            Rio pun berdiri. Menengadahkan tangan kanannya kepada Ify. Ify menerimanya, gadis itu pun kemudian berdiri. Dengan tangan kiri, Ify mengambil tasnya. Setelahnya, tangan kanan Ify mulai menggamit lengan Rio erat-erat.

            “Kami balik dulu, Ik, Vin. Jangan lupa datang besok malam! Awas kalau sampai kalian ga datang. Sipa-siap saja aku damprat!” pamit Ify, Rio terkekeh di sebelahnya.

            Alvin tersenyum tipis. Keduanya menatap Rio dan Ify yang sudah masuk ke dalam mobil Rio. Mobil itu pun melesat, meninggalkan Oicagraph Studio beserta Oik, Alvin, dan karyawan lainnya. Oik kembali menghembuskan napasnya, kali ini untuk menarik perhatian Alvin.

            Alvin menengok padanya dan tersenyum lucu, “Apa? Sudah ga tanya-tanya lagi soal orang tadi?” godanya.

            “Terus saja goda aku!” Oik meninjukan kepalan tangannya ke lengan Alvin, “Aku ga jadi masak, ah, kalau kamu nyebelin begini.”

            “Eh, jangan!” Alvin mendadak berteriak kencang, “Ya sudah, ayo pulang, peri kecil.” Alvin berdiri, lalu menghampiri Oik dan membantunya berdiri.

            “Ga usah sok baik. Nanti juga kalau masakannya sudah selesai aku masak langsung berubah nyebelin lagi!” sindir Oik.

            Alvin tertawa tepat di telinga Oik. Oik kontan menutup telinganya dan melepaskan pegangannya pada lengan Alvin. Setelah Alvin berhenti tertawa, Oik menghujani perut lelaki oriental itu dengan cubitan-cubitan tak kenal ampun.

^^^

            Cakka dan Shilla baru saja keluar dari sebuah cake shop di bilangan Jakarta Selatan. Keduanya baru saja memesan sebuah wedding cake bertingkat sembilan –tanggal dan bulan jadian mereka– di sana. Begitu sampai di depan mobil Shilla, Cakka segera melemparkan kunci mobil kepada Shilla.

            “Kamu saja yang menyetir. Aku capek, Shill. Ya?” Cakka merayu Shilla dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

            Shilla melengos dan tersenyum jengah, “Ya sudah. Tidur saja kamu, biar aku yang menyetir.” katanya, mengalah.

            Keduanya pun masuk ke dalam mobil. Kali ini, Shilla yang duduk di balik kemudi. Mesin dinyalakan, Shilla segera mengemudikannya ke sebuah butik –tempat mereka akan fitting–.

            Cakka melongok ke luar jendela. Ini bukan jalan pulang ke rumahnya. Ia menengok pada Shilla yang sedang menyetir, “Mau ke mana kita, Shill? Ini bukan jalan pulang ke rumahku.”

            Shilla meliriknya sekilas dan tersenyum, “Kita ke butik, fitting baju dulu. Kenapa?”

            Cakka mendengus, “Aku capek, Shill. Kita pulang saja. Aku mau istirahat beberapa jam. Nanti sore kita fitting baju. Ya?”

            “Oke, oke,” Shilla memutuskan untuk mengalah. Lagipula, jika nanti Cakka tidur, ia bisa banyak bercerita dengan Mbak Agni.

            Shilla memutar kemudinya, tidak jadi ke butik. Cakka pun akhirnya terlelap begitu menyadari Shilla akan membawanya pulang ke rumah. Shilla melirik lelaki di sampingnya. Begitu beruntungnya dia memiliki lelaki seperti Cakka. Gadis itu tersenyum penuh arti.

^^^

            Alvin dan Oik kini telah sampai di pelataran apartemen mereka. Setelah memarkirkan mobil, keduanya pun turun. Alvin dan Oik bergandengan memasukki gedung apartemen tersebut. Begitu sampai di depan minimarket di dalam gedung apartemen tersebut, keduanya melepaskan gandengan tangan mereka.

            “Kamu mau aku temani berbelanja atau bagaimana?” tanya Alvin, menatap Oik.

            Oik terlihat berpikir sejenak dan kemudian menggeleng, “Kamu duluan ke kamar saja. Minimarket lagi ramai,” Oik mengedik ke dalam, “Nanti takutnya kamu capek nunggu aku.”

            Alvin tersenyum dan mengacak rambut Oik, “Ya sudah, aku tinggal. Kamu cari aku di apartemenku, ya, nanti.”

            Oik mengangguk dan tersenyum lebar, “Oke. Sudah, sana! Hus hus!”

            Alvin tertawa. Ia pun akhirnya berbalik dan berjalan menuju lift dengan senyuman penuh arti. Begitu melihat Alvin telah masuk ke dalam lift, Oik segera masuk ke dalam minimarket. Mengambil sebuah keranjang kecil dan berjalan menuju lorong makanan.

            Siang ini ia akan memasak nasi goreng superpedas dan pudding cokelat untuk penutupnya. Setelah memasukkan seluruh bahan untuk membuat hidangan utamanya, Oik bergegas mencari bahan untung pudding cokelatnya.

            Tangan Oik terulur untuk mengambel sesachet bubuk pudding cokelat ketika sebuah tangan lagi terulur untuk mengambil sachet yang sama. Oik terperanjat. Kepalanya terangkat untuk melihat tangan siapakah itu.

            “Eh, Oik,” sapa orang tersebut.

            “Mau membuat pudding juga, Gab?” sapa Oik balik pada orang itu, Gabriel.

            Gabriel mengangguk, “Iya. Patton lagi ngidam pudding. Biasanya mamanya membuatkannya pudding setiap minggu.”

            Oik melirik rak tempat bubuk pudding itu terpajang, “Gab, bubuk pudding yang cokelat tinggal ini saja,” Oik menyerahkannya pada Gabriel, “Untuk kamu dan yang lainnya saja.”

            “Eh?” Gabriel mendadak salah tingkah, “Ga usah, Ik. Untuk kamu saja.” Gabriel menyerahkan kembali sachet tersebut.

            Oik tersenyum tipis menerimanya, “Benar? Boleh?”

            “Iya.” Gabriel mengangguk, “Aku bisa ambil varian rasa lainnya, kok.”

            “Terima kasih!” Oik melebarkan senyumnya dan memasukkan sesachet bubuk pudding itu ke dalam keranjang belanjaannya, “Aku duluan, Gab!”

            Oik berjalan menjauh. Hatinya sedikit berdesir ketika tak sengaja tatapannya bertemu dengan tatapan milik Gabriel tadi. Lagi-lagi bola mata hitam legam itu mengingatkannya pada seseorang. Tapi, siapa?

            Gabriel hanya mengangguk menatap kepergian Oik. Tatapannya benar-benar sulit diartikan. Lelaki itu hanya menghembuskan napas dan kembali berkeliling minimarket untuk membeli bahan-bahan keperluan sehari-hari lainnya.

^^^

            Mobil Shilla baru saja berhenti di depan rumah Cakka. Shilla segera mematikan mesin mobilnya. Gadis itu menengok ke samping, Cakka belum juga bangun. Ia hanya menggelengkan kepalanya, menyadari betapa kebonya Cakka.

            “Kka, udah sampai. Bangun.” Shilla menepuk pelan pipi Cakka.

            “Hn,” Cakka mengulat, kemudian kembali terlelap.

            “Bangun, dong, Kka. Ini sudah di depan rumah kamu.” Shilla kembali menepuk pipinya.

            “Iya,” Cakka menjawab dengan suara parau, lagi-lagi ia kembali terlelap.

            Shilla kembali menggeleng jengah. Ia bergerak pelan untuk mengecup pipi Cakka. Setelahnya, ia menepuk lengan Cakka dengan keras, “Bangun, dong! Ih! Kebo banget kamu, Kka!”

            “Iya, iya..” Cakka menguap lebar, lalu duduk dengan tegak dan tersenyum lebar ke arah Shilla.

            Keduanya pun turun dari mobil. Cakka berjalan menuju kamarnya dan kembali terlelap. Sedangkan Shilla, ia melangkah menuju kamar Agni. Banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan calon kakak iparnya itu.

            “Mbak Agni,” Shilla memanggil namanya seraya mengetuk daun pintu kamar tersebut.

            “Iya!” terdengar sahutan dari dalam, juga suara –seperti memindahkan sesuatu­–. Perlahan, terdengar langkah kaki yang semakin mendekat dan bunyi membuka kunci, “Ada apa, Shill?”

            Shilla menatap Agni dengan aneh, “Tumben, Mbak, pakai dikunci segala kamarnya.”

            Agni mengedik, “Tadi... habis ganti pakaian.”

            Shilla menatap Agni menyelidik. Ganti pakaian? Pakaian Agni masih sama saja dengan yang ia pakai ketika pagi tadi Shilla ke sini. Shilla hanya mengedikkan bahunya dengan cuek. Ia masuk ke dalam kamar Agni dan rebahan di ranjangnya. Agni segera menutup pintu kamarnya dan berbaring di samping Shilla.

            “Mbak, gue mau tanya sesuatu..” gumam Shilla.

            Agni menengoknya sekilas dan tersenyum tipis, “Mau tanya apa, Shill?”

            “Cakka... masih suka menyebut-nyebut Lala ga, Mbak?” tanya Shilla, ragu-ragu.

            “Aduh, gimana, ya.. Lo janji ga akan kesal, ya?” Agni menyodorkan kelingkingnya pada Shilla, keduanya pun saling bertautan kelingking untuk beberapa saat. “Cakka masih suka sebut-sebut Lala.”

            “Lala itu gue atau.....” Shilla menggantungkan kalimatnya.

            Agni menghembuskan napas berat, “Setelah dia sebut-sebut soal Lala, gue selalu bilang kalau Lala itu lo. Tapi dia langsung melengos malas.”

            Shilla merubah posisinya menjadi duduk, “Dia... masih menyimpan Lala dalam ingatannya..” Shilla bergumam sedih.

            “Tenang saja, Shill.. Gue cuma merestui kalau Cakka sama lo, bukan dengan yang lainnya.” Agni bangkit dan mengusap pelan pundak Shilla dengan sayang.

            “Makasih, Mbak.” Shilla tersenyum miris kepada sang calon kakak ipar.

^^^

            Setelah membayar seluruh belanjaannya, Oik bergegas naik melalui lift. Begitu lift sampai di lantai yang dituju, Oik pun keluar. Ia berpapasan dengan seorang gadis yang sedang menunduk dalam-dalam yang akan masuk ke dalam lift.

            Oik pun keluar dari lift. Berdiri sejenak di depan lift karena pintunya belum juga tertutup. Oik terus memandangi gadis itu lekat-lekat. Begitu pintu lift sudah hampir tertutup, gadis itu mendongakkan kepalanya. Oik tersentak kaget.

            Dia lagi. Gadis itu lagi. Dia, kan, yang tadi ada di halaman parkir Oicagraph bersama Alvin..

            Oik menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia pun membalikkan badannya dan menyusuri lorong gedung apartemen itu. Ketika ia tiba di depan ruang apartemen miik Alvin, ia mengetuk pintunya perlahan. Ia terus menggelengkan kepalanya, berusaha mengenyahkan bayangan wajah gadis itu dan soal bola mata hitam legam milik Gabriel.

            “Oik, ya?” terdengar sahutan dari dalam.

            Oik mengangguk, “Iya!” Oik balas berteriak.

            “Masuk saja, peri kecil! Pintunya ga aku kunci!” Alvin kembali berseru.

            Oik mengedik cuek. Ia pun masuk ke dalam. Dilihatnya ruang tamu Alvin kosong. Ia pun berjalan menuju dapur. Oik bersandar pada kulkas di sudut dapur, menatap Alvin yang berdiri membelakanginya. Lelaki itu sedang mencuci dua gelas di tempat mencuci piring.

            “Gelas siapa, Vin?” tanya Oik, tatapannya tak lepas dari punggung Alvin.

            Alvin menengok perlahan padanya, “Gelasku, dong, Ik. Gelas siapa lagi?”

            “Kenapa ada dua?”

            “Iya, tadi temanku ke sini.”

            “Perempuan?”

            Alvin terdiam sejenak, “Bukan, laki-laki.”

            Oik melengos malas. Jelas-jelas ia tidak berpapasan dengan seorang laki-laki pun tadi di lorong. Ia hanya berpapasan dengan seorang gadis. Gadis berwajah riang itu. Gadis yang sama dengan yang ia lihat sedang mengobrol dengan Alvin di studio tadi pagi. Oik melengos malas menyadari Alvin membohonginya, menutupi sesuatu darinya.

            “Aku capek, Vin..” lirih Oik.

            Alvin baru saja selesai mencuci kedua gelas tersebut. Ia berbalik dan menghampiri Oik lalu mengusap pelan pipinya, “Istirahat saja, Ik. Biar aku yang masak.”

            “Kamu ga bakalan pernah ngerti.” Oik kembali membuka mulutnya.

            Alvin mengambil sekantung plastik belanjaan dari tangan Oik dan melihatnya, “Kamu mau memasak apa?”

            “Nasi goreng superpedas dan pudding cokelat.” Oik menjawab seadanya.

            “Kamu tidur saja di kamarku.” Alvin mengantarkan Oik ke dalam kamarnya. Membantu Oik merebahkan tubuhnya di ranjang, dan menyelimutinya dengan sebuah selimut tipis, “Nanti kalau masakannya sudah matang, aku bangunkan.”

            Oik mengangguk dengan setengah hati. Alvin pun bangkit untuk menyalakan pendingin ruangan. Setelahnya, ia keluar dan menutup pintunya. Oik sayup-sayup mendengar langkah Alvin yang mulai menjauh. Setelah dirasa Alvin telah sampai di dapur, Oik menyibak selimutnya dan memeriksa kamar Alvin.

            Oik mulai membuka satu-persatu laci Alvin. Dan, pada laci keempat, Oik menemukan berlembar-lembar foto. Mulai dari pose konyol hingga pose mesra, ada dalam lembar-lembar foto tersebut. Oik terduduk di ranjang Alvin dengan sebelah tangan menutupi mulutnya.

            “Alvin... dengan gadis tadi..” lirih Oik.

^^^

            Shilla mengedik pada sebuah jam yang tergantung di dekat lemari pakaian milik Agni. Ia terkesiap. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Dan, karena terlalu asyik mengobrol dengan Agni, ia sampai lupa membangunkan Cakka yang kelewat kebo itu! Gawat!

            “Kenapa, Shill?” tanya Agni, mengalihkan pandangannya dari majalah fashion terbaru.

            Shilla segera turun dari ranjang Agni dan merapikan rambutnya, mematut bayangan dirinya di cermin milik Agni. Setelahnya, ia mengambil tasnya dan mengecup pipi kanan dan kiri Agni, “Gue lupa bangunin Cakka, Mbak. Kami bakal fitting pakaian.”

            Agni hanya mengangguk, “Ati-ati, Shill!”

            Shilla tersenyum pada Agni dan berlalu menuju kamar Cakka. Shilla memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar Cakka. Ia yakin pasti Cakka belum bangun. Dan, benar saja. Ketika ia memasukki kamar Cakka, lelaki itu masih tertidur lelap. Shilla pun menghampirinya.

            “Cakk---,” omongan Shilla terputus. Ia menyadari bibir Cakka bergerak pelan, seperti menyebut-nyebut sesuatu.

            Shilla pun mendekatkan dirinya pada Cakka. Sekarang, Shilla akhirnya mengerti apa yang Cakka igaukan. Shilla menahan napas untuk beberapa detik. Ia mendadak gelisah karenanya. Pasalnya, Cakka terus saja memanggil-manggil nama tersebut.

            “Lala... Lala... Lala... Lala...”

            Shilla mundur beberapa langkah. Ia menggeleng pelan, tak percaya. Ternyata benar kata Agni, Cakka masih terus menyebut nama tersebut. Lala. Shilla cemas, khawatir, gelisah. Hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi juga.

            Shilla bersandar pada dinding kamar Cakka. Ia merasakan sesuatu di punggungnya. Begitu ia berbalik, ia melihat sebuah bingkai dengan foto lama di dalamnya. Shilla memejamkan matanya. Cakka pun masih menyimpan foto usang itu.

            Shilla berusaha menata hatinya, menata pikirannya. Ia rapikan penampilannya. Tak lupa, ia ukirkan sebuah senyum lebar di bibirnya. Ia berlaku seolah-olah tak mendengar igauan Cakka barusan. Tak ada Lala lain selain dirinya. Iya. Pasti. Pasti yang Cakka igaukan tadi adalah dirinya. Lala. Shilla. Ashilla. Ashilla Zahrantiara.

            Shilla pun kembali mendekat ke ranjang Cakka, ia tepuk pelan lengan Cakka, “Bangun, Kka. Sudah sore. Kita jadi fitting, kan?” bisik Shilla.

            Cakka menggeliat. Tak lama kemudian, lelaki itu telah menyibakkan selimut tebalnya dan kembali dari alam mimpi. Cakka tersenyum tipis menatap Shilla. Tanpa berkata apa-apa lagi, Cakka masuk ke dalam kamar mandinya.

            Shilla terduduk di ranjang Cakka dengan pikiran kosong. Matanya menerawang entah ke mana. Lima belas menit setelahnya, Cakka keluar dari kamar mandi. Keduanya pun segera berangkat menuju butik yang telah Shilla pilih untuk membuat gaun pengantinnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar