Gadis itu, Nova, baru saja keluar dari kamarnya. Ia segera menghampiri kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya di meja makan sembari menggendong tas PolloHunter berwarna cokelat kulit yang nampak sangat boyish.
Seperti hari-hari biasanya, mamanya hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat dandanan gadis itu. Kemeja seragam yang kusut di beberapa bagiannya, rambut yang tidak tersisir rapi, dan kaca mata minus yang bertengger sembarangan di wajahnya.
Wanita paruh baya itu menghela napas jengah, “Nova, bukannya mama sudah bilang kalau kamu bisa minta tolong pada mama untuk menyetrika kemeja seragammu?”
Nova hanya tersenyum samar, “Mama, kan, tahu kalau Nova lebih suka seperti ini..”
“Iya, mama tahu. Tapi, kan, kalau kamu bisa terlihat lebih rapi lagi, kenapa tidak?” ucap mamanya lagi, tak pernah bosan dengan perdebatan pagi ala keduanya.
“Ga usah, ma..” lagi-lagi Nova menggelengkan kepalanya kalem.
Selesai. Memang hanya sampai disitu saja perdebatan pagi itu, juga pagi-pagi sebelumnya. Wanita paruh baya itu akan berhenti jika anak gadisnya telah bersikap pasrah seperti tadi.
Sarapan pagi itu kembali berjalan. Nova segera menghabiskan nasi goreng buatan mamanya. Selang beberapa menit, makanan di piringnya sudah habis tak bersisa. Begitupula dengan nasi goreng di piring mama, papa, dan adik laki-lakinya.
“Berangkat sekarang, kak?” tanya papanya, Nova mengangguk.
Keduanya segera bangkit dari kursinya masing-masing. Nova menghampiri mamanya dan mencium punggung tangan wanita paruh baya tersebut. Setelahnya, ia menyusul papanya yang sudah berada di teras bersama sepeda motornya.
Adiknya tidak sekolah? Bukan. Hanya saja, anak laki-laki mungil itu masuk siang. Sekolahnya yang menerapkan sistem masuk siang tersebut. Satu lagi, Nova biasa dipanggil ‘Kak’ dan adiknya dipanggil ‘Dik’ oleh kedua orang tua mereka.
Nova pun naik ke boncengan motor papanya dan keduanya pun melesat menuju sekolah Nova, SMP Mariskova..
^^^
Bel pertanda waktu istirahat akan dimulai baru saja berdering. Oik, yang notabene adalah teman sebangku Nova, langsung mengajak gadis itu untuk buru-buru ke kantin. Anggota SUPERGIRLS yang lainnya juga sudah siap menuju kantin. Mereka bersepuluh pun berjalan bergerumbul menuju kantin.
Hanya tersisa satu meja saja di kantin. Cukup untuk berduabelas, rupanya. Tepat ketika kesepuluhnya mendudukki kursi di meja tersebut, dua orang siswi SMP Mariskova juga berangsur mendudukki dua kursi yang tersisa.
Rahmi dan Gita. Siswi kelas delapan SMP Mariskova. Kakak kelas mereka, yang lumayan akrab dengan mereka. Keduabelasnya tertawa nyaring ketika menyadari ketidaksengajaan tersebut.
SMP Mariskova menerapkan sistem cathering. Jadi, seluruh siswa-siswi tinggal duduk melingkar di kursi masing-masing, dan kemudian, datanglah dua orang wanita. Seorang yang membawa meja dorong beroda yang mengangkut makanan dan minuman untuk mereka semua. Dan seorang lagi yang meletakkan makanan dan minuman tersebut di meja-meja yang telah terisi.
“Jadi, gimana soal agenda kita week end ini?” tanya Gita, memulai perbincangan di antara mereka.
Tepat saat Gita selesai bertanya, makanan dan minuman telah terhidang di meja mereka. Menu mereka hari ini adalah Spageti Bolognaise, jus jeruk, dan pastel tutup sebagai dessert. Mereka semua mengucapkan terima kasih kepada kedua wanita tersebut dan kembali larut dalam pembicaraan tentang rencana mereka.
“Hunting foto lagi aja gimana?” tanya Shilla, sembari menatap kesebelas gadis lainnya.
“Oh iya, aku ada tempat keren buat hunting foto. Ya itu pun kalau kalian mau week end ini kita hunting foto lagi,” gumam Keke, setelah menyeruput sedikit jus jeruknya.
Rahmi melirik kesepuluh adik kelasnya itu sembari tersenyum, “Ya udah.. Hunting foto aja, ya?”
Yang lainnya mengangguk semangat. Hanya Nova yang telah sibuk dengan makanannya. Ify kemudian menatapnya jengah. Selalu saja.
“Nov, kamu ikut kita hunting foto, kan?” tanya Ify, lebih tepatnya memaksa.
Nova meletakkan sendok dan garpunya perlahan, “Iya, deh. Sebenernya, sih, aku bosen sama kegiatan week end kita yang itu-itu aja. Kenapa ga bikin kegiatan yang belum pernah kita lakuin sebelumnya?”
“Seperti?”
Nova menghela napas sejenak, “Mba’ Gita, kita belum pernah nyoba donor darah bareng, kan? Berarti, kapan-kapan, kita bisa ngisi week end kita sama donor darah. Itung-itung amal, lah. Ga rugi juga, kan?”
Sivia tersenyum menanggapinya, “Boleh.. Week end lainnya aja, ya? Kan, week end ini kita udah punya rencana buat hunting foto,”
Nova mengangguk sekilas, dan kemudian, kembali berkutat dengan makanannya. Kesebelas gadis lainnya pun mengikuti apa yang ia lakukan, berkutat dengan makanannya masing-masing hingga bel kembali berdering, menandakan waktu istirahat telah usai.
“Jangan lupa, ya.. Besok kumpul di rumah aku dulu,” ujar Rahmi, yang lainnya tersenyum mengiyakan.
“Zahra juga! Jangan lupa bawa camera lomo punyamu yang efeknya bagus-bagus, ya!” seru Gita seraya tersenyum lebar.
^^^
Hari Sabtu telah tiba. Ify, Angel, Aren, Shilla, Keke, Acha, Oik, Sivia, Zahra, dan Gita sudah berkumpul di kediaman Rahmi semenjak beberapa menit yang lalu. Kesebelasnya sedang berada di ruang keluarga rumah Rahmi, membicarakan soal Nova.
“Nova, kok, tumben telat..” gumam Angel, ia melirik Ripcurl berwarna putih gading yang bertengger indah di pergelangan tangan kirinya.
Rahmi meliriknya sekilas, “Macet mungkin, Ngel. Malang, kan, udah mulai kaya’ Jakarta sama Surabaya yang selalu macet,”
“Tapi tumben banget ini, mba’. Nova itu ga pernah telat. Apa lagi, kan, dia pakai motor kalau ke mana-mana. Tahu sendiri, lah, kalau papanya itu jarang banget mau pakai mobil,” serobot Aren.
Hening. Tiba-tiba saja terdengar ketukan pintu dari ruang tamu. Rahmi, yang baru saja berdiri dan akan membukakan pintu, segera duduk kembali ketika adiknya mencegahnya. Adik dari Rahmi? Tentu saja Lintar. Siapa lagi? Lintar juga bersekolah di SMP Mariskova. Satu angkatan dengan anggota SUPERGIRLS.
“Aku aja, mba’..” katanya.
Lintar berlalu begitu saja.
^^^
Lintar baru saja membuka pintu rumahnya. Ia mendapati Nova, yang merupakan teman sekelasnya, sedang dalam keadaan berantakan. Peluh bercucuran dari dahinya. Lintar segera saja memupuskan senyum lebarnya.
“Aku kira Alvin yang dateng,” gumamnya, mendadak salah tingkah.
“Mba’ Rahmi sama anak-anak SUPERGIRLS ada di dalem, kan?” tanya Nova, tak menggubris gumaman Lintar sebelumnya.
“Iya, masuk aja..”
Nova pun masuk. Lintar kembali menutup pintu rumahnya dan berjalan di belakang Nova. Rupanya ia masih salah tingkah karenanya. Tepat saat Nova menengok ke arahnya, ia segera berjalan mendahului gadis itu dan masuk ke dalam kamarnya.
“Nova!” panggil Rahmi, dari ruang keluarga.
Nova tersenyum sekilas dan menghampiri kesebelas orang yang dicarinya itu. Ia menghempaskan tubuhnya di samping tubuh mungil Acha. Acha mengedik padanya dan mengerutkan keningnya, kaget.
“Nov, naik apa tadi ke sini?” tanyanya.
“Jalan kaki,” jawabnya, santai.
“APA? Jalan kaki? Yang bener aja, Nova.. Kasihan itu kaki kamu. Rumahmu sama rumahnya Mba’ Rahmi, kan, jauh!” Zahra mendelik kaget.
Nova tertawa kecil dan mengibas-kibaskan tangannya, “Ga apa-apa, lah. Itung-itung olah raga aja..”
Rahmi, sang tuan rumah, masih memandang geli ke arah pintu kamar adiknya yang telah tertutup rapat. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum jahil. Ia segera mengalihkan pandangannya menuju Nova.
“Lintar tadi kenapa, Nov?” tanyanya.
Ify menepuk pundak Rahmi pelan, “Mba’ Rahmi gimana, sih? Bukannya nanya gimana Nova sekarang, eh malah nanyain soal Lintar,”
“Bukannya gitu, Fy. Kan, tadi kalian udah nanya-nanya gitu ke Nova. Masa’, ya, aku nanya kaya’ gitu lagi?”
“Lintar? Emangnya dia kenapa, mba’?” tanya Nova balik.
Rahmi hanya menggelengkan kepalanya dan kembali tersenyum jahil, “Ga, sih. Cuman, kok, dia kaya’ salting gitu?”
“Cieeeeeeeeeeee, Nova!” anggota SUPERGIRLS yang lainnya beserta Gita kompak menggoda Nova.
“Udah, ah! Jadi hunting foto ga, nih? Aku pulang, deh, kalau kalian masih ngegodain aku gitu..” Nova memanyunkan bibirnya.
“Ya udah, yuk..”
Kesebelasnya pun segera naik ke dalam mobil. Ify, Sivia, Oik, Zahra, Angel, dan Acha menaikki mobil Oik. Sedangkan sisanya, menaikki mobil Keke. Kedua mobil tersebut telah dilengkapi dengan supir dari masing-masing pemiliknya.
^^^
Keduabelasnya baru saja sampai di perkebunan teh di daerah Wonosalam. Kebetulan, Keke menyewa perkebunan teh tersebut untuk acara hunting foto mereka kali ini. Dan, kebetulan lagi, perkebunan teh tersebut adalah milik tetangganya.
“Keren, Ke!” gumam Aren, yang baru saja turun dari mobil milik Keke.
Kini keduabelasnya sedang berada di pintu masuk perkebunan teh tersebut. Keke berjalan di paling depan. Ia berbincang-bincang sebentar dengan penjaga perkebunan tersebut. Setelahnya, mereka semua telah berada di tengah-tengah hamparan tanaman teh yang menghijau.
“Zahra, camera!” seru Shilla, bersemangat.
Zahra tersenyum kepadanya. Ia segera membuka tasnya dan mengobrak-abriknya. Kali ini, ia membawa banyak camera. Mulai dari camera pocket, SLR, hingga camera-camera lomo yang pemakaiannya secara manual.
“Mau pakai camera yang mana?” tanya Zahra.
Acha berjalan mendekatinya. Kemudian, ia ikut-ikut mengobrak-abrik tas milik Zahra tersebut.
“Camera yang fotonya langsung jadi itu. Namanya apa, ya? Kamu bawa ga?” tanya Acha.
“Bawa. Itu Fuji Instax namanya,”
Zahra segera mengeluarkan camera yang ia maksud. Jepret sana-sini. Yang lainnya berpose, ia yang memotret. Sesekali, ia juga ikut berfoto. Kali ini, mereka akan berfoto close up. Satu orang saja dalam satu foto.
Dimulai dari Rahmi, Gita, Ify, Angel, dan seterusnya. Hingga yang terakhir, Nova.
“Nov, di yang agak puncak aja. Bagus, tuh,” saran Sivia.
Nova segera naik menuju pijakan tanah yang lebih tinggi dari yang sebelumnya. Sampai. Ia segera berpose sangat biasa. Tersenyum sambil memiringkan sedikit kepalanya. Zahra, yang memang selalu menjadi fotografer saat mereka hunting foto, berdecak malas.
“Yang lebih heboh, dong, Nov!” teriaknya, dari bawah.
“Malu, ah!” balas Nova.
“Ga ada yang lihat, kok!”
“Tetep aja, Ren! Kalian, kan, lihat!”
“Ya udah. Pose biasa aja. Pokoknya jangan gitu doang,” teriak Oik, gemas.
Nova mengangguk pasrah. Ia segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan tersenyum lebar kepada camera yang dipegang oleh Zahra. Satu kali jepret. Baru saja Zahra akan menyuruh Nova untuk kembali turun, Rahmi sudah membisikkannya sesuatu.
Cklik! Satu kali jepret lagi. Cepat-cepat hasil fotonya disimpan oleh Rahmi di tas Esprit miliknya.
“Udah, turun lagi aja,” teriak Zahra.
Nova mengangguk riang. Dengan senang hati, ia kembali menghampiri kesebelasnya di pijakan tanah yang lebih rendah.
Mereka semua segera keluar dari perkubunan teh tersebut dan duduk-duduk di rerumputan hijau yang terhampar di luar perkebunan. Zahra meletakkan seluruh hasil foto mereka di rerumputan dan memandanginya seraya tersenyum puas.
“Gimana hasilnya? Bagus-bagus?” tanya Sivia.
Zahra mengangguk bersemangat, “Keren-keren! Kebetulan, nih, sinar yang ada pada pas semua. Jadi, ya, kelihatan keren..” gumamnya.
Ketika mereka semua sedang asyik memandangi hasil jepretan hari itu, dua buah andong lewat dan berhasil menarik perhatian mereka.
“Mau naik andong ga?” Gita menawarkan pada yang lainnya, dan mereka semua mengangguk.
Jadilah, mereka naik ke kedua andong tersebut. Formasinya seperti ketika mereka berada di mobil tadi. Zahra membekali Ify, Angel, dan Aren masing-masing sebuah camera lomo yang pemakaiannya secara manual. Mereka-mereka ini memang anggota klub fotografi di SMP Mariskova.
“Pakai aja. Foto apapun yang menurut kalian bagus. Ntar aku cetak di rumah. Jangan lupa, camera yang kalian pegang itu camera manual,” pesan Zahra, ketika ia menyerahi ketiga sahabatnya camera.
Dalam perjalanan menaikki andong pun, Nova terlihat paling diam. Kedua matanya menerawang nun jauh entah ke mana. Rahmi, yang memang jahil, segera saja mengagetkannya.
“Hayo! Nova mikirin siapa? Kok ngelamun aja? Lintar, ya?” tanyanya beruntun.
Nova tersenyum kecil dan segera menundukan kepalanya. Rahmi sempat melihat semburat-semburat berwarna merah muda yang muncul di pipi gadis itu. Ia hanya terkikik pelan dan berhenti setelah Nova memandangnya dengan wajah cemberut.
“Mba’ Rahmi apa, sih?” tanya Nova, jengkel.
Rahmi menggelengkan kepalanya, “Ga kenapa-kenapa, kok..”
“Ya udah, ga usah ketawa-ketawa gitu!”
“Siapa yang ketawa? Kamu GR, ih!”
“Terus itu tadi apa namanya kalau bukan ketawa, mba’?”
“Cuman suka aja ngegodain kamu soal Lintar, hehe,” Rahmi tersenyum lebar diakhir kalimatnya.
Nova semakin cemberut saja. Ia lantas mengalihkan pandangannya pada hamparan tanaman teh yang ada di samping kirinya. Berusaha tak memperdulikan senyuman jahil dari Rahmi dan mengenyahkan wajah adik Rahmi yang sedang salah tingkah di depannya pagi tadi.
^^^
Tepat pukul lima sore. Rahmi segera masuk ke dalam rumahnya dan menuju kamar Lintar. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, lebih tepatnya.
Lintar, yang sedang terduduk di meja belajarnya, langsung menengok kaget ketika pintu kamarnya tiba-tiba saja terbuka. Cepat-cepat ia masukkan ‘benda’ tersebut ke dalam laci meja belajarnya.
“Mba’ Rahmi ngapain, sih? Masuk ke kamar aku ga pakai ketuk dulu, pula!” amuknya.
Rahmi hanya tertawa lepas, “Itu tadi apa, sih, yang kamu masukkin ke dalem laci? Lihat, dong..”
“Bukan apa-apa!”
Lintar segera menghalangi kakaknya itu yang sedang berusaha membuka laci meja belajar miliknya. Bisa gawat kalau kakaknya tahu apa yang ia simpan di dalam sana. Rahmi pun menyerah. Ia segera duduk di bibir kasur adiknya.
“Mba’ punya oleh-oleh, nih, buat kamu,”
“Oleh-oleh apa?”
Rahmi pun mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan meletakkannya di meja belajar Lintar. Cepat-cepat ia melesat keluar dari kamar Lintar.
Lintar pun segera melihat benda apa yang kakaknya letakkan tadi. Sebuah foto... Nova. Lintar tersenyum lebar.
“Makasih, kak!” gumamnya, ketika ia memastikan kakaknya telah keluar dari kamarnya.
Tanpa ia sadari, kakaknya masih berada di luar kamarnya dan mendengarkan apa yang ia gumamkan tadi. Rahmi hanya tertawa tanpa suara dan segera masuk ke kamarnya sendiri.
^^^
Minggu pagi. Nova baru saja keluar dari rumahnya dan berniat untuk mengambil Koran di halaman rumahnya ketika ia tak sengaja menginjak sesuatu tepat di depan pintu rumahnya. Nova kontan bingung dan menundukkan kepalanya untuk melihat benda apa yang telah ia injak.
Setangkai mawar merah yang masih segar.
Ia segera mengambilnya dan menemukan sebuah kartu yang tersangkut di batang mawar tersebut. Cepat-cepat ia ambil dan ia baca kartu tersebut.
Good morning, My Princess! Start your day with smile! :)
-with love, N-
Nova tersenyum kecil. Baru kali ini ia mendapatkan setangkai mawar dipagi hari seperti ini. Hatinya berdesir seketika. Ia pun berjalan riang dan mengambil Koran yang tergeletak di halaman rumahnya, lalu kembali masuk ke dalam rumahnya.
“Mawar dari siapa, kak?” tanya papanya.
Nova hanya mengangkat bahunya dan menyerahkan koran tersebut ke papanya, “Ga tahu, pa. Udah ada di depan waktu Nova ngambili Koran buat papa,”
^^^
Lagi-lagi, ia mendapatkan mawar merah lagi pagi itu. Kali ini ia sudah tak sekaget saat ia mendapatkan mawar merah pertamanya. Ia kembali memungut mawar merah tersebut dan membaca kartunya.
Don’t forget to go to school. I will meet you, dear :)
-with love, I-
Kali ini, dahinya berkerut heran. Hey! Bukannya kemarin si pengirim misterius itu memberikan inisial N? Lalu, mengapa hari ini ia memberikan inisial I? Apakah pengirim mawar itu adalah dua orang yang berbeda?
^^^
You don’t forget to do your homework, do you? We can do our homework together, dear :)
-with love, A-
Hey! Lagi-lagi dengan inisial yang berbeda! Ia telah mengantongi tiga inisial yang berbeda dari si pengirim misterius ini! Lalu? Salahkah jika ia berpikir bahwa ia memiliki tiga penggemar misterius?
^^^
Happy Wednesday, dear! Don’t forget, we will have Mathematics test today :)
-with love, T-
Hari keempat ia mendapat mawar merah. Dan, ia mendapat inisial yang berbeda! LAGI! Sudah empat huruf yang selalu terngiang-ngiang dalam pikirannya. Apakah ini berarti ia memiliki tambahan satu penggemar rahasia lagi?
“Dari mana dia tahu kalau hari ini aku ada ulangan matematika? Apa dia teman sekelasku? Kemarin dia juga bilang kalau kita bisa mengerjakan PR bareng,” gumamnya.
BRUK!
Saking sibuknya ia berpikir tentang pengirim mawar misterius itu, ia sampai menabrak seseorang di koridor sekolah. ia segera mendongakkan kepalanya untuk mengetahui siapa yang ia tabrak.
“Eh, maaf! Aku tadi ga lihat,” ujar Nova seraya tersenyum tipis.
“Ga apa-apa,” balas yang ia tabrak tadi, Lintar.
^^^
So confused about my initial, dear? Don’t worry, I just a person who admirers you so much :)
-with love, R-
^^^
Ini adalah hari keenam ia mendapat kiriman mawar merah dari pengagum rahasianya itu. Dan, pagi ini, ia sama sekali belum membuka kartu ucapan yang juga menyertai mawar merah tersebut.
Memang, ia membawa serta kartu ucapan tersebut ke sekolah. Ia juga membawa keenam kartu ucapakan yang lainnya. Tetapi ia tidak ikut membawa mawar merahnya. Ia tak mau menjadi tontonan gratis bagi seluruh siswa-siswi SMP Mariskova karena membawa enam tangkai mawar merah.
Ia baru saja sampai di kelasnya. Sudah ada anggota SUPERGIRLS yang lainnya berserta dua kakak kelasnya, Rahmi dan Gita. Nova segera melempar begitu saja tasnya dan menghampiri kesebelas gadis tersebut.
“Kenapa lagi, Nov?” tanya Oik.
“Dapet kiriman mawar merah lagi?” tanya Ify.
“Inisialnya beda lagi, ya?” tanya Shilla.
Nova mengangguk, “Bingung ini akunya! Ini udah enam hari, tau! Tapi kartu ucapan yang hari ini belum aku buka,”
“Ya udah, buka aja..” kata Acha.
Nova mengangguk dan segera membaca kartu ucapan yang baru ia dapatkan pagi itu. Lagi-lagi menghela napas, jengah. Ia segera memberikan kartu ucapan tersebut kepada kesebelas gadis itu.
It’s the last day I send you a red rose. And, the last day I give you my initial :)
-with love, L-
“Ini beda lagi, lho, inisialnya,” gumam Zahra.
“Dia bilang kalau ini mawar terakhir, tuh. Inisial terakhir juga,” sambung Sivia.
“Kali aja dia minta kamu buat nebak-nebak siapa dia lewat huruf-huruf itu,” kata Keke.
“Emangnya kamu dapet huruf apa aja?” tanya Gita, ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan senyumannya. Begitupula dengan Rahmi.
Nova segera mengeluarkan kelima kartu ucapan lainnya dari dalam saku kemejanya. Ia menata keenam kartu ucapan tersebut di atas meja dan melirik kesebelas gadis lainnya dengan ekspresi datar.
“Coba dirangkai aja. Kali aja bisa jadi namanya siapa gitu,” saran Rahmi.
“Nyoba dirangkai gimana, mba’? Ini, tuh, hurufnya aneh-aneh,” ujar Nova, frustasi.
“N... I... A... T... L... R...” gumam Nova.
“Apa, ya, kira-kira?” gumam Angel.
“Sumpah sok misterius banget, sih, ini..” ujar Acha, jengkel.
Ketika mereka bersepuluh sedang berpikir dengan keras, Rahmi dan Gita sedang tersenyum-senyum sambil saling melirik penuh arti. Tak lama, masuklah dua orang laki-laki. Oik lantas tersenyum melihat salah satu di antara keduanya.
“Alvin..” sapanya, kalem. Yang disapa hanya tersenyum malu-malu.
Seketika itu juga, kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya segera menengok kepada Alvin dan satu orang lagi temannya, yang juga siswa kelas itu.
“Lintar,” gumam kesembilannya.
Hening sejenak. Rahmi dan Gita semakin lebar saja senyumnya.
“LINTAR!” teriak kesepuluhnya bersamaan, yang namanya disebutkan hanya melongo kaget.
“Iya.. Aku kenapa?” tanya Lintar, masih dengan ekspresi tak mengerti.
“N, I, A, T, L, R. Lintar. Pas!” ujar Ify, ia masih menatapi satu-persatu kartu ucapan yang Nova dapatkan.
“Nah! Berarti dia yang ngirimin!” sambung Zahra, tak percaya.
Nova merasakan kedua pipinya tiba-tiba saja menghangat. Rahmi dan Gita tertawa semakin terbahak-bahak. Kesembilan anggota SUPERGIRLS lainnya juga, kontan, tertawa lepas. Nova, Lintar, dan Alvin memandang kesebelasnya dengan bingung.
“Jadi, kamu yang suka ngirimin mawar merah ke rumah aku?” tanya Nova, malu-malu.
“Mawar merah? Rumah kamu? Maksudnya?” tanya Lintar, ia tak kalah salah tingkahnya dengan Nova.
Rahmi menghentikan tawanya seketika, “Ini semua rencana aku, sama mereka..” akunya.
Nova dan Lintar berpandangan dengan wajah bingung, “Maksudnya?”
“Kita semua, tuh, tahu kalau kalian sama-sama... Hmm... Suka,” lanjut Gita.
“Nah! Makanya kita bikin rencana itu,” sela Oik.
“Ya, kita gemes aja sama kalian. Sama-sama suka, kok, susah banget buat jadian,” aku Aren, ia membentuk huruf V dengan tangan kanannya.
Nova dan Lintar kembali merasakan pipi mereka yang menghangat. Alvin, yang sudah mulai mengerti soal ini, langsung saja tertawa terbahak-bahak.
Shilla, yang tepat berada di samping Nova, pun segera mendorong gadis berkulit sawo matang tersebut agar lebih dekat dengan Lintar. Lagi-lagi, keduanya salah tingkah. Jadilah tawa-tawa di sekitar mereka semakin kencang saja.
“Udah, jadian aja!” sorak Rahmi.
“Mba’! Apa, sih?!” seru Lintar.
“Ga bakalan bilang ke papa yang aneh-aneh, deh! Janji!” ujar Rahmi, tak menghiraukan seruan Lintar.
“Ya udah, cepetan jadian!” sorak Sivia.
Lintar melirik Nova. Begitupula Nova, melirik Lintar. Keduanya, kontan, tersenyum malu ketika pandangan mereka tak sengaja beradu.
“Lin, tembak!” seru Alvin, ikutan gemas. Lintar meliriknya sinis.
“Ehm.. Gimana, Nov?” tanya Lintar.
Nova mengangkat bahunya, “Ya gitu,”
“Jadi?” tanya Lintar, lagi.
“Iya..” jawab Nova, malu-malu.
“Serius?”
“Iyaaaa!”
Selesai! Sorakan dari kesembilan anggota SUPERGIRLS, Rahmi, Gita, dan Alvin semakin riuh saja. Nova dan Lintar pun hanya tersenyum malu-malu. Dan, pelan-pelan tapi pasti, Lintar menggenggam tangan Nova dengan erat.
(Nova’s Story - End)
0 komentar:
Posting Komentar