#NowPlaying: Abdul & The Coffee
Theory – Bodoh Untuk Setia
**
Bel
istirahat baru saja berbunyi tetapi hampir seluruh penghuni XI IPA 3 telah berbondong-bondong
menuju kantin. Hanya menyisakan segelintir siswa saja di sini. Hanya ada aku,
Sivia, Ify, dan empat orang lagi.
Aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kelas. Dan, tanpa bisa kucegah,
pandanganku berhenti bada sebuah bangku di pojok kanan belakang kelas yang
hanya terisi oleh satu orang. Biasanya bangku itu terisi oleh dua orang. Tetapi
semenjak awal semester dua kemarin, bangku ini hanya terisi oleh Obiet.
Perasaan
apa ini? Kenapa tiba-tiba kesedihan yang telah aku pendam dalam-dalam kembali
menyeruak keluar? Tidak. Aku tidak boleh menangis di sini. Sivia dan Ify hanya
tahu bahwa aku sudah bisa merelakannya, merelakan seseorang yang biasa duduk
bersama Obiet itu.
“Ik?”
Aku
cepat-cepat menengok ke arah Ify dan Sivia yang duduk di hadapanku. Mereka
duduk sebangku dan aku duduk dengan Acha yang kini tengah berada di kantin.
“Apa,
Fy?” tanyaku.
Ify
tidak menjawab. Ia hanya mengedik pada segerombolan gadis-gadis cantik yang
sedang mengobrol heboh tak jauh dari bangku kami. Ada Shilla, Febby, dan Zevana
di sana. Oh, Shilla. Gadis memuakkan itu lagi. Kapan, sih, dia akan mencapai
titik jenihnya untuk menggangguku terus?
“Iya,
Feb, Ze! Cakka udah dapet banyak temen, gitu, di sana. Tiap hari dia ngabarin
gue. Kami biasa chat YM sampai malem.
Kami ngobrolin banyak hal!” Shilla berseru heboh dengan mata berbinar-binar.
“Terus?
Terus, Shill?” Mata Febby tak kalah berbinarnya dengan mata Shilla.
“Dia
bilang dia baik-baik aja di Spore. Dia betah, sih. Tapi kadang dia masih suka
keinget sama... gue.” Shilla terlihat tersipu malu. “Ya udah, gue bilang aja
kalau gue juga kangen sama dia. The most
beautiful night ever, deh!”
Aku
tertunduk lesu. Bahkan, sampai sekarang pun Cakka tak mengabarkan bagaimana
keadaannya di sana kepadaku. Tapi mengapa dia mengabarkan keadaannya pada
Shilla? Mengapa dia berkata pada Shilla bahwa dia selalu teringat olehnya?
Mengapa mereka bisa sampai chat
berdua –sedangkan setiap kali aku online
YM, Cakka selalu offline–?
“Berisik
banget, sih, tuh cewek?!” desis Ify.
“Tenang,
Fy..” Sivia tersenyum simpul. Tak berapa lama kemudian, Sivia telah melemparkan
sebongkah kertas yang telah ia remas-remas kepada Shilla dkk.
“Siapa,
nih, yang ngelempar?” tanya Shilla, matanya nyalang menatap kami bertiga.
“Gue!”
Sivia berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Kenapa lo? Ga suka?
Apa mau gue sumpel sekalian mulut lo pake tuh kertas?”
“Lo!”
Shilla mencak-mencak sendiri di tempatnya dengan emosi tertahan. “Lo, nih,
pasti yang nyuruh Sivia!” Shilla menunjuk-nunjukkku dengan tidak sopan. “Lo
pasti iri karena Cakka ga ngarain lo sama sekali dan dia malah ngabarin gue.
Iya, kan?”
Aku
hanya menatapnya dengan datar. Kenapa aku harus marah? Toh, bukan aku yang
menyuruh Sivia melemparkan bongkahan kertas itu padanya. Aku melirik Sivia.
Sahabatku yang satu itu masih saja berdiri dengan mengacungkan kepalan
tangannya pada Shilla. Sementara itu, Ify menarik-narik lengannya agar kembali
duduk.
“Udah,
udah.. Jangan ngeladenin Sivia! Lo mau dibantai sama dia?” Zevana menarik-narik
lengan Shilla agar keluar kelas bersamanya dan juga Febby.
“Awas
lo!” Shilla masih saja sempat melayangkan tatapan tajamnya padaku saat ia sudah
berada di ambang pintu kelas.
Sivia
akhirnya kembali duduk. Ia menepuk-nepuk bahunya seraya tersenyum miring.
“Begini, kan, enak. Kelas kembali nyaman dan tenteram kalau ga ada mereka
bertiga.”
Aku
kembali menengok ke belakang. Obiet terduduk seorang diri di sana. Baru kali
ini Obiet duduk sendiri. Selama hampir tiga tahun ia bersekolah di sini, ia
selalu duduk dengan Cakka. Wajar saja kalau ia merasa sangat kehilangan sosok
Cakka. Lihat, Obiet –yang hanya sahabat Cakka– saja sebegitu kehilangannya.
Apalagi aku, pacarnya? Eh, tunggu! Pacar? Kami sudah putus. Ya, sudah putus.
Karena gadis memuakkan itu, Shilla.
Lalu,
tiba-tiba saja Obiet sudah berdiri di sampingku seraya tersenyum. “Ik, lo pasti
kuat. Cakka ga lama, kok, di sana. Cuman setahun. Tahun depan, juga, balik.”
Aku
tersenyum kikuk dan mengangguk pelan.
“Nanti
malem gue boleh ke rumah lo?” tanya Obiet. Aku kembali mengangguk. “Oke. See you tonight, Ik!”
Obiet
pun melenggang entah kemana –sepertinya ke kantin–. Aku kembali menunduk. Apa
dia bilang? Setahun? Tidak lama? Hey! Dua minggu tidak melihat Cakka saja
serasa seperti seabad. Jadi, bagaimana dia bisa berkata bahwa setahun itu tidak
lama?
“Ik,
lo ga ada rencana buat.....” Ify menggantungkan kalimatnya, membuatku
mengangkat sebelah alis dengan wajah penasaran. “PDKT sama Obiet, kan?”
“Hah?”
Aku melongo hebat karena perkataan Ify barusan.
“Ya,
jadian sama Obiet. Ga ada rencana untuk itu sama sekali, Ik? Gue sama Ify, sih,
dukung-dukung aja. Toh, Obiet orangnya baik dan kami berdua yakin kalau dia ga
bakalan nyakitin lo kayak Cakka nyakitin lo.” Sivia memandangku dengan lembut.
Aku
hanya tersenyum tipis. Mereka berdua pun kembali sibuk dengan bekal makanan
masing-masing. Aku menatap kosong ke arah sandwich
tunaku. Sivia dan Ify tak tahu bahwa Cakka tak tergantikan... oleh siapapun
itu.
**
Aku
membuka pintu rumahku dan mendapati Obiet sedang tersenyum di teras. Aku pun
membuka pintu tersebut lebar-lebar untuknya.
“Masuk,
Biet..” tawarku.
Obiet
menggeleng, “Di luar aja, Ik. Gue ga lama, kok.”
Aku
pun mengangguk. Aku mempersilahkan Obiet duduk di sebuah bangku kayu di teras
rumahku. Aku duduk di sampingnya. Obiet terlihat bingung, entah membingungkan
apa. Beberapa menit kesunyian menyelimuti kami.
“Lo
mau minum apa, Biet? Biar gue bikinin.” Sebagai tuan rumah yang baik, aku
menawarkan mengambilkan minum untuk tamuku.
Obiet
kembali menggeleng, “Ga usah, Ik. Gue cuman... mau ngomong bentar.”
“Mau
ngomongin apa?” tanyaku, menatapnya dari samping.
Obiet
pun kembali memfokuskan pandangannya kepadaku, “Soal Cakka..”
Aku
mengalihkan pandanganku dari sosok Obiet dengan hati yang –entah mengapa–
tiba-tiba saja berdenyut sakit, “Bisa ga, sih, kita ga usah ngebahas dia?”
“Ga
bisa, Ik.” Obiet meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat. “Justru gue ke
sini karena mau ngomongin itu.”
Aku
mengangguk mengerti dan kemudian tersenyum sinis, “Oh, dia ngutus lo kemari
buat ngewakilin dirinya minta maaf ke gue? Gitu?”
“Bukan.”
Obiet menggelengkan kepalanya keras-keras. “Ini soal permintaan terakhir Cakka
sebelum dia berangkat ke Spore, Ik. Dan itu menyangkut lo. Menyangkut gue
juga.”
“Apalagi?”
tanyaku dengan sebal. “Dia nyuruh gue buat bersikap manis ke Shilla? Atau, dia
nyuruh gue buat jagain Shilla di sini? Hm, mungkin juga dia nyuruh gue
nyampaiin pesannya buat Shilla yang isinya dia udah jatuh cinta setengah mampus
sama cewek itu. Jadi, yang mana?” tantangku. Aku menatap Obiet dengan perasaan
campur aduk.
“Bukan,
Ik. Ini sama sekali ga ada sangkut-pautnya sama Shilla.” Aku mendengus kesal.
“Ini cuman soal gue dan lo.”
“Terserah
lo, deh. Apaan? Cepet! Gue masih punya banyak kerjaan.”
“Dia
nyuruh gue buat jagain lo selama dia belum balik ke Indonesia.” Obiet
mengatakannya dengan lembut, menggenggam tanganku dengan semakin erat, dan
menatapku lurus-lurus.
“Apa?!”
**
Obiet
baru saja pulang beberapa menit yang lalu setelah tadi dipaksa habis-habisan
oleh Mama untuk dinner bersama kami.
Obiet –yang memang sangat tidak bisa menolak permintaan orang– akhirnya
menyetujuinya. Kami dinner dengan
tenang. Sesekali, Mama dan Papa mengajak Obiet berbicara.
Mama
dan Papa juga baru tahu mengenai aku dan Cakka yang sudah putus malam ini.
Obiet yang memberitahu mereka. Dia pikir, kedua orangtuaku telah mengetahuinya.
Dan aku menyadari Mama menatapku bingung saat itu.
Aku
benar-benar tak habis pikir dengan Cakka. Untuk apa dia menyuruh Obiet
menjagaku? Apakah dia masih peduli denganku? Tidak mungkin. Aku yakin seluruh
perhatiannya telah direnggut Shilla dariku. Mengapa juga dia bisa chat bersama Shilla –sedangkan dia sama
sekali tidak chat denganku–? Bukankah
itu sudah benar-benar membuktikan bahwa dia berpaling dariku?
“Ik,
Mama boleh masuk?” Suara lembut Mama terdengar diiringi dengan bunyi ketukan
pada pintu kamarku.
Aku
mengangguk seraya menghela napas dengan lelah. “Masuk aja, Ma.”
Beberapa
detik kemudian, aku telah mendapati Mama berjalan ke arahku. Beliau duduk di
bibir ranjangku, sedangkan aku duduk di tengah-tengah ranjangku dengan memeluk
boneka lumba-lumba kecil berwarna pink.
“Kamu
putus sama Cakka, Ik?” tanya Mama, beliau memandangku tak percaya.
Aku
mengangguk, “Iya, Ma.” Sebuah senyuman pahit telah terukir di bibir tipisku.
“Dia udah sama yang lainnya.”
“Maksud
kamu?”
Bahkan
Mama tidak percaya dengan Cakka yang nyeleweng bersama Shilla. Mama saja –yang
tidak setiap hari bertemu Cakka– sampai tak percaya dengan kenyataan yang ada.
Apalagi aku? Apalagi aku yang melewati ratusan hari bersamanya? Bahkan, sebelum
kejadian itu pun kami baik-baik saja.
“Waktu
kita ambil rapor kemarin, aku ga sengaja lihat dia di taman. Lagi duduk di
bawah pohon. Aku ga tau kalau ternyata dia lagi sama... Shilla.” Aku bercerita
dengan emosi naik-turun dan perasaan tak menentu.
“Cakka...
selingkuh, maksud kamu?” ulang Mama, masih belum percaya.
Aku
mengangguk tegas, “Iya.” Jeda beberapa detik. “Aku juga lihat Shilla nyium
Cakka, Ma. Apalagi namanya kalau bukan selingkuh?” Dan saat itu pula aku
memeluk Mama, air mata kembali membanjiri pipiku karena mengingat penyelewengan
Cakka.
Mama
membelai rambutku pelan, “Lalu? Kamu ga minta penjelasan Cakka?”
Aku
melepas pelukan Mama, “Penjelasan apalagi, Ma? Oik udah ngelihat dengan mata
kepala Oik sendiri waktu mereka lagi berduaan di taman! Dan, bahkan, setelah
Oik maki-maki mereka berdua, Cakka sama sekali ga nahan Oik yang udah jalan
ninggalin mereka waktu itu.” Aku menjerit frustasi.
Mama
menggenggam tanganku, berusaha mengalirkan energi-energi positif padaku. “Kamu
masih sayang Cakka, Ik?”
Aku
menggeleng cepat dengan mata berkilat-kilat karena emosi. “Buat apa sayang sama
orang yang udah ngebuang Oik gitu aja?”
“Kamu
yakin? Terus, kenapa sampai sekarang kamu masih sedih? Harusnya kalau kamu udah
ga sayang lagi sama Cakka, tinggal kemarahan aja yang ada. Bukannya malah air
mata begini.” Mama menatapku dalam dan tersenyum tipis.
Aku
speechless. Benar kata Mama.
Seharusnya tinggal amarah saja yang bersisa di hatiku. Tapi kenapa kesedihan
lebih mendominasi? Kenapa? Apa karena... aku masih sayang pada Cakka? Jujur,
aku tidak tahu. Yang aku tahu hanya baying-bayang Cakka yang belum lepas
seutuhnya dari hari-hariku.
“Kamu
pikirkan baik-baik, ya. Mama ngerasanya kamu masih sayang Cakka, kamu masih
cinta dia.” Mama bangkit berdiri dan mengelus puncak kepalaku sekilas. “Kalau
memang iya, coba maafkan dia. Coba dengar penjelasan dia. Mungkin kalian hanya
salah paham. Cinta itu selalu memaafkan, Ik.”
Aku
kembali terdiam karena perkataan Mama. Haruskah aku masih menyayangi orang yang
telah menyia-nyiakanku, menyia-nyiakan perasaanku? Memangnya penjelasan logis
apalagi yang bisa Cakka utarakan padaku?
Cih!
Mereka berdua –Cakka dan Shilla– pasti senang karena telah membuatku seperti
ini, bimbang di antara dua pilihan. Membenci Cakka atau memaafkannya. Cakka
pasti senang karena telah putus denganku. Dan Shilla juga pasti gembira karena
tidak ada lagi penghalang hubunganna dengan Cakka.
Tapi,
kenapa aku masih belum bisa menerima semuanya. Semuanya. Cakka yang selingkuh
dengan Shilla, putusnya kami berdua, dan kepergian Cakka ke Singapura untuk
setahun lamanya. Kenapa juga waktu itu aku berjanji untuk menunggunya kembali
setahun lagi? Bodoh! Aku tidak mengerti kenapa orang yang paling aku cintai
bisa mematahkan hatiku sedemikian rupa hingga seperti sekarang.
**
Keesokan
harinya, aku nyaris saja terlambat tiba di sekolah. Jalanan macet. Sempat ada
kecelakaan di salah satu jalan protokol Jakarta. Dan dampak kecelakaan itu
–kemacetan– mengimbas kemana-mana. Aku baru saja melangkah memasukki bangunan
utama sekolah ketika bel masuk berbunyi kencang.
Aku
bergegas menuju kelasnya. Koridor masih ramai oleh siswa-siswi yang sedang
mengobrol. Tampak dari kejauhan, Obiet sedang berdiri menyandar pintu kelas
sambil sesekali memandang jam tangannya dengan gelisah.
Ketika
aku akan melangkah masuk menuju kelas, Obiet tiba-tiba saja menahan lenganku.
Aku berbalik. Obiet ternyata sedang menatapku dengan lega. Aku sekilas menengok
ke dalam kelas. Ify, Sivia, dan Acha terlihat bingung menatap aku dan Obiet.
“Ada
apa, Biet?” tanyaku langsung.
“Soal
yang kemarin...” Obiet menggantungkan kalimatnya.
“To the point, deh! Gue mau duduk, nih!”
aku menatap Obiet dengan kesal.
Obiet
memandangku lurus-lurus, “Gimana? Yang soal permintaan Cakka sebelum dia
berangkat itu. Lo mau... jadi cewek gue?”
“Biet?”
Aku memandangnya tak mengerti. “Kalau Cakka pesen ke lo buat jagain gue selama
dia ga ada, bukan berarti kalau kita harus jadian!”
“Ik...”
Obiet menatapnya memelas. “Kita coba aja dulu. Ya?”
“Let it flow aja, lah, Biet..” ujarku.
Aku kemudian melangkah menuju bangkuku dan duduk. Sekilas aku melihat Obiet
yang memandangku dalam dengan wajah sarat akan kekecewaan.
Aku
kembali menengok pada Sivia dan Ify. Keduanya sedang berbincang heboh soal
sesuatu –yang aku tak tahu–. Acha juga ternyata telah menenggelamkan dirinya
dalam sebuah novel tebal terjemahan yang ia baca. Aku hanya menatap Ify dan
Sivia tak mengerti.
“Gimana,
Ik? Lo jadi sama si Obiet?” tanya Sivia.
“Jadi
apa?” tanyaku tak mengerti. Dan, seakan sebuah ide baru saja muncul di otakku,
aku mengangguk mengerti. “Oh, itu.. Iya. Tadi malem dia jadi, kok, ke rumah
gue.”
“Bukan
itu, Oiiiikkk!!” Ify memandangku dengan gemas. “Maksud kami, kalian berdua
jadian?”
Aku
menggeleng tegas, “Ga, Fy, Siv. Gimana bisa...” aku menggantungkan kalimatku
seraya menatap kedua sahabatku tak mengerti.
“Jangan
bilang kalau lo masih ngarepin si sialan itu!” Sivia menatapku penuh selidik.
Aku
menggeleng dengan gugup. Hey! Kenapa aku ini? “Ga tau juga..” lirihku.
“Astaga,
Oik!” Ify menatapku tak percaya. “Buat apa, sih, lo masih ngarepin dia?
Jelas-jelas dia udah nyampakkin perasaan lo gitu aja dan ninggalin lo tanpa
kepastian yang jelas!” sungut Ify.
“Ga
tau, Fy, Siv..” Aku menggeleng putus asa. “Gue ga tau kenapa gue ga bisa
ngebenci dia sedikitpun. Tiap kali kebencian itu mulai muncul, kesedihan juga
muncul gitu aja begitu inget perselingkuhannya.”
“Gue
bener-bener ga ngerti sama lo, Ik.” Sivia menggeleng tidak percaya. “Ada Obiet,
Ik. Gue yakin dia ada rasa sama lo. Gue bisa lihat dari cara dia mandang lo.
Kenapa lo ga coba aja sama dia, Ik?” suara Sivia semakin melembut hingga
keakhir kalimat.
“Sebenernya
tadi malem Obiet ke rumah gue itu, ya, untuk ngomongin masalah ini.” Akhirnya
aku memutuskan untuk jujur pada kedua sahabatku ini.
“Masalah
apa?” Ify tampak sudah mulai terbebas dari emosinya karena mengetahui aku yang
masih belum bisa sepenuhnya terlepas dari bayangan Cakka.
“Dia
bilang kalau sebelum Cakka berangkat, Cakka sempet nitipin gue ke dia. Cakka
minta dia buat jaga gue selama dia masih di Spore.” Aku terus menunduk, tak
berani melihat Ify dan Sivia yang menatapku ganas.
“Terus?”
tanya Sivia.
“Tadi
pagi. Barusan, maksud gue. Dia minta kejelasan. Dia minta gue buat jadi...
ceweknya.” Aku masih belum berani menatap Ify dan Sivia.
“Terus
lo jawab apa?” tanya Ify dengan suara tercekat.
“Gue
bilang let it flow aja..” aku menahan
napas, menyadari kedua sahabatku akan memberikan reaksi buruk.
“Astaga..”
Ify mendesis tak percaya.
“Ik?
Kok...” Sivia pun sampai kehabisan kata-kata.
“Gue
ga tau, guys.” Akhirnya aku
mendongakkan kepala dan menatap Ify serta Sivia satu-persatu. “Meskipun Cakka
udah bikin gue sakit hati, gue tetep sayang sama dia.”
“Lo
bego, Ik, nyia-nyiain Obiet.” Sivia menggeleng tak percaya.
“Kata
Mama gue cinta itu memaafkan. Dengan tulus. Apapun kesalahan yang dia perbuat.”
Aku tiba-tiba langsung ingat penggalan percakapanku dengan Mama semalam.
“You’re too good enough for him. You don’t have to wait for him. Dia ga worth it, Ik.” Ify memandangku
seakan-akan aku adalah mangsanya.
“Gue
emang bego karena ga bisa benci sama dia, Fy, Siv..” Aku menelungkupkan
kepalaku di atas meja dengan terisak kecil.
“Dia
bener-bener ga pantes dapetin rasa sayang dan cinta lo yang segini gedenya. Dia
ga pantes buat lo cintain. Dia ga pantes buat lo sayangin. Intinya, dia ga
pantes buat lo!” Sivia masih memandangku tak percaya.
**
Sekolah
sudah sepi. Aku masih belum juga dijemput oleh Mama. Sepertinya Mama masih
berada di toko kuenya. Mungkin toko sedang ramai, maka dari itu Mama membantu
para pegawainya melayani para pelanggan.
Aku
pun memutuskan untuk menuju taman sekolah. Begitu sampai di taman sekolah, aku
melihat sesosok gadis berambut panjang sedang duduk di bawah pohon seorang diri.
Aku pun menghampirinya. Mungkin saja kami bisa menunggu jemputan bersama.
“Ha––”
belum sempat aku menyapanya, dia sudah menengokkan kepalanya kepadaku dan
membuatku kaget setengah mati. “Lo?!” pekik gue.
Gadis
berambut panjang itu pun berdiri. Ternyata Shilla, si gadis memuakkan. “Lo
ngapain kemari, hah?” tanyanya, dengan nada tinggi.
“Ini
tempat umum! Salah kalau gue kemari?” balasku, tanpa ekspresi.
Shilla
mendorong gue agar pergi dari sini saat ini juga. “Gue ga akan ngebiarin lo
ngotorin tempat kenangan gue sama Cakka!”
Gue
memandangnya tajam. “Apa lo bilang? Tempat kenangan lo dan Cakka? Inget, ya..
Ini tempat umum dan siapapun –termasuk gue– berhak kemari!”
“Udah,
deh! Lo masih ngarepin Cakka, kan? Ngaku aja, deh, lo!” Shilla makin mendorongku
dengan sekuat tenaga.
“Bukan
urusan lo!” desisku tajam.
“Percuma!”
Shilla tersenyum sinis. “Lo ga bakalan bisa ngambil dia dari sisi gue! Dia udah
bosen sama lo. Jangan ganggu hubungan gue dan Cakka! Awas lo!” ancamnya.
“Ambil
aja! Dan, lo tadi bilang apa? Dia bosen sama gue? Oke, berarti ga lama lagi
kalau dia bosen sama lo, dia juga bakalan ngebuang lo begitu aja.” Aku
memandang Shilla dengan wajah terangkat ke atas.
**
Dan
ternyata, malam ini Obiet kembali berkunjung ke rumahku. Kami kembali
berbincang-bincang di teras rumah. Seperti sebelumnya, Obiet juga tak mau aku
ambilkan minum. Dia hanya sebentar kemari, dalihnya. Padahal, kami sudah
mengobrol sekitar setengah jam.
“Ik,
aku butuh kepastian..” Obiet memandangku dalam, mulai menggunakan aku-kamu
denganku.
Aku
berusaha menarik segaris senyum di bibirku, “Kita jalanin yang ada sekarang
aja, Biet. Jangan terlalu maksain, nanti jatuhnya jadi ga enak.”
“Jadi,
kamu nolak aku?” Obiet mulai menarik kesimpulan sendiri.
Aku
menahan napas begitu menyadari perubahan sorot mata Obiet yang begitu drastis,
“Gue ga bilang begitu, Biet.”
Obiet
tertawa sengau, “Bahkan kamu ga ngikutin aku pakai aku-kamu.”
“Maaf,”
lirihku.
“Kamu
masih belum bisa lupain Cakka, Ik?” tanyanya.
Aku
menggeleng, “Ga tau, Biet.”
Obiet
bangkit dan berdiri di hadapanku. “Kamu kenapa belum bisa lupain Cakka, sih,
Ik?” Obiet meremas kedua bahuku dan sedikit menggoncang-goncangkannya. “Padahal
dia udah sakitin kamu, ngebuang kamu!”
Aku
memandang Obiet tak percaya. Kenapa dia jadi menyudutkanku seperti ini? Untuk
apa pula dia meremas bahuku dan menggoncang-goncangkannya? Kedua bola matanya
pun menyorotkan amarah, bukan kekecewaan.
“Aku
udah minta baik-baik sama kamu tapi kamu tolak. Sadar, dong, Ik, aku udah suka
sama kamu sejak kita pertama kenal! Aku suka sama kamu jauh sebelum kamu kenal
Cakka! Jauh sebelum kalian jadian!” Obiet mulai berteriak seperti orang
kesetanan.
“Tapi
maksud Cakka dengan jaga aku di sini bukan berarti jadi pacarku, kan?” aku
menatap Obiet takut-takut.
Obiet
melepaskan cengkeramannya pada bahuku dan mulai mengacak-acak rambutnya
frustasi, “Omong kosong buat permintaan Cakka! Sebenernya Cakka ga pernah
nyuruh aku buat jagain kamu di sini! Itu semua cuman taktikku biar bisa
sama-sama sama kamu terus.”
Aku
menatap Obiet tak percaya, “Gue ga nyangka lo selicik ini.”
“Ini
semua demi kamu, Ik!” Dasar keras kepala! Walaupun ia salah, ia masih tetap
membela diri dengan mengkambinghitamkan perasaannya padaku.
“Padahal
gue udah ada niat buat mulai ngebuka hati..” lanjutku.
“Maaf,
Ik!” Obiet menggenggam kedua tanganku. Sejurus kemudian, aku melepaskan
genggamannya dengan kasar. “Aku janji bakal berubah asal kamu mau buka hatimu
lagi untuk aku.”
Aku
tersenyum tipis dan kembali menggeleng. “Kesempatan ga datang dua kali.”
“Lalu?
Buat apa kamu masih mau nunggu Cakka? Kamu sendiri yang bilang kalau kesempatan
itu ga dateng dua kali!” Obiet masih bersikukuh untuk menggenggam tanganku.
“Gue
ga nunggu Cakka. Gue nunggu takdir yang bakal bikin kami ketemu lagi. Jodoh ga
kemana, Biet. Kalau kita jodoh, perasaan gue ke Cakka bakal hilang dengan
sendirinya. Pasti.” Aku mencoba untuk menghibur Obiet.
“Jadi,
aku juga harus nunggu takdir yang bakal bikin kamu mau maafin aku?” tanyanya.
Aku
mengangguk lugas. “Nunggu itu emang ngebosenin. Tapi kalau lo emang bener-bener
niat nunggu gue, lo ga bakal ngerasa bosen sedikitpun, kok.”
Obiet
mengangguk lemas. Tanpa mengatakan apapun lagi kepadaku, dia berbalik arah. Pulang.
Meninggalkan aku yang terduduk di teras dengan kepala menengadak ke atas,
menatap kilauan bintang di angkasa.
“Bintang,
sampaikan ke Cakka, ya.. Aku kangen. Aku nunggu takdir yang bakal mempertemukan
kami.” Aku tersenyum tipis.
Tiba-tiba
saja ponselku bergetar. Ada dua pesan masuk sekaligus. Satu dari Ify dan satu
lagi dari Sivia. Aku membukanya satu-persatu. Membacanya, lalu tersenyum simpul
karenanya.
From:
IfyAlyssa
Maafin
gw ya. Gw sdr gw udh slh krn maksa lo buat ngelupain dia.
It
semua trsrh sm lo skrg
Gw
hargain keputusan lo buat ttp nunggu dia:-)
From:
Viaziah
Maaf
buat yg td. Gw tw gw slh.
Semua
keputusan ada di lo. Ini idup lo n lo yg bkl ngejalanin.
Gw
ttp support lo({})
Aku
beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Aku juga beruntung memiliki kedua
orangtua seperti Papa dan Mama. Aku beruntung karena sempat memiliki Cakka dan
sempat menjadi bagian dalam kehidupannya. Yang jelas, aku mensyukuri semuanya. Semua
yang telah terjadi. Itu kehendak Tuhan dan Tuhan tahu apa yang terbaik untukku.
Mungkin
aku dan Cakka sudah tak sejalan lagi. Karena itulah Tuhan memisahkan kami. Tugasku
kini hanya duduk manis dan menunggu kehendak Tuhan yang lainnya. Entah itu
melupakan Cakka lalu menjalin hubungan dengan Obiet, ataupun bertemu kembali
dengan Cakka dan memaafkan segalanya. Jika nanti aku dan Cakka bertemu lagi,
ingatlah.. Itu takdir.
0 komentar:
Posting Komentar