Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SUPERGIRLS part 2 (Zahra's Story)


                Sudah semenjak beberapa jam yang lalu Zahra berkutat dengan roll film, kertas foto, dan alat-alat pencetak foto manual lain di dalam studio mini miliknya. Sudah ada beberapa foto yang masih basah yang ia gantungkan sembarangan di seutas tali tipis di atasnya.

                Pintu studio terbuka. Muncullah seorang laki-laki dengan menenteng sebuah tas plastik bergambar maskot salah satu restaurant cepat saji yang sedang naik daun.

                “Zahra, makan dulu!” ujarnya.

                Secepat kilat, karena mendengar suara laki-lakinya, Zahra menengok dan tersenyum kikuk.

                “Nanggung, Ky! Tinggal tiga foto lagi, kok,” balasnya, lantas kembali tersenyum kikuk.

                Laki-laki itu masuk dan duduk di sebuah mini sofa yang berada tepat di samping meja cetak Zahra. Kemudian, diletakkannya sekantung tas plastik tersebut di sebuah meja kecil.

                “Udah, berhenti aja dulu. Setelah makan, baru kamu lanjutin lagi,” sarannya.

                Zahra mengalah. Ia segera meletakkan segala peralatan cetak-mencetaknya dan duduk di samping laki-lakinya, Rizky. Rizky telah mengeluarkan sekotak makanan dari dalam kantung tersebut. Dan ketika Zahra baru saja duduk, Rizky meletakkannya tepat di depan Zahra.

                “Oke, aku makan.. Tapi, kamu ga makan?”

                Rizky tersenyum samar, “Udah. Sebelum beliin kamu, aku udah makan duluan. Sekarang kamu makan aja, biar aku yang ngelanjutin ngecetak foto-fotonya,”

                Zahra mengangguk. Sepersekian detik setelahnya, Zahra sudah bergelut dengan makanan dari Rizky. Rizky sendiri, sedang mencetakkan tiga foto yang belum sempat Zahra selesaikan karena kedatangannya tadi.

                Rizky mengedik pada gadisnya dan tersenyum geli. Zahra sontak cemberut dan memanyunkan bibirnya.

                “Kenapa senyum-senyum?” tanya Zahra, sewot.

                Rizky hanya menggeleng, “Makannya pelan-pelan aja, Zah. Ga akan lari kemana, kok, itu makanan,”

                “Aku, kan, laper!” rajuknya.

                Suasana mendadak hening. Keduanya telah berkutat dengan dunianya masing-masing.

                Setelah selesai makan, Zahra membereskan kantung plastik tersebut dan membuangnya di tong sampah. Untung saja di dalam studionya ini ada sebuah tong sampah mungil berwarna hijau. Jadi ia tak perlu keluar studionya ini hanya untuk membuang sampah.

                Zahra menghampiri Rizky. Laki-laki itu sedang menjepitkan sebuah penjepit pada foto terakhir dengan seutas tali yang tergantung. Selesai. Puluhan foto hasil hunting tadi siang telah Zahra dan Rizky cetak. Tinggal menunggu beberapa jam saja agar foto-foto tersebut kering.

                “Udah selesai?” tanya Zahra, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

                Rizky menengok padanya, “Udah. Dan tiga-tiganya udah aku gantung,”

                “Makasih,” kata Zahra.

                Rizky hanya tersenyum simpul menanggapinya.

                “Jadi, gimana? Besok mau hunting gadget di mana?” tanya Rizky, setelah sekian lama keduanya mematung memandang foto-foto yang tergantung di depan mata.

                “Udah bilang ke mama kamu kalau kita bakalan hunting lagi?” tanya Zahra balik.

                Rizky mengangguk, “Udah minta uang juga, kok. Lagi pingin cari MP5 yang warna kuning. Itu, kan, jarang banget ada,”

                “Terus kamu mau cari di mana?”

                “Kemarin baru aja browsing di internet. Kebetulan, aku nemuin. Tapi, ya, agak jauh. Di Surabaya sana,”

                “Oke! Besok kita ke Surabaya!”

                Rizky terbeliak kaget, “Serius kamu? Besok kita ke Surabaya?”

                Zahra mengangguk semangat, “Yap! Besok jam enam kamu jemput aku aja. Jangan lupa bilang sama sopir kamu dulu kalau besok kita mau ke Surabaya,”

                “Pasti!”

^^^

                Fajar mulai terbit di ufuk timur. Zahra baru saja selesai berganti pakaian ketika terdengar ketukan dari pintu kamarnya. Sembari membawa tasnya, ia melenggang menuju pintu dan membukanya. Ia mendapati Mamanya ada di sana.

                “Kenapa, Ma?”

                “Sudah ditunggu Rizky di ruang tamu,” kata beliau, sekilas mengedik ke arah ruang tamu.

                Zahra mengangguk. Ia menarik lengan Mamanya menuju ruang tamu sambil berjalan terseok-seok karena masih mengantuk. Benar saja, Rizky sudah duduk manis di sofa ruang tamunya.

                “Ma, Zahra sama Rizky mau ke Surabaya. Ntar cepet-cepet balik, kok. Cuman mau nganterin Rizky cari MP5 warna kuning,” pamit Zahra sembari mencium punggung tangan Mamanya.

                Beliau mengangguk lalu beralih pada Rizky yang sudah berdiri di samping Zahra.

                “Titip Zahra, ya, Ky. Pulangnya jangan kesorean. Nanti kalau sudah dapet barangnya langsung balik aja,” pesan beliau, Rizky mengangguk patuh.

                “Mama ini apa, sih? Kaya’ baru kali ini aja aku sama Rizky ke luar kota bareng,” sungutnya.

                “Sudah, sudah! Cepat berangkat, nanti keburu siang,”

                Rizky pun segera mencium punggung tangan Mama Zahra dan keduanya berlalu menuju mobil Rizky yang terparkir di halaman rumah Zahra. Ketika sampai di halaman, sopir keluarga Rizky segera membukakan pintu di belakang kemudi untuk keduanya. Keduanya masuk. Sopir pun telah masuk juga. Ketiganya melesat menuju Surabaya.

^^^

                Mobil milik Rizky baru saja keluar dari pintu Tol Gunung Sari, Surabaya. Sang sopir segera mengemudikan mobil tersebut ke pusat Kota Surabaya.

                Rizky menggeliat, menyadari mobilnya telah membelah jalanan Surabaya Pusat. Ia mengedik pada Zahra yang masih tertidur sembari memeluk boneka babi kecil yang selalu ada di dalam mobilnya tersebut.

                Lelaki itu segera menepuk pundak Zahra perlahan. Perlahan pula Zahra menguap dan mengerjap-erjapkan kedua kelopak matanya. Gadis berbehel itu mengarahkan pandangan matanya menuju luar kaca jendela mobil.

                “Udah sampai Surabaya, Ky?” tanyanya, basa-basi.

                Rizky mengangguk, “Iya. Jangan tidur lagi, ya. Bentar lagi kita sampai,” pesannya.

                Zahra masih memandangi jalanan Surabaya di luar sana. Begitu ramai dan padat. Lebih ramai dan padat daripada keadaan jalanan di Malang. Jelas saja. Aktivitas penduduk Surabaya memang lebih banyak daripada penduduk Malang.

                Tak lama kemudian, mobil yang mereka naikki memasukki sebuah pusat perbelanjaan gadget terlengkap di Surabaya. Hi-Tech Mall. Tepat berada di samping Taman Remaja Surabaya.

                Setelah menemukan tempat parkir, Rizky dan Zahra turun dari mobil, meninggalkan sang sopir yang beristirahat di sana. Rizky dan Zahra berjalan beriringan memasukki mall tersebut. Belum terlalu ramai karena jam masih menunjukkan pukul sembilan kurang.

                “Ada di lantai berapa, Ky, tokonya?”

                Rizky tampak berpikir sebentar, “Lantai tiga, di blok C7-20. Iya,”

                Keduanya mengitari mall tersebut untuk beberapa saat. Dapat! Akhirnya mereka menemukan gerai penjual minuman dingin yang telah buka. Keduanya segera berjalan menghampiri gerai tersebut.

                “Mba’, lemon tea dua,” kata Zahra.

                Sembari menunggu pesanan mereka jadi, keduanya mengobrol sebentar. Ketika itu, tak sengaja, pandangan Zahra bertabrakan dengan pandangan seorang lelaki berjaket putih yang tampaknya juga akan membeli minuman di gerai itu. Zahra menahan napasnya untuk beberapa detik.

                “Zah?” panggil Rizky.

                Zahra tersadar. Ia segera membuang napas dan berusaha fokus dengan apa yang Rizky katakana.

                “Apa, Ky?” tanya Zahra.

                “Kamu kenapa tadi?”

                Zahra menggeleng cepat, “Ga. Ga kenapa-kenapa. Cuman mendadak agak pusing. Iya. Mendadak agak pusing,”

                “Pusing? Kita pulang aja, ya?”

                “Ga usah! Ini udah ga pusing lagi, kok. Kita lanjutin aja cari MP5 warna kuning itu,”

                Pesanan keduanya telah jadi. Zahra cepat-cepat menyerahkan selembar uang sepuluh ribu kepada sang pramuniaga dan menarik lembut lengan Rizky menjauh dari sana. Mencari eskalator yang akan mengantarkannya menuju lantai dua, dan kemudian, barulah sampai di lantai tiga.

                Tepat ketika keduanya baru saja menginjakkan kaki di eskalator, Zahra menengokkan kepalanya ke belakang dan menemukan sang lelaki jaket putih masih berada di gerai minuman tadi.

                Beberapa detik Zahra memperhatikan lelaki itu. Lagi-lagi, pandangan keduanya bertabrakan. Lelaki itu tersenyum simpul pada Zahra. Zahra cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan sampailah ia dan Rizky di lantai dua.

                “Zah, kamu kenapa? Kok aneh banget?” tanya Rizky lagi.

                Zahra kembali menggeleng sembari tersenyum kikuk, “Ga, kok. Cuman pingin cepet-cepet cari MP5 warna kuning itu. Jadi ikutan penasaran,” katanya, kembali beralibi.

                Keduanya kembali menuju eskalator yang menghubungkan lantai dua dan lantai tiga. Tepat ketika keduanya menginjakkan kaki di eskalator tersebut, Zahra tak sengaja melihat lelaki itu sedang berada di eskalator yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua.

                “Yap! Lantai tiga! Blok berapa, Ky? Ayo, buruan!” seru Zahra.

                Rizky mengikuti Zahra dari belakang. Rupanya gadisnya itu tak sadar bahwa ia telah meninggalkannya di belakang.

                “Zah, mau ke mana?” tanya Rizky.

                Zahra terlihat menengok ke kanan dan ke kiri. Ia baru menyadari bahwa Rizky tidak lagi berada di sampingnya. Gadis itu segera menengok ke belakang. Dan, benar saja, ia menemukan Rizky ada di belakangnya.

                “Aku terlalu semangat nyari MP5 warna kuning, nih!” alibinya.

                Rizky tertawa renyah, “Ya udah, ayo!”

                Akhirnya keduanya sampai di sebuah toko di blok C7-20 setelah bertanya kesana-kemari.

                Huh! Toko ini sudah ramai, rupanya. Dari luar saja sudah terlihat bahwa keadaan di dalam sana sangat riuh. Maklum saja, toko ini adalah salah satu toko terlengkap di mall ini. Rizky dan Zahra saling pandang sesaat.

                “Ky, kamu yakin mau masuk ke dalem?”

                “Gimana lagi, Zah? Percuma, dong, kita jauh-jauh dari Malang ke Surabaya kalau aku ga masuk ke sana,”

                “Tapi di dalem ramai banget, Ky!”

                “Ya udah, kamu tunggu di luar aja. Biar aku yang masuk,”

                “Ga apa-apa?”

                “It’s okay. You can sit here, dear,” Rizky menunjuk sebuah kursi plastik tanpa sandaran punggung di sampingnya.

                Zahra mengangguk pasrah, “Okay, I’ll wait here..”

                Setelah memastikan gadisnya telah duduk manis, Rizky segera masuk ke dalam toko tersebut dan ikut berjubel dengan pelanggan lainnya. Zahra, yang memandangnya dari luar, hanya berdecak kesal. Ia tak mengira bahwa tokonya akan luar biasa ramai seperti ini.

                Lima menit..

                Sepuluh menit..

                Zahra mulai bosan. Ia segera mengambil ponselnya dari dalam tasnya dan memainkan benda tersebut.

                Lima belas menit..

                Dua puluh menit..

                Zahra terlampau bosan. Ia kembali meletakkan ponselnya di dalam tas dan menundukkan kepalanya. Tepat ketika itu, matanya terantuk pada sebuah sepatu berwarna putih gading di dekatnya. Barulah kemudian ia mengangkat kepalanya dan menemukan lelaki berjaket putih itu.

                “Dia lagi,” desahnya, sangat pelan.

                “Ramai banget. Ck!” lelaki itu bersuara.

                Zahra mengkerut. Ia tak mau lelaki itu menyadari keberadaan dirinya di sini. Ia tak mau lelaki itu kembali membuatnya menahan napas beberapa detik. Ia tak mau juga lelaki itu membuat kepakan sayap kupu-kupu di perutnya kembali muncul. Itu semua salah, kan? Ia sudah punya Rizky dan harusnya tak ada ‘rasa itu’ ketika melihat sang lelaki berjaket putih..

                Dan sayangnya, lelaki itu beringsut duduk di sampingnya. Ada sebuah kursi plastik lagi di samping Zahra, rupanya.

                “Hey!” sapa lelaki itu.

                Zahra cuek saja. Ia tak mengira bahwa lelaki itu menyapa dirinya.

                “Hey, cewek yang tadi ngelihatin gue dari eskalator!”

                Bagai tersengat listrik. Zahra menengok pada lelaki berjaket putih tersebut.

                “Manggil aku? Nyapa aku?” tanya Zahra.

                Lelaki itu tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi-gigi putihnya.

                “Iya! Lo! Siapa lagi?”

                Zahra hanya membulatkan bibirnya. Alih-alih, ia menetralisir debaran jantungnya, yang rupanya, semakin berdetak cepat. Hey! Ada apa ini?

                “Lo yang tadi itu ketemu sama gue di gerai minuman itu, kan? Terus, yang ngelihatin gue dari eskalator itu? Yang tadi lo jalan berdua sama seorang cowok, kan?” tanyanya beruntun.

                Zahra mengangguk perlahan, “Iya, kenapa?”

                “Ga. Cuman mau tanya aja kenapa tadi lo ngelihatin gue,”

                “Emangnya siapa yang ngelihatin kamu? Ga usah GR bisa ga?”

                “Eh, gue, tuh, bukan GR, ya! Ini, tuh, fakta! Lo tadi ngelihatin gue!”

                “Kok kamu nyolot, sih?!”

                Keduanya terlibat keributan kecil. Untung saja pengunjung lainnya tak sampai memperhatikan mereka berdua. Tanpa disadari, Rizky mengerling pada mereka berdua dari balik kaca transparan toko tersebut.

                Lima belas menit berlalu.

                Keduanya telah selesai dengan keributan kecil tadi. Kini keduanya sedang mengobrol dengan akrab. Zahra menyadari ada yang salah saat ini. Tapi, tak ia hiraukan perasaan itu dan kembali mengobrol dengan sang lelaki berjaket putih.

                “Ngomong-ngomong, nama lo siapa?”

                “Aku Zahra. Kamu?”

                “Riko..”

                Keduanya berjabat tangan tepat ketika Rizky keluar dari toko tersebut. Rizky mematung beberapa saat. Rizky tersenyum tipis. Ia segera menghampiri Zahra dan lelaki berjaket putih tersebut.

                “Zah,” panggilnya.

                Panggilan Rizky tadi membuat tautan tangan Zahra dan Riko terlepas seketika.

                “Iya, Ky?”

                “Langsung balik ke Malang aja, ya?” tanya Rizky, Zahra mengangguk setuju.

                “Oh, jadi lo orang Malang?” sela Riko, Zahra kembali mengangguk, “Kebetulan! Gue mau ke Malang, nih! Gue boleh minta nomor lo ga? Ntar kalau gue udah sampai Malang, gue kabarin lo. Gimana?”

                Zahra kembali mengangguk. Ia menyebutkan rangkaian nomor ponselnya dan Riko menyimpannya di phonebook ponselnya.

                “Oke, gue kabarin lo ntar,”

                Zahra tersenyum. Rizky segera menarik lengan Zahra menjauhi lelaki berjaket putih tersebut dengan gusar. Keduanya segera menuju area parkir dan memasukki mobil Rizky. Cepat-cepat Rizky memerintah sopirnya untuk kembali ke Malang.

^^^

                Zahra segera merebahkan tubuhnya di ranjang. Ia baru saja sampai di Malang. Rizky baru saja pulang setelah mengantarkannya.

                Senyum kembali merekah di bibirnya. Entah kenapa, semenjak bertemu dengan Riko tadi, ia jadi suka tersenyum-senyum sendiri. Desiran di hatinya juga masih terasa. Apalagi kepakan sayap kupu-kupu di perutnya. Ada apa ini?

                Ponselnya tiba-tiba saja bergetar. Ia segera mengambilnya dan mengangkat panggilan dari nomor tak dikenal tersebut.

                “.....Halo?.....”

                “.....Iya, ini Zahra. Siapa, ya?.....”

                “.....Riko? Yang tadi ketemu di Surabaya itu?.....”

                Benar! Riko meneleponnya! Zahra segera bangkit dari rebahannya dan mendadak tersenyum lebar.

                “.....Oh, kamu udah di Malang? Terus?.....”

                “.....Kamu masih capek, deh. Besok aja kita jalan-jalan keliling Malang.....”

                “.....Ya, kan, habis aku pulang sekolah bisa.....”

                “.....Aku pulangnya sekitar jam satu siang. Ga apa-apa, kan?.....”

                “.....Oke! kamu bisa jemput aku di sekolah aku sekitar jam segitu. Ntar aku SMS-in alamat sekolahku.....”

                Klik!

                Sambungan terputus. Semakin berbunga-bunga saja hati Zahra. Rencananya, besok ia akan menemani Riko keliling Malang. Besok Riko akan menjemputnya di sekolah setelah jam pembelajaran habis.

                “Ini kenapa? Kenapa rasanya seneng banget besok bakalan jalan sama Riko? Kenapa rasanya ga gini banget waktu tadi Rizky ngegandeng aku?” gumamnya.

^^^

                Senin telah tiba. Waktunya para manusia untuk kembali ke aktivitas semula setelah menjalani libur dihari Minggu. Begitupula Zahra. Jam menunjukkan tepat pukul enam ketika ia telah selesai sarapan dan menunggu jemputan Rizky di teras rumahnya.

                Lima belas menit telah berlalu. Tapi tak kunjung juga Rizky menjemputnya. Zahra mendadak tak ada mood untuk ke sekolah. ia menghentak-hentakkan kakinya kesal.

                “Kenapa, Zah?” tanya Mamanya.

                Zahra mengedik pada beliau dan menunjukkan ekspresi sebal, “Lima belas menit lagi bel masuk dan Rizky belum jemput aku, Ma!”

                “Mungkin Rizky ga masuk sekolah dan lupa ngabarin kamu. Mama anter aja, ya?”

                Zahra mengangguk sebal.

                Mamanya segera mengambil kunci mobil di dalam dan berlalu menuju garasi. Zahra mengekor beliau dengan wajah ditekuk.

^^^

                Nyaris! Zahra sampai di sekolah ketika bel masuk berbunyi. Ia patut menghela napas lega. Pasalnya, jika ia telat sedetik saja, dapat dipastikan ia akan meringkuk di Ruang BP untuk beberapa puluh menit karena terlambat.

                Cepat-cepat Zahra berjalan menuju kelasnya. Ia melewati kelas Rizky dan melongok ke dalam sebentar. Ada Rizky di sana. Lelaki itu sedang bergurau dengan teman-temannya. Semakin kesal saja Zahra.

                “Bisa-bisanya dia ga ngejemput aku tanpa ngabarin dulu?!” gerutunya.

                Ketika ia sampai di kelasnya, ia segera membanting begitu saja tasnya dan menelungkupkan wajahnya dalam tangannya. Keke, sebangkunya, saja sampai bingung dengan tingkah laku Zahra pagi ini.

                Ify, Aren, Angel, Acha, Shilla, Sivia, Nova, dan Oik menengok pada Zahra. Kedelapannya mengerutkan kening, bingung. Untung saja tak ada guru di kelas ini. Jadilah kedelapannya segera mengerubungi bangku Zahra dan Keke.

                “Kenapa, Zah?” tanya Keke, mewakili yang lainnya.

                Zahra mengangkat wajahnya. Tampaklah wajah tak mengenakkan itu.

                “Sebel sama Rizky!”

                “Kok bisa? Biasanya, kan, kalian lengket banget,” celetuk Ify.

                “Ga tau! Tiba-tiba aja tadi pagi dia ga jemput aku di rumah tanpa ngabarin dulu sebelumnya. Makanya aku hampir telat! Tadi dianterin Mama ke sekolah, sampai pas bel lagi bunyi!” gerutunya.

                “Kalian lagi berantem?” sekarang giliran Shilla yang bertanya.

                “Bicarain dulu baik-baik, lah, sama Rizky,” timpal Oik.

                “And the fact is I don’t know why Rizky did it!” Zahra berdecak malas.

                “Pikir-pikir lagi, deh. Emang sejak kapan Rizky jadi gini?” tanya Sivia.

                Zahra mulai berpikir. Memflashback kejadian kemarin.

                “Kemarin! Iya, kemarin! Kemarin waktu kita baru aja pulang dari Surabaya. Waktu sampai di rumahku, dia ga mampir dulu. Padahal, kan, biasanya dia mampir dulu. Tapi kemarin, tuh, ga!”

                “Nah! Terus? Terus? Ada kejadian apa lagi waktu kalian di Surabaya?” kejar Acha.

                “Inget-inget, Zah! Ayo!” kejar Aren.

                “Kita ketemu sama cowok. Aku kenalan sama dia. Dia, kaya’nya, orang Jakarta. Terus sekarang juga lagi di Malang. Aku sama cowok itu kenalan waktu Rizky beli MP5 warna kuning,”

                “Kamu kenalan sama cowok itu di depan Rizky?” tanya Nova, terbelalak kaget.

                Zahra mengangguk perlahan. Kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya kontan melotot.

                “Jelas aja Rizky sikapnya jadi beda sama kamu! Dia jealous, Zah! Dia cemburu lihat kamu sama cowok itu! Berarti dia ngerasa kalau kamu ada ‘something’ sama cowok itu,” seru Aren berapi-api.

                “Maksudnya aku ada ‘something’ sama cowok itu, tuh, apa?” tanya Zahra balik.

                “Rizky ngerasa kalau di antara kalian berdua itu ada yang aneh. Contohnya, nih, kalian berdua cepet banget akrab. Terus, kamu kelihatan seneng banget waktu ngobrol sama cowok itu,” jelas Angel.

                Zahra menganggukkan kepalanya.

                “Jujur, deh, Zah.. Kamu itu nganggep Rizky apa? Pacar kamu, kan?” tanya Oik, curiga.

                Zahra ragu untuk menjawabnya. Pandangan menusuk dari sahabat-sahabatnya itulah yang akhirnya memaksanya untuk menjawab dengan sejujur-jujurnya.

                “Sebenernya aku ga nganggep dia pacar..” ujar Zahra, menggantung.

                “Terus?” tanya Ify, penasaran.

                “Aku nganggep dia sahabat. Kalian sendiri tahu, kan, kalau dia selalu ada kapanpun saat aku butuh,”

                Sivia semakin melotot kaget, “Kenapa kamu nerima dia waktu dia nembak kamu dulu?” tanya Sivia, tak tertahan.

                “Ya, karena waktu itu aku belum tahu kalau aku cuman nganggep dia sebagai sahabat,”

                “Ya udahlah. Ntar kamu ajak Rizky ngomong berdua aja. Ajak cowok itu sekalian. Kalian perlu ngomong bertiga. Secepetnya,” ujar Nova.

                ^^^

                Bel pulang telah berbunyi semenjak lima menit yang lalu. Siswa-siswi SMP Mariskova telah bergerumbul di gerbang depan, menunggu jemputan. Dan bagi yang membawa kendaraan sendiri, bergerumbul di area parkir untuk mengambil kendaraan mereka.

                Zahra segera menghampiri Rizky di kelasnya. Beruntung Rizky masih ada di kelasnya.

                “Ky, kok tadi ga jemput aku?” tanya Zahra, to the point.

                Rizky mengangkat bahunya, “Kelupaan tadi,”

                “Kok ga langsung ngabarin begitu udah sampai sekolah?”

                “Baru inget ini tadi kalau aku punya pacar,”

                “Loh? Kok?”

                “Emangnya kamu inget kalau kamu punya cowok? Aku?”

                “Inget, Ky! Kamu kok gitu, sih?”

                “Inget aku? Masa? Waktu kenalan sama cowok itu, gimana?”

                “Kok kamu jadi gini, sih? Ck!”

                “Ya maaf, Zah. Aku cuman ga suka aja lihat kamu sama cowok yang kemarin itu. Apalagi dia juga bakalan ke Malang dan kalian pasti bakalan ketemu lagi, kan..”

                “Kamu jealous?”

                “Iya,”

                “Maaf..”

                “Ga apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf ke kamu!”

                “Maksudnya?”

                “Ya udah, kita emang perlu ngomong bertiga sama Riko. Sekarang,”

                “Riko siapa? Cowok yang kemarin itu?”

                “Iya,”

                “Bagus banget! Ternyata dia udah di sini, ya? Kalian pasti teleponan, kan, semalam?”

                “Jangan memperkeruh keadaan, Ky! Kita cuman perlu ngomong bertiga!”

                “Oke! Mana dia sekarang?”

                “Di gerbang depan. Kita langsung ke sana aja,”

                Keduanya pun segera melenggang meninggalkan kelas Rizky dan menuju gerbang depan. Benar saja. Rizky melihat lelaki berjaket putih yang kemarin ia jumpai di Surabaya itu. Lelaki itu tampak sedikit kaget ketika melihat ia berada di samping Zahra. Rizky tersenyum samar.

                “Jadi, Rik?” tanya Zahra, Riko mengangguk.

                “Dia ikut?” tanya Riko, mengedik pada Rizky.

                “Iya. Kita perlu ngomong bertiga aja. Ga apa-apa, kan?” tanya Zahra, lagi.

                “Oke. Yuk, berangkat!” ajak Riko.

                Ketiganya segera menaikki mobil Riko. Riko yang mengemudi. Rizky duduk di sampingnya dan Zahra duduk di bangku belakang. Suasana mendadak hening. Zahra semakin tak nyaman dengan keadaan ini.

                “Kita ke MOG aja,” kata Zahra.

                Riko mengangguk. Ia segera melajukan mobilnya menuju MOG, dibantu dengan komando dari Rizky.

                Tak sampai lima belas menit, ketiganya sampai. Ketiganya berjalan dari parkiran dan memasukki MOG dengan langkah yang sejajar. Zahra berjalan mendahului keduanya dan melenggang menuju sebuah kedai minuman. Ia duduk di salah satu sudut kedai tersebut. Disusul dengan Riko dan Rizky yang akhirnya duduk di hadapannya.

                “Capuccino Iced tiga,” sela Zahra, sebelum sang pramusaji berkata sepatah kata pun.

                Pramusaji tadi hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan ketiganya. Tak lama kemudian, sang pramusaji kembali dengan tiga gelas Capuccino Iced. Ketiganya kembali saling diam.

                “Kenapa malah jadi diem-dieman?” tanya Riko.

                “Harusnya Zahra yang jawab, bukan aku,” kata Rizky.

                “Kaya’nya aku harus jujur sekarang, ya.. Ky, maaf banget! Sebenernya aku cuman nganggep kamu sahabat. Kamu selalu ada tiap aku butuh. Dan aku ngehargain itu,” kata Zahra, pandangan matanya kosong.

                Rizky shock, “Kenapa kamu terima aku dulu?”

                “Karena aku belum tahu kalau ternyata aku cuman nganggep kamu sahabat. Ga lebih,”

                Riko terdiam mendengar percakapan keduanya. Ia mulai mengerti ke mana arah pembicaraan kali ini. Ia yang telah membuat Zahra dan Rizky menjadi seperti ini.

                “Maksudnya lo berdua?” tanya Riko.

                “Oke. We’re done, Zah. Thanks!” seru Rizky.

                “Kamu ga marah sama aku, kan? Ga dendam, kan?” tanya Zahra, Rizky menggeleng.

                “Kalian putus gara-gara gue?” tanya Riko.

                “Iya,” jawab Rizky, enteng.

                “Akhirnya..” seru Riko dengan mata berbinar-binar.

                “Ngapain kamu?” tanya Rizky, tak suka.

                “Akhirnya kalian putus juga! Niatnya, kan, hari ini gue mau nembak dia!” seru Riko, telunjuknya mengarah pada Zahra.

                Blush! Pipi Zahra berubah warna menjadi semerah kepiting rebus. Rizky menggeram pelan.

                “Jadi, lo mau jadi cewek gue, kan? Kan, sekarang lo udah single. Lo, kan, udah putus dari dia,”

                Zahra menunduk malu-malu. Perlahan, ia menganggukkan kepalanya. Membuat Rizky semakin tak tahan.

                “YES!” seru Riko, senang.

                Rizky segera bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Zahra dan Riko yang sudah mulai mengobrol dengan sangat akrabnya.

(Zahra's Story - End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SUPERGIRLS part 1 (Nova's Story)








                Gadis itu, Nova, baru saja keluar dari kamarnya. Ia segera menghampiri kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya di meja makan sembari menggendong tas PolloHunter berwarna cokelat kulit yang nampak sangat boyish.

                Seperti hari-hari biasanya, mamanya hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat dandanan gadis itu. Kemeja seragam yang kusut di beberapa bagiannya, rambut yang tidak tersisir rapi, dan kaca mata minus yang bertengger sembarangan di wajahnya.

                Wanita paruh baya itu menghela napas jengah, “Nova, bukannya mama sudah bilang kalau kamu bisa minta tolong pada mama untuk menyetrika kemeja seragammu?”

                Nova hanya tersenyum samar, “Mama, kan, tahu kalau Nova lebih suka seperti ini..”

                “Iya, mama tahu. Tapi, kan, kalau kamu bisa terlihat lebih rapi lagi, kenapa tidak?” ucap mamanya lagi, tak pernah bosan dengan perdebatan pagi ala keduanya.

                “Ga usah, ma..” lagi-lagi Nova menggelengkan kepalanya kalem.

                Selesai. Memang hanya sampai disitu saja perdebatan pagi itu, juga pagi-pagi sebelumnya. Wanita paruh baya itu akan berhenti jika anak gadisnya telah bersikap pasrah seperti tadi.

                Sarapan pagi itu kembali berjalan. Nova segera menghabiskan nasi goreng buatan mamanya. Selang beberapa menit, makanan di piringnya sudah habis tak bersisa. Begitupula dengan nasi goreng di piring mama, papa, dan adik laki-lakinya.

                “Berangkat sekarang, kak?” tanya papanya, Nova mengangguk.

                Keduanya segera bangkit dari kursinya masing-masing. Nova menghampiri mamanya dan mencium punggung tangan wanita paruh baya tersebut. Setelahnya, ia menyusul papanya yang sudah berada di teras bersama sepeda motornya.

                Adiknya tidak sekolah? Bukan. Hanya saja, anak laki-laki mungil itu masuk siang. Sekolahnya yang menerapkan sistem masuk siang tersebut. Satu lagi, Nova biasa dipanggil ‘Kak’ dan adiknya dipanggil ‘Dik’ oleh kedua orang tua mereka.

                Nova pun naik ke boncengan motor papanya dan keduanya pun melesat menuju sekolah Nova, SMP Mariskova..

^^^

                Bel pertanda waktu istirahat akan dimulai baru saja berdering. Oik, yang notabene adalah teman sebangku Nova, langsung mengajak gadis itu untuk buru-buru ke kantin. Anggota SUPERGIRLS yang lainnya juga sudah siap menuju kantin. Mereka bersepuluh pun berjalan bergerumbul menuju kantin.

                Hanya tersisa satu meja saja di kantin. Cukup untuk berduabelas, rupanya. Tepat ketika kesepuluhnya mendudukki kursi di meja tersebut, dua orang siswi SMP Mariskova juga berangsur mendudukki dua kursi yang tersisa.

                Rahmi dan Gita. Siswi kelas delapan SMP Mariskova. Kakak kelas mereka, yang lumayan akrab dengan mereka. Keduabelasnya tertawa nyaring ketika menyadari ketidaksengajaan tersebut.

                SMP Mariskova menerapkan sistem cathering. Jadi, seluruh siswa-siswi tinggal duduk melingkar di kursi masing-masing, dan kemudian, datanglah dua orang wanita. Seorang yang membawa meja dorong beroda yang mengangkut makanan dan minuman untuk mereka semua. Dan seorang lagi yang meletakkan makanan dan minuman tersebut di meja-meja yang telah terisi.

                “Jadi, gimana soal agenda kita week end ini?” tanya Gita, memulai perbincangan di antara mereka.

                Tepat saat Gita selesai bertanya, makanan dan minuman telah terhidang di meja mereka. Menu mereka hari ini adalah Spageti Bolognaise, jus jeruk, dan pastel tutup sebagai dessert. Mereka semua mengucapkan terima kasih kepada kedua wanita tersebut dan kembali larut dalam pembicaraan tentang rencana mereka.

                Hunting foto lagi aja gimana?” tanya Shilla, sembari menatap kesebelas gadis lainnya.

                “Oh iya, aku ada tempat keren buat hunting foto. Ya itu pun kalau kalian mau week end ini kita hunting foto lagi,” gumam Keke, setelah menyeruput sedikit jus jeruknya.

                Rahmi melirik kesepuluh adik kelasnya itu sembari tersenyum, “Ya udah.. Hunting foto aja, ya?”

                Yang lainnya mengangguk semangat. Hanya Nova yang telah sibuk dengan makanannya. Ify kemudian menatapnya jengah. Selalu saja.

                “Nov, kamu ikut kita hunting foto, kan?” tanya Ify, lebih tepatnya memaksa.

                Nova meletakkan sendok dan garpunya perlahan, “Iya, deh. Sebenernya, sih, aku bosen sama kegiatan week end kita yang itu-itu aja. Kenapa ga bikin kegiatan yang belum pernah kita lakuin sebelumnya?”

                “Seperti?”

                Nova menghela napas sejenak, “Mba’ Gita, kita belum pernah nyoba donor darah bareng, kan? Berarti, kapan-kapan, kita bisa ngisi week end kita sama donor darah. Itung-itung amal, lah. Ga rugi juga, kan?”

                Sivia tersenyum menanggapinya, “Boleh.. Week end lainnya aja, ya? Kan, week end ini kita udah punya rencana buat hunting foto,”

                Nova mengangguk sekilas, dan kemudian, kembali berkutat dengan makanannya. Kesebelas gadis lainnya pun mengikuti apa yang ia lakukan, berkutat dengan makanannya masing-masing hingga bel kembali berdering, menandakan waktu istirahat telah usai.

                “Jangan lupa, ya.. Besok kumpul di rumah aku dulu,” ujar Rahmi, yang lainnya tersenyum mengiyakan.

                “Zahra juga! Jangan lupa bawa camera lomo punyamu yang efeknya bagus-bagus, ya!” seru Gita seraya tersenyum lebar.

^^^

                Hari Sabtu telah tiba. Ify, Angel, Aren, Shilla, Keke, Acha, Oik, Sivia, Zahra, dan Gita sudah berkumpul di kediaman Rahmi semenjak beberapa menit yang lalu. Kesebelasnya sedang berada di ruang keluarga rumah Rahmi, membicarakan soal Nova.

                “Nova, kok, tumben telat..” gumam Angel, ia melirik Ripcurl berwarna putih gading yang bertengger indah di pergelangan tangan kirinya.

                Rahmi meliriknya sekilas, “Macet mungkin, Ngel. Malang, kan, udah mulai kaya’ Jakarta sama Surabaya yang selalu macet,”

                “Tapi tumben banget ini, mba’. Nova itu ga pernah telat. Apa lagi, kan, dia pakai motor kalau ke mana-mana. Tahu sendiri, lah, kalau papanya itu jarang banget mau pakai mobil,” serobot Aren.
               
                Hening. Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dari ruang tamu. Rahmi, yang baru saja berdiri dan akan membukakan pintu, segera duduk kembali ketika adiknya mencegahnya. Adik dari Rahmi? Tentu saja Lintar. Siapa lagi? Lintar juga bersekolah di SMP Mariskova. Satu angkatan dengan anggota SUPERGIRLS.
               
                “Aku aja, mba’..” katanya.

                Lintar berlalu begitu saja.

^^^

                Lintar baru saja membuka pintu rumahnya. Ia mendapati Nova, yang merupakan teman sekelasnya, sedang dalam keadaan berantakan. Peluh bercucuran dari dahinya. Lintar segera saja memupuskan senyum lebarnya.

                “Aku kira Alvin yang dateng,” gumamnya, mendadak salah tingkah.

                “Mba’ Rahmi sama anak-anak SUPERGIRLS ada di dalem, kan?” tanya Nova, tak menggubris gumaman Lintar sebelumnya.

                “Iya, masuk aja..”

                Nova pun masuk. Lintar kembali menutup pintu rumahnya dan berjalan di belakang Nova. Rupanya ia masih salah tingkah karenanya. Tepat saat Nova menengok ke arahnya, ia segera berjalan mendahului gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya.

                “Nova!” panggil Rahmi, dari ruang keluarga.

                Nova tersenyum sekilas dan menghampiri kesebelas orang yang dicarinya itu. Ia menghempaskan tubuhnya di samping tubuh mungil Acha. Acha mengedik padanya dan mengerutkan keningnya, kaget.

                “Nov, naik apa tadi ke sini?” tanyanya.

                “Jalan kaki,” jawabnya, santai.

                “APA? Jalan kaki? Yang bener aja, Nova.. Kasihan itu kaki kamu. Rumahmu sama rumahnya Mba’ Rahmi, kan, jauh!” Zahra mendelik kaget.

                Nova tertawa kecil dan mengibas-kibaskan tangannya, “Ga apa-apa, lah. Itung-itung olah raga aja..”

                Rahmi, sang tuan rumah, masih memandang geli ke arah pintu kamar adiknya yang telah tertutup rapat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum jahil. Ia segera mengalihkan pandangannya menuju Nova.

                “Lintar tadi kenapa, Nov?” tanyanya.

                Ify menepuk pundak Rahmi pelan, “Mba’ Rahmi gimana, sih? Bukannya nanya gimana Nova sekarang, eh malah nanyain soal Lintar,”

                “Bukannya gitu, Fy. Kan, tadi kalian udah nanya-nanya gitu ke Nova. Masa’, ya, aku nanya kaya’ gitu lagi?”

                “Lintar? Emangnya dia kenapa, mba’?” tanya Nova balik.

                Rahmi hanya menggelengkan kepalanya dan kembali tersenyum jahil, “Ga, sih. Cuman, kok, dia kaya’ salting gitu?”

                “Cieeeeeeeeeeee, Nova!” anggota SUPERGIRLS yang lainnya beserta Gita kompak menggoda Nova.

                “Udah, ah! Jadi hunting foto ga, nih? Aku pulang, deh, kalau kalian masih ngegodain aku gitu..” Nova memanyunkan bibirnya.

                “Ya udah, yuk..”

                Kesebelasnya pun segera naik ke dalam mobil. Ify, Sivia, Oik, Zahra, Angel, dan Acha menaikki mobil Oik. Sedangkan sisanya, menaikki mobil Keke. Kedua mobil tersebut telah dilengkapi dengan supir dari masing-masing pemiliknya.

^^^

                Keduabelasnya baru saja sampai di perkebunan teh di daerah Wonosalam. Kebetulan, Keke menyewa perkebunan teh tersebut untuk acara hunting foto mereka kali ini. Dan, kebetulan lagi, perkebunan teh tersebut adalah milik tetangganya.

                “Keren, Ke!” gumam Aren, yang baru saja turun dari mobil milik Keke.

                Kini keduabelasnya sedang berada di pintu masuk perkebunan teh tersebut. Keke berjalan di paling depan. Ia berbincang-bincang sebentar dengan penjaga perkebunan tersebut. Setelahnya, mereka semua telah berada di tengah-tengah hamparan tanaman teh yang menghijau.

                “Zahra, camera!” seru Shilla, bersemangat.

                Zahra tersenyum kepadanya. Ia segera membuka tasnya dan mengobrak-abriknya. Kali ini, ia membawa banyak camera. Mulai dari camera pocket, SLR, hingga camera-camera lomo yang pemakaiannya secara manual.

                “Mau pakai camera yang mana?” tanya Zahra.

                Acha berjalan mendekatinya. Kemudian, ia ikut-ikut mengobrak-abrik tas milik Zahra tersebut.

                Camera yang fotonya langsung jadi itu. Namanya apa, ya? Kamu bawa ga?” tanya Acha.

                “Bawa. Itu Fuji Instax namanya,”

                Zahra segera mengeluarkan camera yang ia maksud. Jepret sana-sini. Yang lainnya berpose, ia yang memotret. Sesekali, ia juga ikut berfoto. Kali ini, mereka akan berfoto close up. Satu orang saja dalam satu foto.

                Dimulai dari Rahmi, Gita, Ify, Angel, dan seterusnya. Hingga yang terakhir, Nova.

                “Nov, di yang agak puncak aja. Bagus, tuh,” saran Sivia.

                Nova segera naik menuju pijakan tanah yang lebih tinggi dari yang sebelumnya. Sampai. Ia segera berpose sangat biasa. Tersenyum sambil memiringkan sedikit kepalanya. Zahra, yang memang selalu menjadi fotografer saat mereka hunting foto, berdecak malas.

                “Yang lebih heboh, dong, Nov!” teriaknya, dari bawah.

                “Malu, ah!” balas Nova.

                “Ga ada yang lihat, kok!”

                “Tetep aja, Ren! Kalian, kan, lihat!”

                “Ya udah. Pose biasa aja. Pokoknya jangan gitu doang,” teriak Oik, gemas.

                Nova mengangguk pasrah. Ia segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan tersenyum lebar kepada camera yang dipegang oleh Zahra. Satu kali jepret. Baru saja Zahra akan menyuruh Nova untuk kembali turun, Rahmi sudah membisikkannya sesuatu.

                Cklik! Satu kali jepret lagi. Cepat-cepat hasil fotonya disimpan oleh Rahmi di tas Esprit miliknya.

                “Udah, turun lagi aja,” teriak Zahra.

                Nova mengangguk riang. Dengan senang hati, ia kembali menghampiri kesebelasnya di pijakan tanah yang lebih rendah.

                Mereka semua segera keluar dari perkubunan teh tersebut dan duduk-duduk di rerumputan hijau yang terhampar di luar perkebunan. Zahra meletakkan seluruh hasil foto mereka di rerumputan dan memandanginya seraya tersenyum puas.

                “Gimana hasilnya? Bagus-bagus?” tanya Sivia.

                Zahra mengangguk bersemangat, “Keren-keren! Kebetulan, nih, sinar yang ada pada pas semua. Jadi, ya, kelihatan keren..” gumamnya.

                Ketika mereka semua sedang asyik memandangi hasil jepretan hari itu,  dua buah andong lewat dan berhasil menarik perhatian mereka.

                “Mau naik andong ga?” Gita menawarkan pada yang lainnya, dan mereka semua mengangguk.

                Jadilah, mereka naik ke kedua andong tersebut. Formasinya seperti ketika mereka berada di mobil tadi. Zahra membekali Ify, Angel, dan Aren masing-masing sebuah camera lomo yang pemakaiannya secara manual. Mereka-mereka ini memang anggota klub fotografi di SMP Mariskova.

                “Pakai aja. Foto apapun yang menurut kalian bagus. Ntar aku cetak di rumah. Jangan lupa, camera yang kalian pegang itu camera manual,” pesan Zahra, ketika ia menyerahi ketiga sahabatnya camera.

                Dalam perjalanan menaikki andong pun, Nova terlihat paling diam. Kedua matanya menerawang nun jauh entah ke mana. Rahmi, yang memang jahil, segera saja mengagetkannya.

                “Hayo! Nova mikirin siapa? Kok ngelamun aja? Lintar, ya?” tanyanya beruntun.

                Nova tersenyum kecil dan segera menundukan kepalanya. Rahmi sempat melihat semburat-semburat berwarna merah muda yang muncul di pipi gadis itu. Ia hanya terkikik pelan dan berhenti setelah Nova memandangnya dengan wajah cemberut.

                “Mba’ Rahmi apa, sih?” tanya Nova, jengkel.

                Rahmi menggelengkan kepalanya, “Ga kenapa-kenapa, kok..”

                “Ya udah, ga usah ketawa-ketawa gitu!”

                “Siapa yang ketawa? Kamu GR, ih!”

                “Terus itu tadi apa namanya kalau bukan ketawa, mba’?”

                “Cuman suka aja ngegodain kamu soal Lintar, hehe,” Rahmi tersenyum lebar diakhir kalimatnya.

                Nova semakin cemberut saja. Ia lantas mengalihkan pandangannya pada hamparan tanaman teh yang ada di samping kirinya. Berusaha tak memperdulikan senyuman jahil dari Rahmi dan mengenyahkan wajah adik Rahmi yang sedang salah tingkah di depannya pagi tadi.

^^^

                Tepat pukul lima sore. Rahmi segera masuk ke dalam rumahnya dan menuju kamar Lintar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, lebih tepatnya.

                Lintar, yang sedang terduduk di meja belajarnya, langsung menengok kaget ketika pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Cepat-cepat ia masukkan ‘benda’ tersebut ke dalam laci meja belajarnya.

                “Mba’ Rahmi ngapain, sih? Masuk ke kamar aku ga pakai ketuk dulu, pula!” amuknya.

                Rahmi hanya tertawa lepas, “Itu tadi apa, sih, yang kamu masukkin ke dalem laci? Lihat, dong..”

                “Bukan apa-apa!”

                Lintar segera menghalangi kakaknya itu yang sedang berusaha membuka laci meja belajar miliknya. Bisa gawat kalau kakaknya tahu apa yang ia simpan di dalam sana. Rahmi pun menyerah. Ia segera duduk di bibir kasur adiknya.

                “Mba’ punya oleh-oleh, nih, buat kamu,”

                “Oleh-oleh apa?”

                Rahmi pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan meletakkannya di meja belajar Lintar. Cepat-cepat ia melesat keluar dari kamar Lintar.

                Lintar pun segera melihat benda apa yang kakaknya letakkan tadi. Sebuah foto... Nova. Lintar tersenyum lebar.

                “Makasih, kak!” gumamnya, ketika ia memastikan kakaknya telah keluar dari kamarnya.

                Tanpa ia sadari, kakaknya masih berada di luar kamarnya dan mendengarkan apa yang ia gumamkan tadi. Rahmi hanya tertawa tanpa suara dan segera masuk ke kamarnya sendiri.

^^^

                Minggu pagi. Nova baru saja keluar dari rumahnya dan berniat untuk mengambil Koran di halaman rumahnya ketika ia tak sengaja menginjak sesuatu tepat di depan pintu rumahnya. Nova kontan bingung dan menundukkan kepalanya untuk melihat benda apa yang telah ia injak.

                Setangkai mawar merah yang masih segar.

                Ia segera mengambilnya dan menemukan sebuah kartu yang tersangkut di batang mawar tersebut. Cepat-cepat ia ambil dan ia baca kartu tersebut.

                                Good morning, My Princess! Start your day with smile! :)
                                -with love, N-

                Nova tersenyum kecil. Baru kali ini ia mendapatkan setangkai mawar dipagi hari seperti ini. Hatinya berdesir seketika. Ia pun berjalan riang dan mengambil Koran yang tergeletak di halaman rumahnya, lalu kembali masuk ke dalam rumahnya.

                “Mawar dari siapa, kak?” tanya papanya.

                Nova hanya mengangkat bahunya dan menyerahkan koran tersebut ke papanya, “Ga tahu, pa. Udah ada di depan waktu Nova ngambili Koran buat papa,”

^^^

                Lagi-lagi, ia mendapatkan mawar merah lagi pagi itu. Kali ini ia sudah tak sekaget saat ia mendapatkan mawar merah pertamanya. Ia kembali memungut mawar merah tersebut dan membaca kartunya.

                                Don’t forget to go to school. I will meet you, dear :)
                                -with love, I-

                Kali ini, dahinya berkerut heran. Hey! Bukannya kemarin si pengirim misterius itu memberikan inisial N? Lalu, mengapa hari ini ia memberikan inisial I? Apakah pengirim mawar itu adalah dua orang yang berbeda?

^^^

                                You don’t forget to do your homework, do you? We can do our homework together, dear :)
                                -with love, A-

                Hey! Lagi-lagi dengan inisial yang berbeda! Ia telah mengantongi tiga inisial yang berbeda dari si pengirim misterius ini! Lalu? Salahkah jika ia berpikir bahwa ia memiliki tiga penggemar misterius?

^^^

                                Happy Wednesday, dear! Don’t forget, we will have Mathematics test today :)
                                -with love, T-

                Hari keempat ia mendapat mawar merah. Dan, ia mendapat inisial yang berbeda! LAGI! Sudah empat huruf yang selalu terngiang-ngiang dalam pikirannya. Apakah ini berarti ia memiliki tambahan satu penggemar rahasia lagi?

                “Dari mana dia tahu kalau hari ini aku ada ulangan matematika? Apa dia teman sekelasku? Kemarin dia juga bilang kalau kita bisa mengerjakan PR bareng,” gumamnya.

                BRUK!

                Saking sibuknya ia berpikir tentang pengirim mawar misterius itu, ia sampai menabrak seseorang di koridor sekolah. ia segera mendongakkan kepalanya untuk mengetahui siapa yang ia tabrak.

                “Eh, maaf! Aku tadi ga lihat,” ujar Nova seraya tersenyum tipis.

                “Ga apa-apa,” balas yang ia tabrak tadi, Lintar.

^^^

                                So confused about my initial, dear? Don’t worry, I just a person who admirers you so much :)
                                -with love, R-

^^^

                Ini adalah hari keenam ia mendapat kiriman mawar merah dari pengagum rahasianya itu. Dan, pagi ini, ia sama sekali belum membuka kartu ucapan yang juga menyertai mawar merah tersebut.

                Memang, ia membawa serta kartu ucapan tersebut ke sekolah. Ia juga membawa keenam kartu ucapakan yang lainnya. Tetapi ia tidak ikut membawa mawar merahnya. Ia tak mau menjadi tontonan gratis bagi seluruh siswa-siswi SMP Mariskova karena membawa enam tangkai mawar merah.

                Ia baru saja sampai di kelasnya. Sudah ada anggota SUPERGIRLS yang lainnya berserta dua kakak kelasnya, Rahmi dan Gita. Nova segera melempar begitu saja tasnya dan menghampiri kesebelas gadis tersebut.

                “Kenapa lagi, Nov?” tanya Oik.

                “Dapet kiriman mawar merah lagi?” tanya Ify.

                “Inisialnya beda lagi, ya?” tanya Shilla.

                Nova mengangguk, “Bingung ini akunya! Ini udah enam hari, tau! Tapi kartu ucapan yang hari ini belum aku buka,”

                “Ya udah, buka aja..” kata Acha.

                Nova mengangguk dan segera membaca kartu ucapan yang baru ia dapatkan pagi itu. Lagi-lagi menghela napas, jengah. Ia segera memberikan kartu ucapan tersebut kepada kesebelas gadis itu.

                                It’s the last day I send you a red rose. And, the last day I give you my initial :)
                                -with love, L-

                “Ini beda lagi, lho, inisialnya,” gumam Zahra.

                “Dia bilang kalau ini mawar terakhir, tuh. Inisial terakhir juga,” sambung Sivia.

                “Kali aja dia minta kamu buat nebak-nebak siapa dia lewat huruf-huruf itu,” kata Keke.

                “Emangnya kamu dapet huruf apa aja?” tanya Gita, ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan senyumannya. Begitupula dengan Rahmi.

                Nova segera mengeluarkan kelima kartu ucapan lainnya dari dalam saku kemejanya. Ia menata keenam kartu ucapan tersebut di atas meja dan melirik kesebelas gadis lainnya dengan ekspresi datar.

                “Coba dirangkai aja. Kali aja bisa jadi namanya siapa gitu,” saran Rahmi.

                “Nyoba dirangkai gimana, mba’? Ini, tuh, hurufnya aneh-aneh,” ujar Nova, frustasi.

                “N... I... A... T... L... R...” gumam Nova.

                “Apa, ya, kira-kira?” gumam Angel.

                “Sumpah sok misterius banget, sih, ini..” ujar Acha, jengkel.

                Ketika mereka bersepuluh sedang berpikir dengan keras, Rahmi dan Gita sedang tersenyum-senyum sambil saling melirik penuh arti. Tak lama, masuklah dua orang laki-laki. Oik lantas tersenyum melihat salah satu di antara keduanya.

                “Alvin..” sapanya, kalem. Yang disapa hanya tersenyum malu-malu.

                Seketika itu juga, kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya segera menengok kepada Alvin dan satu orang lagi temannya, yang juga siswa kelas itu.

                “Lintar,” gumam kesembilannya.

                Hening sejenak. Rahmi dan Gita semakin lebar saja senyumnya.

                “LINTAR!” teriak kesepuluhnya bersamaan, yang namanya disebutkan hanya melongo kaget.

                “Iya.. Aku kenapa?” tanya Lintar, masih dengan ekspresi tak mengerti.

                “N, I, A, T, L, R. Lintar. Pas!” ujar Ify, ia masih menatapi satu-persatu kartu ucapan yang Nova dapatkan.

                “Nah! Berarti dia yang ngirimin!” sambung Zahra, tak percaya.

                Nova merasakan kedua pipinya tiba-tiba saja menghangat. Rahmi dan Gita tertawa semakin terbahak-bahak. Kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya juga, kontan, tertawa lepas. Nova, Lintar, dan Alvin memandang kesebelasnya dengan bingung.

                “Jadi, kamu yang suka ngirimin mawar merah ke rumah aku?” tanya Nova, malu-malu.

                “Mawar merah? Rumah kamu? Maksudnya?” tanya Lintar, ia tak kalah salah tingkahnya dengan Nova.

                Rahmi menghentikan tawanya seketika, “Ini semua rencana aku, sama mereka..” akunya.

                Nova dan Lintar berpandangan dengan wajah bingung, “Maksudnya?”

                “Kita semua, tuh, tahu kalau kalian sama-sama... Hmm... Suka,” lanjut Gita.

                “Nah! Makanya kita bikin rencana itu,” sela Oik.

                “Ya, kita gemes aja sama kalian. Sama-sama suka, kok, susah banget buat jadian,” aku Aren, ia membentuk huruf V dengan tangan kanannya.

                Nova dan Lintar kembali merasakan pipi mereka yang menghangat. Alvin, yang sudah mulai mengerti soal ini, langsung saja tertawa terbahak-bahak.

                Shilla, yang tepat berada di samping Nova, pun segera mendorong gadis berkulit sawo matang tersebut agar lebih dekat dengan Lintar. Lagi-lagi, keduanya salah tingkah. Jadilah tawa-tawa di sekitar mereka semakin kencang saja.

                “Udah, jadian aja!” sorak Rahmi.

                “Mba’! Apa, sih?!” seru Lintar.

                “Ga bakalan bilang ke papa yang aneh-aneh, deh! Janji!” ujar Rahmi, tak menghiraukan seruan Lintar.
               
                “Ya udah, cepetan jadian!” sorak Sivia.

                Lintar melirik Nova. Begitupula Nova, melirik Lintar. Keduanya, kontan, tersenyum malu ketika pandangan mereka tak sengaja beradu.

                “Lin, tembak!” seru Alvin, ikutan gemas. Lintar meliriknya sinis.

                “Ehm.. Gimana, Nov?” tanya Lintar.

                Nova mengangkat bahunya, “Ya gitu,”

                “Jadi?” tanya Lintar, lagi.

                “Iya..” jawab Nova, malu-malu.

                “Serius?”

                “Iyaaaa!”

                Selesai! Sorakan dari kesembilan anggota SUPERGIRLS, Rahmi, Gita, dan Alvin semakin riuh saja. Nova dan Lintar pun hanya tersenyum malu-malu. Dan, pelan-pelan tapi pasti, Lintar menggenggam tangan Nova dengan erat.

(Nova’s Story - End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS