Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

AKU BUKAN DIA [Cerpen]

Aku tau ku takkan bisa menjadi seperti yang engkau minta. Namun selama nafas berhembus, aku 'kan mencoba. Aku tau dia yang bisa menjadi seperti yang engkau minta. Namun selama aku bernyawa, aku 'kan mencoba menjadi seperti yang kau minta.” – Chrisye.

**

              Gadis berparas imut itu sibuk dengan perasaannya sendiri. Sesekali ia menatap lelaki di hadapannya dan, lalu, menundukkan kepalanya. Telapak tangannya berkeringat, ia benar-benar gugup. Akhirnya, ia kembali menatap lelaki jangkung di hadapannya.

              “Aku... suka kamu,” katanya, dengan perjuangan luar biasa untuk menahan kegugupannya.

              Lelaki di hadapannya hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menebarkan pandangannya di lapangan basket sekolah, “Kamu sudah tau jawabannya. Maaf.”

              Bahu gadis itu terkulai lemas, “Tapi... bolehkah aku mencoba untuk.....”

              “Itu terserah kamu saja. Ingat ya, aku tak pernah menyuruhmu untuk tetap tinggal dan berusaha.”

              Gadis itu mengangguk perlahan, mengiringi kepergian sang lelaki jangkung. Ia pandang punggung lelaki itu hingga ia duduk di sebuah bangku panjang di pinggir lapangan basket. Gadis itu tau. Semuanya. Ya, ia tau semuanya. Tentang lelaki jangkung yang telah berhasil merebut hatinya itu dan obsesinya serta perasaannya terhadap sang primadona sekolah.

              Ia tersenyum getir. Melangkah pergi meninggalkan lorong sekolah yang mulai berangsur sepi sore itu. Dengan bibir yang masih tersenyum getir, ia melangkah menuju parkiran dan mengemudikan mobilnya menuju kediamannya.

**

              Baru saja gadis itu keluar dari dalam kamar mandi, ponselnya berbunyi. Sekilas ia membaca tulisan pada layar ponselnya, lalu mengangkat panggilan dari salah satu sahabatnya itu.

              “Gimana tadi? Berhasil?”

              “Seperti biasa, Fy. Gagal.”

              “Hhh.. Sabar saja, Cil. Terus usaha ya!”

              “Aku cape’, Fy. Dia terlalu terobsesi dengan ‘primadona sekolah’ itu.”

              “Tapi, kan, belum tentu dia akan begitu hingga seterusnya, Cil. Pricilla harus semangat!”

              “Dia tadi bilang kalau dia tak pernah menyuruhku untuk tetap tinggal dan berusaha, Fy. Itu artinya dia benar-benar tak menginginkanku, kan?”

              “Kamu benar-benar sayang dia, kan, Cil? Kalau iya, jangan semudah itu menyerah.”

              “Lihat nanti saja, Fy.”

              Gadis itu melempar ponselnya ke ranjang. Ia menghembuskan napas dengan berat. Tak sengaja, pandangannya terantuk pada sebingkai foto yang menempel pada dinding kamarnya. Lelaki jangkung itu. Ia memandangi sebingkai foto itu dengan perasaan campur aduk.

              “Apa iya aku terus berusaha? Haruskah?” gumamnya.

              Gadis itu adalah Pricilla Agatha. Seorang gadis berambut panjang lurus dan memakai behel dengan karet berwarna biru. Ia adalah siswi kelas sepuluh di SMA Pangudi Luhur. Sedangkan seseorang yang meneleponnya tadi adalah Ify Alyssa, salah satu sahabatnya. Bisa dibilang, Ify adalah sahabatnya yang paling dewasa. Dua sahabat Pricilla lainnya adalah Sivia Azizah dan Oik Ramadlani. Keduanya adalah gadis berpipi chubby serta berambut sebahu. Dan, ya! Pricilla beserta ketiga sahabatnya itu bersekolah di SMA Pangudi Luhur.

**

              Pricilla baru saja duduk di bangkunya. Rupanya ketiga sahabatnya yang lain pun telah duduk di bangku masing-masing. Ia duduk bersama Ify. Sedangkan Sivia berbagi meja dengan Oik.

              “Kemarin... gagal lagi, Cil?” tanya Sivia.

              Pricilla menengok ke belakang, tempat Sivia berada, dan mengangguk seraya tersenyum pahit, “Memang biasanya begitu, kan?”

              Dahi Oik mengernyit, “Ya itu memang dianya saja, Cil, yang tak peka. Dia tidak melihat bahwa kamu yang selalu berusaha untuk mendapatkannya. Dia terlalu terobsesi dengan---,”

              “Sssstt!!” Pricilla meletakkan telunjuknya tepat pada bibir mungilnya, “Sudahlah, Ik. Tidak usah menyebut namanya.”

              “Kamu yang sabar, Cil. Tetap usaha. Jangan berhenti berusaha kalau kamu masih yakin kamu sayang dia.” Ify menepuk pelan pundak Pricilla, Pricilla hanya tersenyum dalam diam.

**

              Bel istirahat baru saja berbunyi. Pricilla segera mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam tasnya. Ia melihat ketiga sahabatnya sedang menyalin catatan dari papan tulis. Dengan begitu, ia bisa meninggalkan ketiganya tanpa rasa tak enak.

              Pricilla pun bangkit dari duduknya dan melangkah keluar kelas, menuju kelas sang lelaki jangkung. Ify, yang menyadari Pricilla telah berlalu hanya menggeleng putus asa. Ia menghadap ke belakang dan menyenggol pelan tangan Sivia serta Oik.

              “Pricilla ke kelas ‘dia’ lagi.” Ify mengangkat sebelah alisnya.

              Sivia menatap punggung Pricilla dari jauh dan tersenyum getir, “Pricilla kasihan. Andai saja ‘dia’ tau betapa Pricilla sayang padanya. Aku yakin ‘dia’ takkan tega membuat Pricilla menjadi begini gilanya.”

              “Bukan, bukan! ‘Dia’ bukan tidak menyadari betapa Pricilla menyayanginya. ‘Dia’ hanya terlalu dibutakan oleh si primadona!” Oik menyela perkataan Sivia, terdengar jelas kalau ia tidak setuju dengan perkataan teman sebangkunya itu.

              “Serba salah juga, Siv, Ik. Aku terus memberi Pricilla semangat untuk mengejar ‘dia’ karena aku tau Pricilla sangat sayang padanya. Tapi di sisi lain, Pricilla sudah terlalu jatuh karena ribuan penolakan dari ‘dia’.” Ify menatap Sivia dan Oik satu-persatu, kesedihan jelas terpancar dari sorot mata beningnya.

**

              Pricilla memasukki kelas lelaki jangkung itu dengan senyum lebar terukir di bibirnya. Ia mengedarkan pandangan. Sama sekali tidak ia temukan sosok lelaki pujaannya itu. Tiba-tiba saja, pundaknya ditepuk dari belakang.

              “Eh, Alvin.” Pricilla melambaikan tangan kanannya.

              “Cari ‘dia’, Cil?” tanya Alvin.

              “Iya,” Pricilla mengangguk, “Dia di mana, ya?”

              “Di lapangan basket, seperti biasa. Kamu susul saja ke sana.” Alvin tersenyum ketika melihat Pricilla menganggukkan kepalanya, “Eh, Cil.. Sivia... ada di kelas?” tanyanya lagi, seraya menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal.

              Pricilla terkekeh, “Ada kok. Sedang menyalin catatan. Hampiri saja, Vin.”

              Keduanya pun lantas berpisah di depan kelas Alvin. Pricilla berbelok ke kanan menuju lapangan basket dan Alvin berbelok ke kiri untuk menghampiri Sivia di kelasnya. Beberapa saat setelah berpisah, Alvin menengok ke belakang. Ia mendapati Pricilla sedang berjalan dengan riang menuju lapangan basket. Alvin hanya geleng kepala.

              ‘Dia’ benar-benar tidak tau apa yang dinamakan bersyukur. Andai aku jadi ‘dia’, dengan senang hati aku akan menerima Pricilla. Pricilla setia. Pricilla tetap menyayangi ‘dia’, apapun yang terjadi. Pricilla tetap tersenyum walaupun hanya ada sang primadona sekolah di otak ‘dia’..

**

              Begitu sampai di lapangan basket, Pricilla segera duduk tepat di samping lelaki jangkung itu. Lelaki jangkung itu hanya memandangnya tanpa ekspresi. Pricilla membalasnya dengan senyuman lebar.

              “Ini.. Aku ada roti bakar selai coklat kesukaan kamu,” Pricilla menyerahkan sebuah kotak makanan yang sedari tadi digenggamnya erat-erat kepada lelaki jangkung itu, “Aku tau kalau kamu pasti tidak sempat ke kantin untuk mengenyangkan perutmu jika sudah melihat mereka berlatih.”

              Lelaki jangkung itu hanya diam. Sama sekali tak menanggapi celotehan Pricilla ataupun sekedar berterima kasih pada gadis itu karena telah membawakannya bekal makanan. Toh, pikirnya, ia sama sekali tak pernah meminta dibawakan sesuatu oleh Pricilla. Tak dibawakan apapun olehnya pun ‘dia’ tak masalah. Bahkan, ia ingin mengenyahkan gadis itu dari dekatnya. Begitu mengganggu, pikirnya.

              Sorot mata Pricilla berubah sendu ketika melihat ‘dia’ sedang menatap terpesona ke arah sekelompok anak cheers yang sedang berlatih di tengah lapangan basket. Pricilla hanya mampu tersenyum. Getir. Biarkan saja lelaki jangkung itu jatuh pada pesona sang primadona sekolah. Toh, ia bukan siapa-siapanya yang berhak melarang ‘dia’ untuk jatuh cinta pada siapapun.

              “Kamu membuatnya sendiri?” tanya lelaki itu, menengok pada Pricilla.

              Dengan cepat, Pricilla menyembunyikan sorot mata sendunya itu ketika ‘dia’ menatap matanya, “Iya, aku membuatnya sendiri. Bagaimana? Enak?”

              ‘Dia’ berdecak, “Apa? Enak? Masakan dia lebih enak daripada masakanmu. Semua orang berkata begitu!” ‘dia’ menunjuk seorang gadis yang sedang berada di puncak piramida cheers, sang kapten cheers.

              Pricilla terdiam, “Kamu sudah pernah merasakan makanannya?” tanyanya.

              “Belum. Tapi semua orang mengatakan hal demikian.”

              “Tapi, kan, kamu belum pernah mencoba masakannya..” lirih Pricilla.

              Lelaki jangkung itu menatap Pricilla tak suka. Sontak, Pricilla menundukkan kepalanya dalam-dalam dan merutuk dalam hati. ‘Dia’ bangkit, lalu menghampiri sang kapten cheers yang baru saja selesai berlatih dengan anggota cheers lainnya. Tak lupa, ‘dia’ membawakan sebuah handuk kecil untuk sang primadona sekolah.

              “Gabriel..” Pricilla memanggilnya lirih.

              Sayangnya, ‘dia’ sudah berjalan terlalu jauh. Sama sekali tak ia dengar panggilan Pricilla. Gabriel hanya menatap sang primadona sekolah dengan mata berbinar.

              “Zahra!”

**

              Pricilla mengayun-ayunkan tasnya seraya tersenyum lebar. Gabriel berjalan di depannya. Dengan langkah riang, gadis itu menghampirinya. Ia memamerkan senyum terlebarnya pada sang pujaan hati.

              “Hay, Gab!” sapa Pricilla.

              Gabriel menatapnya sinis, “Kenapa kamu tidak ada bosannya terus berusaha untuk mendapatkan hatiku?”

              Pricilla mendadak diam. Tak ia ayun-ayunkan lagi tasnya. Senyumnya pun sudah lenyap entah ke mana. Ia hanya menatap Gabriel dengan sorot mata kecewa. Ia betul-betul kecewa. Entah sudah kekecewaan keberapa yang ia dapat saat ini. Ia sudah tak ingat lagi berapa kali lelaki di sampingnya itu membuatnya kecewa. Dan anehnya, ia tetap menyayangi laki-laki itu. Melupakan segala kekecewaannya.

              “Belum sadar juga kalau Zahra lebih cantik daripada kamu?” desis Gabriel.

              Pricilla menundukkan kepalanya. Digigitnya bibirnya sekuat tenaga, mencegah bening kristal itu luruh dan mebasahi kedua pipinya. Dan begitu ia mengangkat kepalanya, Gabriel sudah menjauh, menghampiri Zahra yang sedang menunggu jemputan di pelataran sekolah.

              Pricilla mengelus dadanya. Kecewa, sakit hati, minder, sedih. Semuanya menjadi satu. Dengan cepat ia menghapus bening kristal itu dari sudut matanya dan kembali tersenyum.

              “Semangat, Pricilla!” Pricilla menunjukkan kepalan tangan kanannya ke udara dan kembali tersenyum, lalu melangkah menuju area parkir, “Cantik itu relatif, Cil. Kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari wajahnya, tetapi hatinya juga.”

              Tanpa ia sadari, sedari tadi ada seorang lelaki yang melihat keseluruhan momen-momennya bersama Gabriel. Lelaki itu terlihat sangat sedih ketika melihat perlakuan yang diterima oleh Pricilla. Perlahan, lelaki itu melepaskan helmnya..

              “Kak Cakka?” Pricilla terlihat kaget ketika mengetahui ada Cakka di sana.

              Cakka tersenyum miring, “Kenapa kamu masih usaha, Cil?” tanya Cakka dengan lirih.

              Pricilla tersenyum tipis, “Karena aku menyayanginya, kak. Ini belum saatnya untuk aku menyerah.”

              “Janji satu hal pada kakak. Kamu harus berhenti berusaha ketika kamu sudah benar-benar kecewa. Ya?” Cakka menyodorkan jari kelingkingnya di depan mata sang adik.

              “Oke, kak.” Pricilla mengaitkan jari kelingkingnya dengan kelingking Cakka, “Kak Cakka ada apa kemari? Aku, kan, membawa mobil sen---,”

              “Eits!” Cakka memotong kalimat Pricilla dan tersenyum jahil, “Siapa bilang aku kemari untuk menjemputmu? Aku menjemput.....” Mendadak pandangan Cakka beralih, menembus Pricilla dan semakin mengembangkan senyumnya, tangannya terangkat tinggi-tinggi untuk melambai pada seorang gadis yang sedang berjalan menghampirinya, “Sini!”

              Pricilla menengok ke belakang. Ia mendapati seorang sahabatnya tengah berjalan ke arahnya dan kakaknya. Ia menatap kedua orang itu bergantian. Jadi, selama ini.....

              “Hay, kak!” gadis itu tersenyum malu-malu.

              Cakka segera menarik tubuh mungil gadis itu ke sampingnya dan merangkulnya, “Aku menjemput Oik, bukan kamu.”

              “Kalian.....” Pricilla sengaja menggantungkan kalimatnya, dan ketika ia melihat kedua orang itu tengah tersenyum malu-malu, ia tertawa terbahak-bahak.

**

              Pricilla tengah berjalan seorang diri di koridor utama sekolah. Tak sengaja ia melihat Zahra baru saja datang. Tak sengaja pula ia melihat primadona sekolah itu terpeleset karena sebuah plastik yang tercecer di lantai koridor.

              “Astaga, Zahra!” dengan cepat, Pricilla menghampiri Zahra dan menolongnya untuk berdiri, “Kamu... baik-baik saja, kan?”

              Zahra tersenyum menenangkan dan perlahan melepaskan tangan Pricilla dari bahunya ketika ia merasa sudah cukup kuat untuk berjalan sendiri, “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, Cil. Aku duluan ya! Terima kasih juga karena telah menolongku.”

              Pricilla hanya mengangguk dan tersenyum, menatap siluet Zahra yang semakin menjauh. Zahra memang baik. Tidak heran jika Gabriel begitu memujanya. Tidak heran juga kalau ia menjadi primadona di Pangudi Luhur.

              “Kamu pengacau! Harusnya tidak usah kau bantu Zahra berdiri tadi! Biar aku saja yang membantunya!”

              Pricilla menengok ke samping. Ada Gabriel. Pricilla kembali diam seribu bahasa. Apalagi ketika matanya bertemu dengan mata Gabriel. Terlihat jelas sekali kalau Gabriel tidak menyukai tindakan Pricilla barusan. Tentu saja ia lebih menyukai kalau ialah yang membantu Zahra berdiri tadi. Gabriel pun berlalu, meninggalkan Pricilla yang masih terpekur di tempat.

              “Sebegitu terobsesinya kamu dengan Zahra, Gab? Oh, aku sadar aku memang tidak ada apa-apanya dibanding dengan dia.” Pricilla berkata lirih.

**

              Pricilla baru saja akan duduk di bangkunya jika tidak ada kakak kelasnya yang sedang mendudukkinya dengan nyaman. Pricilla berdeham. Menyadarkan kedua orang itu akan keberadaannya. Sang kakak kelas pun langsung berdiri dan mendorong tubuh Pricilla untuk duduk di tempatnya.

              “Eh, maaf, Cil! Aku tidak tau. Kalau begitu, aku kembali ke kelas saja.” kakak kelas itu, Rio, segera kembali ke kelasnya.

              Ify pun tersenyum mengiringi kepergian laki-laki itu dan memandang Pricilla dalam, “Ada apa lagi, Cil?” tanyanya.

              “Apakah ini waktunya untuk aku menyerah?” gumam Pricilla, senyum terukir di bibirnya namun tak bisa menutupi kekecewaan yang teramat dalam yang telah Gabriel torehkan di hatinya.

              Ify mengusap pelan lengannya dan tersenyum lembut, “Cobalah sekali lagi. Jika kali ini gagal, kau boleh menyerah.”

              Kenapa kau begitu bodoh, Gab? Kau menyia-nyiakan seseorang yang benar-benar menyayangimu hanya karena obsesimu pada gadis lain! Kau pasti menyesal. Ya. Karma akan selalu menuntut balas..

              Ify memandang sahabatnya itu dengan sedih.

**

              Gabriel menatap kagum pada Zahra yang sedang memainkan jemari lentiknya di atas tuts-tuts piano sambil bernyanyi. Mereka sekarang berada dalam Ruang Musik sekolah. Tidak hanya Gabriel yang menonton Zahra berlatih untuk prom nanti, tetapi juga ada puluhan siswa lainnya.

              Tiba-tiba saja, Pricilla sudah duduk di samping Gabriel. Gabriel melengos malas ketika menyadari kehadiran gadis itu. Ia lantas kembali memusatkan pandangannya pada Zahra, tidak memperdulikan gadis di sampingnya itu.

              “Menonton Zahra berlatih, Gab?” tanya Pricilla dengan suara seriang mungkin.

              “Siapa lagi?” sinisnya, “Lihatlah! Dia pandai bermain piano dan suaranya pun sangat merdu.”

              “Aku juga bisa bernyanyi. Aku mahir memainkan gitar, asal kau tau saja, Gab.” Pricilla tersenyum senang.

              “Aku tidak menanyakannya padamu.” Gabriel membalas dengan ketus.

              Pricilla tersenyum. Kali ini begitu lepas. Tidak seperti senyum-senyumnya yang lain, yang ia ukir di bibirnya hanya untuk menyembunyikan kekecewaannya pada Gabriel. Ia biarkan kekecewaan menguap bersamaan dengan perasaannya pada Gabriel. Walaupun sulit, ia akan mencobanya. Toh, Gabriel sudah terlalu banyak memberikan torehan luka di hatinya. Tidak baik kalau lama-lama ia pertahankan perasaannya pada Gabriel.

              Pricilla berdiri dan menyentuh pelan lengan Gabriel hingga lelaki itu mendongak menatapnya, “Aku duluan, Gab.” Pricilla pamit, dengan senyum lepas.

              Pricilla pun melangkah keluar dari Ruang Musik. Membiarkan Gabriel yang masih terpesona pada Zahra. Oh, bukan! Membiarkan separuh jiwa Gabriel terpesona pada Zahra dan separuhnya lagi yang menyadari bahwa ada yang berbeda dari dirinya barusan. Senyuman lepasnya. Kekecewaannya yang sedikit demi sedikit menguap.

              Langkah Pricilla terasa begitu ringan. Walaupun, ya, ia masih menyadari bahwa Gabriel masih bertahta di hatinya. Tetapi ia akan mencoba untuk melepaskan Gabriel, membiarkannya terus berada dalam kubangan pesona Zahra.

              Salah siapa Gabriel masih terpesona pada Zahra? Tidak ada yang bisa disalahkan. Biarkan saja semuanya mengalir seperti apa yang Dia kehendaki. Pricilla percaya bahwa rencana-Nya akan jauh lebih indah daripada rencananya untuk membantu Gabriel keluar dari kubangan pesona Zahra. Pricilla percaya bahwa Gabriel akan kembali padanya jika Tuhan menghendaki.

**

              Pricilla sedang terduduk di sebuah bangku taman. Menimang-nimang ponselnya dengan gelisah. Tak ia sadari, ketiga sahabatnya tengah mengawasinya dari jauh. Perintah kakaknya, Cakka. Ia takut adiknya kenapa-kenapa. Pricilla pun mulai mengetikkan sebuah pesan singkat.

To: GabGabriel
Bs tlg ke tmn sebentar? Pntg! Ada yg hrs aku bicarakan.

From: GabGabriel
Gk bs. Aku sdg membuatkan lagu u/ Zahra. Aku sbk.

To: GabGabriel
Aku mhn! Aku janji, aku tdk akn mengusikmu lg stlh ini. Km bs pgng janjiku.

From: GabGabriel
Ok

              Pricilla tersenyum tipis ketika membaca balasan dari Gabriel. Semuanya harus selesai sekarang. Sampai di sini saja. Sudah cukup ia menelan kekecewaan terus-menerus.

              Tak sampai sepuluh menit, Gabriel sudah datang. Lelaki jangkung itu lantas duduk di samping Pricilla dan menatap lurus-lurus ke depan. Tak mau memandang gadis di sampingnya yang tengah tersenyum padanya.

              “Apa kab---,”

              Gabriel meliriknya malas, “Langsung pada inti saja.”

              “Oke,” Pricilla mengangguk pelan, “Sebelumnya, maaf karena sudah mengikutimu kemana-mana, selalu berusaha mengajakmu mengobrol, menjadi benalu antara kamu dan Zahra.”

              “Hn,” Gabriel mengangguk kaku.

              “Aku hanya ingin kamu tau kalau aku... mundur. Aku... sudah mundur, Gab.” Pricilla tersenyum tipis.

              Gabriel terhenyak, ia menatap Pricilla dari sudut matanya, “Lalu?”

              “Kamu bisa kejar Zahra mulai saat ini. Aku tidak akan mengganggumu. Aku sadar bahwa aku dan Zahra bagaikan langit dan bumi. Zahra langitnya dan aku buminya. Benar katamu, aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya.” Pricilla terus saja tersenyum tipis.

              “Hn,” Gabriel tetap pada pendiriannya, cuek.

              “Oke,” Pricilla berdiri dari duduknya, “Aku pamit pulang dulu. Sukses yang penggarapan lagunya untuk Zahra.” Pricilla tersenyum lebar dan menepuk pundak Gabriel sebelum ia melangkah pergi.

              Gabriel menatap punggung Pricilla dengan sorot mata sayu, entah mengapa.

              Never mind I’ll find someone like you. I wish nothing but the best for you too. Don’t forget me, I beg, I remember you said sometimes it lasts in love but sometimes it hurts instead..” bibir mungil Pricilla mulai menyenandungkan sebait lagu, lalu ia menengok ke belakang dan tersenyum pada Gabriel, “Kamu mendengarnya? Aku bisa bernyanyi, Gab. Kak Cakka bilang suaraku merdu.”

              Gabriel semakin terhenyak di bangku taman. Sorot matanya semakin sayu seiring dengan berlalunya Pricilla, berlalunya gadis itu dari hidupnya. Tiba-tiba saja Ify, Sivia, dan Oik sudah muncul di hadapannya.

              “Sekarang kamu sudah tau arti kecewa, kan, Gab?” kata Ify, ia tersenyum tipis.

              “Jangan tahan Pricilla. Dia sudah terlampau kecewa. Kamu sudah menorehkan luka terlalu banyak di hatinya.” Sivia menyahut.

              “Sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa membandingkan Pricilla dengan Zahra. Mereka berdua berbeda. Mereka memiliki kelebihan masing-masing, Gab.” Oik geleng-geleng kepala menatap Gabriel.

              Ify, Sivia, dan Oik berlalu. Meninggalkan Gabriel yang terhenyak dalam kekecewaannya sendiri. Lihatlah.. Karma just found its way.

(THE END)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [01]


            Shilla baru saja keluar dari kamar mamanya dengan wajah ditekuk. Ia menutup daun pintu ruangan tersebut dengan keras. Bunyi berdebam menggema di seluruh penjuru istananya. Shilla berjalan cepat menuju ruang keluarga, mengambil sebuah kunci mobil yang tergantung di dekat televisi, dan berjalan menuju pekarangan istananya. Mobilnya terparkir di sana.

            Shilla masuk ke dalam mobilnya lalu menyalakan mesinnya dengan cepat. Begitu mesin mobilnya menyala, Shilla segera memacunya menuju rumah Cakka. Tak peduli dengan bayangan mamanya yang sedang berlari menyusulnya. Samar-samar Shilla mendengar teriakan mamanya.

            “SHILLA! KEMBALI! KAMU ADA JADWAL NYANYI HARI INI! KAMU GA BISA MEMBATALKANNYA BEGITU AJA! KAMU BISA DITUNTUT, SHILL! SHILLAAA!!”

^^^

            Oik sedang membubuhkan setangkai kecil peterseli dan sebuah cherry merah di atas pastel tutupnya ketika terdengar sebuah ketukan dari pintu utama apartemennya. Cepat-cepat ia lepas celemeknya dan berlari untuk membukakan pintu.

            Tubuh Alvin berada hanya beberapa jengkal dari tubuh Oik, “Pagi, peri kecil!” Alvin bergerak untuk mencium pipi kiri Oik.

            Oik mengangguk dan terkekeh, “Kamu ini, ya!” Oik melayangkan tinjunya ke lengan Alvin, “Aku lagi finishing pastel tutup, tau ga? You’re so annoying, Vin!”

            “Pastel tutup?” Alvin pun berlari menuju dapur dan mendapati seloyang pastel tutup berada di atas meja makan.

            Oik bergegas menghampiri Alvin dengan berkacak pinggang. Begitu telah berada di samping Alvin, Oik semakin kesal ketika mendapati lelaki bermata sipit itu sedang meniup-niup pastel tutupnya. Oik pun mencubit pinggang Alvin dengan keras.

            “Apa, sih, Ik?” tanya Alvin, lelaki itu meringis kesakitan.

            Oik mengambil alih seloyang pastel tutup tersebut, “Ini untuk tetangga baru itu, yang di sebelah. Aku khusus masak untuk mereka! Enak aja kamu mau comot-comot.”

            Alvin memanyunkan bibirnya, “Aku juga mau, Ik..”

            “Iya, iya.. Nanti aku masak untuk kamu. Nanti, ya. Setelah kita pulang. Kamu ga lupa, kan, kalau hari ini kita ada jadwal motret?” cerocos Oik.

            Alvin hanya mengangguk-angguk mendengarkan kata-kata berderet dari Oik. Keduanya beranjak menuju ruang tengah. Alvin segera duduk di sofa empuk Oik.

            “Ya sudah, kamu tunggu sini aja dulu. Aku mau kasih ini ke tetangga baru itu. Jangan kemana-mana. Jangan berantakin apartemenku.” pesan Oik, Alvin kembali mengangguk.

            Oik pun berjalan menjauh. Alvin mengiringi kepergian Oik dalam diam. Ia menatap punggung gadis chubby itu dengan pandangan yang sulit diartikan...

^^^

            Begitu sampai, Oik segera mengetuk perlahan pintu di hadapannya dengan tangan kiri –tangan kanannya memegang seloyang pastel tutup–. Tak selang lama, pintu pun terbuka. Oik tersenyum lebar pada lelaki berbehel yang membukakan pintu untuknya itu.

            “Cari siapa, ya?” tanya lelaki berbehel tersebut dengan bingung.

            Oik terkesiap. Ia pun memindahkan seloyang pastel tutup tersebut ke tangan kirinya. Ia segera mengulurkan tangan kanannya pada lelaki itu, “Gue Oik. Apartemen gue di sebelah itu.” Oik menunjuk ruangan apartemennya.

            Lelaki itu menyambut uluran tangan Oik dengan tersenyum, “Gue Ozy. Gue baru di sini. Kemarin baru sampai. Ini aja masih beres-beres. Sorry, deh, belum bisa kenalan sama lo dan yang lainnya.”

            Oik mengangguk, “Oh ya, ini gue ada sesuatu buat lo dan temen-temen seapartemen lo.” Oik menyerahkan pastel tutup tersebut pada Ozy.

            Ozy menerimanya dengan senyuman lebar, “Wah, thanks, ya! Masuk dulu, yuk! Gue kenalin sama temen-temen gue yang lain.”

            Oik kembali mengangguk. Ia pun melangkah masuk ke dalam ruangan apartemen itu. Suasana di dalam masih berantakan. Baru beberapa perabot saja yang sudah terletak di tempatnya. Wallpaper dengan motif garis-garis berwarna hitam dan putih terhampar di seluruh dinding ruangan apartemen tersebut.

            “Duduk dulu, Ik. Gue panggilin yang lainnya dulu.” Ozy mengedik pada sofa berwarna abu-abu di dekatnya.

            Oik tersenyum, “Oke..”

            Ozy pun berlalu seraya berteriak keras-keras, “Woy! Bocah-bocah! Kemari, cepet! Kenalan sama tetangga, dong!”

            Ozy kembali dengan tangan yang sudah kosong. Entah ia letakkan dimana pastel tutup dari Oik. Lalu, ada empat laki-laki lain yang berjalan di belakang Ozy. Sejauh ini, Oik masih menyimpulkan bahwa mereka berlima bersahabat karena wajah kelimanya tidak mirip sama sekali.

            “Ik, kenalin.. Ini temen-temen gue.” Ozy melihat keempat lelaki lainnya dengan tersenyum.

            Oik pun berdiri, menatap keempat lelaki itu dengan tersenyum lebar. Seorang dengan rambut gondrong, seorang dengan mata belo, seorang dengan tubuh kurus dan tinggi, lalu seorang lagi dengan kulit hitam manisnya. Oik melambaikan tangannya pada keempat lelaki itu.

            “Hay! Gue Oik! Sorry, deh, ganggu acara lo semua beres-beres.” Oik menampilkan cengiran lebarnya.

            “Iya, ga apa-apa. Sekali lagi, thanks pastel tutupnya!” sahut Ozy.

            “Gue Ray. Salam kenal, Oik!” Oik berjabat tangan dengan lelaki berambut gondrong itu.

            “Gue Deva. Kalau mau ke Bali, calling gue aja. Ntar gue temenin lo keliling Bali.” lelaki bermata belo itu tersenyum lebar pada Oik.

            Oik kini ganti menyalami lelaki berkulit hitam manis itu, “Panggil gue Patton. Sorry, ya, belum sempet ke apartemen lo. Kan, kita yang ornag baru di sini, eh, malah lo yang ngunjungin kita-kita.”

            “Lo bisa panggil gue Gabriel. Iel juga boleh.” Oik tersenyum pada lelaki yang ia salami paling akhir.

            “Eh, sorry, nih. Gue ga bisa lama-lama di sini. Gue ada jadwal motret.” sesal Oik.

            “Lo fotografer, Ik?” tanya Ray, ia terlihat kaget.

            Oik mengangguk. Kelima lelaki itu pun mengantar Oik sampai depan ruang apartemennya. Oik melambaikan tangan pada mereka semua. Tak sengaja, pandangan Oik bertabrakan dengan pandangan Gabriel. Oik menyipitkan matanya, merasa kenal dengan bola mata hitam legam milik Gabriel.

^^^

            Seorang gadis berambut pendek sedang membuka halaman demi halaman sebuah album foto yang telah usang di sebuah ruangan yang sangat gelap. Ruangan itu hanya disinari oleh sebuah lilin kecil yang dibawa gadis itu. Di sampingnya, ada sebuah kardus berisikan album-album foto usang yang sengaja ia letakkan di sini. Ia sembunyikan.

            “Ini semua gara-gara lo!” pekiknya, telunjuknya menunjuk seseorang yang tertangkap kamera sedang bermain-main di taman bersama dua orang lainnya.

            Emosi gadis itu telah sampai di ubun-ubun, “Untung aja gue bisa hentiin lo. Kalau ga gue ga tau apa yang udah terjadi.”

            Dengan amarahnya, gadis itu menutup album foto usang di tangannya dengan keras. Lalu ia mengembalikannya, bersama dengan album-album yang lainnya. Ia mengambil lilin kecil tersebut dan meninggalkan ruangan gelap itu dengan emosi yang masih membara.

^^^

            Shilla memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Cakka. Ia pun mematikan mesinnya dan turun. Ia disambut hangat oleh kakak Cakka. Keduanya berpelukan sejenak dan cipika-cipiki. Mereka berdua melenggang menuju dapur rumah Cakka. Kebetulan kakak Cakka sedang membuat cake.

            “Gila, ya. Ga kerasa aja lo bakalan jadi adik ipar gue bentar lagi.” desis kakak Cakka.

            Shilla mengangguk bersemangat, “Iya, Mba’. Gue juga ga nyangka bakalan secepat ini. Gue juga ga nyangka Cakka nurut aja pas gue ajakin married.”

            “Eh, Shill, lo ngapain kemari? Bukannya ada jadwal nyanyi?”

            Shilla mendadak berubah kesal, “Udah gue batalin semuanya, Mba’. Khusus buat hari ini. Gue sempat adu mulut sama nyokap juga tadi. Gue mau ajak Cakka keliling.”

            Kakak Cakka mengangguk, “Ingat, ya, Shill.. Lo jangan bilang kalau lo cancel semua jadwal nyanyi lo ke Cakka. Apalagi lo sampai bilang lo sempat adu mulut sama nyokap. Jangan sampai. Ntar Cakka ilfeel.”

            Shilla mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya, “Sip, Mba’! Sekarang, Cakkanya mana?”

            “Ada di kamarnya. Gue panggilin dulu, deh. Lo tunggu sini aja. Cobain cake gue juga.”

            Shilla tersenyum lebar, menyertai kepergian kakak Cakka. Ia mencomot sepotong cake buatan kakak Cakka dan memakannya perlahan. Matanya menerawang, menatap sebuah bingkai foto yang terpajang di hadapannya. Ia, Cakka, dan seorang lagi. Semasa mereka kecil. Shilla tersenyum penuh arti.

^^^

            Gadis itu membuka pintu kamar Cakka perlahan. Ia mendapati adiknya itu sedang tersenyum kecil memandang sebuah foto. Ada tiga orang di dalamnya. Seorang laki-laki kecil yang diapit oleh dua orang perempuan kecil. Ia pun memutuskan untuk menghampiri Cakka, memeluk lengan adiknya itu dari samping.

            “Lo ngapain, Kka?” tanyanya.

            Cakka menengok padanya dan tersenyum, “Eh, Mba’ Agni. Ga ngapain-ngapain, Mba’. Lala lucu, ya?”

            Kakak Cakka –Agni– tersenyum samar, “Iya, lo benar. Shilla memang lucu. Tapi itu dulu. Sekarang dia cantik banget.”

            Cakka mendengus kesal, mendapati kakaknya yang sengaja mengalihkan pembicaraan. Agni meliriknya sekilas. Mulutnya sudah akan terbuka, namun urung. Ia simpan dulu rahasia itu rapat-rapat. Tunggu saja nanti. Ia akan memberitahu Cakka kalau waktunya sudah tepat.

            “Ada Shilla, tuh. Di dapur. Dia mau jemput lo. Katanya dia mau ajak lo keliling. Gih, susul dia.” Agni menggeret lengan Cakka menuju dapur.

            Cakka pasrah. Ia membiarkan kakaknya itu menariknya hingga ke dapur. Namun, ia masih memandangi foto itu. Dan, dengan berat hati, ia berhenti memandangnya ketika ia sudah beranjak keluar dari kamarnya.

            Benar kata kakaknya. Ada Shilla di sana. Gadis semampai itu sedang menyantap cake buatan kakaknya dengan tersenyum sendiri. Cakka berdiri di hadapannya. Mengucek lembut puncak kepala gadis itu dan ikut tersenyum.

            Agni memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti ada ‘sesuatu’ di sana. Ya, sesuatu. Sesuatu yang ia sembunyikan. Seiring dengan terdengarkan percakapan sejoli itu, Agni berangsur menyingkir. Ia bergegas menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.

            Shilla berdiri. Keduanya berjalan ke pekarangan rumah Cakka. Shilla bergelayut manja di lengan lelakinya itu. Cakka duduk di belakang kemudi dan Shilla duduk manis di sampingnya. Cakka mengemudikan mobil Shilla sesuai dengan instruksi gadis itu.

            “Kamu ga ada jadwal nyanyi hari ini?” tanya Cakka, melirik Shilla sekilas.

            Shilla menggeleng pelan, “Ga ada. Aku sengaja kosongin hari ini.” Shilla menjawab dengan menunduk.

            “Oke. Kita ke mana sekarang?” tanya Cakka lagi.

            “Oicagraph. Agent fotografi yang akan kita pakai untuk wedding nanti.” Shilla menatap Cakka dengan senyum mengembang.

^^^

            Oik dan Alvin baru saja rampung memotret di Bukit Bintang. Seluruh krunya sudah membereskan perlatan dan memasukkannya ke dalam mobil. Klien pun sudah pulang. Kini tinggal mereka berdua yang masih ada di sana, bersandar di mobil Alvin.

            “Kamu kapan bisa temani aku ke Bandung lagi?” tanya Oik, memandang Alvin dari ekor matanya.

            Alvin tersenyum kecil, “Kamu kapan bisa temani aku ke Malang lagi?” tanyanya balik.

            Oik memukul lengan Alvin, “Kamu ini!”

            Oik ngambek. Ia segera masuk ke dalam mobil Alvin, duduk di samping kemudi. Alvin terkekeh pelan. Ia pun ikut masuk ke dalam mobil. Alvin menyalan mesin mobilnya dengan senyum tertahan. Oik memang selalu begini.

            “Jangan ngambek, dong, peri kecil..” bisiknya, sesaat setelah mencium pipi gadis di sampingnya itu.

            Wajah Oik pias. Ia memalingkan pandangannya ke samping agar Alvin tak melihatnya. Alvin tertawa keras. Ia segera mengemudikan mobilnya menuju kantor mereka, Oicagraph Studio.

^^^

            Cakka dan Shilla memasukki Oicagraph Studio dengan pandangan kagum. Foto-foto apik terpampang di kiri dan kanan mereka. Itu semua foto-foto yang diambil oleh Oik dan Alvin. Mata Shilla menyapu seluruh lobby dengan mata berbinar.

            “Lihat, Kka.. Aku ga salah pilih agent fotografi, kan? Kamu bisa lihat sendiri foto-foto mereka ga ada yang jelek.” desis Shilla, Cakka mengangguk lugas.

            “Permisi, Mas, Mba’.. Ada yang bisa saya bantu?” sebuah suara menyadarkan keduanya.

            Keduanya terkesiap, Cakka dan Shilla mendapati seorang gadis berdagu tirus berdiri di belakang sebuah meja yang penuh dengan album foto tester Oicagraph. Cakka dan Shilla memandangnya dengan senyum. Lalu, keduanya duduk pada kursi yang telah disediakan. Gadis berdagu tirus itu juga duduk.

            “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ulang.

            Shilla mengangguk bersemangat, “Iya, iya. Ini.. Saya butuh jasa fotografer untuk foto pre-wedding kami.”

            Ketiganya pun mulai berbicara serius soal kesepakatan tempat, harga, dll. Ditengah-tengah perbincangan seru tersebut, pintu utama Oicagraph kembali terbuka. Ada Oik dan Alvin di sana. Keduanya tertawa riang dengan tangan kiri Alvin yang bertengger di pundak Oik.

            “Ify!” sapa Oik, dengan sisa-sisa tawanya.

            Gadis berdagu tirus itu menengok dan tertawa lebar, “Ssstt! Ada klien baru! Kalian duduk dulu aja sana!” usirnya.

            Oik dan Alvin terkekeh. Keduanya duduk tak jauh dari Ify, menatap Ify yang sedang bernegosiasi dengan klien baru mereka. Beberapa menit setelahnya, akhirnya mereka mencapai kata sepakat. Seluruhnya telah disetujui. Harga, tempat, pakaian, perlengkapan, dll. Mengetahui itu, Oik dan Alvin akhirnya memutuskan untuk bergabung.

            Oik dan Alvin berdiri di samping Ify. Oik segera menyingkirkan tangan Alvin dari pundaknya. Sebagai gantinya, ia memeluk pinggang Alvin dari samping.

            “Yoooooo!! Undangannya mana?” Ify berteriak, memanggil seseorang.

            Tak lama kemudian, seorang laki-laki berwajah manis datang dengan tergopoh-gopoh. Ia membawa dua buah undangan.

            “Fy, undangannya sisa satu. Untuk siapa lagi?” tanyanya.

            “Ya untuk Alvin dan Oik, dong, Yo! Kamu gimana, sih?” pekik Ify tertahan.

            Lelaki manis itu menyerahkan selembar undangan pada Alvin dan Oik, “Nih! Masih sisa satu, Ifyku yang cantik jelita!” ia menunjukkan lagi selembar undangan pada Ify.

            “Aduh, untuk siapa lagi?” Ify bergumam.

            “Kenapa ga untuk kami aja?” sahut Shilla, lalu dirasakannya Cakka menyodok perutnya pelan, “Ga apa-apa, kan?”

            Lelaki itu menatap Ify, Ify hanya mengangguk dengan berat hati. Akhirnya, selembar undangan itu pun sampai di tangan Shilla. Shilla tersenyum, membukanya perlahan.

            “Oh, kalian akan menikah?” tanya Cakka, ketika ia baru saja mengintip sekilas isi undangan tersebut.

            Ify dan lelaki manis itu mengangguk bersamaan dan tersenyum tipis, “Sempatkan datang, ya.” Ify menimpali.

            Cakka dan Shilla mengangguk, “Alyssa Saufika Umari dan Mario Stevano Aditya Haling.” Shilla bergumam, membaca setiap huruf pada undangan tersebut.

            Setelah mengobrol beberapa menit, akhirnya Shilla dan Cakka pun memutuskan untuk pamit. Masih banyak tempat-tempat yang mereka harus datangi sehubungan dengan pernikahan mereka. Cakka dan Shilla menyalami Oik, Alvin, Ify, dan Rio satu-persatu. Oik mendadak terhuyung, pandangannya kabur. Untung saja Cakka menangkap tubuhnya. Rio, Ify, Cakka, dan Shilla mendadak panik.

            “Kamu terlalu capek, Ik. Istirahat dulu, ya. Biar aku yang ngantar Cakka dan Shilla ke depan.” Alvin memandang Oik dalam.

            Oik hanya mengangguk dengan sesekali memijit pelipisnya yang terasa ngilu. Alvin pun mengantar Cakka dan Shilla ke depan. Cakka menyeret kakinya yang mendadak berat meninggalkan tempat itu. Cakka mengedik ke belakang, mendapati Rio dan Ify yang sedang mengurus Oik.

            Begitu sampai di pelataran parkir, keduanya segera masuk ke dalam mobil dan melesat. Meninggalkan Alvin yang melambaikan tangan pada mereka dengan rahang mengeras.

            Begitu Alvin menyadari Cakka dan Shilla sudah bergerak menjauh serta Oik yang telah diurus Rio dan Ify, lelaki bermata sipit itu segera menghampiri sebuah mobil yang terparkir. Pengemudinya segera membuka kaca mobil ketika menyadari ada Alvin di luar.

^^^

            Keadaan Oik berangsur membaik. Pandangannya sudah tak kabur lagi. Ify duduk di sampingnya, mengelus lengannya dengan wajah khawatir. Rio sedang ke belakang, mengambilkannya minuman dan obat.

            “Makanya, Ik.. Jangan terlalu diforsir kalau bekerja. Jadinya begini, kan.” Ify berdecak.

            Oik sama sekali tak menghiraukan perkataan Ify. Ia sibuk memandang Alvin yang sedang berbicara dengan seseorang di luar sana. Oicagraph memang berdindingkan kaca tembus pandang. Alhasil, Oik dapat melihat Alvin dan seorang gadis berwajah riang di luar. Mendadak Oik merasa gelisah.

            Dia siapa? Alvin lagi ngomong sama siapa?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PHOTOGRAPHY IN LOVE [Prologue]

            Oik Cahya Ramadlani –atau yang biasa dipanggil Oik– adalah seorang fotografer professional sekaligus pemilik sebuah agent fotografi terbesar di Jakarta. Oik tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang terletak di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan.

            Oik juga memiliki seorang asisten bernama Alvin. Dia adalah lelaki Chinese asal Malang yang tinggal seapartemen dengannya. Oh, bukan, bukan. Mereka tidak tinggal bersama. Ruang apartemen milik Alvin berseberangan dengan milik Oik. Hal ini membuat segalanya menjadi lebih mudah mengingat jam terbang keduanya yang tinggi.

            Kedua orang tua Oik tinggal di sebuah daerah terpencil di kawasan Kabupaten Bandung yang sangat tenang dan asri. Biasanya, sekali dalam sebulan Oik mengunjungi mereka. Membawa Alvin juga. Keduanya lantas membidik setiap objek yang ada di sepanjang pematang sawah dan perkebunan di sana.

^^^

            Terlihat sebuah konferensi pers yang digelar oleh seorang public figure kenamaan Indonesia di kediamannya di daerah Serpong. Sudah sejak subuh tadi rumah di kawasan terelit seantero Serpong itu ramai didatangi para wartawan. Barulah setelah para wartawan itu memenuhi teras rumahnya –yang seluas lapangan sepak bola itu–, konferensi pers dimulai.

            “Selamat pagi!” sapanya –seorang gadis semampai dengan rambut ikal yang tergerai indah– dengan menunjukkan deretan giginya yang dihiasi behel berkaret pink.

            “Pagi, Mba’ Shilla..” sapa para wartawan balik.

            Konferensi pers pun dimulai. Para wartawan segera memberondong gadis itu dengan ribuan pertanyaan. Dua orang lain –seorang manager dan seorang laki-laki yang saling bertaut tangan dengan gadis itu– hanya tersenyum setiap para wartawan menanyakan soal ‘itu’.

            Shilla –lengkapnya Ashilla Zahrantiara– adalah seorang penyanyi solo pendatang baru yang langsung meledak dengan lagu dan suaranya. Managernya adalah ibundanya sendiri. Semenjak anak sulungnya itu memutuskan untuk terjun dibidang tarik suara, beliau memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dokter dan berkomitmen untuk selalu menjaga putrinya itu dengan menjadi seorang manager. Sedangkan laki-laki itu, ia adalah---,

            “Iya, dia Cakka. Calon suami saya. Kami akan menikah bulan depan. Segala sesuatunya sudah dikonsep. Tinggal menjalankannya saja. Sebenarnya, kami adalah sahabat sejak kecil.” Shilla menutup penjelasannya dengan tersenyum lebar, laki-laki itu pun –Cakka– juga ikut tersenyum lebar.

^^^

            Oik mengendarai Peugeot 206 miliknya menuju Oicagraph, agent fotografi yang ia bangun beberapa tahun lalu. Ia bersenandung kecil mengikuti alunan lagu yang diputar melalui tape mobilnya. Asal kalian tau saja, suara fotografer professional ini tak kalah bagus dengan suara para penyanyi Indonesia saat ini.

            Tiba-tiba saja, mobil di depan Oik berhenti. Dengan cekatan, Oik mengerem mobilnya dan mengumpat habis-habisan. Oik melihat para pengemudi mobil di depannya berbondong-bondong keluar dan berjalan menuju satu titik. Karena penasaran, Oik pun ikut turun.

            Oik memaku di tempat. Di depannya, sebuah kecelakaan lalu lintas baru saja terjadi. Darah tercecer dimana-mana. Sekelebat bayangan muncul di kepala Oik. Sekelebat lagi. Sekelebat lagi. Lagi. Lagi. Dan---,

            “Aaaahhh!!” Oik berteriak kesakitan seraya memegangi kepalanya.

            Suasana ketika itu cukup ramai sehingga tak seorangpun mendengar jeritan Oik. Oik akhirnya memutuskan untuk kembali ke mobilnya. Ia berjalan sempoyongan. Tangan kanannya bertumpu pada setiap mobil yang ia lewati.

            Setelah sampai tepat di depan mobilnya, ia membuka pintu di belakang kemudi dan langsung menjatuhkan dirinya di sana. Kepalanya masih terasa amat sakit. Oik menutup matanya rapat-rapat dan menelungkupkan kepalanya di atas stir mobil.

^^^

            “.....Bagaimana?.....”

            “.....Baik-baik saja. Aman.....”

            “.....Ya sudah. Tolong kamu terus pantau dia, ya. Bagaimana pun juga---,.....”

            “.....Iya, iya. Aku tau. Aku juga sebenarnya ga tega.....”

            “.....Yang penting, pastikan dia tidak ingat akan hal itu.....”

            “.....Iya, tante. Saya jamin itu.....”


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS