Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SESUATU YANG BARU [06] : Tentang Ify

           Begitu keluar dari cafeteria, Ify segera menuju library. Tak lupa juga ia memeriksa kembali keberadaan member card library yang tadi ia letakkan pada saku jubahnya. Ify telah berpesan kepada Oik untuk mengantarkan Alvin ke halaman depan sekolah. Seperti biasa, kereta kuda telah menunggu disana guna mengantarkan ke rumah sakit.
            Ify berjalan sendirian diantara lalu-lalang siswa-siswi lain. Memang, jalan menuju rumah pohon dan library menjadi satu. Pada ujung jalan, jika ke kanan akan menemukan jalan setapak menuju rumah pohon dan jika ke kiri maka akan bertemu library dan Kesekretariatan OSIS serta berbagai ekskul.
            Ify mendorong pintu library dan masuk. Setelah mengisi buku daftar pengunjung, ia menuju bagian timur library. Buku mengenai musik terletak pada rak-rak dibagian itu.
            Gadis berbehel itu berjalan diantara dua rak buku yang menjulang tinggi. Dengan mata yang menyusuri setiap judul buku disana, Ify bergerak pelan. Buku yang ia cari tak kunjung ia temukan.
            “Sedang mencari apa?” tanya sebuah suara bariton.
            “Eh?” Ify terkesiap. Ia tersenyum malu pada seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu rupanya juga sedang mencari-cari sesuatu. “Buku musik, untuk tugas.” Ify menyerahkan secarik kertas yang ia kantongi bersama member card library.
            Lelaki itu menerima secarik kertas dari Ify dengan alis bertaut. “Kamu anak kelas musik?” tanyanya.
            “Ya, begitulah. Kamu sendiri?” Ify mengerling pada lelaki itu dan kembali fokus pada rak buku.
            “Aku juga. Mungkin aku bisa membantu kamu cari buku ini.” Lelaki itu kembali melirik secarik kertas dari Ify. Ia seperti mengenali tulisan itu. “Ini tulisan tangan.....”
            “Nggak, nggak!” Ify mengibaskan kedua tangannya dengan panik. “Aku tahu tulisan itu memang jelek. Tapi, jangan salah. Itu bukan tulisanku.”
            Lelaki itu terkekeh. “Bukan itu maksudku. Aku seperti mengenali tulisan ini.”
            “Sudahlah. Bukan waktunya mengingat hal sepele seperti itu. Jadi membantuku mencari buku?” Ify tersenyum diujung kalimatnya.
            “Tentu!” Lelaki itu tersenyum riang dan mulai membantu Ify mencari buku yang dimaksud.
            “Buku ini susah sekali dicari,” gerutu Ify.
            “Sudahlah. Bukan waktunya menggerutu hal sepele seperti itu.”
            Ify berbalik dan menatap lelaki yang memunggunginya itu dengan berkacak pinggang dan senyum mengembang. “Hey! Kamu meniru ucapanku!”
            “Ya.” Lelaki itu mengangkat bahunya dengan cuek. Dan dalam sekejap, ia berbalik menghadap Ify dengan membawa sebuah buku. “Buku ini, kan, yang kamu cari?”
            Ify menahan napasnya tak kentara. Bukan karena gerakan cepat lelaki itu yang berbalik badan. Bukan. Melainkan jarak diantara mereka berdua yang sangat dekat. Dalam beberapa detik, Ify masih terpana. Lalu setelahnya, ia mundur beberapa langkah dengan wajah merah padam.
            Ify mengambil buku dari tangan lelaki itu dan tersenyum kikuk. “Y-Ya, ini buku yang... aku cari.” Ify melirik sampul buku tebal tersebut. “Jadi, ini jilid pertama? Ya, ya. Dimana kamu menemukannya? Aku juga butuh jilid kedua untuk aku bawa ke rumah pohon.”
            Lelaki itu bergeser ke samping beberapa langkah, tangannya menunjuk rak buku yang tadinya berada di belakangnya.
            Tangan Ify terulur mengambil buku jilid kedua. “Ya, aku menemukannya.”
            “Baiklah. Aku permisi dulu.”
            Dan ketika Ify masih fokus membolak-balikkan halaman kedua buku itu, lelaki yang tadi membantunya telah melesat meninggalkan perpustakaan entah kemana. Begitu Ify selesai meneliti tiap halaman kedua buku itu, ia menengok ke samping.
            “Terima... kasih..... Eh? Kemana lelaki tadi?” Ify mengedarkan pandangannya pada seluruh penjurulibrary dan ia hanya menemukan pintu library yang bergoyang-goyang, pertanda baru saja ada yang masuk atau keluar.
            “Padahal aku belum sempat menyampaikan terima kasih.” Ify mengangkat bahunya dan membawa buku-buku itu kesebuah meja bundar ditengah-tengah library yang dikelilingi oleh empat kursi empuk.
            Ify meletakkan keduanya diatas meja dan menghempaskan tubuhnya pada kursi empuk itu. Setelah menarik napas panjang lalu menghembuskannya, Ify membuka buku jilid pertama dengan bersemangat. Jam menunjukkan pukul delapan kurang lima menit dan ia hanya punya waktu satu jam lebih lima menit sebelum library ditutup untuk menghafalkan not-not balok yang berada pada halaman paling akhir.
            Jemari Ify bergerak membalik halaman dengan hati-hati. Kedua buku ini adalah buku tua yang halamannya sudah menguning. Jika ia membalik halamannya dengan kasar, ia bisa saja membuat beberapa lembar terlepas dari bukunya.
            Mata Ify terbelalak lebar melihat sederet not balok dihadapannya.
            “Apa-apaan ini?!” Ify mengacak-acak rambutnya frustasi. “Not balok lagu klasik? Are you kidding me?!”
            Rangkaian not balok nan rumit inilah santapan malamnya. Ini tugas pertama dari guru pembimbingnya di kelas seni musik. Ify tak habis pikir dengan jalan pikiran beliau. Mereka ini –Ify dan teman-temannya di kelas seni musik– masih terbilang ‘bau kencur’. Mereka baru tiga hari mengenyam segala tetek-bengek seni musik dan sekarang sudah dihadapkan dengan musik klasik? Apa-apaan?!
            “Bagaimana aku bisa menghafalkan not-not ini dalam waktu satu jam?” Ify menatap halaman tersebut dengan lemas. “Terpaksa aku harus membawa kedua buku ini ke rumah pohon.”
            Satu jam yang menyiksa ini Ify habiskan dengan menghafalkan setiap not perlahan-lahan. Setelah dua puluh menit, Ify mulai menguap. Sepuluh menit kemudian, Ify dapat merasakan kadar kantuknya meningkat. Pukul sembilan kurang lima belas menit, Ify menelungkupkan wajahnya diatas meja.
            “Aku menyerah,” desahnya.
            “Menyerah apa?”
            Ify menegakkan badannya begitu mendengar sebuah suara yang menggelitik telinganya. Dan begitu ia menengok ke kanan, Ify terkesiap. “Kak Debo?”
            “Ya?” Debo menatap Ify lamat-lamat.
            “Sedang apa disini?” tanya Ify. “Library sudah hampir tutup.”
            “Sebenarnya cuma iseng. Tadi aku sama sekali nggak ada kegiatan di rumah pohon. Niatnya kesini, mencari majalah. Tapi ternyata malah menemukan kamu yang setengah desperate disini. Ada apa, Fy?” kini ganti Debo yang bertanya.
            Ify menggeleng lalu menutup buku di hadapannya. “Ada tugas menghafal not balok. Dan ternyata ini adalah not balok musik klasik.”
            “Wow,” Debo tertawa. “Pasti susah.”
            “Of course!” Ify mendesah pelan.
            “Besok, kan, hari Minggu. Kamu hafalkan saja di rumah pohon, Fy.”
            “Ya, ya, ya..” Ify mengangguk malas. “Itu berarti aku akan menghabiskan hari Minggu dengan kedua buku ini.” Ify menunjukkan kedua jilid buku itu pada Debo dan beranjak berdiri.
            “Sudah malam. Ayo, aku antar ke rumah pohon.” Debo pun ikut berdiri.
            Ify mengangguk. Ia berjalan menuju penjaga library yang terduduk dibelakang meja kebesarannya. Debo mengekornya dan memperhatikan setiap gerak yang Ify buat. Setelah urusan pinjam-meminjam buku usai, keduanya berjalan meninggalkan perpustakaan.
            Lampu taman yang berada disisi kanan dan kiri jalan setapak mulai menyala redup. Itu berarti, pemberlakuan jam malam sudah akan dimulai. Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah pohon seraya mengobrol kecil.
            “Sudah mencoba kirim pesan menggunakan burung mungilmu?” tanya Debo.
            Ify meliriknya sekilas dan menggeleng. “Memang bisa?”
            “Jelas bisa, dong.” Debo terkikik menyadari kepolosan Ify dan dengan refleks ia mengacak-acak rambut gadis itu.
            “Kak Debo apa-apaan, sih?!” Ify menggerutu seraya tertawa dan merapikan kembali rambutnya. “Bagaimana caranya?”
            “Gampang saja. Tulis pesanmu untuk seseorang diselembar kertas. Beri juga blok rumah pohonnya. Setelah itu, lipat dan berikan pada burung mungilmu. Nanti burung mungilmu yang akan mengantarkan pada rumah pohon yang dituju.”
            “Wah, lucu sekali! Kalau begitu, besok aku akan coba mengirimkan pesan untuk kamu, Kak.” Ify berkata dengan antusias.
            “Boleh, boleh.” Debo membalas dengan tak kalah antusiasnya. “Blok rumah pohonku MA-09. Jangan lupa, itu berada di kawasan rumah pohon siswa tingkat kedua.”
            Ify mengangguk mengerti.
            “Oh, ya. Besok setelah dinner, jangan kemana-mana, ya.” Debo tersenyum penuh arti setelahnya.
            “Aku, Sivia, dan Oik memang nggak ada rencana untuk kemana-mana,” sahut Ify datar.
            “Akan ada kejutan dari kakak-kakak OSIS yang satu tingkat dengan aku.” Debo melirik Ify untuk melihat reaksi gadis itu.
            “Kejutan apa?” Ify mendadak antusias.
            “Lihat saja nanti. Bukan kejutan lagi namanya kalau kamu tahu sekarang.”
            “Oke!” Ify mengangguk bersemangat. “Awas saja kalau kejutannya nggak mengasyikan!”
            “Bagi kamu dan dua teman kamu mungkin nggak mengasyikan tapi pasti kalian bertiga akan dapat pengalaman baru.”
            “Hey! Kalian berdua!” Sebuah suara menggelegar terdengar dari belakang Ify dan Debo. Keduanya menengok serentak pada sumber suara. “Kenapa masih berduaan pada jam segini? Masih ingat pemberlakuan jam malam, kan?” Orang itu –yang ternyata sang Kepala Sekolah– kembali bersuara.
            Ify dan Debo mengangguk dalam-dalam.
            “Kalau begitu, segera kembali ke rumah pohon masing-masing!”
            Tanpa bersuara kembali, Ify dan Debo mempercepat langkahan kaki mereka menuju rumah pohon. Begitu berada dipersimpangan antara kawasan siswa tingkat pertama dan kedua, Ify menghentikan langkahnya.
            “Sudah, Kak Debo sampai disini aja mengantar aku.” Ify mencegah Debo masuk lebih dalam pada kawasannya.
            “Memangnya kenapa?”
            “Sudah malam, Kak. Tadi Kepala Sekolah juga sudah menegur. Semakin cepat kita berdua sampai di rumah pohon masing-masing, semakin bagus.”
            Debo pun mengangguk. Ia mengiyakan permintaan Ify dengan terpaksa. Awalnya, ia ingin mengantarkan Ify sampai di rumah pohonnya. Ini sudah pukul sembilan, lampu disisi jalan setapak mulai meredup dan ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Ify.
            “Aku kembali ke rumah pohonku, ya. Kak Debo juga kembali saja.” Ify tersenyum kecil lalu berbalik dan meninggalkan Debo.
            Ify tak menyadari lelaki itu masih berdiam diri ditempat, menatap punggungnya lekat-lekat, dan baru berbalik badan juga ketika punggungnya telah hilang ditelan gelapnya malam.
            Begitu sampai dibawah rumah pohonnya, Ify langsung beranjak naik. Suara nyaring Oik terdengar sampai bawah. Ify terkekeh pelan begitu sampai diatas rumah pohonnya dan melihat Oik serta Sivia masih terjaga. Keduanya sedang bergosip, rupanya.
            “Menggosipkan apa malam-malam begini?” tanya Ify seraya meletakkan dua jilid buku yang tadi ditentengnya diatas meja belajar.
            “Kamu kelewatan banyak sekali, Ify! Tadi kita membicarakan soal Dokter Gabriel, Irsyad, Zevana, Cakka, Nadya.....”
            Ify tak lagi mendengar celotehan Oik dan kikikan Sivia karena ia beranjak menuju kamar mandi untuk berganti pakaian. Beberapa menit setelahnya, Ify keluar dengan mengenakan piyama. Ia pun berbaring diranjangnya dan mengamati kedua teman sekamarnya yang masih asyik bergosip.
            “Ify, bagaimana menurutmu? Oik bilang Agni itu cantik. Sedangkan menurutku, Agni itu manis. Ify? Fy?”
            Suara Sivia makin terdengar menjauh. Kesadarannya pun memudar. Ify rupanya telah memasuki alam mimpi, meninggalkan Sivia dan Oik yang masih berargumen mengenai Agni yang cantik atau Agni yang manis.

**

            Ify terbangun keesokan harinya ketika kamar telah kosong. Hanya menyisakan dirinya seorang. Dengan nyawa yang masih belum terkumpul, ia bangkit dan meregangkan tubuh. Ketika kesadarannya sudah pulih betul, ia melihat burung mungilnya tengah membawa secarik kertas berwarna pink. Seperti dari Oik.
            Burung mungil bercicit pelan ketika ia masuk ke dalam kamar mandi. Karena air yang pagi itu terasa amat dingin, akhirnya Ify memutuskan untuk mandi kilat. Tak sampai lima menit, ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian santai.
            Ia terduduk di kursi belajarnya. Perlahan ia mulai memakan menu sarapannya. Kebetulan bubur ayam dan segelas teh hangat adalah menu sarapan kali ini. Ify mengerling pada burung mungilnya dan memanggilnya mendekat.
            “Ada pesan dari siapa?” tanya Ify.
            Ia meletakkan sendok serta garpunya terlebih dahulu dan mengambil secarik kertas yang digigit burung mungilnya. Ia membuka lipatannya dan mulai membaca.

Aq & Sivia sdh berada d Bukit Hijau.
Cpt susul kmri.
-Oik-

            Ify mengangguk mengerti dan membuang begitu saja secarik kertas tadi. Sebelum kertas tersebut menyentuh lantai, benda itu sudah terbakar dan asapnya hilang begitu saja. Ify mengernyit menatap cara kerja pesan singkat tersebut lalu mengangguk dalam diam.
            Sepuluh menit kemudian, Ify telah menghabiskan sarapannya. Ia bergegas meninggalkan rumah pohonnya untuk menyusul Sivia dan Oik di Bukit Hijau.
            Disepanjang jalan menuju Bukit Hijau, banyak sekali siswa-siswi Witchy School of Art yang dilihat Ify. Rupanya siswa tingkat kedua dan ketiga mempunyai kegiatan rutin setiap Minggu pagi. Senam bersama di Bukit Hijau! Ify mempercepat langkahnya meninggalkan kawasan rumah pohon.
            “Ify!” panggil seseorang.
            Ify menengok ke belakang dan mendapati Keke disana. “Hay, Ke!”
            “Mau kemana, Fy?” tanya Keke seraya menyamai langkahnya dengan Ify.
            “Bukit Hijau. Sivia dan Oik sudah disana. Kamu?” tanya Ify balik.
            “Sama.” Keke mengangguk.
            “Bagaimana tugasnya? Sudah hafal?” Ify kembali mengingat not-not balok sialan itu.
            Keke menggeleng sebal. “Belum. Susah sekali! Itu, kan, musik klasik. Benarkah kita akan benar-benar memainkannya dikelas pada hari Senin?”
            “Sepertinya iya.” Ify mengangguk tak yakin. “Sendirian saja, Ke, ke Bukit Hijau?”
            “Ah, ya!” Keke mendadak bersemangat. “Sebenarnya aku kemari mau menemui kakakku yang aku ceritakan waktu itu. Tapi terputus karena kamu pergi bersama kakak itu,” Keke menekankan pada akhir kalimat dengan bola mata berputar malas.
            Ify terkekeh. “Ya. Lalu? Kenapa ekspresimu seperti itu?”
            “Nggak. Hanya saja... Ya, kamu pasti nanti tahu sendiri.” Keke mengangkat bahunya tak perduli.
            “Baiklah. Kamu akan menceritakan tentang kakakmu, kalau aku tidak salah ingat.”
            “Iya! Iya!” Keke kembali bersemangat. “Kakakku ini laki-laki dan berada ditingkat kedua. Dia sedang senam bersama di Bukit Hijau. Aku akan mengenalkanmu pada kakakku.”
            Keduanya pun sampai di Bukit Hijau. Ify mengedarkan pandangannya, mencari Oik dan Sivia diantara kerumunan didepannya. Sedangkan Keke –tentu saja– mencari kakaknya.
            “Ah! Itu dia!” Keke mendadak berpekik senang.
            “Ya? Siapa?” sahut Ify, sama sekali tak mengalihkan pandangannya pada Keke.
            “Kakakku, Fy! Kakakku! Dia ada disana!” Keke menggoncang-goncangkan lengan Ify sesaat lalu menunjuk kearah siswa-siswi tingkat kedua dan ketiga yang tengah senam bersama.
            “Ya,” Ify hanya bergumam seadanya menanggapi antusiasme Keke.
            “Ayo! Aku akan mengajakmu berkenalan dengan kakakku sekarang juga!” Keke tiba-tiba saja menyeret lengan Ify menuju arah tertentu.
            Dapat! Itu mereka! Sivia dan Oik tengah berkerumun dengan siswa-siswi tingkat pertama lainnya. Mereka berada disisi utara Bukit Hijau. Dengan sedikit paksa, Ify melepaskan seretan tangan Keke dilengannya lalu berlari menghampiri kedua sahabatnya.
            “Ify! Ify! Mau kemana kamu, Fy? Ify!” Keke berteriak nyaring dari tempatnya.
            Ify hanya menengok sekilas kebelakang dan tersenyum meminta maaf pada Keke. Ify tidak mau berada diantara kakak-beradik yang –takutnya– tidak akan menghiraukan kehadirannya nantinya.
            Keke menunduk lesu. “Ya, lain kali saja aku kenalkan Ify pada kakak.”
            “Keke?”
            Keke mendongak dan mendapati kakaknya telah berdiri disampingnya. “Eh, Kakak. Sudah selesai senamnya?”
            “Belum.”
            “Lalu kenapa menghampiriku?” tanya Keke gemas.
            “Karena tadi aku lihat kamu langsung sedih begitu ditinggal temanmu.”
            “Oh,” Keke mengangguk.
            “Itu tadi temanmu, kan?” tanya kakaknya.
            “Iya.” Keke mengangguk lagi. “Teman sekelasku. Namanya Ify, Kak. Sebenarnya aku akan mengenalkan kalian berdua sekarang tapi ternyata dia malah menghampiri sahabat-sahabatnya.”
            “Ya sudahlah, lain kali saja.” Keke merasakan kakaknya mulai menepuk-nepuk puncak kepalanya dan membuatnya tersenyum. Ia suka sekali diperlakukan begini oleh kakaknya.
            “Dia berteman akrab dengan Kak Debo,” ujar Keke tak suka.
            Kakaknya mengerling padanya dan mengangkat sebelah alisnya. “Benarkah?”
            “Ya!” Keke mengangguk cepat.
            Kakaknya mengangguk mengerti. Ia mengamati punggung Ify dari jauh. “Aku seperti pernah melihatnya, Ke.”
            “Jelaslah, Kak! Kita, kan, satu sekolah!” ujar Keke seraya memukul lengan kakaknya.

**

            Sore itu, ketika Ify telah selesai menghafalkan seluruh not balok dari kedua jilid buku tersebut, ia mulai berpikir untuk mencoba mengirim pesan melalui burung mungilnya. Ia pun merobek secarik kertas dari buka coret-coretnya dan menuliskan sesuatu disana.

Hay, Kak!

            “Eh, tunggu! Blok rumah pohon Kak Debo apa, ya?” Ify mengetuk-ketukkan telunjuknya pada pelipis, berusaha mengais ingatan dari otaknya. “MA-09 bukan? Atau NA-09, ya? Aduh, aku lupa! Tapi seperti NA-09. Iya. NA-09.”
            Ify pun membubuhkan blok rumah pohon Debo pada sudut kanan bawah kertas lalu melipatnya dengan rapi. Setelah itu, ia menyerahkannya pada burung mungilnya. Ify menyaksikan burung mungilnya mulai keluar dari rumah pohon dan bergerak menjauh.
            Ia menunggu burung mungilnya untuk kembali dengan bersenandung kecil. Kelima jemari tangan kanannya mengetuk meja belajarnya sehingga menimbulkan bunyi yang lumayan berisik.
            “Sedang apa, Ify?” tanya Sivia.
            Ify menengok pada Sivia dan menggeleng saja. “Bukan apa-apa, kok.”
            Sivia mengangguk. “Menunggu sesuatu?” tanyanya lagi.
            Ify kembali menggeleng. “Nggak juga.” Ia kembali menatap jendela rumah pohonnya. Burung mungilnya belum terlihat. “Oh, ya! Oik kemana, Siv?”
            “Ke minimarket sekolah, membeli satu set cat air baru untuk tugas melukisnya.” Sivia menjawab sekenanya lalu kembali larut dalam tumpukan lirik lagu dihadapannya.
            Lalu, tak lama kemudian, burung mungil Ify kembali membawa secarik kertas yang ia gigit. Ify mengambilnya perlahan, membukanya, lalu membaca tulisan yang tertera disana.

Hay jg. Ini siapa? Knp mmnggilku kak?

            Ify mengerutkan keningnya lalu tertawa pelan. “Bisa saja Kak Debo ini.”

Ini Ify, Kak. Aq dr tgkt prtama. Lupa?

Ify? Tmn Keke?

Iy. Aq bru tw kalo Kak Debo knl Keke.

Debo? Km slh org!!

            Ify mengerjap bingung. Jadi kesimpulannya.. Ia salah orang, begitu? Pantas saja ia sudah merasa aneh sejak awal. Seharusnya jika orang yang ia kirimi pesan tadi benar-benar Debo, orang itu pasti akan langsung mengerti ketika mendapat pesan. Mereka berdua sudah membicarakan mengenai ini semalam.
            Ify menengok pada Sivia yang juga terduduk dikursi belajarnya. “Siv?”
            “Ya?” sahut Sivia tanpa menengok Ify sedikitpun.
            “Blok rumah pohon Kak Debo berapa, ya? Sepertinya aku––,”
            Belum sempat Ify menyelesaikan kalimatnya, Sivia sudah menghela napas dan menyela. “Jadi sedari tadi kamu berkirim pesan dengan dia?” tanya Sivia tak percaya.
            “Iya,” jawab Ify sekenanya. “Sepertinya aku salah menulis blok rumah pohon Kak Debo.”
            “Ify, sudahlah!” Sivia meletakka kumpulan lirik lagu miliknya dan melenggang keluar rumah pohon. “Kamu tahu sendiri aku nggak suka Kak Debo dan kenapa kamu masih saja membicarakan soal dia didepanku?!”
            Ify menatap kepergian Sivia dengan bingung. “Sensitif sekali kamu, Sivia.”
            Gadis itu menghembuskan napasnya perlahan dan menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Ia tak akan mengirimkan pesan lagi jika belum yakin blok rumah pohon Debo. Biarlah nanti selagidinner ia akan mencari Debo dan menanyakan blok rumah pohonnya. Kali ini, ia akan mencatatnya agar tidak lupa.

**

            Malamnya, Ify bersama Oik serta Sivia sedang berjalan menuju cafetaria. Sudah waktunya dinner. Ketiganya berjalan santai sembari mengobrol. Kebetulan, jalan menuju cafetaria tak seberapa ramai karena sebagian besar siswa-siswi telah berada disana.
            Ify teringat perkataan Debo kemarin malam. “Setelah dinner kalian ada rencana kemana?”
            Oik melirik Sivia sebentar dan menggeleng. “Nggak kemana-mana.”
            “Memangnya kenapa, Fy?” tanya Sivia.
            “Nggak, nggak kenapa-kenapa.” Ify pun hanya mampu tersenyum garing setelahnya.
            Ketika ketiganya telah tiba dimeja makan, rupanya kursi telah tersisa tiga. Ify melirik Alvin dan Zevana serta Cakka dan Nadya. Tumben sekali dua pasangan itu sampai di cafetaria tepat waktu? Ify, Sivia, dan Oik beranjak duduk pada kursi masing-masing.
            “Sivia, sudah menemukan lagu yang cocok untuk dinyanyikan solo Senin nanti?” tanya Agni begitu Sivia baru saja duduk.
            “Belum,” Sivia menggeleng. “Aku masih bingung. Kamu?”
            Agni juga menggeleng dengan tersenyum lebar. “Belum juga.”
            “Hey! Aku juga belum.” Irsyad menyela dari samping Agni.
            Ify terdiam melihat yang lainnya mulai berbicara secara kelompok. Sivia, Agni, dan Irsyad membicarakan mengenai lagu. Alvin dan Zevana entah membicarakan apa. Oik pun rupanya sudah mengajak Cakka dan Nadya ngobrol mengenai lukisan.
            Tiba-tiba saja ada yang mencolek bahu Ify dari belakang. Ia menengok dan mendapati Debo ada disana. “Kak Debo? Sedang apa?”
            “Aku––,”
            Belum sempat Debo menyelesaikan kalimatnya, bunyi dentuman besar dari langit-langit cafetariasudah terdengar. Dinner telah dimulai. Dengan berat hati, Debo pun kembali ke meja makannya.
            Tiga puluh menit setelahnya, seluruh siswa-siswi tingkat pertama telah berada di Bukit Hijau. Mereka semua berkelompok sesuai kelas sementara ketika MOS tempo hari. Ify, Sivia, dan Oik berada dalam kerumunan siswa-siswi kelas kedelapan.
            Setiap kelas membentuk kerumunan sendiri-sendiri disegala penjuru Bukit Hijau. Bagian tengah Bukit Hijau sengaja dibuat kosong karena ada beberapa siswa tingkat kedua yang berdiri disana.
            Ify melirik sebuah pohon akasia berukuran besar yang terletak tak jauh dari kerumunan kelasnya. Entah kenapa, ada sesuatu dari pohon itu yang membuatnya tertatik. Ify menajakmkan pengelihatannya dan ia menemukan Debo bersandar pada batangnya.
            Semua terasa begitu cepat. Rupanya kakak-kakak kelas didepan itu sedang mengumumkan nama-nama calon anggota OSIS Witchy School of Art. Tepat ditengah Bukit Hijau, ada sebuah botol yang akan mengeluarkan kembang api. Kembang api tersebut membentuk nama-nama calon anggota OSIS diatas sana. Persis seperti pembagian kelas beberapa hari yang lalu.
            Ify, Sivia, dan Oik hanya menopang dagu dengan mata hampir terpejam sampai ketika.....
            “Dari kelas kedelapan..”
            “Alvin Jonathan Sindunata,”
            “Alyssa Saufika Umari,”
            Ify terkaget-kaget melihat namanya dibentuk oleh kembang api diatas sana.
            “Oik Cahya Ramadlani,”
            Oik menegakkan tubuhnya. Kantuknya mendadak hilang melihat namanya muncul.
            “Sivia Azizah.”
            Sivia mengucek matanya beberapa kali, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
            Ketiganya lantas saling pandang dengan wajah terkejut masing-masing. Ketiganya lalu menggeleng tak mengerti dengan mata disipitkan, dan...
            “AAAARGH!!!” teriak ketiganya sebal.
            “Ulah siapa ini?!” pekik Oik tak terima.
            “Kita bertiga nggak mau jadi anggota OSIS!” sahut Sivia setelahnya.
            Ify terdiam, kembali mengingat perkataan Debo. Ia langsung mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki dibawah pohon akasia itu. Ify melihatnya tersenyum penuh arti. Oh, jadi ini apa yang dimaksud Kak Debo kemarin malam..

**

            Istirahat kali itu, Ify menemani Keke ke cafetaria. Keke ingin membeli beberapa camilan dan menemui kakaknya disana. Begitu keduanya menginjakkan kaki di cafetaria, Keke langsung bergegas membeli camilan dan Ify duduk pada salah satu set meja makan yang terletak ditengah-tengah cafetaria.
            Ify menopang dagunya dengan tangan kanan dan mengedarkan pandangan kesetiap sudutcafetaria. Rupanya ramai juga tempat ini ketika istirahat. Maklum saja, ini pertama kalinya Ify kemari diluar jam lunch dan dinner.
            “Nih,”
            Tiba-tiba saja Ify merasakan dingin dipipinya. Ia mendongak dan mendapati Keke tengah menempelkan sekotak susu fermentasi rasa vanilla dipipinya. Ify menerimanya dan kemudian Keke duduk.
            “Aku sudah membeli banyak camilan untuk kita. Mungkin nanti kita ada jam kosong karena Madam Winda nggak masuk hari ini.” Ujar Keke setelah menelan roti bolunya.
            Ify menusukkan sedotan pada kotak susu tersebut dan meminumnya sedikit. “Benarkah? Untung saja, aku belum terlalu hafal dengan not-not balok menyebalkan itu.”
            “Ya, aku juga.” Keke kembali menggigit roti bolunya.
            “Kita masih akan terus disini atau kembali ke kelas?” tanya Ify setelah melihat Keke menghabiskan kue bolunya.
            “Tunggu sebentar. Aku, kan, sudah janji akan mengenalkan kamu dengan kakakku. Sebentar lagi kakakku kesini.” Keke membuka tas plastik berisi camilan.
            “Eh!” Tangan Ify mencegah Keke yang akan mengambil satu lagi camilan dari dalam tas plastik. “Sudah, jangan dihabiskan! Katanya untuk camilan kita waktu jam kosong nanti. Bagaimana, sih?”
            Keke hanya mengangguk cuek dan mencomot sebungkus roti bolu lagi. Ify menggeleng-geleng melihat temannya. Ify tidak akan heran mengapa pipi Keke sebulat itu begitu mengetahui bahwa Keke senang sekali makan. Ify pun kembali menopang dagunya.
            “Keke!”
            Ify dapat merasakan Keke yang beranjak berdiri. Begitu Ify melayangkan pandangan pada Keke dan kakaknya, rupanya keduanya sedang berpelukan sehingga tidak memungkinkan Ify melihat wajah kakaknya.
            “Duduk sini, Kak.” Keke beranjak duduk dan kebetulan kakaknya duduk dihadapan Ify.
            Akhirnya Ify dapat melihat wajah kakak Keke. Ify menahan napasnya saat itu juga.
            “Jadi ini yang namanya Ify?” tanya laki-laki itu.
            Keke mengangguk. “Iya, Kak. Ini yang aku mau kenalkan sama kakak.”    
            “Jadi kamu, ya, yang kemarin sore salah kirim pesan?” tanya laki-laki itu dengan menahan senyum.
            Ify tersenyum kikuk. “Iya, Kak. Jangan-jangan kakak, ya, yang menerima pesan itu?”
            “Ya.” Lelaki itu pun tertawa.
            “Lho? Pesan apa? Kalian sudah kenal?” tanya Keke bingung.
            “Belum.” Ify menyahut. “Kakak ini... yang membantu aku cari buku di library juga, kan?”
            Laki-laki itu mengangguk. “Kamu masih ingat juga ternyata.”
            “Bagaimana aku nggak ingat? Aku belum sempat berterima kasih sama kakak.” Ify tersipu menyadari kebodohannya.
            “Nggak apa-apa,” lelaki itu tersenyum maklum.
            “Kalian sudah berkenalan, belum?” tanya Keke yang dijawab gelengan kepala dari keduanya.
            Keke lantas menarik tangan kanan Ify yang berada dibawah meja dan menarik tangan kakaknya yang sudah berada diatas meja. Keke menautkan kedua tangan itu untuk saling berjabat dengan nyengir lebar.
            “Ayo, kenalan!” perintahnya.
            “Aku Ify, Kak,” Ify tersenyum kecil.
            “Hay, Ify. Aku Rio.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

THE ONLY EXCEPTION [Cerpen #4thAnnivCaikersFamily]

Jogjakarta, 7 Juni 2013

            Oik, masih ingat, kan, ini tanggal berapa? Masih ingat, kan, apa yang terjadi empat tahun lalu? Masih ingat, kan, kita jadian empat tahun yang lalu?
            Happy 4th anniversary, honey!
            Make it lasts, please. Tetap jadi Oikku sampai kapan pun, ya, karena aku akan jadi Cakkamu sampai kapan pun juga. Jangan berubah karena aku cinta kamu apa adanya. Aku suka kamu yang childish, cerewet, selalu bersemangat, dan over-perhatian, kok. Jadi, jangan hilangkan itu semua. You’re my extraordinary girl, Oik.
            Setiap kita merayakan anniversary, kamu pasti meminta hadiah dariku. Kali ini, karena kita belum bisa bertemu, aku akan memberikan kamu hadiah dalam bentuk lain. Aku akan menceritakan bagaimana Papa dan Mamaku. Kamu ingin tahu soal mereka, kan? Baiklah, aku akan menceritakannya. Ini kali pertama aku menceritakan mengenai mereka pada seseorang dan seseorang itu kamu, Ik. Kamu spesial. Makadari itu kamu adalah orang pertama yang aku ceritakan soal ini.
            Sebelum aku menceritakan semuanya, aku cuma mau bilang... aku punya lagu untuk kamu. Ini memang bukan lagu ciptaanku sendiri dan bukan aku pula yang menyanyikannya. Hanya saja, aku rasa lagu ini cocok untuk kamu. The Only Exception. Tahu lagu itu, kan? Lagu dari Paramore. It’s so you, Oik.
            Semuanya bermula ketika aku berumur 13 tahun. Aku baru saja menjadi siswa putih-biru pada saat itu. Papa dan Mama mulai sering bertengkar karena masalah sepele. Setiap harinya aku harus mendengar teriakan-teriakan penuh amarah dari mereka dari dalam kamar. Aku sendirian, Ik. Mas Elang selalu sibuk dengan sekolah dan bandnya.
            Suatu hari aku melihat Papa berdiri di teras rumah. Kesedihan tampak jelas dari wajahnya. Aku nggak pernah lihat Papa sesedih itu, Ik. Aku nggak berani mendekat, jadi aku hanya melihat Papa dari balik tirai ruang tamu. Setelah beberapa menit terdiam, Papa mulai menangis sesenggukan. Aku bingung harus berbuat apa. Mas Elang nggak pulang dari semalam. Biasanya Mas Elang menginap di rumah temannya.
            Lalu aku ingat. Tadi malam Papa dan Mama bertengkar sangat hebat. Aku terdiam di kamar sendirian. Buku yang tadinya kubaca untuk bahan ulangan minggu depannya, aku buang begitu saja. Aku sadar aku nggak sekuat itu untuk dengar pertengkaran mereka yang lagi-lagi karena masalah sepele. Aku butuh Mas Elang. Tapi setiap saat aku butuh kakakku, dia selalu nggak pernah ada untuk aku.
            Ternyata laki-laki sekeras dan sekuat Papa pun bisa menangis karena cinta, karena Mama. Semakin lama tangisan kecil Papa semakin terdengar olehku. Papa mulai terisak, walaupun pelan. Aku bingung waktu itu, Ik. Apakah aku harus menghampiri Papa lalu menghiburnya atau malah meninggalkannya sendirian dan memberikan waktu Papa untuk menangis sepuasnya.
            Akhirnya opsi kedua yang aku pilih. Aku meninggalkan Papa sendirian di teras. Aku kembali ke kamarku dan terdiam. Keluargaku berantakan. Aku nggak tahu apakah ada hal lain yang lebih buruk daripada ini. Papa menangis, Mama pergi entah kemana, Mas Elang pun jarang pulang ke rumah.
            Sejak saat itu Mama juga jadi jarang pulang. Aku nggak tahu Mama tinggal dimana. Penghuni rumah saat itu hanya aku dan Papa. Kami berdua pun jarang mengobrol. Berbicara hanya seperlunya. Dan bila Mama sudah pulang ke rumah, mereka berdua akan kembali bertengkar. Itu seperti nggak ada satu hari pun yang lewat untuk mereka berdua bertengkar.
            Pertengkaran Papa dan Mama terhebat yang kedua terjadi ketika aku akan lulus SMP. Malam itu, Papa dan Mama bertengkar di ruang tamu. Aku mendengar jelas pertengkaran mereka dari dapur. Aku hanya mampu diam sampai suara menggelegar Papa terdengar. Papa mengancam akan menceraikan Mama. Setelahnya, semua terjadi begitu cepat. Mama kembali pergi dan Papa kembali ke kamarnya.
            Aku tahu Papa telah mematahkan hatinya sendiri dengan ancaman perceraian itu. Papa menjadi semakin pendiam sejak saat itu. Jika Papa bertemu dengan Mama dan keduanya bertengkar, Papa hanya akan membalas teriakan amarah Mama dengan suara tertahan. Papa juga terlihat berusaha menahan amarahnya. Mungkin itu adalah salah satu usaha Papa untuk membuat Mama tetap tinggal. Aku pun nggak tahu apa yang membuat Mama nggak betah di rumah.
            Waktu berlalu begitu cepat. Selama itu pun aku tahu Papa sedang menata kembali hatinya. Mama semakin jarang pulang. Papa juga sudah mulai terbiasa dengan itu. Papa mulai menyuruh pembantu rumah tangga kami untuk hanya memasakan makanan dengan porsi sedikit, hanya untuk Papa dan aku.
            Suatu hari, Mas Elang pulang membawa surat keterangan kelulusannya. Aku tahu waktu ini akan datang. Aku menceritakan semuanya kepada Mas Elang secara singkat. Hal itu membuat Mas Elang semakin membulatkan tekadnya untuk berkuliah diluar kota, di Bandung. Mas Elang lebih terluka daripada aku.
            Papa dan Mama bertengkar lagi, Ik. Mungkin ini puncak dari semua pertengkaran mereka. Papa yang akhir ini hanya diam saja jika bertengkar dengan Mama, kini juga berbalik berteriak pada Mama. Rumah kami penuh dengan teriakan mereka berdua.
            Hingga pada suatu titik, Papa mengusir Mama. Papa bilang Mama nggak perlu pulang ke rumah ini lagi karena Papa sudah nggak butuh Mama. Selama lima menit nggak ada suara lagi yang aku dengar. Tetapi setelah itu, aku melihat siluet tubuh Mama yang membawa kopernya keluar dari rumah. Mama benar-benar pergi.
            Dari teras rumah, Mama memaki-maki Papa. Mama bilang kalau beliau nggak akan melupakan bagaimana Papa mengusirnya. Mama juga bilang kalau Papa nggak cinta Papa, nggak pernah ada cinta diantara mereka berdua. Lalu, aku dan Mas Elang itu apa? Bukannya kami –harusnya– adalah buah cinta mereka?
            Mama menantang Papa untuk benar-benar mengajukan permohonan perceraian ke pengadilan. Dan Papa menyanggupinya. Mama pergi dengan langkah berderap, meninggalkan rumah kami. Aku syok. Aku nggak pernah menyangka kalau akan begini akhirnya. Sebelumnya aku malah berpikir akan membuat mereka adem-ayem seperti dulu lagi. Akhirnya aku sadar itu nggak mungkin.
            Selama sebulan lebih Papa mulai mengurus dokumen-dokumen untuk perceraian mereka. Papa jadi mondar-mandir Jogjakarta-Semarang. Aku dengar dari Papa, sidang perceraian Papa dan Mama akan dilaksanakan di Semarang. Mas Elang pun nggak tahu-menahu soal ini. Papa juga sudah mengontak salah satu pengacara terkenal di Jogjakarta.
            Sidang perceraian pertama berlangsung dua tahun kemudian dan dilaksanakan di Semarang. Ketika itu aku nggak datang karena sedang mempersiapkan Ujian Nasional SMA. Mas Elang sepertinya juga nggak datang karena sedang mengerjakan skripsi. Biasanya dalam sidang pertama akan disarankan menjalankan mediasi.
            Dan memang benar. Papa dan Mama menjalani masa mediasi selama hampir satu tahun. Masing-masing didampingi pengacara. Mediasi pun ternyata gagal. Papa dan Mama bersikukuh untuk bercerai. Papa dan Mama menjadi sosok mengerikan yang nggak aku kenal.
            Sejak saat itu aku mulai ragu dengan adanya cinta. Papa dan Mama saja yang menikah hampir 20 tahun bisa bercerai. Oh, Mama juga pernah mengatakan kalau nggak pernah ada cinta dianatara mereka. Lalu, cinta itu apa? Sesuatu yang nggak berguna?
            Dalam hati aku tahu kalau cinta itu nggak ada yang bertahan selamanya. Waktu akan menghapuskan rasa itu. Atau memang, perasaan itu hanya kamuflase dari rasa-rasa lain. Ya, perasaan lain yang mengatasnamakan cinta. Papa dan Mama, contohnya. Aku nggak tahu bagaimana mereka bisa mempertahankan pernikahan hampir selama 20 tahun dan mengatakan nggak pernah ada cinta, seolah-olah aku dan Mas Elang itu nggak ada. Sakit hati? Pasti.
            Kita harus mempertahankan cinta kalau ingin terus bersama dengan pasangan masing-masing. Begitu, kan? Lalu, bagaimana caranya? Menghentikan waktu agar ia nggak bisa melunturkan perasaan abstrak itu? Atau malah lebih baik kita nggak perlu mengecap manisnya cinta agar kita juga nggak perlu merasakan pahitnya?
            Aku jadi anti-pati dengan cinta, Ik. Aku menjaga hatiku baik-baik agar nggak merasakan perasaan itu. Aku terlalu takut untuk jatuh. Karena dimana-mana jatuh itu nggak enak, sakit. Biarlah sekalian aku nggak pernah jatuh cinta daripada hatiku jatuh pada tangan yang salah. Tapi semua berubah sejak kita bertemu.
            Sebelum aku kenal kamu, aku percaya kalau hidup sendirian itu lebih baik. Atau, paling nggak, aku hanya kenal dengan Ayah dan Mas Elang. Mereka berdua nggak mungkin menyakiti aku, kan? Aku nggak mau kenal dengan banyak orang. Takut menghadapi masalah yang datang, takut sakit hati. Dengan nggak mengenal banyak orang itu berarti aku memperkecil kemungkinan akan jatuh cinta dan sakit hati, kan? Karena aku percaya nggak ada orang yang berhak disakiti.
            Kamu masih ingat pertemuan pertama kita, kan? Waktu itu hujan sedang turun dengan derasnya dan kita bertemu di sebuah kafe dekat rumahmu. Kamu datang menghampiri aku dengan baju yang basah kuyup karena kehujanan. Kita mengobrol banyak waktu itu. Aku berkata padamu kalau aku sedang ada urusan, kan? Makadari itu aku menyempatkan datang. Padahal hari itu hatiku sedang kacau. Paginya persidangan kedua Papa dan Mama dilaksanakan di Semarang. Mereka berdua resmi bercerai dengan hak asuh atas aku dan Mas Elang diberikan pada Papa.
            Sejak kita bertemu, aku jadi nggak se-antipati seperti dulu dengan cinta. Kamu itu mungil, kamu tahu? Karena itu aku jadi ingin selalu melindungi kamu. Masih ingat, kan, jaket yang aku berikan kepada kamu waktu pertemuan pertama kita? Itu gerakan alam bawah sadarku untuk menyerahkannya pada kamu.
            Aku nggak bermaksud untuk menggombal atau membual, tapi itu nyata. Aku jadi lebih bisa terbuka. Aku sendiri nggak tahu kenapa. Kamu memberikan pengaruh tersendiri untuk aku. Belum lagi pertemuan-pertemuan singkat kita ketika mencuri-curi jadwal kuliah untuk saling mengunjungi. Percakapan kita lewat SMS, jejaring sosial, bahkan percakapan online lewat Skype pun membuat hatiku seperti tergelitik.
            Pernah, suatu hari, Papa memandangku dengan aneh. Aku nggak tahu jenis pandangan macam apa itu. Tapi Papa hanya tersenyum setelahnya. Papa bilang aku sudah besar. Papa mengatakan hal itu setelah kita menghabiskan berjam-jam mengobrol via Skype. Apa Papa menyadari sesuatu, ya? Akhirnya setelah aku bercerita pada Mas Elang, aku tahu apa yang Papa maksud. Itu soal kamu, soal kita.
            Pertama kalinya kamu mengunjungiku setelah kita jadian adalah pada awal bulan Agustus. Aku menjemput kamu di Stasiun Tugu pada siang hari. Kamu bilang kalau kamu akan berada di Jogjakarta selama hampir satu minggu. Kamu tahu? Aku sudah merencanakan akan mengajak kamu pergi kemana saja sejak seminggu sebelum kamu datang. Aku mencari referensi angkringan paling bagus untuk kita kunjungi. Kebetulan saat kamu datang ke rumahku, Papa sedang nggak ada di rumah. Tetapi aku sudah bilang sebelumnya pada Papa kalau pacarku akan menginap disini.
            Kita pergi ke banyak tempat yang belum pernah kamu kunjungi. Setiap pagi selama satu minggu pun kamu memasakkan kita makanan untuk sarapan dan makan siang. Sedangkan malamnya kita selalu mengunjungi angkringan yang berbeda selama satu minggu itu. Ternyata referensi angkringan bagus dari Mas Elang berguna juga.
            Aku nggak percaya kalau akhirnya aku bisa jatuh cinta. Seharusnya orang-orang nggak perlu menamainya dengan jatuh cinta karena jatuh itu dimana-mana selalu sakit. Cukup menyebutnya cinta saja. Dengan begitu, nggak ada kata jatuh. Dengan harapan, setiap kali kita merasakan cinta, kita nggak perlu juga untuk jatuh dan merasakan sakit. Begitu, kan?
            Aku sempat berdoa pada malam hari. Ketika itu kamu sudah tidur. Karena aku yang masih belum percaya bahwa cinta akan sebahagia ini, aku berdoa pada Tuhan.. Kalau ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku. Cinta itu berjuta rasanya, aku percaya. Dan dari jutaan rasa itu, nggak ada yang membuat aku sakit.
            Pada masa awal kita pacaran, aku masih belum percaya kalau kamu ada disisiku. Aku juga masih belum percaya kalau aku bisa berkompromi dengan diriku sendiri untuk merobohkan benteng dalam hatiku. Kamu juga membuat aku percaya kalau cinta itu ada. Nggak hanya aku yang membuat kamu percaya lagi pada cinta, kamu juga melakukan hal yang sama untuk aku.
            Hari terakhir kamu berada di Jogjakarta, aku tertidur sampai tengah hari karena malam sebelumnya kita berkeliling Jogjakarta. Karena alarm yang nggak berbunyi seperti semestinya, aku pun nggak bangun seperti semestinya. Padahal jadwal kereta yang akan membawamu kembali ke Salatiga adalah pagi-pagi sekali, sekitar pukul lima.
            Siangnya, ketika aku bangun, aku nggak menemukan kamu di seluruh sudut rumahku. Aku mulai panik dan berpikiran kalau seminggu bersamamu memang benar-benar mimpi. Sampai akhirnya aku menemukan surat didekat alarmku. Surat dari kamu. Barulah aku benar-benar yakin kalau seminggu ini bukan sekedar mimpi.
            Dalam surat itu kamu bilang kalau kamu nggak tega membangunkan aku untuk mengantar kamu ke stasiun. Jadinya kamu berangkat sendiri menggunakan becak. Aku merasa bersalah sekali karena sebelumnya aku sudah berjanji akan mengantar kamu ke stasiun. Sepertinya aku tahu siapa yang mematikan alarmku waktu itu. Kamu, ya?
            Pada awal Februari kemarin, aku ke rumahmu. Tetapi ternyata kamu nggak ada. Ayah kamu bilang kamu sedang ke Semarang bersama teman-teman sefakultasmu. Akhirnya aku mengobrol bersama beliau selama lebih dari empat jam.
            Ayah kamu memang sudah merestui kita berdua semenjak awal kita pacaran, tapi... sejak kapan beliau menjadi sebegini bersemangatnya untuk menikahkan kita? Lagipula kita berdua juga masih beum lulus kuliah. Kita masih mengurus skripsi. Ketika itu beliau berkata bahwa kita berdua sudah cukup dewasa untuk itu.
            Aku hanya tertawa saja ketika beliau memintaku kembali berkunjung ke Salatiga bersama Papa dan Mama. Aku tertawa bukan karena menyetujui idenya tetapi lebih kepada... Papa dan Mama? Mereka sudah bercerai.
            Satu yang paling aku ingat. Beliau ingin akhir tahun ini aku sudah melamar kamu. Aku masih memikirkannya. Aku takut akhir tahun nanti kita berdua belum wisuda. Aku ingat betul komitmen kita. Kita nggak akan melangkah kejenjang yang lebih tinggi kalau kita berdua belum wisuda. Aku sendiri, akan diwisuda pada pertengahan Oktober.
            Bagaimana menurutmu? Papa juga berkata kalau kita sudah cukup dewasa. Beberapa kali Papa memang bertanya mengenai hal sensitif itu tetapi aku hanya tertawa kecil menanggapinya. Apakah Ayahmu nggak pernah menyinggung soal itu di hadapanmu?
            Ya sudahlah. Mungkin kita memang perlu bertemu untuk membicarakannya. Hanya aku dan kamu. Nggak perlu mengajak Papa dan Ayah terlebih dahulu. Aku takut mereka akan menyuruh kita menikah secepatnya sementara kita berdua belum lulus kuliah. Aku nggak mau proses pembuat skripsi kita terganggu.
            Mungkin minggu depan aku akan ke Salatiga. Mengunjungi sepupuku dan kamu. Kamu ingin kita bertemu dimana? Bagaimana kalau di kafe tempat pertemuan pertama kita? Setelah kita berbicara berdua, barulah aku akan menemui Ayahmua. Begitu?
            Sekali lagi, selamat tanggal 7 Juni yang keempat, Oikku. Tetap jadi Oikku yang seperti ini, ya. Semoga kita langgeng dan waktu juga nggak akan melunturkan perasaan ini. Semoga proses pembuatan skripsi kita juga nggak menemui banyak masalah agar cepat disidang bersama para dosen.
            You’re the only exception..

Tons of love,
Cakka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS