Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

THE UNTITLED STORY [2 of 4]

            Seminggu kemudian..

            Oik berjalan dengan tergesa-gesa menuju Sekretariat OSIS. Pasti rapat mengenai LDKS yang akan diselenggarakan besok sudah dimulai. Ini semua gara-gara Sivia dan Pricilla! Kedua sahabatnya itu tadi mengajaknya makan di kantin. Mentang-mentang keduanya tidak mencalonkan sebagai anggota OSIS lagi, mereka jadi semena-mena menculik Oik saat rapat digelar! Huh!

            Oik mengetuk pintu Sekretariat OSIS dengan hati-hati. Setelah itu, ia membukanya. Seluruh pasang mata di dalamnya memandang tajam ke arahnya. Oik masuk seraya tersenyum kikuk, lalu mengambil tempat duduk di samping Keke –adik kelasnya–.

            Oik mengerling ke depan. Para senior OSIS sedang memimpin rapat. Ada Zahra, Angel, Rio, Kiki –Ketua OSISnya–, Lintar –Wakil Ketua OSIS–, Irva –Ketua Panitia LDKS–, dan Rahmi –Bendahara I OSIS–.

            Oik mengedarkan pandangannya. Rupanya Cakka dkk itu juga mencalonkan sebagai anggota OSIS. Oik menggerutu dalam hati. Mau jadi apa OSIS tahun ini kalau anggotanya kayak mereka ini?

            “Ya sudah, rapat saya tutup. Setelah ini langsung pulang, jaga kesehatan. Besok kita berangkat ke daerah Trawas, Mojokerto. Barang-barangnya juga jangan sampai ada yang ga dibawa.” Angel menutup rapat dengan senyum sinisnya.

            Angel, Rio, Kiki, Lintar, dan Rahmi langsung keluar dari Sekretariat OSIS. Sedangkan Zahra dan Irva menunggu sampai seluruh adik-adiknya keluar. Pasalnya, Zahra yang membawa kunci ruangan ini. Jadi, dia yang akan menguncinya.

            “Ik! Oik!”

            Oik menengok ke belakang sambil membenahi dasinya. Ada Shilla yang berdiri beberapa meter di belakangnya bersama Cakka cs. Oik mengangkat salah satu alisnya, membuat Shilla serta Cakka cs datang menghampirinya.

            “Hay, Kak.” Alvin tersenyum lebar seraya agak menganggukkan kepalanya, Oik hanya menatapnya datar.

            “Halo, Mbak!” Cakka mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk berhigh five dengan Oik tapi sama sekali tak diperdulikan olehnya.

            Shilla memandang Alvin, Cakka, Deva dan Ozy – teman keduanya– dengan tersenyum kecil, lalu beralih pada Oik, “Ikut LDKS, kan, Ik?”

            Oik mengangguk, “Iya. Kenapa, Shill?”

            “Jangan jutek-jutek, dong, Mbak.” celetuk Deva dan dia berhasil mendapatkan pelototan tajam dari Oik.

            “Kamu tadi, kan, ga dateng rapat dari awal. Nanti aku SMSin ke kamu aja, ya, barang-barang apa yang harus dibawa?” tawar Shilla.

            “Ga usah,” Oik menggeleng dan tersenyum berterima kasih. “Aku udah tau, kok, Shill. Aku, kan, juga ikut LDKS tahun lalu... ga kayak kamu. Aku juga bisa tanya Mbak Irva.”

            Shilla hanya mengangguk mengerti dan tersenyum kikuk.

**

            Keesokan harinya..

            Para peserta LDKS telah siap di barisan masing-masing. Dan, sialnya, Oik harus berbaris di dekat Cakka cs. Satu hal lagi yang membuat Oik kesal adalah sinar matahari yang menyengat itu membuatnya agak sedikit limbung. Oik memang tidak bisa berada di bawah sinar matahari dalam waktu yang lama. Ia bisa pingsan dibuatnya.

            “Kenapa, Kak?” Alvin melongokkan kepalanya pada Oik.

            Oik menggeleng lemah, “Ga kenapa-kenapa. Cuman kepanasan.”

            “Aku bawa jaket, Mbak. Mau pinjem?” tawar Cakka, lagi-lagi ia tersenyum lebar.

            “Aku juga bawa.” Oik melirik Cakka dingin.

**

            Seluruh peserta LDKS beserta para senior OSIS turun dari dalam bus. Mereka semua dihadapakan dengan barisan bukit yang hijau. Para peserta LDKS kembali berbaris, dipimpin oleh beberapa orang dari event organizer yang disewa oleh para seniornya. Senior-senior itu mengawasi mereka dari bawah teduhnya pepohonan. Oik menatap kakak-kakaknya dengan raut wajah sebal.

            Oik berbaris di dekat Gita dan Nova –teman seangkatannya–. Para peserta LDKS pun mulai berjalan, menaiki dan menuruni perbukitan di depannya. Zahra, Irva, Rahmi, Angel, Kiki, Lintar, dan Rio mengikuti mereka dari belakang. Zahra sudah berjaga-jaga membawa Oxycan –Oxygen Can– untuk Oik.

            Dan, benar saja, baru beberapa kilometer berjalan, Oik sudah lemas. Wajahnya sudah sepucat mayat hidup, bibirnya sudah seputih kapas. Akhirnya ia dibopong oleh Zahra dan Irva. Rahmi dan Angel mengipasi Oik. Rio membawakan Oxycan Oik. Kiki dan Lintar tetap berjalan bersama para peserta LDKS yang lain.

            “Sok-sokan ikut pendakian, sih, Ik..” cibir Rahmi.

            “Mbak Rahmi, nih... ngeselin!” Oik merajuk dengan suara manjanya. “Kan, biar bareng-bareng sama yang lainnya juga. Masa aku langsung ke perkemahan, sih? Sendirian, dong!”

            “Butuh Oxycan, Ik?” tanya Rio.

            Oik menggeleng cepat, “Masih kuat, kok, Mas!”

            Akhirnya Oik kembali berdiri. Tangan kanannya digandeng oleh Zahra dan tangan kirinya digandeng oleh Angel. Rahmi dan Rio berjalan di depannya. Perlahan, mereka berlima menyusun rombongan lainnya yang sudah jauh di depan.

            “Mbak, calon anggota OSISnya, kok, gini semua, sih?” Oik memperhatikan adik-adik kelasnya dengan prihatin.

            “Cakka cs, ya?” tanya Rahmi.

            Oik mengangguk, “Iya, Mbak. Gitu, kok, ya, diterima..”

            Irva mengangkat bahunya, “Tanya Ketua OSISmu aja, Ik. Dia bilang Cakka c situ kurang diasah aja kemampuannya.”

            “Udah jelas-jelas nakal gitu, kok! Buktinya, waktu MOS, kan, mereka jadi troublemaker, Mbak.” Oik menimpali dengan kesal.

            “Tenang... Cakka, Alvin, Deva, sama Ozy itu takut sama aku.” Rio menyombongkan dirinya.

            Angel menyoraki Rio dengan hebohnya. Ia sampai mendorong bahu Rio karena gemas dengan percaya dirinya yang selangit itu. Oik pun tertawa. Tak terasa, asmanya sudah mulai sembuh. Tumben sekali asmanya kumat tidak berlangsung lama.

**

            Seluruh rombongan pendakian sampai di area perkemahan dengan peluh yang menetes deras. Para peserta LDKS duduk melingkar di depan tenda. Oik menyusul dan duduk di samping Shilla karena hanya tempat itulah yang masih kosong.

            “Asma kambuh, Ik?” tanya Shilla.

            Oik mengangguk dan tersenyum jengah, “Iya, tapi udah mendingan. Ini udah ga kenapa-kenapa, kok.”

            Shilla mengangguk mengerti. Gadis itu kembali meluruskan kakinya. Begitupula dengan Oik. Mereka berdua terlibat pembicaraan seru seputar MOS seminggu yang lalu. Apalagi ketika Oik mendapatkan banyak surat yang menyatakan bahwa dialah panitia MOS yang paling galak.

            “Dek!” Angel berdiri di tengah lingkaran bersama dengan Rio. “Ini air mineral gelasnya setiap orang dapet jatah satu. Cepetan diminum. Setelah ini, kita ada games di sungai belakang.” Angel mengedik ke belakang tenda. Ada sungai berair jernih di sana.

            Dengan cepat, Rio membagikan kepada adik-adiknya segelas air mineral. Setelah itu, para senior dan beberapa orang dari event organizer segera menuju sungai untuk mempersiapkan peralatan games.

            “Mbak, gamesnya nanti ngapain?” tanya Cakka pada Shilla.

            Shilla menggeleng dan tersenyum masam, “Ga tau, dek. Tanya Mbak Oik aja. Aku, kan, tahun lalu ga ikut LDKS.”

            Cakka mengangguk dan kemudian beralih pada Oik, “Mbak, gamesnya nanti ngapain?”

            “Pipa bocor.” Oik menjawab pendek.

            Cakka kembali menengok pada Alvin, Deva, dan Ozy. “Dev, Zy, dulu di SMP Permata games LDKSnya apa, ya?”

            Deva, Ozy, dan Cakka adalah alumnus SMP Permata. Dulu –semasa SMP– ketiganya merupakan anggota OSIS juga. Deva pada Sekbid 2 yang menangani soal Pendidikan, Ozy pada Sekbid 7 soal Olah Raga, dan Cakka pada Sekbid 8 yang merupakan spesialis Kesenian. Sedangkan Alvin adalah alumnus SMP Langit Jingga.

            Ozy mengedik pada Deva dan menjawab, “Lupa, Kka. Udah lama juga..”

            Shilla menengok pada ketiga adik kelasnya itu dengan raut wajah kaget, “Kalian alumnusnya SMP Permata?” ketiganya mengangguk bersamaan. “Ik, kamu alumnus SMP Permata juga, kan?”

            “Mbak Oik alumnus SMP Permata?” tanya Cakka dengan mata berbinar.

            “Iya.” Oik kembali menjawab dengan pendek dan dingin.

            “Tapi aku ga pernah lihat Mbak Oik, lho..” Ozy juga terlihat kaget.

            Oik memandang tajam ketiga adik kelasnya itu, “Kalian pikir aku pernah lihat kalian waktu SMP? Emang penting? Buang-buang waktu aja.”

            Oik bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju sungai. Cakka, Alvin, Deva, dan Ozy dibuat melongo oleh keketusan Oik barusan. Ketiganya tak menyangka bahwa Oik akan tetap menjadi senior yang ketus seperti ketika MOS. Shilla hanya memandang Oik dengan menggelengkan kepalanya, memaklumi.

            “Mungkin Mbak Oik masih kebawa suasana MOS.” Shilla mencoba menjelaskan.

            “Tapi Mbak Shilla udah ga kebawa suasana MOS, kan? Kok Mbak Oik masih kebawa?” tanya Deva dengan raut wajah –agak– sebal.

            “Mbak Shilla yang pas MOS jadi SK aja bisa baik ke kita. Mbak Oik yang cuman panitia biasa, kok, tetep jahat?” Ozy ikut menimpali.

            “Hus!” Alvin menoyor kepala Ozy. “Ceplas-ceplos banget kamu! Mbak Oik itu pas MOS pegang jabatan double, tau! Sekretaris sekaligus bendahara!”

            “Kamu tau dari mana, Vin?” tanya Cakka dengan pandangan tak suka.

            “Dari Mbak Shilla.” Alvin pun memamerkan cengiran lebarnya pada Cakka, Deva, dan Ozy.

            “Udah, ah. Ga baik ngomongin orang terus. Ntar Mbak Oiknya tau, kalian bisa dimarahin.” Shilla pun bangkit berdiri lalu membersihkan rok pramukanya yang kotor karena rerumputan. “Ke sungai belakang sekarang, yuk!”

            Cakka, Deva, dan Ozy berdiri pula tanpa banyak bicara. Hanya Alvin yang masih duduk dan mendongakkan kepalanya ke atas. Ia mengulurkan tangannya ke atas, bermaksud ingin dibantu berdiri. Cakka, Deva, dan Ozy menatapnya malas. Shilla memandangnya dengan tersenyum simpul.

            “Ayo, sini.. Berdiri!” Shilla membalas uluran tangan Alvin.

            Cepat-cepat Alvin menjauhkan tangannya dari Shilla dan menampakkan wajah malaikatnya, “Maaf, Kak.. Kita bukan muhrim.” Alvin menjawab dengan kalem.

            Shilla pias. Ia kembali menarik uluran tangannya kemudian berbalik dan melangkah menuju sungai. Meninggalkan keempat adik kelasnya itu dengan diselimuti kebingungan.

            “Kamu, sih, Vin! Mbak Shilla ngambek, tuh!” Deva mengulurkan tangannya untuk membantu Alvin berdiri dengan malas.

            “Ya, kan, aku cuman bercanda. Kak Shilla aja yang terlalu serius nanggepinnya.” bantah Alvin.

            Keempatnya pun berjalan menuju sungai dengan cepat. Pasalnya, para peserta LDKS yang lainnya telah melenggang menuju sungai sejak lima menit yang lalu. Begitu mereka sampai di bantaran sungai, mereka melihat para peserta lain telah berbaris membentuk lima banjar.

            “Kalian berempat!” Angel berteriak dari depan. “Kenapa telat kemari?”

            “Maaf, Kak.” Alvin, Cakka, Deva, dan Ozy hanya mampu menundukkan kepala mereka.

            “Udah, cepet baris! Jangan buang-buang waktu.” Rahmi menimpali.

            Keempatnya segera berbaris. Kebetulan, banjar paling kanan baru terisi oleh tiga orang, kurang empat lagi. Jadilah mereka semua berbaris pada banjar paling kanan tersebut. Rupanya mereka sebanjar dengan Oik, serta dua teman seangkatan mereka lainnya –Dea dan Agni–.

            Alvin –yang berbaris di depan ketiga temannya yang lain– mencolek bahu Agni dari belakang, “Games pipa bocor, Ag?” tanyanya.

            Agni mengangguk, “Iya. Ssstt!” Gadis itu menyilangkan telunjuknya di depan bibir. “Bilangin Cakka, Deva, sama Ozy.. Jangan rame! Nanti kalian ga denger penjelasan dari Kak Angel, tau!”

            Alvin mengangguk. Ia memberikan kode kepada ketiga temannya itu agar jangan berbicara sendiri dan mendengarkan penjelasan tentang permainan pertama ini dengan baik. Cakka, Deva, dan Ozy pun diam. Mereka semua menyimak penjelasan dari Angel dengan seksama.

            “Nah! Kelompoknya dibagi menurut banjar masing-masing, ya! Satu banjar, satu kelompok!” Angel mengakhiri penjelasannya.

            Oik, yang berbaris paling depan, segera menengok ke belakang. Ia kaget bukan main ketika mendapati bahwa ia akan sekelompok dengan keempat adik-adik troublemaker itu. Ia menggeram dalam hati dan kembali menghadap ke depan.

            Kelima kelompok tersebut segera masuk ke dalam sungai. Alhasil, seragam pramuka mereka menjadi basah kuyup. Kelompok pertama berada di tengah-tengah sungai, kelompok kedua di sebelah utara kelompok pertama, kelompok ketiga di sebelah timur kelompok pertama, kelompok keempat berada di sebelah selatan kelompok pertama, dan kelompok kelima berada di sebelah barat kelompok pertama.

            “Mbak, masuk sungai ga bikin asmanya kambuh lagi, kan?” tanya Cakka khawatir.

            Oik menggeleng dan tersenyum tipis, “Ga, kok. Ga selebay itu juga, lah, asmaku!”

            “Wah! Mbak Oik bisa senyum!” Cakka memekik heboh.

            “Kamu pikir Kak Oik itu robot?” Alvin menginjak kaki Cakka hingga temannya itu mengaduh kesakitan.

            “Ya! Di tengah-tengah kalian semua sudah ada sebuah pipa yang memiliki lubang di mana-mana. Di dalamnya ada sebuah bola kecil. Tugas kalian adalah mengisinya dengan air sungai hingga bola kecil itu keluar dari dalam pipa.”

            Begitu peluit dibunyikan, seluruh kelompok tersebut mulai sibuk sendiri mengisi masing-masing pipa dengan air sungai. Ada yang bertugas menutup lubang-lubangnya dan ada juga yang bertugas menimba air lalu menuangkannya ke dalam pipa.

            “Ga ngaruh, nih!” seru Agni dengan sebal.

            “Ya sabar, Ag!” Ozy menimpali dengan tak kalah kesalnya.

            “Logika kalian jalan ga, sih? Yang ditutup jangan cuman lubang-lubang yang ini, dong!” Oik pun ikut berseru dengan kesal.

            “Terus yang mana lagi, Mbak?” tanya Ozy. Ia bertugas menimba air dan memasukkannya ke dalam pipa.

            “Yang di bawah masih bolong!” pekik Alvin, seakan baru menyadari sesuatu.

            Oik mengangguk. Rupanya logika anak-anak troublemaker ini berjalan juga. Oik tersenyum dalam hati. Akhirnya, Dea yang menutup lubang bawah pipa yang mengangalebar. Ozy pun melanjutkan pekerjaannya.

            Perlahan, bola kecil itu mulai muncul dan akhirnya keluar dari dalam pipa. Kelompok Oik bersorak senang. Akhirnya mereka pun diperbolehkan kembali ke bantaran sungai dan duduk-duduk di bawah pepohonan sambil menunggu kelompok lain yang tak kunjung berhasil mengeluarkan bolanya.

            “Mbak, Mbak Oik jangan jutek-jutek, dong..” rajuk Dea.

            “Siapa yang jutek? Ga ada.” Oik terkekeh pelan setelahnya.

            “Ya Mbak Oik yang jutek!” Agni cemberut. “Waktu MOS jutek. Ini tadi juga jutek. Tapi, kok, tadi bisa senyum, Mbak?”

            “Lagi bete aja kemarin-kemarin.” Oik kembali tersenyum simpul.

            “Tuh, kan, senyum lagi!” Cakka kembali memekik dengan heboh.

            “Berisik, Kka!” Deva menempeleng wajah Cakka dengan tidak berperasaan.

            “Berarti kalau Mbak Oik jutek itu Mbak Oik lagi badmood?” tanya Dea, memastikan.

            Oik mengangguk, “Iya, Dek.”

            “Kak Oik berarti sering badmood, ya..” gumam Alvin seraya tersenyum simpul

            “Udah takdir, Vin, kalau aku sering badmood.” Oik tertawa kencang.

            “Jangan badmood lagi, ya, Mbak..” kata Cakka. Ia menatap Oik lurus-lurus dan tersenyum tulus padanya.

            Oik kembali tersenyum. Ia mulai nyaman berada di antara mereka. Semangat, Oik! Ia masih akan menjalani dua hari kedepan dalam kegiatan LDKS dengan mereka-mereka ini. Oik tak menyangka mereka adalah adik kelas yang menyenangkan begini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PROSES MELUPAKANMU [Cerpen]

#NowPlaying: Abdul & The Coffee Theory – Proses Melupakanmu

**

            Senin, 3 Januari 2011

            Oik terlihat baru saja keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya. Kini, gadis itu sedang berdiri menghadap jendela kamarnya seraya mengeringkan rambut menggunakan handuk. Dan jika kau memperhatikan wajah gadis itu lebih seksama lagi, kau akan melihat lingkaran hitam di sekeliling matanya.

            Rambutnya memang masih basah dan Oik membiarkannya. Ia sampirkan handuknya pada sebuah besi jemuran kecil di depan kamar mandinya. Setelahnya, Oik duduk di depan meja riasnya. Ia sedikit membungkukkan badannya, melongok ke bawah meja riasnya lalu mengambil tiga kotak kardus berukuran sedang dan meletakkannya di atas meja rias.

            Oik membuka kotak pertama dan mengabaikan dua kotak yang lainnya. Tepat pada penutup kotak tersebut, terdapat tulisan Januari-April 2010. Oik mengeluarkan seluruh isinya, memperhatikan benda-benda tersebut satu-persatu. Kotak kedua bertuliskan Mei-Agustus 2010. Dan kotak ketiga bertuliskan September-Desember 2010.

            Ketiga kotak tersebut berisikan barang kenangannya bersama seseorang, bersamanya. Ada banyak tiket bioskop, cincin kecil yang terbuat dari ilalang, berbagai surat darinya, dan masih banyak lagi. Oik tersenyum kecut melihat benda-benda tersebut.

            “Bagusnya, sih, dibuang aja..” Oik tertawa miris.

            Oik pun bangkit setelah memasukkan barang-barang tersebut kembali ke dalam kotak. Dengan langkah gontai, Oik berjalan menuju gudang rumahnya. Oik meletakkan ketiga kotak tersebut pada sudut terdalam gudangnya. Juga, meletakkan sang pemberi barang-barang itu pada sudut terdalam hatinya, menutupnya rapat-rapat, dan takkan membukanya kembali.

            “Bye. Thanks for all the beautiful memories. And thanks, too, for the pain.”

**

            Sabtu, 1 Januari 2011

            Oik membaca urutan ranking kelasnya di mading. Oik mendapatkan peringkat ketiga di kelasnya. Matanya terbelalak kaget mendapati namanya berada di peringkat pertama. Gadis itu tersenyum simpul memandang namanya. Lihat, hanya dengan membaca namanya pun Oik sudah tersenyum simpul begini.

            Oik melongok ke dalam kelas. Rupanya Bundanya masih mengantri untuk mengambil raport semester pertamanya sebagai siswi kelas dua belas di sini. Oik meninggalkan Bundanya dan berlalu menuju taman sekolahnya. Biasanya dia berada di sini, duduk di bawah pohon rindang seraya memejamkan mata, menikmati semilir angin yang membelai kulitnya.

            Oik tertawa kecil seraya berjalan menghampiri pohon rindang itu. Dia duduk membelakanginya, tubuhnya tertutupi oleh batang besar pohon itu. Oik berhenti pada jarak satu meter darinya, melongokkan kepala ke balik pohon tersebut.

            Tes.. Tes.. Tes..

            “Selamat, ya! Kamu dapat peringkat pertama di kelas. Kamu memang hebat!” suara lembut seorang gadis terdengar memuakkan di telinga Oik.

            Oik menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia menutup matanya seiring dengan buliran bening yang semakin gencar menetes dari kedua matanya. Saat itu pula, gadis memuakkan itu menciumnya. Menciumnya! Oik terisak pelan.

            Kedua orang di bawah pohon itu menengok pada Oik. Dia segera berdiri dan mengibaskan tangan gadis memuakkan itu dari lengannya. Dia berjalan perlahan menghampiri Oik dengan wajah pucat. Tangannya menggapai tangan Oik. Dan, dengan cepat, Oik mengibaskan tangan itu dari tangannya sendiri.

            “Aku bisa jelasin, Ik..” dia berkata lirih.

            “Mau jelasin apa lagi kamu?” Oik berteriak keras, diiringi isakan tangisnya yang semakin keras.

            Oik memandangnya sinis. Pandangannya berubah semakin sinis ketika gadis memuakkan itu ikut berdiri dan menggamit lengannya dengan manja. Gadis memuakkan itu tersenyum penuh kemenangan pada Oik. Dia mencoba melepaskan gamitan tangan gadis memuakkan itu tapi gagal. Gadis memuakkan itu menggamit lengannya dengan erat.

            “Lo ngapain, sih? Lepas!” Lagi-lagi dia gagal melepaskan gamitan gadis memuakkan itu dari lengannya sendiri.

            Oik tersenyum sinis. Plak! “Ini karena lo udah berani-berani ngerebut dia dari gue.” Oik beralih padanya. Sekali lagi, Oik melayangkan telapak tangannya. Plak! “Dan ini, karena lo udah ngekhianatin gue di depan mata kepala gue sendiri!”

            Wajah gadis memuakkan itu mengeras. Telapak tangannya sudah melayang. Dan, untungnya dia menahannya. Mencengkeram tangan gadis memuakkan itu dan mengibaskannya begitu saja sampai-sampai gadis memuakkan itu mengaduh kesakitan.

            Oik mendongakkan wajahnya dan tersenyum miring, “Apa, lo? Mau nampar gue? Sini, tampar!” Oik kembali beralih padanya. “Dan buat lo, makasih! Kita sampai di sini aja!”

            Setelah mengatakannya, Oik berbalik, berjalan gontai meninggalkan taman sekolah tanpa menengok ke belakang. Ia tak melihat saat-saat dimana dia menatap penuh benci kepada gadis memuakkan itu, saat-saat dimana dia hampir saja melayangkan tinjunya pada gadis memuakkan itu jika saja ia tidak ingat bahwa gadis memuakkan itu adalah seorang perempuan.

            Tangan gadis memuakkan itu menahan lengannya yang akan berlari menyusul Oik, “Kamu mau ke mana, Kka?”

            Dia mengibaskan lengan gadis memuakkan itu, “Keterlaluan lo, Shill!”

            Dan saat itu pula, dia berlari mengejar Oik. Gadis memuakkan itu menatapnya dengan senyum miring dan berkacak pinggang.

            “Ik! Oik! Tunggu, Ik!”

**

            Selasa, 4 Januari 2011

            Oik menenteng banyak sekali kantung plastik di tangan kanan dan kirinya. Sesekali ia tertawa kencang karena lelucon sahabatnya, Sivia. Saat ini ia sedang window shopping bersama dua sahabatnya, Sivia dan Ify. Tangan ketiga gadis cantik itu pun telah menenteng berbagai macam kantung plastik dari butik dan toko aksesoris ternama.

            Mereka bertiga kembali memasukki sebiah butik yang menyediakan berbagai macam pakaian up to date. Oik, Sivia, dan Ify kembali memilih-milih pakaian yang terpajang di setiap sudut butik tersebut. Kali ini, masing-masing dari mereka menenteng lagi dua kantung plastik baru.

            “Makan siang, yuk? Laper gue!” Ify mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

            Sivia melirik Oik sekilas. Dilihatnya Oik menganggukkan kepala. Mereka bertiga pun berjalan menuju resto sushi tak jauh dari butik tersebut. Ketiganya duduk di sebuah meja yang cukup untuk empat orang. Salah satu bangku yang kosong mereka pakai untuk meletakkan belanjaan.

            “Alvin gimana, Siv?” tanya Oik, tangannya memainkan sumpit yang ada di hadapannya.

            Sivia menelan sushinya dan tersenyum simpul, “Gimana apanya? Ya, biasa aja..”

            “Rio?” kali ini Oik mengedik pada Ify.

            Ify memutar bola matanya dengan malas, “Manja banget!” desisnya.

            “Cakka?” Sivia dan Ify bertanya bersamaan.

            “Kami udah putus, guys.” Oik tersenyum tipis.

            Sivia dan Ify mendongak kaget. Setau mereka, Cakka dan Oik adalah pasangan paling adem ayem dan terserasi seantero sekolah. Tetapi kenapa bisa putus? Dan, kenapa mereka baru tau sekarang? Sahabat macam apa mereka ini?

            “Kok bisa, Ik?” Sivia bertanya dengan lirih.

            “Panjang ceritanya.” Oik mengedikkan bahu. “Udah, ah! I had so much fun today with you two, guys. Ga penting banget masih mikirin Cakka.” Oik kembali melahap dragon rollnya.

            “Ga ada kemungkinan buat balikan lagi, Ik?” tanya Ify dengan hati-hati.

            Oik tertawa sinis, “Kenapa kalian tanyanya sama gue? Tuh, tanya sama Cakka dan selingkuhannya!”

            “Lo yakin? Lo bisa ngelupain Cakka?” Sivia mencibir, lama-lama kesal juga dengan Oik yang sok jual mahal.

            “Bisa.” Oik berkata yakin. ...untuk saat ini. Nantinya mungkin ga akan bisa.

**

            Rabu, 5 Januari 2011

            Oik baru saja membuka matanya. Ia melirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah hampir tengah hari dan ia baru saja bangun. Oik mendesah pelan.

            Oik pun bangkit. Duduk termenung di bibir ranjangnya untuk beberapa saat. Ketika ia menyalakan ponselnya, tak ada satu pun SMS maupun telepon dan chat dari Cakka. Ia merasa kosong, hampa. Biasanya ia akan tersenyum sendiri membaca good morning text dari Cakka. Tapi sekarang? Ke mana dia? Oh, pasti bersama selingkuhannya. Oik tersenyum miris.

            Oik membuka history chat dan SMSnya dengan Cakka. Membacanya satu-persatu. Ada rasa senang dan sedih yang berkecamuk di hatinya. Kapan lagi ia akan mendapat pesan-pesan seperti itu dari Cakka? Ia yakin, pasti saat ini Cakka sedang bersama selingkuhannya itu. Huh!

From: Mr. CKN:-*
It’s already morn. Wake up, sweetheart!({})
Open ur eyes n see the sun outside. Beautiful, rite?
No, I think. U’re the most beautiful one in my life:-*
Lvyou!;;)

            “Sekarang siapa yang kamu panggil sweetheart? Siapa yang kamu kirimin good morning text segombal ini? Siapa? Shilla, kan? Bukan aku.” Oik tertawa sengau, segera ia hapus buliran bening yang kembali menetes itu.

From: Mr. CKN:-*
Happy anniv a year, sweetheart!({})
Wish we’ll last forever.
Actually, my love for u lasts forever. Hw ‘about ur love for me?:p
Ps: nanti mlm aku jmpt jm 7. We’ll hv a romantic dinner!:-*

            “Anniv?” Oik tertawa miris. “Kamu udah berapa bulan sama Shilla, Kka? Apa tiap anniv kamu sama Shilla, kamu bakal ajak dia dinner kayak kamu ajak aku dinner waktu first anniv kita?”

            Oik melemparkan ponselnya ke sembarang arah. “Kenapa kamu ga kasih aku kabar?” Oik termenung sesaat dan kembali tertawa miris. “Eh, aku siapa kamu, ya, kok aku minta kamu ngabarin aku? Oh, iya.. Berarti kamu sekarang lagi ngabarin keadaan kamu ke Shilla, ya.”

            “AAAAAAARRGGHH!! You’re driving me mad, Kka! All the time!” Oik berteriak frustasi. Ia menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan menangis tersedu-sedu hingga mentari berganti tahta dengan sang rembulan.

**

            Kamis, 6 Januari 2011

            Pagi-pagi sekali, Oik sudah terlihat rapi dengan dandanan kasual seperti biasa. Tanpa pamit pada sang Bunda, gadis itu berlari menuju garasi dan mengemudikan mobilnya entah ke mana. Pikirannya kosong, tak tau entah ke mana. Yang jelas, ia ingin mencarinya. Mencari Cakka.

            “Kamu dimana, Kka?” bisiknya.

            Oik akhirnya memutuskan untuk menuju kediaman Cakka. Rumahnya dan rumah Cakka memang terbilang dekat. Maka dari itu ia dapat sampai di kediaman Cakka tak sampai sepuluh menit kemudian. Setelah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, Oik turun, menghampiri pagar rumah keluarga Nuraga yang menjulang tinggi.

            Oik membunyikan bel. Dari sela-sela pagar, ia melihat seorang satpam sedang berlari tergopoh-gopoh untuk membukakan pagar. Begitu pagar terbuka, Oik langsung melongok ke dalam.

            “Mbak Oik? Cari Mas Cakka, ya?” tanya satpam keluarga Nuraga.

            Oik mengangguk cepat, “Cakka ke mana, ya, Pak?”

            “Wah, Mas Cakka baru saja pergi. Ga tau ke mana. Mau nunggu di dalam saja, Mbak?” tawarnya.

            Oik pasti akan mengangguk cepat jika ia tidak ingat bahwa ia telah memutuskan Cakka karena Shilla. Akhirnya Oik menggeleng dan tersenyum tipis pada satpam tersebut, “Ga usah, Pak. Saya langsung balik aja. Ga usah bilang ke Cakka, ya, kalau saya kemari.”

            “Iya, Mbak.” satpam tersebut mengangguk dengan bingung.

            Oik pun berbalik, kembali memasukki mobilnya. Ia kembali menatap rumah megah keluarga Nuraga dan mendesah pelan. Ke mana Cakka? Ke rumah Shilla? Pergi bersama Shilla? Berduaan dengan Shilla? Liburan dengan Shilla? Oik memukul kemudi mobilnya dengan keras. Telapak tangannya pun sampai memerah. Oik berteriak kencang, diiringi dengan isakan tangis yang mengencang pula.

            “Kamu ke mana, Kka? Aku kangen.” Oik berkata lirih.

**

            Jumat, 7 Januari 2011

            Oik masih terlelap walaupun sang mentari sedang gigih-gigihnya menyinari seisi dunia. Ia tak peduli walaupun ponselnya telah berbunyi berkali-kali, Bundanya yang mencoba membangunkannya semenjak subuh tadi, dan juga pembantunya yang membujuknya untuk sarapan.

            Ia seolah sudah tak punya semangat hidup, sudah bosan hidup. Bagaimana tidak? Orang yang biasanya selalu ada di sampingnya dan selalu menyemangatinya –dulu– kini telah hilang entah ke mana. Oik juga telah memergokinya sedang berduaan dengan gadis memuakkan itu. Kurang malang apalagi hidupnya saat ini?

            Tok tok tok..

            Pintu kamar Oik kembali diketuk. Oik segera menyembunyikan kepalanya di balik bantal, tak peduli jika orang di luar sana sampai memerah jemarinya karena terus-terusan mengetuk dan tak ia gubris sama sekali. Oik hanya ingin sendiri, di sini.

            “Ik, Oik?” Oik seperti mengenali suara lembut di luar sana, bukan Bundanya.

            “Ini kami, Ik.. Ify sama Sivia. Boleh masuk, kan?” Oh, mereka berdua rupanya.

            Oik tak menggubris kedua sahabatnya itu. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Sivia dan Ify sebal juga lama-lama. Sudah hampir lima menit mereka mengetuk pintu, Oik tak menjawab sama sekali. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung masuk saja, untung kamar Oik tidak dikunci.

            “Astaga, Oik!” Sivia terpekik kaget begitu mengetahui kamar Oik lebih berantakan daripada kapal pecah.

            Ify segera duduk di bibir ranjang Oik dan mengusap pelan punggung gadis itu, “Bangun, dong, Ik..” bujuknya.

            Sivia memandang Ify dan Oik sekilas. Gadis chubby itu hanya mampu menggelengkan kepalanya begitu menyadari betapa kacaunya Oik tanpa Cakka. Ini semua gara-gara gadis memuakkan itu, Shilla. Ya, ini semua gara-gara Shilla. Sivia pun kembali melanjutkan kegiatannya, membereskan kamar Oik.

             “Ik, bangun. Jangan jadi mayat hidup, dong, Ik! Lo mau Cakka sama Shilla seneng karena udah berhasil bikin lo terpuruk gini?” Ify mengoceh panjang-lebar dibuatnya.

            Akhirnya Oik pun menyingkirkan bantal dari wajahnya dan duduk, menghadap ke Ify. Sivia, yang telah selesai membereskan kamar Oik, ikut duduk di ranjang Oik. Ketiganya duduk melingkar.

            Oik mengedarkan pandangannya dan sedikit kikuk begitu menyadari Sivia lah yang telah membereskan kamarnya, “Thanks, Siv.”

            Sivia mengangguk dan tersenyum, “That’s what friends are for, right?”

            “Bangkit, dong, Ik!” Ify mengusap pelan bahu Oik dengan tersenyum tulus. “Jangan terpuruk terus, ah! Kalau gini caranya, ya, pasti Cakka sama Shilla bakal seneng banget karena mereka berhasil bikin lo bener-bener down.”

            Oik menunjukkan wajah angkuhnya, “Siapa yang terpuruk? Siapa yang down? Ga ada!”

            Sivia terkekeh pelan. Ify melongo hebat. Coba bayangkan, siapa yang tidak berkata Oik sedang terpuruk kalau begini caranya? Lihat wajah Oik. Bekas air mata ada di seluruh sudut wajahnya, kantung matanya sudah sangat lebar, wajahnya pucat, dan matanya berair. Apalagi ini kalau bukan habis menangis berhari-hari?

            “Bisa aja, sih, lo!” Sivia meninju pelan lengan Oik.

            Oik mengaduh kesakitan. Pasalnya, tinjuan Sivia tadi tepat mengenai lengannya yang sedang kram karena terlalu banyak tidur. “Sakit, bego!” desisnya.

            “Udah, ah!” Ify tertawa pelan. “Janji, ya, kalau lo ga bakalan nangisin orang macem Cakka lagi.”

            Oik menunduk dan mengangguk kecil, “Janji.”

            “Janji ga? Yang bener, kek, kalau janji!” bentak Ify.

            Oik mendongakkan kepalanya dan menatap Ify lurus-lurus, “Janji! Janji! Janji, Fy!”

            “Nah!” Sivia dan Ify segera menghampur dalam pelukan Oik.

**

            Sabtu, 8 Januari 2011

            Siang-siang begini Ify dan Sivia rela berpanas-panasan menuju rumah Oik dengan berboncengan motor. Mobil Ify sedang di bengkel dan mobil Sivia sedang dipinjam sepupunya. Jadilah mereka berdua pergi ke rumah Oik dengan motor. Begitu sampai di kamar Oik, keduanya langsung merebahkan tubuh di ranjang Oik dan melepas jaket dengan cepat.

            “Panas!” desis Ify.

            “Badai, deh!” desis Sivia.

            “Lo berdua ngapain kemari?” tanya Oik, melirik kedua sahabatnya itu dari sudut mata.

            Sivia segera bangkit dan mengeluarkan berlembar-lembar foto dari dalam tasnya, “Nih! Kandidat-kandidat yang bakalan jadi cowok lo.”

            “Baik, kan, kami? Kami khusus hunting cowok cuman buat lo seorang, Ik!” Ify menimpali.

            Oik melongok, menatap lima lembar foto yang dibawa oleh Sivia. Lima lembar foto dengan sosok yang berbeda di masing-masingnya. Oik harus mengakui bahwa dari kelima laki-laki di foto itu, semuanya oke! Yah, walaupun, tidak ada yang bisa menandingi okenya Cakka di hatinya.

            “Ini Ozy.” Sivia menyerahkan sebuah foto laki-laki berbehel kepada Oik. “Dia satu sekolah sama kita, tapi adik kelas. Dia most wanted. Anak kelas sebelas Sosial. Terakhir pacaran sama model yang namanya Pamella dan akhirnya putus karena Pamella egois.”

            “Muhammad Raynald Prasetya.” Ify mengangsurkan foto seorang laki-laki gondrong kepada Oik. “Panggilannya Ray. Drummer paling kece se-Jakarta! Mantannya seabrek dan cantik badai semua. Kata orang-orang, sih, dia agak playboy. Tapi gue sama Sivia ga percaya! Wajahnya dia polos banget, cuy!”

            “Yang ini namanya Gabriel.” Sivia menunjukkan foto seorang laki-laki berparas manis. “Alumni sekolah kita, baru aja lulus tahun kemarin. Sekarang kuliah di Universitas Indonesia, ambil jurusan Kedokteran. Pinter? Ga usah ditanya! Jenius ini, sih! Terakhir pacaran, sih, pas kelas 3 SMP sama Saras.”

            “Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. Tapi lo cukup panggil dia Deva.” Ify memberikan kepada Oik selembar foto laki-laki yang mengenakan pakaian adat Bali. “Bali tulen. Vocalist band sekolah. Seangkatan sama kita. Dari awal masuk dia udah suka curi-curi pandang ke lo. Baru aja digosipin sama Keke tapi pas gue tanya sama dia, dia jawab kalau dia ga ada hubungan apa-apa sama Keke.”

            “Nih, yang terakhir..” Sivia menyerahkan foto seorang laki-laki berwajah kalem.

            “Namanya Debo. Kalau ngomong masih suka pake Bahasa Sunda. Dia agak-agak mirip Cakka, sih. tapi, gue jamin, sifat mereka berdua beda banget! Debo ini kalemnya ga ketulungan. Denger-denger, sih, dia masih sama Itte. Tapi ga tau lagi, deh.” Ify mengakhiri penjelasannya dengan seulas senyum tipis.

**

            Sudah seminggu ini Oik mencoba melupakan Cakka. Tapi, hasilnya nihil. Usaha Ify dan Sivia untuk mencomblangkannya dengan Ozy, Ray, Gabriel, Deva, maupun Debo pun berantakan! Ada saja hal-hal kecil yang membuat Oik sama sekali tidak mau menjalani hubungan dengan kelima cowok tersebut.

            Ketika ia ngedate dengan Ozy, Oik benar-benar kalap. Bagaimana tidak? Ozy terus-terusan membandingkannya dengan Pamella. Apa-apa Pamella, apa-apa Pamella. Jadi, intinya, Ozy masih belum bisa melupakan Pamella. Terus, kenapa ia mau saja dicomblangkan Ify dan Sivia dengan Oik? Oik benar-benar tak habis pikir.

            Ray memang baik, ganteng, dan charming. Ketika mereka berdua jalan bareng di sebuah mall, Oik mengumpat dalam hati tiada habisnya. Pasalnya, setiap mereka berdua melangkah, selalu aja ada gadis-gadis cantik yang menyapa Ray. Dan setiap Oik bertanya siapa mereka, Ray akan menjawab dengan polosnya bahwa mereka adalah mantannya.

            Ify dan Sivia tidak salah pilih orang, kan? Gabriel, astaga! Laki-laki ini mengajaknya ngedate di perpustakaan kampus! Oh, salah. Gabriel tidak date dengannya, tapi date dengan buku-buku kedokteran yang tebalnya minta ampun itu! Mana mungkin Oik yang glamour bisa tahan menjalani hubungan dengan laki-laki macam Gabriel? Ify dan Sivia terlalu ngaco!

            Deva, Deva.. Oik jadi malas sendiri dengan laki-laki Bali tulen itu. Deva terlalu over menunjukkan kekayaannya! Mulai dari rumah-lima-hektarnya di Denpasar, sawah yang terhampar luas di Singaraja, sebuah club house di dekat Tanah Lot, toko souvenir supermegah di Kutai. Lalu, apalagi? Oik ingin sekali menutup mulut laki-laki itu dengan wedgesnya!

            Sudahlah. Oik benar-benar tidak memiliki kata yang tepat untuk mendeskripsikan Debo. Sialan! Rupanya ia masih menjalin hubungan dengan Itte! Ify dan Sivia kenapa mencomblangkannya dengan Oik? Oik benar-benar sudah emosi ketika mendengarkan pembicaraan Debo dengan Itte via ponsel. Jadi, Debo akan menjadikannya selingkuhan? No way!

            Tidak ada yang sebaik Cakka. Tidak ada yang seperhatian Cakka. Tidak ada yang dapat membuatnya nyaman ketika berada di sampingnya. Hanya Cakka. Jadi, intinya, usaha Ify dan Sivia untuk mencarikan pengganti Cakka benar-benar gagal! Tidak aka nada yang bisa menggantikan Cakka di hatinya. Sampai kapanpun. Ya, selamanya.

**

             Oik berlinangan air mata. Dadanya sesak menahan kerinduannya pada sosok Cakka. Tanpa memedulikan gengsinya, Oik berlari memasuki kediaman Cakka. Para pembantunya berkata bahwa Cakka sedang ada di teras belakang. Oik segera ke sana.

            Begitu sampai, Oik melihat sosok Cakka yang sedang menatap kosong ke arah kolam renang. Tangan kanan laki-laki itu menenteng sebuah gelas wine yang masih terisi penuh. Tanpa menunggu lama, Oik bergerak menghampiri laki-laki itu dan memeluknya dari belakang.

            “Aku kangen kamu, Kka.” Oik berbisik.

            Untuk sesaat, tubuh Cakka menegang. Ia segera meletakkan gelas wine itu di sebuah meja kecil. Cakka sedikit menengokkan kepalanya ke belakang. Benar dugannya. Gadis yang tengah memeluknya itu adalah Oik. Cakka membalikkan tubuhnya sepenuhnya lalu merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.

            “Maafin aku. Aku ga ada apa-apa sama Shilla.” Cakka berbisik di telinga Oik.

            Oik mengangguk dalam dekapan Cakka dan tersenyum kecil.

            Cakka melepaskan pelukannya. Sebagai gantinya, ia memegang pundak Oik dan menatap gadis itu dalam-dalam, “Jadi, kita balikan?” tanyanya.

            “Iya.” Oik menjawab dengan kalem.

            Cakka berteriak kegirangan. Ia kembali memeluk gadis itu dengan erat. Lalu, ia beralih menatap wajah Oik. Ia menciumi setiap inchi wajah Oik. Sampai akhirnya.. BYUR!!

            Keduanya tercebur ke dalam kolam renang. Cakka tertawa lepas dan menyiratkan air ke arah Oik. Oik masih termenung di tempatnya dengan badan menggigil dan bibir yang mulai membiru karena kedinginan.

            “Kenapa, sweetheart?” tanya Cakka.

            “Dingin, Cakkaaaaaaaaa!!!” Oik berteriak jengkel, suaranya terdengar bergetar karena ia kedinginan.

            Cakka menatapnya dalam dengan tersenyum simpul. Dengan cepat, ia kembali menenggelamkan Oik ke dalam pelukannya, “Udah ga kedinginan, kan?”

            Oik hanya mengangguk dan tersenyum kecil dalam dekapan Cakka.

**

            Bunyi dering ponsel membangunkan Oik, kembali menariknya dalam realita kehidupan. Oik menegakkan punggungnya. Menatap kosong pada dinding kamarnya. Wajahnya mendadak muram saat itu juga.

            “Jadi, yang tadi cuman mimpi?” lirihnya.

            Oik kembali sadar ketika ponselnya meraung-raung untuk yang kesekian kalinya. Oik segera mengangkatnya. Rupanya sebuah telepon dari Ify.

            “Oik! Lo ke mana aja, sih? gue telepon dari tadi, tau ga!” pekikan kencang Ify langsung terdengar ketika Oik mengangkat teleponnya.

            “Kalem, Fy!” Oik menguap lebar. “Kenapa, sih?”

            “Cakka, Ik! Cakka!” Suara Ify terdengar menggebu, membuat Oik bergidik mendengarnya. “Dia flight jam sebelas ke Spore! Baru balik tahun depan! Dia ngelanjutin sekolah ke sana! Cepet susul dia, Ik!” Ify kembali berteriak di ujung sana.

            Oik terkesiap. Ia melihat jam dindingnya. Pukul setengah sebelas! “Kenapa lo baru telepon sekarang, Ifyyyy???”

            “Gue udah coba telepon lo dari sejam yang lalu tapi ga lo angkat, bego!” Ify ikut gemas sendiri.

            Tanpa memerdulikan Ify yang masih terus menceramahinya melalui sambungan telepon, Oik melemparkan begitu saja ponselnya. Wajahnya mendadak pucat. Dengan pakaian ala kadarnya, Oik memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju bandara. Bagaimana bisa ia menempuh perjalanan ke bandara hanya dalam waktu setengah jam?

            Pukul sebelas tepat. Oik segera meningkatkan kecepatannya ketika memasukki area bandara. Oik memarkirkan mobilnya sembarangan. Setelah mematikan mesin mobilnya, Oik turun, berlari menuju main building bandara.

            Oik mengedarkan pandangannya ke segala penjuru bandara. Bibirnya sudah seputih kapas, pucat sekali. Ia segera mencari screen yang menunjukkan keberangkatan pesawat Singapore Air. Ketemu! Oik membaca dengan seksama setiap huruf yang tertera di sana.

            “Cakka..” lirihnya.

            Kakinya langsung lemas begitu mengetahui pesawat Singapore Air telah lepas landas semenjak sepuluh menit yang lalu. Oik berjalan gontai menuju parkiran. Air matanya berlinangan tanpa terkendali. Walaupun Oik telah mengusapnya ratusan kali, tapi tetap saja bening-bening itu muncul kembali.

            Oik terduduk di atas aspal bandara dengan kepala tertunduk dalam, “Aku tunggu kamu di sini, Kka. Setahun lagi.”

**

            Seorang laki-laki terduduk di business class Singapore Air. Matanya menatap dalam pada foto-foto di tabnya, sosok gadis yang sama di seluruh foto tersebut. Senyumnya terlihat sendu. Hatinya berat meninggalkan gadis dalam foto itu.

            “Tunggu aku setahun lagi, sweetheart. Aku janji, aku akan jelasin semuanya ke kamu. Dan aku janji, kamu adalah orang pertama yang aku temui di Jakarta tahun depan. I promise, sweetheart.” Cakka –lelaki itu– mengecup layar tabnya, tepat pada foto gadis itu –Oik–.

**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS