Seminggu kemudian..
Oik berjalan dengan tergesa-gesa menuju Sekretariat OSIS.
Pasti rapat mengenai LDKS yang akan diselenggarakan besok sudah
dimulai. Ini semua gara-gara Sivia dan Pricilla! Kedua sahabatnya itu
tadi mengajaknya makan di kantin. Mentang-mentang keduanya tidak
mencalonkan sebagai anggota OSIS lagi, mereka jadi semena-mena menculik
Oik saat rapat digelar! Huh!
Oik mengetuk pintu Sekretariat OSIS dengan hati-hati.
Setelah itu, ia membukanya. Seluruh pasang mata di dalamnya memandang
tajam ke arahnya. Oik masuk seraya tersenyum kikuk, lalu mengambil
tempat duduk di samping Keke –adik kelasnya–.
Oik mengerling ke depan. Para senior OSIS sedang memimpin
rapat. Ada Zahra, Angel, Rio, Kiki –Ketua OSISnya–, Lintar –Wakil Ketua
OSIS–, Irva –Ketua Panitia LDKS–, dan Rahmi –Bendahara I OSIS–.
Oik mengedarkan pandangannya. Rupanya Cakka dkk itu juga
mencalonkan sebagai anggota OSIS. Oik menggerutu dalam hati. Mau jadi apa OSIS tahun ini kalau anggotanya kayak mereka ini?
“Ya sudah, rapat saya tutup. Setelah ini langsung pulang,
jaga kesehatan. Besok kita berangkat ke daerah Trawas, Mojokerto.
Barang-barangnya juga jangan sampai ada yang ga dibawa.” Angel menutup
rapat dengan senyum sinisnya.
Angel, Rio, Kiki, Lintar, dan Rahmi langsung keluar dari
Sekretariat OSIS. Sedangkan Zahra dan Irva menunggu sampai seluruh
adik-adiknya keluar. Pasalnya, Zahra yang membawa kunci ruangan ini.
Jadi, dia yang akan menguncinya.
“Ik! Oik!”
Oik menengok ke belakang sambil membenahi dasinya. Ada
Shilla yang berdiri beberapa meter di belakangnya bersama Cakka cs. Oik
mengangkat salah satu alisnya, membuat Shilla serta Cakka cs datang
menghampirinya.
“Hay, Kak.” Alvin tersenyum lebar seraya agak menganggukkan kepalanya, Oik hanya menatapnya datar.
“Halo, Mbak!” Cakka mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk berhigh five dengan Oik tapi sama sekali tak diperdulikan olehnya.
Shilla memandang Alvin, Cakka, Deva dan Ozy – teman
keduanya– dengan tersenyum kecil, lalu beralih pada Oik, “Ikut LDKS,
kan, Ik?”
Oik mengangguk, “Iya. Kenapa, Shill?”
“Jangan jutek-jutek, dong, Mbak.” celetuk Deva dan dia berhasil mendapatkan pelototan tajam dari Oik.
“Kamu tadi, kan, ga dateng rapat dari awal. Nanti aku
SMSin ke kamu aja, ya, barang-barang apa yang harus dibawa?” tawar
Shilla.
“Ga usah,” Oik menggeleng dan tersenyum berterima kasih.
“Aku udah tau, kok, Shill. Aku, kan, juga ikut LDKS tahun lalu... ga
kayak kamu. Aku juga bisa tanya Mbak Irva.”
Shilla hanya mengangguk mengerti dan tersenyum kikuk.
**
Keesokan harinya..
Para peserta LDKS telah siap di barisan masing-masing.
Dan, sialnya, Oik harus berbaris di dekat Cakka cs. Satu hal lagi yang
membuat Oik kesal adalah sinar matahari yang menyengat itu membuatnya
agak sedikit limbung. Oik memang tidak bisa berada di bawah sinar
matahari dalam waktu yang lama. Ia bisa pingsan dibuatnya.
“Kenapa, Kak?” Alvin melongokkan kepalanya pada Oik.
Oik menggeleng lemah, “Ga kenapa-kenapa. Cuman kepanasan.”
“Aku bawa jaket, Mbak. Mau pinjem?” tawar Cakka, lagi-lagi ia tersenyum lebar.
“Aku juga bawa.” Oik melirik Cakka dingin.
**
Seluruh peserta LDKS beserta para senior OSIS turun dari
dalam bus. Mereka semua dihadapakan dengan barisan bukit yang hijau.
Para peserta LDKS kembali berbaris, dipimpin oleh beberapa orang dari event organizer
yang disewa oleh para seniornya. Senior-senior itu mengawasi mereka
dari bawah teduhnya pepohonan. Oik menatap kakak-kakaknya dengan raut
wajah sebal.
Oik berbaris di dekat Gita dan Nova –teman
seangkatannya–. Para peserta LDKS pun mulai berjalan, menaiki dan
menuruni perbukitan di depannya. Zahra, Irva, Rahmi, Angel, Kiki,
Lintar, dan Rio mengikuti mereka dari belakang. Zahra sudah berjaga-jaga
membawa Oxycan –Oxygen Can– untuk Oik.
Dan, benar saja, baru beberapa kilometer berjalan, Oik
sudah lemas. Wajahnya sudah sepucat mayat hidup, bibirnya sudah seputih
kapas. Akhirnya ia dibopong oleh Zahra dan Irva. Rahmi dan Angel
mengipasi Oik. Rio membawakan Oxycan Oik. Kiki dan Lintar tetap berjalan
bersama para peserta LDKS yang lain.
“Sok-sokan ikut pendakian, sih, Ik..” cibir Rahmi.
“Mbak Rahmi, nih... ngeselin!” Oik merajuk dengan suara
manjanya. “Kan, biar bareng-bareng sama yang lainnya juga. Masa aku
langsung ke perkemahan, sih? Sendirian, dong!”
“Butuh Oxycan, Ik?” tanya Rio.
Oik menggeleng cepat, “Masih kuat, kok, Mas!”
Akhirnya Oik kembali berdiri. Tangan kanannya digandeng
oleh Zahra dan tangan kirinya digandeng oleh Angel. Rahmi dan Rio
berjalan di depannya. Perlahan, mereka berlima menyusun rombongan
lainnya yang sudah jauh di depan.
“Mbak, calon anggota OSISnya, kok, gini semua, sih?” Oik memperhatikan adik-adik kelasnya dengan prihatin.
“Cakka cs, ya?” tanya Rahmi.
Oik mengangguk, “Iya, Mbak. Gitu, kok, ya, diterima..”
Irva mengangkat bahunya, “Tanya Ketua OSISmu aja, Ik. Dia bilang Cakka c situ kurang diasah aja kemampuannya.”
“Udah jelas-jelas nakal gitu, kok! Buktinya, waktu MOS, kan, mereka jadi troublemaker, Mbak.” Oik menimpali dengan kesal.
“Tenang... Cakka, Alvin, Deva, sama Ozy itu takut sama aku.” Rio menyombongkan dirinya.
Angel menyoraki Rio dengan hebohnya. Ia sampai mendorong
bahu Rio karena gemas dengan percaya dirinya yang selangit itu. Oik pun
tertawa. Tak terasa, asmanya sudah mulai sembuh. Tumben sekali asmanya
kumat tidak berlangsung lama.
**
Seluruh rombongan pendakian sampai di area perkemahan
dengan peluh yang menetes deras. Para peserta LDKS duduk melingkar di
depan tenda. Oik menyusul dan duduk di samping Shilla karena hanya
tempat itulah yang masih kosong.
“Asma kambuh, Ik?” tanya Shilla.
Oik mengangguk dan tersenyum jengah, “Iya, tapi udah mendingan. Ini udah ga kenapa-kenapa, kok.”
Shilla mengangguk mengerti. Gadis itu kembali meluruskan
kakinya. Begitupula dengan Oik. Mereka berdua terlibat pembicaraan seru
seputar MOS seminggu yang lalu. Apalagi ketika Oik mendapatkan banyak
surat yang menyatakan bahwa dialah panitia MOS yang paling galak.
“Dek!” Angel berdiri di tengah lingkaran bersama dengan
Rio. “Ini air mineral gelasnya setiap orang dapet jatah satu. Cepetan
diminum. Setelah ini, kita ada games di sungai belakang.” Angel mengedik ke belakang tenda. Ada sungai berair jernih di sana.
Dengan cepat, Rio membagikan kepada adik-adiknya segelas
air mineral. Setelah itu, para senior dan beberapa orang dari event organizer segera menuju sungai untuk mempersiapkan peralatan games.
“Mbak, gamesnya nanti ngapain?” tanya Cakka pada Shilla.
Shilla menggeleng dan tersenyum masam, “Ga tau, dek. Tanya Mbak Oik aja. Aku, kan, tahun lalu ga ikut LDKS.”
Cakka mengangguk dan kemudian beralih pada Oik, “Mbak, gamesnya nanti ngapain?”
“Pipa bocor.” Oik menjawab pendek.
Cakka kembali menengok pada Alvin, Deva, dan Ozy. “Dev, Zy, dulu di SMP Permata games LDKSnya apa, ya?”
Deva, Ozy, dan Cakka adalah alumnus SMP Permata. Dulu
–semasa SMP– ketiganya merupakan anggota OSIS juga. Deva pada Sekbid 2
yang menangani soal Pendidikan, Ozy pada Sekbid 7 soal Olah Raga, dan
Cakka pada Sekbid 8 yang merupakan spesialis Kesenian. Sedangkan Alvin
adalah alumnus SMP Langit Jingga.
Ozy mengedik pada Deva dan menjawab, “Lupa, Kka. Udah lama juga..”
Shilla menengok pada ketiga adik kelasnya itu dengan raut
wajah kaget, “Kalian alumnusnya SMP Permata?” ketiganya mengangguk
bersamaan. “Ik, kamu alumnus SMP Permata juga, kan?”
“Mbak Oik alumnus SMP Permata?” tanya Cakka dengan mata berbinar.
“Iya.” Oik kembali menjawab dengan pendek dan dingin.
“Tapi aku ga pernah lihat Mbak Oik, lho..” Ozy juga terlihat kaget.
Oik memandang tajam ketiga adik kelasnya itu, “Kalian
pikir aku pernah lihat kalian waktu SMP? Emang penting? Buang-buang
waktu aja.”
Oik bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju
sungai. Cakka, Alvin, Deva, dan Ozy dibuat melongo oleh keketusan Oik
barusan. Ketiganya tak menyangka bahwa Oik akan tetap menjadi senior
yang ketus seperti ketika MOS. Shilla hanya memandang Oik dengan
menggelengkan kepalanya, memaklumi.
“Mungkin Mbak Oik masih kebawa suasana MOS.” Shilla mencoba menjelaskan.
“Tapi Mbak Shilla udah ga kebawa suasana MOS, kan? Kok
Mbak Oik masih kebawa?” tanya Deva dengan raut wajah –agak– sebal.
“Mbak Shilla yang pas MOS jadi SK aja bisa baik ke kita.
Mbak Oik yang cuman panitia biasa, kok, tetep jahat?” Ozy ikut
menimpali.
“Hus!” Alvin menoyor kepala Ozy. “Ceplas-ceplos banget kamu! Mbak Oik itu pas MOS pegang jabatan double, tau! Sekretaris sekaligus bendahara!”
“Kamu tau dari mana, Vin?” tanya Cakka dengan pandangan tak suka.
“Dari Mbak Shilla.” Alvin pun memamerkan cengiran lebarnya pada Cakka, Deva, dan Ozy.
“Udah, ah. Ga baik ngomongin orang terus. Ntar Mbak
Oiknya tau, kalian bisa dimarahin.” Shilla pun bangkit berdiri lalu
membersihkan rok pramukanya yang kotor karena rerumputan. “Ke sungai
belakang sekarang, yuk!”
Cakka, Deva, dan Ozy berdiri pula tanpa banyak bicara.
Hanya Alvin yang masih duduk dan mendongakkan kepalanya ke atas. Ia
mengulurkan tangannya ke atas, bermaksud ingin dibantu berdiri. Cakka,
Deva, dan Ozy menatapnya malas. Shilla memandangnya dengan tersenyum
simpul.
“Ayo, sini.. Berdiri!” Shilla membalas uluran tangan Alvin.
Cepat-cepat Alvin menjauhkan tangannya dari Shilla dan
menampakkan wajah malaikatnya, “Maaf, Kak.. Kita bukan muhrim.” Alvin
menjawab dengan kalem.
Shilla pias. Ia kembali menarik uluran tangannya kemudian
berbalik dan melangkah menuju sungai. Meninggalkan keempat adik
kelasnya itu dengan diselimuti kebingungan.
“Kamu, sih, Vin! Mbak Shilla ngambek, tuh!” Deva mengulurkan tangannya untuk membantu Alvin berdiri dengan malas.
“Ya, kan, aku cuman bercanda. Kak Shilla aja yang terlalu serius nanggepinnya.” bantah Alvin.
Keempatnya pun berjalan menuju sungai dengan cepat.
Pasalnya, para peserta LDKS yang lainnya telah melenggang menuju sungai
sejak lima menit yang lalu. Begitu mereka sampai di bantaran sungai,
mereka melihat para peserta lain telah berbaris membentuk lima banjar.
“Kalian berempat!” Angel berteriak dari depan. “Kenapa telat kemari?”
“Maaf, Kak.” Alvin, Cakka, Deva, dan Ozy hanya mampu menundukkan kepala mereka.
“Udah, cepet baris! Jangan buang-buang waktu.” Rahmi menimpali.
Keempatnya segera berbaris. Kebetulan, banjar paling
kanan baru terisi oleh tiga orang, kurang empat lagi. Jadilah mereka
semua berbaris pada banjar paling kanan tersebut. Rupanya mereka
sebanjar dengan Oik, serta dua teman seangkatan mereka lainnya –Dea dan
Agni–.
Alvin –yang berbaris di depan ketiga temannya yang lain–
mencolek bahu Agni dari belakang, “Games pipa bocor, Ag?” tanyanya.
Agni mengangguk, “Iya. Ssstt!” Gadis itu menyilangkan
telunjuknya di depan bibir. “Bilangin Cakka, Deva, sama Ozy.. Jangan
rame! Nanti kalian ga denger penjelasan dari Kak Angel, tau!”
Alvin mengangguk. Ia memberikan kode kepada ketiga
temannya itu agar jangan berbicara sendiri dan mendengarkan penjelasan
tentang permainan pertama ini dengan baik. Cakka, Deva, dan Ozy pun
diam. Mereka semua menyimak penjelasan dari Angel dengan seksama.
“Nah! Kelompoknya dibagi menurut banjar masing-masing,
ya! Satu banjar, satu kelompok!” Angel mengakhiri penjelasannya.
Oik, yang berbaris paling depan, segera menengok ke
belakang. Ia kaget bukan main ketika mendapati bahwa ia akan sekelompok
dengan keempat adik-adik troublemaker itu. Ia menggeram dalam hati dan kembali menghadap ke depan.
Kelima kelompok tersebut segera masuk ke dalam sungai.
Alhasil, seragam pramuka mereka menjadi basah kuyup. Kelompok pertama
berada di tengah-tengah sungai, kelompok kedua di sebelah utara kelompok
pertama, kelompok ketiga di sebelah timur kelompok pertama, kelompok
keempat berada di sebelah selatan kelompok pertama, dan kelompok kelima
berada di sebelah barat kelompok pertama.
“Mbak, masuk sungai ga bikin asmanya kambuh lagi, kan?” tanya Cakka khawatir.
Oik menggeleng dan tersenyum tipis, “Ga, kok. Ga selebay itu juga, lah, asmaku!”
“Wah! Mbak Oik bisa senyum!” Cakka memekik heboh.
“Kamu pikir Kak Oik itu robot?” Alvin menginjak kaki Cakka hingga temannya itu mengaduh kesakitan.
“Ya! Di tengah-tengah kalian semua sudah ada sebuah pipa
yang memiliki lubang di mana-mana. Di dalamnya ada sebuah bola kecil.
Tugas kalian adalah mengisinya dengan air sungai hingga bola kecil itu
keluar dari dalam pipa.”
Begitu peluit dibunyikan, seluruh kelompok tersebut mulai
sibuk sendiri mengisi masing-masing pipa dengan air sungai. Ada yang
bertugas menutup lubang-lubangnya dan ada juga yang bertugas menimba air
lalu menuangkannya ke dalam pipa.
“Ga ngaruh, nih!” seru Agni dengan sebal.
“Ya sabar, Ag!” Ozy menimpali dengan tak kalah kesalnya.
“Logika kalian jalan ga, sih? Yang ditutup jangan cuman
lubang-lubang yang ini, dong!” Oik pun ikut berseru dengan kesal.
“Terus yang mana lagi, Mbak?” tanya Ozy. Ia bertugas menimba air dan memasukkannya ke dalam pipa.
“Yang di bawah masih bolong!” pekik Alvin, seakan baru menyadari sesuatu.
Oik mengangguk. Rupanya logika anak-anak troublemaker ini
berjalan juga. Oik tersenyum dalam hati. Akhirnya, Dea yang menutup
lubang bawah pipa yang mengangalebar. Ozy pun melanjutkan pekerjaannya.
Perlahan, bola kecil itu mulai muncul dan akhirnya keluar
dari dalam pipa. Kelompok Oik bersorak senang. Akhirnya mereka pun
diperbolehkan kembali ke bantaran sungai dan duduk-duduk di bawah
pepohonan sambil menunggu kelompok lain yang tak kunjung berhasil
mengeluarkan bolanya.
“Mbak, Mbak Oik jangan jutek-jutek, dong..” rajuk Dea.
“Siapa yang jutek? Ga ada.” Oik terkekeh pelan setelahnya.
“Ya Mbak Oik yang jutek!” Agni cemberut. “Waktu MOS jutek. Ini tadi juga jutek. Tapi, kok, tadi bisa senyum, Mbak?”
“Lagi bete aja kemarin-kemarin.” Oik kembali tersenyum simpul.
“Tuh, kan, senyum lagi!” Cakka kembali memekik dengan heboh.
“Berisik, Kka!” Deva menempeleng wajah Cakka dengan tidak berperasaan.
“Berarti kalau Mbak Oik jutek itu Mbak Oik lagi badmood?” tanya Dea, memastikan.
Oik mengangguk, “Iya, Dek.”
“Kak Oik berarti sering badmood, ya..” gumam Alvin seraya tersenyum simpul
“Udah takdir, Vin, kalau aku sering badmood.” Oik tertawa kencang.
“Jangan badmood lagi, ya, Mbak..” kata Cakka. Ia menatap Oik lurus-lurus dan tersenyum tulus padanya.
Oik kembali tersenyum. Ia mulai nyaman berada di antara
mereka. Semangat, Oik! Ia masih akan menjalani dua hari kedepan dalam
kegiatan LDKS dengan mereka-mereka ini. Oik tak menyangka mereka adalah
adik kelas yang menyenangkan begini.
THE UNTITLED STORY [2 of 4]
05.48 |
Label:
agni,
alvin,
angel,
cakka,
dea,
deva,
irva,
kiki,
lintar,
oik,
ozy,
pricilla,
rahmi,
rio,
shilla,
sivia,
zahra
Read User's Comments(0)
PROSES MELUPAKANMU [Cerpen]
#NowPlaying: Abdul & The Coffee Theory – Proses Melupakanmu
**
Senin, 3 Januari 2011
Oik terlihat baru
saja keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya. Kini, gadis itu sedang berdiri
menghadap jendela kamarnya seraya mengeringkan rambut menggunakan handuk. Dan
jika kau memperhatikan wajah gadis itu lebih seksama lagi, kau akan melihat
lingkaran hitam di sekeliling matanya.
Rambutnya memang
masih basah dan Oik membiarkannya. Ia sampirkan handuknya pada sebuah besi
jemuran kecil di depan kamar mandinya. Setelahnya, Oik duduk di depan meja
riasnya. Ia sedikit membungkukkan badannya, melongok ke bawah meja riasnya lalu
mengambil tiga kotak kardus berukuran sedang dan meletakkannya di atas meja
rias.
Oik membuka kotak
pertama dan mengabaikan dua kotak yang lainnya. Tepat pada penutup kotak
tersebut, terdapat tulisan Januari-April
2010. Oik mengeluarkan seluruh isinya, memperhatikan benda-benda tersebut
satu-persatu. Kotak kedua bertuliskan Mei-Agustus
2010. Dan kotak ketiga bertuliskan September-Desember
2010.
Ketiga kotak
tersebut berisikan barang kenangannya bersama seseorang, bersamanya. Ada banyak tiket bioskop, cincin
kecil yang terbuat dari ilalang, berbagai surat darinya, dan masih banyak lagi. Oik tersenyum kecut melihat benda-benda
tersebut.
“Bagusnya, sih,
dibuang aja..” Oik tertawa miris.
Oik pun bangkit
setelah memasukkan barang-barang tersebut kembali ke dalam kotak. Dengan
langkah gontai, Oik berjalan menuju gudang rumahnya. Oik meletakkan ketiga
kotak tersebut pada sudut terdalam gudangnya. Juga, meletakkan sang pemberi
barang-barang itu pada sudut terdalam hatinya, menutupnya rapat-rapat, dan
takkan membukanya kembali.
“Bye. Thanks
for all the beautiful memories. And
thanks, too, for the pain.”
**
Sabtu, 1 Januari 2011
Oik membaca
urutan ranking kelasnya di mading. Oik mendapatkan peringkat ketiga di
kelasnya. Matanya terbelalak kaget mendapati namanya berada di peringkat pertama. Gadis itu tersenyum simpul
memandang namanya. Lihat, hanya
dengan membaca namanya pun Oik sudah
tersenyum simpul begini.
Oik melongok ke
dalam kelas. Rupanya Bundanya masih mengantri untuk mengambil raport semester
pertamanya sebagai siswi kelas dua belas di sini. Oik meninggalkan Bundanya dan
berlalu menuju taman sekolahnya. Biasanya dia
berada di sini, duduk di bawah pohon rindang seraya memejamkan mata, menikmati
semilir angin yang membelai kulitnya.
Oik tertawa kecil
seraya berjalan menghampiri pohon rindang itu. Dia duduk membelakanginya,
tubuhnya tertutupi oleh batang besar pohon itu. Oik berhenti pada jarak satu
meter darinya, melongokkan kepala ke
balik pohon tersebut.
Tes.. Tes.. Tes..
“Selamat, ya!
Kamu dapat peringkat pertama di kelas. Kamu memang hebat!” suara lembut seorang
gadis terdengar memuakkan di telinga Oik.
Oik menutup
mulutnya yang menganga lebar. Ia menutup matanya seiring dengan buliran bening
yang semakin gencar menetes dari kedua matanya. Saat itu pula, gadis memuakkan
itu menciumnya. Menciumnya! Oik terisak pelan.
Kedua orang di
bawah pohon itu menengok pada Oik. Dia
segera berdiri dan mengibaskan tangan gadis memuakkan itu dari lengannya. Dia berjalan perlahan menghampiri Oik
dengan wajah pucat. Tangannya
menggapai tangan Oik. Dan, dengan cepat, Oik mengibaskan tangan itu dari tangannya sendiri.
“Aku bisa
jelasin, Ik..” dia berkata lirih.
“Mau jelasin apa
lagi kamu?” Oik berteriak keras, diiringi isakan tangisnya yang semakin keras.
Oik memandangnya sinis. Pandangannya berubah semakin
sinis ketika gadis memuakkan itu ikut berdiri dan menggamit lengannya dengan manja. Gadis memuakkan itu
tersenyum penuh kemenangan pada Oik. Dia
mencoba melepaskan gamitan tangan gadis memuakkan itu tapi gagal. Gadis
memuakkan itu menggamit lengannya
dengan erat.
“Lo ngapain, sih?
Lepas!” Lagi-lagi dia gagal melepaskan gamitan gadis memuakkan itu dari lengannya sendiri.
Oik tersenyum
sinis. Plak! “Ini karena lo udah berani-berani ngerebut dia dari gue.” Oik
beralih padanya. Sekali lagi, Oik
melayangkan telapak tangannya. Plak! “Dan ini, karena lo udah ngekhianatin gue
di depan mata kepala gue sendiri!”
Wajah gadis
memuakkan itu mengeras. Telapak tangannya sudah melayang. Dan, untungnya dia menahannya. Mencengkeram tangan
gadis memuakkan itu dan mengibaskannya begitu saja sampai-sampai gadis
memuakkan itu mengaduh kesakitan.
Oik mendongakkan
wajahnya dan tersenyum miring, “Apa, lo? Mau nampar gue? Sini, tampar!” Oik
kembali beralih padanya. “Dan buat
lo, makasih! Kita sampai di sini aja!”
Setelah
mengatakannya, Oik berbalik, berjalan gontai meninggalkan taman sekolah tanpa
menengok ke belakang. Ia tak melihat saat-saat dimana dia menatap penuh benci kepada gadis memuakkan itu, saat-saat
dimana dia hampir saja melayangkan
tinjunya pada gadis memuakkan itu jika saja ia tidak ingat bahwa gadis
memuakkan itu adalah seorang perempuan.
Tangan gadis
memuakkan itu menahan lengannya yang akan berlari menyusul Oik, “Kamu mau ke
mana, Kka?”
Dia mengibaskan lengan gadis memuakkan
itu, “Keterlaluan lo, Shill!”
Dan saat itu
pula, dia berlari mengejar Oik. Gadis
memuakkan itu menatapnya dengan
senyum miring dan berkacak pinggang.
“Ik! Oik! Tunggu,
Ik!”
**
Selasa, 4 Januari 2011
Oik menenteng
banyak sekali kantung plastik di tangan kanan dan kirinya. Sesekali ia tertawa
kencang karena lelucon sahabatnya, Sivia. Saat ini ia sedang window shopping bersama dua sahabatnya,
Sivia dan Ify. Tangan ketiga gadis cantik itu pun telah menenteng berbagai
macam kantung plastik dari butik dan toko aksesoris ternama.
Mereka bertiga
kembali memasukki sebiah butik yang menyediakan berbagai macam pakaian up to date. Oik, Sivia, dan Ify kembali
memilih-milih pakaian yang terpajang di setiap sudut butik tersebut. Kali ini,
masing-masing dari mereka menenteng lagi dua kantung plastik baru.
“Makan siang,
yuk? Laper gue!” Ify mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.
Sivia melirik Oik
sekilas. Dilihatnya Oik menganggukkan kepala. Mereka bertiga pun berjalan
menuju resto sushi tak jauh dari butik tersebut. Ketiganya duduk di sebuah meja
yang cukup untuk empat orang. Salah satu bangku yang kosong mereka pakai untuk
meletakkan belanjaan.
“Alvin gimana,
Siv?” tanya Oik, tangannya memainkan sumpit yang ada di hadapannya.
Sivia menelan
sushinya dan tersenyum simpul, “Gimana apanya? Ya, biasa aja..”
“Rio?” kali ini Oik mengedik pada Ify.
Ify memutar bola
matanya dengan malas, “Manja banget!” desisnya.
“Cakka?” Sivia
dan Ify bertanya bersamaan.
“Kami udah putus,
guys.” Oik tersenyum tipis.
Sivia dan Ify
mendongak kaget. Setau mereka, Cakka dan Oik adalah pasangan paling adem ayem
dan terserasi seantero sekolah. Tetapi kenapa bisa putus? Dan, kenapa mereka
baru tau sekarang? Sahabat macam apa mereka ini?
“Kok bisa, Ik?”
Sivia bertanya dengan lirih.
“Panjang
ceritanya.” Oik mengedikkan bahu. “Udah, ah! I had so much fun today with you two, guys. Ga penting banget masih
mikirin Cakka.” Oik kembali melahap dragon
rollnya.
“Ga ada
kemungkinan buat balikan lagi, Ik?” tanya Ify dengan hati-hati.
Oik tertawa
sinis, “Kenapa kalian tanyanya sama gue? Tuh, tanya sama Cakka dan
selingkuhannya!”
“Lo yakin? Lo
bisa ngelupain Cakka?” Sivia mencibir, lama-lama kesal juga dengan Oik yang sok
jual mahal.
“Bisa.” Oik
berkata yakin. ...untuk saat ini.
Nantinya mungkin ga akan bisa.
**
Rabu, 5 Januari 2011
Oik baru saja
membuka matanya. Ia melirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamarnya.
Sudah hampir tengah hari dan ia baru saja bangun. Oik mendesah pelan.
Oik pun bangkit.
Duduk termenung di bibir ranjangnya untuk beberapa saat. Ketika ia menyalakan
ponselnya, tak ada satu pun SMS maupun telepon dan chat dari Cakka. Ia merasa kosong, hampa. Biasanya ia akan
tersenyum sendiri membaca good morning
text dari Cakka. Tapi sekarang? Ke mana dia? Oh, pasti bersama
selingkuhannya. Oik tersenyum miris.
Oik membuka history chat dan SMSnya dengan Cakka.
Membacanya satu-persatu. Ada rasa senang dan sedih yang berkecamuk di hatinya.
Kapan lagi ia akan mendapat pesan-pesan seperti itu dari Cakka? Ia yakin, pasti
saat ini Cakka sedang bersama selingkuhannya itu. Huh!
From:
Mr. CKN:-*
It’s already
morn. Wake up, sweetheart!({})
Open ur eyes
n see the sun outside. Beautiful, rite?
No, I think.
U’re the most beautiful one in my life:-*
Lvyou!;;)
“Sekarang siapa
yang kamu panggil sweetheart? Siapa
yang kamu kirimin good morning text
segombal ini? Siapa? Shilla, kan? Bukan aku.” Oik tertawa sengau, segera ia
hapus buliran bening yang kembali menetes itu.
From:
Mr. CKN:-*
Happy anniv a
year, sweetheart!({})
Wish we’ll
last forever.
Actually, my
love for u lasts forever. Hw ‘about ur love for me?:p
Ps: nanti mlm
aku jmpt jm 7. We’ll hv a romantic dinner!:-*
“Anniv?” Oik tertawa miris. “Kamu udah
berapa bulan sama Shilla, Kka? Apa tiap anniv
kamu sama Shilla, kamu bakal ajak dia dinner
kayak kamu ajak aku dinner waktu first anniv kita?”
Oik melemparkan
ponselnya ke sembarang arah. “Kenapa kamu ga kasih aku kabar?” Oik termenung
sesaat dan kembali tertawa miris. “Eh, aku siapa kamu, ya, kok aku minta kamu
ngabarin aku? Oh, iya.. Berarti kamu sekarang lagi ngabarin keadaan kamu ke
Shilla, ya.”
“AAAAAAARRGGHH!! You’re driving me mad, Kka! All the time!” Oik berteriak frustasi.
Ia menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan menangis
tersedu-sedu hingga mentari berganti tahta dengan sang rembulan.
**
Kamis, 6 Januari 2011
Pagi-pagi sekali,
Oik sudah terlihat rapi dengan dandanan kasual seperti biasa. Tanpa pamit pada
sang Bunda, gadis itu berlari menuju garasi dan mengemudikan mobilnya entah ke
mana. Pikirannya kosong, tak tau entah ke mana. Yang jelas, ia ingin mencarinya. Mencari Cakka.
“Kamu dimana,
Kka?” bisiknya.
Oik akhirnya
memutuskan untuk menuju kediaman Cakka. Rumahnya dan rumah Cakka memang
terbilang dekat. Maka dari itu ia dapat sampai di kediaman Cakka tak sampai sepuluh
menit kemudian. Setelah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, Oik turun,
menghampiri pagar rumah keluarga Nuraga yang menjulang tinggi.
Oik membunyikan
bel. Dari sela-sela pagar, ia melihat seorang satpam sedang berlari
tergopoh-gopoh untuk membukakan pagar. Begitu pagar terbuka, Oik langsung
melongok ke dalam.
“Mbak Oik? Cari
Mas Cakka, ya?” tanya satpam keluarga Nuraga.
Oik mengangguk
cepat, “Cakka ke mana, ya, Pak?”
“Wah, Mas Cakka
baru saja pergi. Ga tau ke mana. Mau nunggu di dalam saja, Mbak?” tawarnya.
Oik pasti akan
mengangguk cepat jika ia tidak ingat bahwa ia telah memutuskan Cakka karena
Shilla. Akhirnya Oik menggeleng dan tersenyum tipis pada satpam tersebut, “Ga
usah, Pak. Saya langsung balik aja. Ga usah bilang ke Cakka, ya, kalau saya
kemari.”
“Iya, Mbak.”
satpam tersebut mengangguk dengan bingung.
Oik pun berbalik,
kembali memasukki mobilnya. Ia kembali menatap rumah megah keluarga Nuraga dan
mendesah pelan. Ke mana Cakka? Ke rumah Shilla? Pergi bersama Shilla? Berduaan dengan
Shilla? Liburan dengan Shilla? Oik memukul kemudi mobilnya dengan keras.
Telapak tangannya pun sampai memerah. Oik berteriak kencang, diiringi dengan
isakan tangis yang mengencang pula.
“Kamu ke mana,
Kka? Aku kangen.” Oik berkata lirih.
**
Jumat, 7 Januari 2011
Oik masih
terlelap walaupun sang mentari sedang gigih-gigihnya menyinari seisi dunia. Ia
tak peduli walaupun ponselnya telah berbunyi berkali-kali, Bundanya yang
mencoba membangunkannya semenjak subuh tadi, dan juga pembantunya yang membujuknya
untuk sarapan.
Ia seolah sudah
tak punya semangat hidup, sudah bosan hidup. Bagaimana tidak? Orang yang
biasanya selalu ada di sampingnya dan selalu menyemangatinya –dulu– kini telah
hilang entah ke mana. Oik juga telah memergokinya sedang berduaan dengan gadis
memuakkan itu. Kurang malang apalagi hidupnya saat ini?
Tok tok tok..
Pintu kamar Oik
kembali diketuk. Oik segera menyembunyikan kepalanya di balik bantal, tak
peduli jika orang di luar sana sampai memerah jemarinya karena terus-terusan
mengetuk dan tak ia gubris sama sekali. Oik hanya ingin sendiri, di sini.
“Ik, Oik?” Oik
seperti mengenali suara lembut di luar sana, bukan Bundanya.
“Ini kami, Ik..
Ify sama Sivia. Boleh masuk, kan?” Oh, mereka berdua rupanya.
Oik tak menggubris
kedua sahabatnya itu. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Sivia
dan Ify sebal juga lama-lama. Sudah hampir lima menit mereka mengetuk pintu,
Oik tak menjawab sama sekali. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung masuk
saja, untung kamar Oik tidak dikunci.
“Astaga, Oik!”
Sivia terpekik kaget begitu mengetahui kamar Oik lebih berantakan daripada
kapal pecah.
Ify segera duduk
di bibir ranjang Oik dan mengusap pelan punggung gadis itu, “Bangun, dong,
Ik..” bujuknya.
Sivia memandang
Ify dan Oik sekilas. Gadis chubby itu
hanya mampu menggelengkan kepalanya begitu menyadari betapa kacaunya Oik tanpa
Cakka. Ini semua gara-gara gadis memuakkan itu, Shilla. Ya, ini semua gara-gara
Shilla. Sivia pun kembali melanjutkan kegiatannya, membereskan kamar Oik.
“Ik, bangun. Jangan jadi mayat hidup, dong,
Ik! Lo mau Cakka sama Shilla seneng karena udah berhasil bikin lo terpuruk
gini?” Ify mengoceh panjang-lebar dibuatnya.
Akhirnya Oik pun
menyingkirkan bantal dari wajahnya dan duduk, menghadap ke Ify. Sivia, yang
telah selesai membereskan kamar Oik, ikut duduk di ranjang Oik. Ketiganya duduk
melingkar.
Oik mengedarkan
pandangannya dan sedikit kikuk begitu menyadari Sivia lah yang telah
membereskan kamarnya, “Thanks, Siv.”
Sivia mengangguk
dan tersenyum, “That’s what friends are
for, right?”
“Bangkit, dong,
Ik!” Ify mengusap pelan bahu Oik dengan tersenyum tulus. “Jangan terpuruk
terus, ah! Kalau gini caranya, ya, pasti Cakka sama Shilla bakal seneng banget
karena mereka berhasil bikin lo bener-bener down.”
Oik menunjukkan
wajah angkuhnya, “Siapa yang terpuruk? Siapa yang down? Ga ada!”
Sivia terkekeh
pelan. Ify melongo hebat. Coba bayangkan, siapa yang tidak berkata Oik sedang
terpuruk kalau begini caranya? Lihat wajah Oik. Bekas air mata ada di seluruh
sudut wajahnya, kantung matanya sudah sangat lebar, wajahnya pucat, dan matanya
berair. Apalagi ini kalau bukan habis menangis berhari-hari?
“Bisa aja, sih,
lo!” Sivia meninju pelan lengan Oik.
Oik mengaduh
kesakitan. Pasalnya, tinjuan Sivia tadi tepat mengenai lengannya yang sedang
kram karena terlalu banyak tidur. “Sakit, bego!” desisnya.
“Udah, ah!” Ify
tertawa pelan. “Janji, ya, kalau lo ga bakalan nangisin orang macem Cakka
lagi.”
Oik menunduk dan
mengangguk kecil, “Janji.”
“Janji ga? Yang
bener, kek, kalau janji!” bentak Ify.
Oik mendongakkan
kepalanya dan menatap Ify lurus-lurus, “Janji! Janji! Janji, Fy!”
“Nah!” Sivia dan
Ify segera menghampur dalam pelukan Oik.
**
Sabtu, 8 Januari 2011
Siang-siang
begini Ify dan Sivia rela berpanas-panasan menuju rumah Oik dengan berboncengan
motor. Mobil Ify sedang di bengkel dan mobil Sivia sedang dipinjam sepupunya.
Jadilah mereka berdua pergi ke rumah Oik dengan motor. Begitu sampai di kamar
Oik, keduanya langsung merebahkan tubuh di ranjang Oik dan melepas jaket dengan
cepat.
“Panas!” desis
Ify.
“Badai, deh!”
desis Sivia.
“Lo berdua
ngapain kemari?” tanya Oik, melirik kedua sahabatnya itu dari sudut mata.
Sivia segera
bangkit dan mengeluarkan berlembar-lembar foto dari dalam tasnya, “Nih!
Kandidat-kandidat yang bakalan jadi cowok lo.”
“Baik, kan, kami?
Kami khusus hunting cowok cuman buat
lo seorang, Ik!” Ify menimpali.
Oik melongok,
menatap lima lembar foto yang dibawa oleh Sivia. Lima lembar foto dengan sosok
yang berbeda di masing-masingnya. Oik harus mengakui bahwa dari kelima
laki-laki di foto itu, semuanya oke! Yah, walaupun, tidak ada yang bisa
menandingi okenya Cakka di hatinya.
“Ini Ozy.” Sivia
menyerahkan sebuah foto laki-laki berbehel kepada Oik. “Dia satu sekolah sama
kita, tapi adik kelas. Dia most wanted.
Anak kelas sebelas Sosial. Terakhir pacaran sama model yang namanya Pamella dan
akhirnya putus karena Pamella egois.”
“Muhammad Raynald
Prasetya.” Ify mengangsurkan foto seorang laki-laki gondrong kepada Oik.
“Panggilannya Ray. Drummer paling
kece se-Jakarta! Mantannya seabrek dan cantik badai semua. Kata orang-orang,
sih, dia agak playboy. Tapi gue sama
Sivia ga percaya! Wajahnya dia polos banget, cuy!”
“Yang ini namanya
Gabriel.” Sivia menunjukkan foto seorang laki-laki berparas manis. “Alumni
sekolah kita, baru aja lulus tahun kemarin. Sekarang kuliah di Universitas
Indonesia, ambil jurusan Kedokteran. Pinter? Ga usah ditanya! Jenius ini, sih!
Terakhir pacaran, sih, pas kelas 3 SMP sama Saras.”
“Anak Agung
Ngurah Deva Ekada Saputra. Tapi lo cukup panggil dia Deva.” Ify memberikan
kepada Oik selembar foto laki-laki yang mengenakan pakaian adat Bali. “Bali
tulen. Vocalist band sekolah.
Seangkatan sama kita. Dari awal masuk dia udah suka curi-curi pandang ke lo.
Baru aja digosipin sama Keke tapi pas gue tanya sama dia, dia jawab kalau dia
ga ada hubungan apa-apa sama Keke.”
“Nih, yang
terakhir..” Sivia menyerahkan foto seorang laki-laki berwajah kalem.
“Namanya Debo.
Kalau ngomong masih suka pake Bahasa Sunda. Dia agak-agak mirip Cakka, sih.
tapi, gue jamin, sifat mereka berdua beda banget! Debo ini kalemnya ga
ketulungan. Denger-denger, sih, dia masih sama Itte. Tapi ga tau lagi, deh.”
Ify mengakhiri penjelasannya dengan seulas senyum tipis.
**
Sudah seminggu
ini Oik mencoba melupakan Cakka. Tapi, hasilnya nihil. Usaha Ify dan Sivia
untuk mencomblangkannya dengan Ozy, Ray, Gabriel, Deva, maupun Debo pun
berantakan! Ada saja hal-hal kecil yang membuat Oik sama sekali tidak mau
menjalani hubungan dengan kelima cowok tersebut.
Ketika ia ngedate dengan Ozy, Oik benar-benar kalap.
Bagaimana tidak? Ozy terus-terusan membandingkannya dengan Pamella. Apa-apa
Pamella, apa-apa Pamella. Jadi, intinya, Ozy masih belum bisa melupakan
Pamella. Terus, kenapa ia mau saja dicomblangkan Ify dan Sivia dengan Oik? Oik
benar-benar tak habis pikir.
Ray memang baik,
ganteng, dan charming. Ketika mereka
berdua jalan bareng di sebuah mall, Oik mengumpat dalam hati tiada habisnya.
Pasalnya, setiap mereka berdua melangkah, selalu aja ada gadis-gadis cantik
yang menyapa Ray. Dan setiap Oik bertanya siapa mereka, Ray akan menjawab
dengan polosnya bahwa mereka adalah mantannya.
Ify dan Sivia
tidak salah pilih orang, kan? Gabriel, astaga! Laki-laki ini mengajaknya ngedate di perpustakaan kampus! Oh, salah.
Gabriel tidak date dengannya, tapi date dengan buku-buku kedokteran yang
tebalnya minta ampun itu! Mana mungkin Oik yang glamour bisa tahan menjalani hubungan dengan laki-laki macam
Gabriel? Ify dan Sivia terlalu ngaco!
Deva, Deva.. Oik
jadi malas sendiri dengan laki-laki Bali tulen itu. Deva terlalu over menunjukkan kekayaannya! Mulai dari
rumah-lima-hektarnya di Denpasar, sawah yang terhampar luas di Singaraja,
sebuah club house di dekat Tanah Lot,
toko souvenir supermegah di Kutai.
Lalu, apalagi? Oik ingin sekali menutup mulut laki-laki itu dengan wedgesnya!
Sudahlah. Oik
benar-benar tidak memiliki kata yang tepat untuk mendeskripsikan Debo. Sialan!
Rupanya ia masih menjalin hubungan dengan Itte! Ify dan Sivia kenapa
mencomblangkannya dengan Oik? Oik benar-benar sudah emosi ketika mendengarkan
pembicaraan Debo dengan Itte via ponsel. Jadi, Debo akan menjadikannya
selingkuhan? No way!
Tidak ada yang
sebaik Cakka. Tidak ada yang seperhatian Cakka. Tidak ada yang dapat membuatnya
nyaman ketika berada di sampingnya. Hanya Cakka. Jadi, intinya, usaha Ify dan
Sivia untuk mencarikan pengganti Cakka benar-benar gagal! Tidak aka nada yang
bisa menggantikan Cakka di hatinya. Sampai kapanpun. Ya, selamanya.
**
Oik berlinangan air mata. Dadanya sesak
menahan kerinduannya pada sosok Cakka. Tanpa memedulikan gengsinya, Oik berlari
memasuki kediaman Cakka. Para pembantunya berkata bahwa Cakka sedang ada di
teras belakang. Oik segera ke sana.
Begitu sampai,
Oik melihat sosok Cakka yang sedang menatap kosong ke arah kolam renang. Tangan
kanan laki-laki itu menenteng sebuah gelas wine
yang masih terisi penuh. Tanpa menunggu lama, Oik bergerak menghampiri
laki-laki itu dan memeluknya dari belakang.
“Aku kangen kamu,
Kka.” Oik berbisik.
Untuk sesaat,
tubuh Cakka menegang. Ia segera meletakkan gelas wine itu di sebuah meja kecil. Cakka sedikit menengokkan kepalanya
ke belakang. Benar dugannya. Gadis yang tengah memeluknya itu adalah Oik. Cakka
membalikkan tubuhnya sepenuhnya lalu merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
“Maafin aku. Aku
ga ada apa-apa sama Shilla.” Cakka berbisik di telinga Oik.
Oik mengangguk
dalam dekapan Cakka dan tersenyum kecil.
Cakka melepaskan
pelukannya. Sebagai gantinya, ia memegang pundak Oik dan menatap gadis itu
dalam-dalam, “Jadi, kita balikan?” tanyanya.
“Iya.” Oik
menjawab dengan kalem.
Cakka berteriak
kegirangan. Ia kembali memeluk gadis itu dengan erat. Lalu, ia beralih menatap
wajah Oik. Ia menciumi setiap inchi wajah Oik. Sampai akhirnya.. BYUR!!
Keduanya tercebur
ke dalam kolam renang. Cakka tertawa lepas dan menyiratkan air ke arah Oik. Oik
masih termenung di tempatnya dengan badan menggigil dan bibir yang mulai
membiru karena kedinginan.
“Kenapa, sweetheart?” tanya Cakka.
“Dingin,
Cakkaaaaaaaaa!!!” Oik berteriak jengkel, suaranya terdengar bergetar karena ia
kedinginan.
Cakka menatapnya
dalam dengan tersenyum simpul. Dengan cepat, ia kembali menenggelamkan Oik ke
dalam pelukannya, “Udah ga kedinginan, kan?”
Oik hanya
mengangguk dan tersenyum kecil dalam dekapan Cakka.
**
Bunyi dering
ponsel membangunkan Oik, kembali menariknya dalam realita kehidupan. Oik
menegakkan punggungnya. Menatap kosong pada dinding kamarnya. Wajahnya mendadak
muram saat itu juga.
“Jadi, yang tadi
cuman mimpi?” lirihnya.
Oik kembali sadar
ketika ponselnya meraung-raung untuk yang kesekian kalinya. Oik segera
mengangkatnya. Rupanya sebuah telepon dari Ify.
“Oik! Lo ke mana
aja, sih? gue telepon dari tadi, tau ga!” pekikan kencang Ify langsung
terdengar ketika Oik mengangkat teleponnya.
“Kalem, Fy!” Oik
menguap lebar. “Kenapa, sih?”
“Cakka, Ik!
Cakka!” Suara Ify terdengar menggebu, membuat Oik bergidik mendengarnya. “Dia
flight jam sebelas ke Spore! Baru balik tahun depan! Dia ngelanjutin sekolah ke
sana! Cepet susul dia, Ik!” Ify kembali berteriak di ujung sana.
Oik terkesiap. Ia
melihat jam dindingnya. Pukul setengah sebelas! “Kenapa lo baru telepon
sekarang, Ifyyyy???”
“Gue udah coba
telepon lo dari sejam yang lalu tapi ga lo angkat, bego!” Ify ikut gemas
sendiri.
Tanpa
memerdulikan Ify yang masih terus menceramahinya melalui sambungan telepon, Oik
melemparkan begitu saja ponselnya. Wajahnya mendadak pucat. Dengan pakaian ala
kadarnya, Oik memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju bandara. Bagaimana
bisa ia menempuh perjalanan ke bandara hanya dalam waktu setengah jam?
Pukul sebelas
tepat. Oik segera meningkatkan kecepatannya ketika memasukki area bandara. Oik memarkirkan
mobilnya sembarangan. Setelah mematikan mesin mobilnya, Oik turun, berlari
menuju main building bandara.
Oik mengedarkan
pandangannya ke segala penjuru bandara. Bibirnya sudah seputih kapas, pucat
sekali. Ia segera mencari screen yang menunjukkan keberangkatan pesawat
Singapore Air. Ketemu! Oik membaca dengan seksama setiap huruf yang tertera di
sana.
“Cakka..”
lirihnya.
Kakinya langsung
lemas begitu mengetahui pesawat Singapore Air telah lepas landas semenjak
sepuluh menit yang lalu. Oik berjalan gontai menuju parkiran. Air matanya
berlinangan tanpa terkendali. Walaupun Oik telah mengusapnya ratusan kali, tapi
tetap saja bening-bening itu muncul kembali.
Oik terduduk di
atas aspal bandara dengan kepala tertunduk dalam, “Aku tunggu kamu di sini,
Kka. Setahun lagi.”
**
Seorang laki-laki
terduduk di business class Singapore Air.
Matanya menatap dalam pada foto-foto di tabnya,
sosok gadis yang sama di seluruh foto tersebut. Senyumnya terlihat sendu. Hatinya
berat meninggalkan gadis dalam foto itu.
“Tunggu aku
setahun lagi, sweetheart. Aku janji,
aku akan jelasin semuanya ke kamu. Dan aku janji, kamu adalah orang pertama yang
aku temui di Jakarta tahun depan. I
promise, sweetheart.” Cakka –lelaki itu– mengecup layar tabnya, tepat pada
foto gadis itu –Oik–.
**
Langganan:
Postingan (Atom)