Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

JE T'AIME [02]


            Ify baru saja dijemput oleh papanya, Sivia bersama Duto, dan Oik entah ke mana dengan Cakka. Kini tinggal Pricilla seorang. Ia memang biasa menjadi siswi yang selalu pulang paling akhir di sekolah ini. Untuk apalagi kalau bukan agar para temannya tidak tau soal dirinya dan Pangeran Cupunya?

            Pricilla berjalan pelan menuju ujung jalan sekolahnya. Di ujung jalan tersebut ada sebuah pertigaan. Cafe favoritnya dan Gabriel berada di kanan jalan, tepat sebelum belokan. Biasanya Gabriel akan memarkirkan sepeda gunungnya di trotoar dan masuk ke dalam cafe, duduk di belakang sebuah kaca tembus pandang dengan mata yang terus memperhatikan keadaan di luar.

            Baru saja Pricilla sampai di depan cafe tersebut, ia sudah mendapati bayangan tubuh Gabriel di tempat duduk favorit mereka. Pricilla melambai riang ke laki-laki manis di balik kaca tersebut, masuk ke dalam, lalu duduk di hadapannya.

            “Udah lama, Gab?” tanya Pricilla seraya meletakkan tasnya di atas meja.

            Gabriel menggeleng dan tersenyum tipis, “Gimana Ify?”

            “Dia patah hati banget,” Pricilla menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya menatap Gabriel lurus-lurus, dengan bibir yang sedikit mengerucut.

            “Terus gimana? Memangnya Shilla ga tau kalau Ify juga suka Rio?” tanya Gabriel.

            Gadis itu mengangkat bahunya, “Ga tau.” Pricilla mendesah pelan. “Ify, sih, ga mau jujur sama perasaannya sendiri ke Shilla mulai awal. Padahal aku, Sivia, dan Oik sudah nyaranin dia buat bilang itu ke Shilla. Kamu tau sendiri Shilla suka curhat ke Ify soal PDKTnya dengan Rio.”

            “Kasihan Ify..” Gabriel hanya mampu tersenyum tipis.

            Pricilla tersenyum lebar dalam hati. Ini yang ia suka dari Gabriel. Oh, salah! Sifat Gabriel yang seperti inilah salah satu alas an mengapa ia begitu menyayangi laki-laki manis di hadapannya. Gabriel bisa bersikap sebagai teman, sahabat, kakak, dan pacar untuknya. Pricilla menganggapnya sebagai teman yang selalu mau mendengarkan ceritanya. Pricilla menganggapnya sebagai sahabat yang selalu ada setiap saat ia butuh. Pricilla menganggapnya sebagai kakak yang dengan mudah meredam emosinya. Dan Pricilla menganggapnya sebagai pacar yang selalu mewarnai dunianya.

            “Prissy?”

            Pricilla terkesiap. Ia pun sadar dari lamunannya. Ia menatap Gabriel, laki-laki itu sedang menatapnya lurus-lurus dengan tangan memegang daftar menu. Pricilla menunduk, ada sebuah daftar menu juga yang berada tepat di atas mejanya.

            “Kamu mau pesan apa?” lanjut Gabriel.

            “Terserah kamu aja,” kemudian Pricilla menyerahkan daftar menu itu pada waitress.

            “Tumben.” Gabriel berkata pelan. Gabriel pun berbalik pada waitress, “Ice Lemon Tea dua, Strawberry Waffle juga dua. Dibungkus aja, Mbak.”

            Setelah mencatat pesanan tersebut, waitress pun berlalu. Gabriel memandang Pricilla tanpa henti. Hal itu membuat Pricilla salah tingkah sendiri.

            “Kamu apaan, sih, Gab?” Pricilla menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

            Gabriel tertawa. Dan, dalam sekejap, Pricilla sudah merasakan tangan Gabriel yang menyingkirkan kedua telapak tangan dari wajahnya. Pricilla tersenyum kecil, merasakan kepakan sayap kupu-kupu yang begitu banyak di perutnya.

            “Ada masalah apa lagi?” Gabriel bertanya dengan suara lembut.

            “Ada tugas, Gab. Susah.” Pricilla merajuk dengan bibir mengerucut.

            “Pantes..” Gabriel menahan tawanya. “Mau dibantu?”

            Pricilla mengangguk dengan bersemangat, “Mau! Mau banget! Langsung ke rumahku aja, ya?”

            Dan tanpa menunggu jawaban dari Gabriel, Pricilla tersenyum lebar. Pricilla tau, tanpa Gabriel menjawab pun, pasti laki-laki itu setuju untuk langsung ke rumahnya. dan Gabriel pun tau bahwa Pricilla mengerti arti senyumannya barusan.

            Waitress pun datang dengan membawa sebuah tas plastik pesanan mereka. Pricilla menerima tas plastik tersebut dengan tersenyum lebar.

            “Eh, ngapain?” Pricilla mencegah Gabriel yang akan membayar pesanan mereka.

            “Mau bayar, dong, Pris.” Gabriel menatapnya tak mengerti.

            Pricilla meletakkan tangan Gabriel di atas meja dan mengambil dompet miliknya dalam tas, “Biar aku yang bayar. Itung-itung tanda terima kasih karena kamu mau bantuin aku ngerjain tugas.” Pricilla mengedipkan sebelah matanya pada Gabriel dan tertawa kencang.

            Setelah membayar pesanan, mereka keluar dari cafe tersebut dan menuju kediaman Pricilla. Gabriel membonceng Pricilla dengan sepeda gunungnya. Jadilah Pricilla duduk di depan Gabriel dengan posisi menyamping.

**

            “Sampai!” Oik memekik senang ketika ia dan Cakka telah tiba di depan kompleks perumahannya.

            Cakka pun mematikan mesin motornya dan melepas helmnya. Ia melihat Oik yang tengah mencoba turun dari motornya melalui kaca spion. Rupanya Oik sedang ribet dengan rok sekolahnya yang panjang itu. Cakka terkikik pelan.

            Cakka sedikit membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkap kedua tangan Oik dan meletakkannya di pinggangnya. Refleks, Oik kembali duduk, tidak jadi turun dari motor Cakka.

            “Ga bisa turun, kan? Jalan-jalan aja, yuk!” Cakka menengok pada Oik.

            “Hih! Cakka, apa banget, sih?” Oik segera mengibas-ngibaskan kedua tangan Cakka yang masih menggenggam tangannya erat-erat. “Malu, tau, kalau dilihat orang!”

            “Ga ada yang lihat, Oik. Sepi.” Cakka berkata dengan kalem.

            “Lepasin tangannya.” Oik merengek. “Aku mau pulang, nih!”

            Dengan terpaksa, Cakka melepaskan genggaman eratnya pada tangan Oik. Dan pada saat itu juga, Oik menarik tangannya dari pinggang Cakka. Cakka tersenyum miring mengiringi turunnya Oik dari boncengan motornya.

            Oik melepaskan helm yang ia pinjam dari Cakka dan mengembalikan pada sang empunya, “Nih, makasih..”

            “Ngambek, ya?” tanya Cakka, ia menatap Oik tepat di manik matanya.

            Oik menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Lain kali jangan gitu lagi, ya.”

            “Iya.” Cakka kembali menggenggam kedua tangan Oik dan meletakkannya tepat di dadanya, “Dimaafin, kan?”

            “Iya, iya..” Oik terkikik pelan, merasakan hangat yang membungkus kedua telapak tangannya.

            “Yakin ga mau jalan?” tanya Cakka lagi.

            Oik menggeleng yakin, “Ga, nanti mama curiga, Kka. Tumben, sih, ngajak jalan?”

            “Lagi bosen aja di rumah. Ga ada kerjaan.” Cakka nyengir lebar.

            “Bilang aja ga mau pisah sama aku!” Oik mencibir.

            Setelah mengobrol untuk beberapa menit, Cakka pun berlalu. Oik menatap kepergian Cakka dengan tersenyum kecil. Setelah itu, Oik pun segera berjalan menuju rumahnya. Ia takut mamanya curiga karena biasanya ia sudah sampai di rumah lima belas menit yang lalu. Ini semua gara-gara Cakka yang terus mengajaknya ngobrol. Huh!

            “Mama!” Oik berteriak memanggil mamanya dari teras rumah.

            Tak ada jawaban. Selesai melepas sepatunya, Oik pun masuk ke dalam. Ia berjalan menuju dapur dan mendapati mamanya yang sedang memasak. Oik hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian, gadis itu duduk di meja makan dengan mata yang terus memperhatikan mamanya.

            “Mama masak apa?” tanya Oik.

            Mamanya berbalik. Rupanya wanita paruh baya itu baru menyadari kehadiran putrinya. “Kamu tadi pagi berangkat sama siapa, Ik?” tanya beliau.

            “Hah?” Oik hanya mampu melongo menatap mamanya.

            Mama Oik berkacak pinggang, “Tadi Tante Rina, yang rumahnya di depan kompleks itu, bilang ke Mama kalau tadi pagi dia lihat kamu berangkat dibonceng cowok. Cowok itu siapa, Ik?”

            “Eh..” Oik terkesiap, “Tante Rina salah lihat, kali, Ma!”

            “Ga usah bohong lagi, Oik! Mana mungkin Tante Indah juga salah lihat? Tadi pagi Tante Indah juga lihat kamu!” Mama Oik berteriak jengah.

            “Mama ini kenapa, sih?” Oik berdiri dan berkacak pinggang pula di depan mamanya. “Mama terlalu overprotektif sama aku! Ga boleh ini, lah. Ga boleh itu, lah. Oik udah besar, Ma! Salah kalau Oik udah mulai dekat sama cowok?” Oik menyeka air mata yang mulai berlinangan di pipinya. “Tau begini, Oik ikut papa aja ke Jogja. Biar, deh, meskipun ada istri baru papa. Yang jelas, mereka ga akan se-overprotektif Mama!”

            Oik berbalik, berlari menuju kamarnya dan menutupnya dengan kencang sehingga menimbulkan bunyi berdebam yang menggema hingga ke dapur. Mama Oik hanya terdiam melihat kepergian putrinya. Terlalu overproetktif, kah, dia?

            “Ini semua untuk kebaikan kamu juga, Ik..”

            Air mata pun juga ikut berlinangan di pipi beliau..

**

            Ting tong!

            Bel rumah Sivia baru saja berbunyi. Kebetulan Sivia sedang home alone saat ini. Dengan malas, Sivia meletakkan iPad whitenya di atas kasur dan bergegas membukakan pintu. Gadis chubby itu menggerutu pelan. Bagaimana tidak? Ia belum selesai bermain Temple Run tadi. Dan gara-gara bunyi bel sialan itu, runnernya harus rela jatuh ke sungai.

            “Siapa?” tanya Sivia saat pintu rumahnya belum benar-benar terbuka.

            “Hay!” Sivia mendapati seorang laki-laki berkulit putih sedang tersenyum kikuk di depan pintu rumahnya.

            “Alvin? Ngapain? Tau rumah aku dari mana?” tanya Sivia beruntun, kaget.

            Laki-laki berkulit putih itu, Alvin, menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal dengan nyengir lebar, “Main aja, Siv. Bosen di rumah.”

            Sivia membulatkan mulutnya. Ia pun membukakan pintu rumahnya lebih lebar agar Alvin dapat masuk. Setelah kembali menutup pintu rumahnya, Sivia segera mengajak Alvin ke taman samping rumahnya. Keduanya duduk bersebelahan –dengan dipisahkan sebuah meja kayu kecil–, menghadap ke sebuah kolam ikan berukuran mini.

            “Tau alamatku dari siapa, Vin?” tanya Sivia, melirik laki-laki di sampingnya sekilas.

            “Hah? Eh.. Dari Ozy.” Alvin menjawabnya dengan terbata.

            Ozy? Oh. Orang itu, rupanya. Entah apa lagi yang telah laki-laki tengil itu ceritakan pada Alvin mengenai dirinya. Ozy adalah salah satu teman SMP Sivia yang masih satu sekolah dengannya sampai saat ini. Semua orang memiliki pemikiran yang sama soal laki-laki tengil ini, ceplas-ceplos!

            “Astaga!” Sivia menepuk jidatnya. “Mau minum apa, Vin?”

            Orange juice enak, deh, Siv.” Alvin kembali menunjukkan cengiran terlebarnya.

            Sivia pun bangkit berdiri, “Ya udah, tunggu sini bentar. Aku ambilin dulu.”

            Sivia berlalu menuju dapur. Tak lama kemudian, Sivia kembali dengan membawa sebuah nampan berisikan dua gelas orange juice dan beberapa DVD film-film yang new release. Sivia meletakkan nampan tersebut di atas meja kayu kecil dan kembali duduk.

            “Mau nonton film, Vin? Aku ada banyak DVD baru, belum aku lihat.” Sivia membolak-balikkan satu-persatu DVD yang berada di tangannya.

            “Boleh.” Alvin meletakkan gelas orange juicenya dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke Sivia. “Ada kaset apa aja, Siv?”

            “Macem-macem, sih. Kamu sukanya genre apa?” Sivia masih tak melepaskan pandangannya dari DVD-DVD di tangannya.

            “Action, ada?”

            Sivia mengangguk kecil, “The Mother’s Day. Gimana?” Sivia mengerling pada Alvin.

            Setelah memastikan Alvin mengangguk, Sivia segera mengajak Alvin ke ruang keluarga kediamannya. Sivia yang membawa DVD-DVD dan Alvin membawa nampan berisikan gelas miliknya dan milik Sivia.

            Sivia mempersilahkan Alvin duduk di sebuah sofa di depan home theatrenya sementara dirinya berlalu ke dapur untuk mengambil beberapa camilan. Kemudian, Sivia mengambil tempat tepat di samping Alvin. Saat itu pula, Sivia menyerahkan sebuah stoples berisikan keripik kentang pada Alvin.

            “Kamu punya banyak DVD, Siv?” tanya Alvin.

            “Iya.” Sivia tersenyum simpul. “Kalau bosen gini, home alone di rumah, biasanya aku nonton sendirian.”

            “Sendirian? Aku berarti ganggu kamu, dong, ini..” Alvin terkekeh.

            “Bisa aja kamu!” Sivia ikut tertawa, kemudian menyenggol pelan tubuh Alvin.

            “DVD film action ada banyak, kan?” Alvin menatap Sivia dari samping.

            Sivia mengangguk bersemangat, “Ada banyak banget! Kebetulan aku, ayah, dan bunda ga suka film menye-menye yang nguras air mata. Jadi, biasanya kami beli DVD film action atau horror sekalian.”

            Alvin mengangguk mengerti.

            Satu lagi hal kecil yang membedakan Sivia dari gadis-gadis yang lain. Alvin tersenyum kecil. Sivia benar-benar berbeda dengannya yang sangat tergila-gila dengan film bergenre romance. Benar kata Ozy, Sivia berbeda dari gadis-gadis yang lain. Alvin menunggu kejutan kecil apalagi yang akan ia ketahui soal gadis di sampingnya ini. Apalagi yang membedakannya dengan gadis-gadis lainnya?

**

            Ify menutup pintu kamarnya dengan lesu. Ia baru saja selesai dinner dengan papa, mama, kakak, dan adiknya. Selama dinner tadi pun ia tak banyak bicara. Kakaknya sampai bingung. Padahal, biasanya, Ify akan mengoceh panjang-lebar ketika dinner.

            Ify duduk di bibir ranjangnya, menghadap ke sebuah nakas yang di atasnya terdapat berbagai macam foto yang terpigura. Ada foto Ify bersama keluarganya, bersama tetangganya, bersama teman SDnya, bersama teman SMPnya, bersama teman SMAnya –Sivia, Pricilla, Oik–, bersama Shilla –teman les sekaligus teman sekolahnya–. Ada satu foto lagi yang menarik perhatiannya. Foto seorang laki-laki berwajah manis yang sedang tertawa lebar.

            “Rio..” Ify berbisik pelan, wajahnya kembali muram.

            “Baik-baik, ya, sama Shilla. Jaga temanku yang satu itu.” lanjutnya.

            Ify tersenyum sedih. Perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh foto Rio. Jemarinya menelusuri setiap inchi wajah Rio di foto tersebut. Setelahnya, dengan berat hati, Ify membalikkan foto itu, membuat wajah Rio tak lagi dapat dilihat, membuat pigura tersebut mencium nakasnya.

            Tangan Ify berpindah pada sebuah pigura di samping pigura foto Rio. Fotonya bersama Shilla yang sedang bermain piano bersama di tempat les musiknya. Ia dan Shilla terlihat sedang terssenyum lebar ke arah kamera, memperlihatkan behel masing-masing. Lihatlah betapa kompaknya ia dengan Shilla sampai-sampai warna karet behel mereka pun sama.. Biru muda.

            “Hay, Shill.. Yang langgeng, ya, sama Rio. Aku sudah seneng, kok, ngelihat kalian berdua seneng.” Ify kembali tersenyum muram.

            Ify melakukan hal yang sama pada pigura fotonya bersama Shilla, membaliknya. Setelah itu, Ify membaringkan tubuhnya di ranjang berseprai oranye miliknya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan muram.

            Tak lama kemudian –beberapa menit setelah ia mencoba memejamkan matanya–, ponselnya berdering. Ify meraba-raba bawah bantalnya dengan malas. Setelah melihat layar ponselnya dan mengetahui bahwa Shilla lah yang menelepon, Ify menegakkan tubuhnya lalu mengangkat telepon dari Shilla.

            “Halo? Ify? Ngangkatnya lama banget!” suara melengking Shilla langsung terdengar, Ify menjauhkan ponsel dari telinganya untuk beberapa saat.

            “Udah malam, Shill! Jangan teriak-teriak!” Ify balas berteriak dan, kemudian, tertawa pelan.

            “Ify, ih! Kamu barusan juga teriak, Neng!” suara Shilla terdengar sangat menggemaskan, Ify sampai kembali tertawa.

            “Ngapain telepon? Biasanya, juga, chat di BBM! Tumben.” Ify menahan napas, pasti Shilla akan membicarakan soal Rio.

            Shilla menghembuskan napasnya di ujung sana. Dan, Ify tau betul bahwa Shilla sedang tersenyum simpul meskipun ia tak melihatnya. Ify sudah terlampau mengerti Shilla dan begitu pula sebaliknya. Tanpa Shilla memberitahunya pun, Ify tau Shilla akan mengocehkan Rio panjang-lebar mala mini.

            “Rio, Fy! Kamu tau, kan, tadi dia nembak aku waktu istirahat kedua?” Shilla terdengar sangat bersemangat.

            Ify mengangguk, “Tau, Shill..” Ify tersenyum muram untuk yang kesekian kalinya hari ini.

            “Tadi dia nganterin aku pulang, Fy! Dia juga minta langsung dikenalin sama mama dan papa. Tapi sayangnya papa lagi kerja. Jadinya aku cuman ngenalin dia ke mama. Dan, kamu tau, Fy? Mama bilang kalau aku ga salah pilih cowok, Fy! Mama bilang begitu!”

            Ify mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terlontar dari bibir Shilla. Dan, setiap kata itu membuat luka di hatinya semakin dalam. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah kepalang tanggung kalau ia mengakui perasaannya pada Rio sekarang. Semuanya sudah terlambat dan ia tau betul bahwa waktu tak mungkin bisa diulang kembali.

            “Halo? Fy? Kamu masih di sana, kan? Halo?” Shilla bingung juga lama-kelamaan karena ia tak mendengar suara Ify sama sekali, hanya deru napas Ify yang ia dengar semenjak sepuluh menit yang lalu.

            “Eh?” Ify terkesiap. “Iya, iya! Aku masih di sini. Aku...” Ify sibuk mencari alasan, “Lagi ngeberesin kamar, nih. Iya, ngeberesin kamar! Kamu tau sendiri Khalif nakal banget, sukanya berantakin kamar aku. Iya, begitu..”

            “Ya ampun!” Shilla kembali terpekik di ujung sana. “Aku ganggu kamu, ya, Fy? Ya udah, udahan, deh! Kamu lanjutin aja beres-beresnya, terus langsung tidur. Besok kita sekolah, Fy. Jangan tidur kemaleman, ya! Bye, sweetheart!” sebelum telepon benar-benar terputus, Ify sempat mendengar Shilla mencium gagang teleponnya.

            Ify tersenyum kecut, kembali meletakkan ponsel di bawah bantalnya.

            Lihat.. Bagaimana Ify bisa membenci Shilla? Bagaimana bisa Ify membenci teman yang begitu perhatian pada dirinya? Bagaimana bisa Ify membenci gadis cantik itu walaupun ia telah merenggut kebahagiaan Ify? Shilla terlalu berharga bagi Ify untuk dibenci. Ya. Dan keadaan akan selalu begitu. Selamanya. Seterusnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar