Ify
baru saja dijemput oleh papanya, Sivia bersama Duto, dan Oik entah ke mana
dengan Cakka. Kini tinggal Pricilla seorang. Ia memang biasa menjadi siswi yang
selalu pulang paling akhir di sekolah ini. Untuk apalagi kalau bukan agar para
temannya tidak tau soal dirinya dan Pangeran Cupunya?
Pricilla
berjalan pelan menuju ujung jalan sekolahnya. Di ujung jalan tersebut ada
sebuah pertigaan. Cafe favoritnya dan Gabriel berada di kanan jalan, tepat
sebelum belokan. Biasanya Gabriel akan memarkirkan sepeda gunungnya di trotoar
dan masuk ke dalam cafe, duduk di belakang sebuah kaca tembus pandang dengan
mata yang terus memperhatikan keadaan di luar.
Baru
saja Pricilla sampai di depan cafe tersebut, ia sudah mendapati bayangan tubuh
Gabriel di tempat duduk favorit mereka. Pricilla melambai riang ke laki-laki
manis di balik kaca tersebut, masuk ke dalam, lalu duduk di hadapannya.
“Udah
lama, Gab?” tanya Pricilla seraya meletakkan tasnya di atas meja.
Gabriel
menggeleng dan tersenyum tipis, “Gimana Ify?”
“Dia
patah hati banget,” Pricilla menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya
menatap Gabriel lurus-lurus, dengan bibir yang sedikit mengerucut.
“Terus
gimana? Memangnya Shilla ga tau kalau Ify juga suka Rio?” tanya Gabriel.
Gadis
itu mengangkat bahunya, “Ga tau.” Pricilla mendesah pelan. “Ify, sih, ga mau
jujur sama perasaannya sendiri ke Shilla mulai awal. Padahal aku, Sivia, dan
Oik sudah nyaranin dia buat bilang itu ke Shilla. Kamu tau sendiri Shilla suka
curhat ke Ify soal PDKTnya dengan Rio.”
“Kasihan
Ify..” Gabriel hanya mampu tersenyum tipis.
Pricilla
tersenyum lebar dalam hati. Ini yang ia suka dari Gabriel. Oh, salah! Sifat
Gabriel yang seperti inilah salah satu alas an mengapa ia begitu menyayangi
laki-laki manis di hadapannya. Gabriel bisa bersikap sebagai teman, sahabat,
kakak, dan pacar untuknya. Pricilla menganggapnya sebagai teman yang selalu mau
mendengarkan ceritanya. Pricilla menganggapnya sebagai sahabat yang selalu ada
setiap saat ia butuh. Pricilla menganggapnya sebagai kakak yang dengan mudah
meredam emosinya. Dan Pricilla menganggapnya sebagai pacar yang selalu mewarnai
dunianya.
“Prissy?”
Pricilla
terkesiap. Ia pun sadar dari lamunannya. Ia menatap Gabriel, laki-laki itu
sedang menatapnya lurus-lurus dengan tangan memegang daftar menu. Pricilla
menunduk, ada sebuah daftar menu juga yang berada tepat di atas mejanya.
“Kamu
mau pesan apa?” lanjut Gabriel.
“Terserah
kamu aja,” kemudian Pricilla menyerahkan daftar menu itu pada waitress.
“Tumben.”
Gabriel berkata pelan. Gabriel pun berbalik pada waitress, “Ice Lemon Tea
dua, Strawberry Waffle juga dua.
Dibungkus aja, Mbak.”
Setelah
mencatat pesanan tersebut, waitress
pun berlalu. Gabriel memandang Pricilla tanpa henti. Hal itu membuat Pricilla
salah tingkah sendiri.
“Kamu
apaan, sih, Gab?” Pricilla menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Gabriel
tertawa. Dan, dalam sekejap, Pricilla sudah merasakan tangan Gabriel yang
menyingkirkan kedua telapak tangan dari wajahnya. Pricilla tersenyum kecil,
merasakan kepakan sayap kupu-kupu yang begitu banyak di perutnya.
“Ada
masalah apa lagi?” Gabriel bertanya dengan suara lembut.
“Ada
tugas, Gab. Susah.” Pricilla merajuk dengan bibir mengerucut.
“Pantes..”
Gabriel menahan tawanya. “Mau dibantu?”
Pricilla
mengangguk dengan bersemangat, “Mau! Mau banget! Langsung ke rumahku aja, ya?”
Dan
tanpa menunggu jawaban dari Gabriel, Pricilla tersenyum lebar. Pricilla tau,
tanpa Gabriel menjawab pun, pasti laki-laki itu setuju untuk langsung ke
rumahnya. dan Gabriel pun tau bahwa Pricilla mengerti arti senyumannya barusan.
Waitress
pun datang dengan membawa sebuah tas plastik pesanan mereka. Pricilla menerima
tas plastik tersebut dengan tersenyum lebar.
“Eh,
ngapain?” Pricilla mencegah Gabriel yang akan membayar pesanan mereka.
“Mau
bayar, dong, Pris.” Gabriel menatapnya tak mengerti.
Pricilla
meletakkan tangan Gabriel di atas meja dan mengambil dompet miliknya dalam tas,
“Biar aku yang bayar. Itung-itung tanda terima kasih karena kamu mau bantuin
aku ngerjain tugas.” Pricilla mengedipkan sebelah matanya pada Gabriel dan
tertawa kencang.
Setelah
membayar pesanan, mereka keluar dari cafe tersebut dan menuju kediaman
Pricilla. Gabriel membonceng Pricilla dengan sepeda gunungnya. Jadilah Pricilla
duduk di depan Gabriel dengan posisi menyamping.
**
“Sampai!”
Oik memekik senang ketika ia dan Cakka telah tiba di depan kompleks
perumahannya.
Cakka
pun mematikan mesin motornya dan melepas helmnya. Ia melihat Oik yang tengah
mencoba turun dari motornya melalui kaca spion. Rupanya Oik sedang ribet dengan
rok sekolahnya yang panjang itu. Cakka terkikik pelan.
Cakka
sedikit membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkap kedua tangan Oik dan
meletakkannya di pinggangnya. Refleks, Oik kembali duduk, tidak jadi turun dari
motor Cakka.
“Ga
bisa turun, kan? Jalan-jalan aja, yuk!” Cakka menengok pada Oik.
“Hih!
Cakka, apa banget, sih?” Oik segera mengibas-ngibaskan kedua tangan Cakka yang
masih menggenggam tangannya erat-erat. “Malu, tau, kalau dilihat orang!”
“Ga
ada yang lihat, Oik. Sepi.” Cakka berkata dengan kalem.
“Lepasin
tangannya.” Oik merengek. “Aku mau pulang, nih!”
Dengan
terpaksa, Cakka melepaskan genggaman eratnya pada tangan Oik. Dan pada saat itu
juga, Oik menarik tangannya dari pinggang Cakka. Cakka tersenyum miring
mengiringi turunnya Oik dari boncengan motornya.
Oik
melepaskan helm yang ia pinjam dari Cakka dan mengembalikan pada sang empunya,
“Nih, makasih..”
“Ngambek,
ya?” tanya Cakka, ia menatap Oik tepat di manik matanya.
Oik
menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Lain kali jangan gitu lagi, ya.”
“Iya.”
Cakka kembali menggenggam kedua tangan Oik dan meletakkannya tepat di dadanya,
“Dimaafin, kan?”
“Iya,
iya..” Oik terkikik pelan, merasakan hangat yang membungkus kedua telapak
tangannya.
“Yakin
ga mau jalan?” tanya Cakka lagi.
Oik
menggeleng yakin, “Ga, nanti mama curiga, Kka. Tumben, sih, ngajak jalan?”
“Lagi
bosen aja di rumah. Ga ada kerjaan.” Cakka nyengir lebar.
“Bilang
aja ga mau pisah sama aku!” Oik mencibir.
Setelah
mengobrol untuk beberapa menit, Cakka pun berlalu. Oik menatap kepergian Cakka
dengan tersenyum kecil. Setelah itu, Oik pun segera berjalan menuju rumahnya.
Ia takut mamanya curiga karena biasanya ia sudah sampai di rumah lima belas
menit yang lalu. Ini semua gara-gara Cakka yang terus mengajaknya ngobrol. Huh!
“Mama!”
Oik berteriak memanggil mamanya dari teras rumah.
Tak
ada jawaban. Selesai melepas sepatunya, Oik pun masuk ke dalam. Ia berjalan
menuju dapur dan mendapati mamanya yang sedang memasak. Oik hanya menggelengkan
kepalanya. Kemudian, gadis itu duduk di meja makan dengan mata yang terus
memperhatikan mamanya.
“Mama
masak apa?” tanya Oik.
Mamanya
berbalik. Rupanya wanita paruh baya itu baru menyadari kehadiran putrinya.
“Kamu tadi pagi berangkat sama siapa, Ik?” tanya beliau.
“Hah?”
Oik hanya mampu melongo menatap mamanya.
Mama
Oik berkacak pinggang, “Tadi Tante Rina, yang rumahnya di depan kompleks itu,
bilang ke Mama kalau tadi pagi dia lihat kamu berangkat dibonceng cowok. Cowok
itu siapa, Ik?”
“Eh..”
Oik terkesiap, “Tante Rina salah lihat, kali, Ma!”
“Ga
usah bohong lagi, Oik! Mana mungkin Tante Indah juga salah lihat? Tadi pagi
Tante Indah juga lihat kamu!” Mama Oik berteriak jengah.
“Mama
ini kenapa, sih?” Oik berdiri dan berkacak pinggang pula di depan mamanya.
“Mama terlalu overprotektif sama aku! Ga boleh ini, lah. Ga boleh itu, lah. Oik
udah besar, Ma! Salah kalau Oik udah mulai dekat sama cowok?” Oik menyeka air
mata yang mulai berlinangan di pipinya. “Tau begini, Oik ikut papa aja ke Jogja.
Biar, deh, meskipun ada istri baru papa. Yang jelas, mereka ga akan
se-overprotektif Mama!”
Oik
berbalik, berlari menuju kamarnya dan menutupnya dengan kencang sehingga
menimbulkan bunyi berdebam yang menggema hingga ke dapur. Mama Oik hanya
terdiam melihat kepergian putrinya. Terlalu overproetktif, kah, dia?
“Ini
semua untuk kebaikan kamu juga, Ik..”
Air
mata pun juga ikut berlinangan di pipi beliau..
**
Ting
tong!
Bel
rumah Sivia baru saja berbunyi. Kebetulan Sivia sedang home alone saat ini. Dengan
malas, Sivia meletakkan iPad whitenya
di atas kasur dan bergegas membukakan pintu. Gadis chubby itu menggerutu pelan. Bagaimana tidak? Ia belum selesai
bermain Temple Run tadi. Dan gara-gara
bunyi bel sialan itu, runnernya harus
rela jatuh ke sungai.
“Siapa?”
tanya Sivia saat pintu rumahnya belum benar-benar terbuka.
“Hay!”
Sivia mendapati seorang laki-laki berkulit putih sedang tersenyum kikuk di
depan pintu rumahnya.
“Alvin?
Ngapain? Tau rumah aku dari mana?” tanya Sivia beruntun, kaget.
Laki-laki
berkulit putih itu, Alvin, menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal
dengan nyengir lebar, “Main aja, Siv. Bosen di rumah.”
Sivia
membulatkan mulutnya. Ia pun membukakan pintu rumahnya lebih lebar agar Alvin
dapat masuk. Setelah kembali menutup pintu rumahnya, Sivia segera mengajak
Alvin ke taman samping rumahnya. Keduanya duduk bersebelahan –dengan dipisahkan
sebuah meja kayu kecil–, menghadap ke sebuah kolam ikan berukuran mini.
“Tau
alamatku dari siapa, Vin?” tanya Sivia, melirik laki-laki di sampingnya
sekilas.
“Hah?
Eh.. Dari Ozy.” Alvin menjawabnya dengan terbata.
Ozy?
Oh. Orang itu, rupanya. Entah apa lagi yang telah laki-laki tengil itu
ceritakan pada Alvin mengenai dirinya. Ozy adalah salah satu teman SMP Sivia
yang masih satu sekolah dengannya sampai saat ini. Semua orang memiliki
pemikiran yang sama soal laki-laki tengil ini, ceplas-ceplos!
“Astaga!”
Sivia menepuk jidatnya. “Mau minum apa, Vin?”
“Orange juice enak, deh, Siv.” Alvin kembali
menunjukkan cengiran terlebarnya.
Sivia
pun bangkit berdiri, “Ya udah, tunggu sini bentar. Aku ambilin dulu.”
Sivia
berlalu menuju dapur. Tak lama kemudian, Sivia kembali dengan membawa sebuah
nampan berisikan dua gelas orange juice
dan beberapa DVD film-film yang new
release. Sivia meletakkan nampan tersebut di atas meja kayu kecil dan
kembali duduk.
“Mau
nonton film, Vin? Aku ada banyak DVD baru, belum aku lihat.” Sivia membolak-balikkan
satu-persatu DVD yang berada di tangannya.
“Boleh.”
Alvin meletakkan gelas orange juicenya
dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke Sivia. “Ada kaset apa aja, Siv?”
“Macem-macem,
sih. Kamu sukanya genre apa?” Sivia
masih tak melepaskan pandangannya dari DVD-DVD di tangannya.
“Action,
ada?”
Sivia
mengangguk kecil, “The Mother’s Day. Gimana?” Sivia mengerling pada Alvin.
Setelah
memastikan Alvin mengangguk, Sivia segera mengajak Alvin ke ruang keluarga
kediamannya. Sivia yang membawa DVD-DVD dan Alvin membawa nampan berisikan
gelas miliknya dan milik Sivia.
Sivia
mempersilahkan Alvin duduk di sebuah sofa di depan home theatrenya sementara dirinya berlalu ke dapur untuk mengambil
beberapa camilan. Kemudian, Sivia mengambil tempat tepat di samping Alvin. Saat
itu pula, Sivia menyerahkan sebuah stoples berisikan keripik kentang pada
Alvin.
“Kamu
punya banyak DVD, Siv?” tanya Alvin.
“Iya.”
Sivia tersenyum simpul. “Kalau bosen gini, home
alone di rumah, biasanya aku nonton sendirian.”
“Sendirian?
Aku berarti ganggu kamu, dong, ini..” Alvin terkekeh.
“Bisa
aja kamu!” Sivia ikut tertawa, kemudian menyenggol pelan tubuh Alvin.
“DVD
film action ada banyak, kan?” Alvin menatap Sivia dari samping.
Sivia
mengangguk bersemangat, “Ada banyak banget! Kebetulan aku, ayah, dan bunda ga
suka film menye-menye yang nguras air mata. Jadi, biasanya kami beli DVD film action atau horror sekalian.”
Alvin
mengangguk mengerti.
Satu
lagi hal kecil yang membedakan Sivia dari gadis-gadis yang lain. Alvin tersenyum
kecil. Sivia benar-benar berbeda dengannya
yang sangat tergila-gila dengan film bergenre
romance. Benar kata Ozy, Sivia
berbeda dari gadis-gadis yang lain. Alvin menunggu kejutan kecil apalagi yang
akan ia ketahui soal gadis di sampingnya ini. Apalagi yang membedakannya dengan
gadis-gadis lainnya?
**
Ify
menutup pintu kamarnya dengan lesu. Ia baru saja selesai dinner dengan papa, mama, kakak, dan adiknya. Selama dinner tadi pun ia tak banyak bicara. Kakaknya
sampai bingung. Padahal, biasanya, Ify akan mengoceh panjang-lebar ketika
dinner.
Ify
duduk di bibir ranjangnya, menghadap ke sebuah nakas yang di atasnya terdapat
berbagai macam foto yang terpigura. Ada foto Ify bersama keluarganya, bersama
tetangganya, bersama teman SDnya, bersama teman SMPnya, bersama teman SMAnya –Sivia,
Pricilla, Oik–, bersama Shilla –teman les sekaligus teman sekolahnya–. Ada satu
foto lagi yang menarik perhatiannya. Foto seorang laki-laki berwajah manis yang
sedang tertawa lebar.
“Rio..”
Ify berbisik pelan, wajahnya kembali muram.
“Baik-baik,
ya, sama Shilla. Jaga temanku yang satu itu.” lanjutnya.
Ify
tersenyum sedih. Perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh foto Rio. Jemarinya
menelusuri setiap inchi wajah Rio di foto tersebut. Setelahnya, dengan berat
hati, Ify membalikkan foto itu, membuat wajah Rio tak lagi dapat dilihat,
membuat pigura tersebut mencium nakasnya.
Tangan
Ify berpindah pada sebuah pigura di samping pigura foto Rio. Fotonya bersama
Shilla yang sedang bermain piano bersama di tempat les musiknya. Ia dan Shilla
terlihat sedang terssenyum lebar ke arah kamera, memperlihatkan behel
masing-masing. Lihatlah betapa kompaknya ia dengan Shilla sampai-sampai warna
karet behel mereka pun sama.. Biru muda.
“Hay,
Shill.. Yang langgeng, ya, sama Rio. Aku sudah seneng, kok, ngelihat kalian
berdua seneng.” Ify kembali tersenyum muram.
Ify
melakukan hal yang sama pada pigura fotonya bersama Shilla, membaliknya. Setelah
itu, Ify membaringkan tubuhnya di ranjang berseprai oranye miliknya. Ia menatap
langit-langit kamarnya dengan muram.
Tak
lama kemudian –beberapa menit setelah ia mencoba memejamkan matanya–, ponselnya
berdering. Ify meraba-raba bawah bantalnya dengan malas. Setelah melihat layar
ponselnya dan mengetahui bahwa Shilla lah yang menelepon, Ify menegakkan tubuhnya
lalu mengangkat telepon dari Shilla.
“Halo?
Ify? Ngangkatnya lama banget!” suara melengking Shilla langsung terdengar, Ify
menjauhkan ponsel dari telinganya untuk beberapa saat.
“Udah
malam, Shill! Jangan teriak-teriak!” Ify balas berteriak dan, kemudian, tertawa
pelan.
“Ify,
ih! Kamu barusan juga teriak, Neng!” suara Shilla terdengar sangat
menggemaskan, Ify sampai kembali tertawa.
“Ngapain
telepon? Biasanya, juga, chat di BBM!
Tumben.” Ify menahan napas, pasti Shilla akan membicarakan soal Rio.
Shilla
menghembuskan napasnya di ujung sana. Dan, Ify tau betul bahwa Shilla sedang
tersenyum simpul meskipun ia tak melihatnya. Ify sudah terlampau mengerti
Shilla dan begitu pula sebaliknya. Tanpa Shilla memberitahunya pun, Ify tau
Shilla akan mengocehkan Rio panjang-lebar mala mini.
“Rio,
Fy! Kamu tau, kan, tadi dia nembak aku waktu istirahat kedua?” Shilla terdengar
sangat bersemangat.
Ify
mengangguk, “Tau, Shill..” Ify tersenyum muram untuk yang kesekian kalinya hari
ini.
“Tadi
dia nganterin aku pulang, Fy! Dia juga minta langsung dikenalin sama mama dan
papa. Tapi sayangnya papa lagi kerja. Jadinya aku cuman ngenalin dia ke mama. Dan,
kamu tau, Fy? Mama bilang kalau aku ga salah pilih cowok, Fy! Mama bilang
begitu!”
Ify
mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terlontar dari bibir Shilla. Dan,
setiap kata itu membuat luka di hatinya semakin dalam. Tapi mau bagaimana lagi?
Sudah kepalang tanggung kalau ia mengakui perasaannya pada Rio sekarang. Semuanya
sudah terlambat dan ia tau betul bahwa waktu tak mungkin bisa diulang kembali.
“Halo?
Fy? Kamu masih di sana, kan? Halo?” Shilla bingung juga lama-kelamaan karena ia
tak mendengar suara Ify sama sekali, hanya deru napas Ify yang ia dengar
semenjak sepuluh menit yang lalu.
“Eh?”
Ify terkesiap. “Iya, iya! Aku masih di sini. Aku...” Ify sibuk mencari alasan, “Lagi
ngeberesin kamar, nih. Iya, ngeberesin kamar! Kamu tau sendiri Khalif nakal
banget, sukanya berantakin kamar aku. Iya, begitu..”
“Ya
ampun!” Shilla kembali terpekik di ujung sana. “Aku ganggu kamu, ya, Fy? Ya udah,
udahan, deh! Kamu lanjutin aja beres-beresnya, terus langsung tidur. Besok kita
sekolah, Fy. Jangan tidur kemaleman, ya! Bye,
sweetheart!” sebelum telepon
benar-benar terputus, Ify sempat mendengar Shilla mencium gagang teleponnya.
Ify
tersenyum kecut, kembali meletakkan ponsel di bawah bantalnya.
Lihat..
Bagaimana Ify bisa membenci Shilla? Bagaimana bisa Ify membenci teman yang
begitu perhatian pada dirinya? Bagaimana bisa Ify membenci gadis cantik itu
walaupun ia telah merenggut kebahagiaan Ify? Shilla terlalu berharga bagi Ify
untuk dibenci. Ya. Dan keadaan akan selalu begitu. Selamanya. Seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar