Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

PROSES MELUPAKANMU [Cerpen]

#NowPlaying: Abdul & The Coffee Theory – Proses Melupakanmu

**

            Senin, 3 Januari 2011

            Oik terlihat baru saja keluar dari kamar mandi di dalam kamarnya. Kini, gadis itu sedang berdiri menghadap jendela kamarnya seraya mengeringkan rambut menggunakan handuk. Dan jika kau memperhatikan wajah gadis itu lebih seksama lagi, kau akan melihat lingkaran hitam di sekeliling matanya.

            Rambutnya memang masih basah dan Oik membiarkannya. Ia sampirkan handuknya pada sebuah besi jemuran kecil di depan kamar mandinya. Setelahnya, Oik duduk di depan meja riasnya. Ia sedikit membungkukkan badannya, melongok ke bawah meja riasnya lalu mengambil tiga kotak kardus berukuran sedang dan meletakkannya di atas meja rias.

            Oik membuka kotak pertama dan mengabaikan dua kotak yang lainnya. Tepat pada penutup kotak tersebut, terdapat tulisan Januari-April 2010. Oik mengeluarkan seluruh isinya, memperhatikan benda-benda tersebut satu-persatu. Kotak kedua bertuliskan Mei-Agustus 2010. Dan kotak ketiga bertuliskan September-Desember 2010.

            Ketiga kotak tersebut berisikan barang kenangannya bersama seseorang, bersamanya. Ada banyak tiket bioskop, cincin kecil yang terbuat dari ilalang, berbagai surat darinya, dan masih banyak lagi. Oik tersenyum kecut melihat benda-benda tersebut.

            “Bagusnya, sih, dibuang aja..” Oik tertawa miris.

            Oik pun bangkit setelah memasukkan barang-barang tersebut kembali ke dalam kotak. Dengan langkah gontai, Oik berjalan menuju gudang rumahnya. Oik meletakkan ketiga kotak tersebut pada sudut terdalam gudangnya. Juga, meletakkan sang pemberi barang-barang itu pada sudut terdalam hatinya, menutupnya rapat-rapat, dan takkan membukanya kembali.

            “Bye. Thanks for all the beautiful memories. And thanks, too, for the pain.”

**

            Sabtu, 1 Januari 2011

            Oik membaca urutan ranking kelasnya di mading. Oik mendapatkan peringkat ketiga di kelasnya. Matanya terbelalak kaget mendapati namanya berada di peringkat pertama. Gadis itu tersenyum simpul memandang namanya. Lihat, hanya dengan membaca namanya pun Oik sudah tersenyum simpul begini.

            Oik melongok ke dalam kelas. Rupanya Bundanya masih mengantri untuk mengambil raport semester pertamanya sebagai siswi kelas dua belas di sini. Oik meninggalkan Bundanya dan berlalu menuju taman sekolahnya. Biasanya dia berada di sini, duduk di bawah pohon rindang seraya memejamkan mata, menikmati semilir angin yang membelai kulitnya.

            Oik tertawa kecil seraya berjalan menghampiri pohon rindang itu. Dia duduk membelakanginya, tubuhnya tertutupi oleh batang besar pohon itu. Oik berhenti pada jarak satu meter darinya, melongokkan kepala ke balik pohon tersebut.

            Tes.. Tes.. Tes..

            “Selamat, ya! Kamu dapat peringkat pertama di kelas. Kamu memang hebat!” suara lembut seorang gadis terdengar memuakkan di telinga Oik.

            Oik menutup mulutnya yang menganga lebar. Ia menutup matanya seiring dengan buliran bening yang semakin gencar menetes dari kedua matanya. Saat itu pula, gadis memuakkan itu menciumnya. Menciumnya! Oik terisak pelan.

            Kedua orang di bawah pohon itu menengok pada Oik. Dia segera berdiri dan mengibaskan tangan gadis memuakkan itu dari lengannya. Dia berjalan perlahan menghampiri Oik dengan wajah pucat. Tangannya menggapai tangan Oik. Dan, dengan cepat, Oik mengibaskan tangan itu dari tangannya sendiri.

            “Aku bisa jelasin, Ik..” dia berkata lirih.

            “Mau jelasin apa lagi kamu?” Oik berteriak keras, diiringi isakan tangisnya yang semakin keras.

            Oik memandangnya sinis. Pandangannya berubah semakin sinis ketika gadis memuakkan itu ikut berdiri dan menggamit lengannya dengan manja. Gadis memuakkan itu tersenyum penuh kemenangan pada Oik. Dia mencoba melepaskan gamitan tangan gadis memuakkan itu tapi gagal. Gadis memuakkan itu menggamit lengannya dengan erat.

            “Lo ngapain, sih? Lepas!” Lagi-lagi dia gagal melepaskan gamitan gadis memuakkan itu dari lengannya sendiri.

            Oik tersenyum sinis. Plak! “Ini karena lo udah berani-berani ngerebut dia dari gue.” Oik beralih padanya. Sekali lagi, Oik melayangkan telapak tangannya. Plak! “Dan ini, karena lo udah ngekhianatin gue di depan mata kepala gue sendiri!”

            Wajah gadis memuakkan itu mengeras. Telapak tangannya sudah melayang. Dan, untungnya dia menahannya. Mencengkeram tangan gadis memuakkan itu dan mengibaskannya begitu saja sampai-sampai gadis memuakkan itu mengaduh kesakitan.

            Oik mendongakkan wajahnya dan tersenyum miring, “Apa, lo? Mau nampar gue? Sini, tampar!” Oik kembali beralih padanya. “Dan buat lo, makasih! Kita sampai di sini aja!”

            Setelah mengatakannya, Oik berbalik, berjalan gontai meninggalkan taman sekolah tanpa menengok ke belakang. Ia tak melihat saat-saat dimana dia menatap penuh benci kepada gadis memuakkan itu, saat-saat dimana dia hampir saja melayangkan tinjunya pada gadis memuakkan itu jika saja ia tidak ingat bahwa gadis memuakkan itu adalah seorang perempuan.

            Tangan gadis memuakkan itu menahan lengannya yang akan berlari menyusul Oik, “Kamu mau ke mana, Kka?”

            Dia mengibaskan lengan gadis memuakkan itu, “Keterlaluan lo, Shill!”

            Dan saat itu pula, dia berlari mengejar Oik. Gadis memuakkan itu menatapnya dengan senyum miring dan berkacak pinggang.

            “Ik! Oik! Tunggu, Ik!”

**

            Selasa, 4 Januari 2011

            Oik menenteng banyak sekali kantung plastik di tangan kanan dan kirinya. Sesekali ia tertawa kencang karena lelucon sahabatnya, Sivia. Saat ini ia sedang window shopping bersama dua sahabatnya, Sivia dan Ify. Tangan ketiga gadis cantik itu pun telah menenteng berbagai macam kantung plastik dari butik dan toko aksesoris ternama.

            Mereka bertiga kembali memasukki sebiah butik yang menyediakan berbagai macam pakaian up to date. Oik, Sivia, dan Ify kembali memilih-milih pakaian yang terpajang di setiap sudut butik tersebut. Kali ini, masing-masing dari mereka menenteng lagi dua kantung plastik baru.

            “Makan siang, yuk? Laper gue!” Ify mengusap-usap perutnya yang sudah keroncongan.

            Sivia melirik Oik sekilas. Dilihatnya Oik menganggukkan kepala. Mereka bertiga pun berjalan menuju resto sushi tak jauh dari butik tersebut. Ketiganya duduk di sebuah meja yang cukup untuk empat orang. Salah satu bangku yang kosong mereka pakai untuk meletakkan belanjaan.

            “Alvin gimana, Siv?” tanya Oik, tangannya memainkan sumpit yang ada di hadapannya.

            Sivia menelan sushinya dan tersenyum simpul, “Gimana apanya? Ya, biasa aja..”

            “Rio?” kali ini Oik mengedik pada Ify.

            Ify memutar bola matanya dengan malas, “Manja banget!” desisnya.

            “Cakka?” Sivia dan Ify bertanya bersamaan.

            “Kami udah putus, guys.” Oik tersenyum tipis.

            Sivia dan Ify mendongak kaget. Setau mereka, Cakka dan Oik adalah pasangan paling adem ayem dan terserasi seantero sekolah. Tetapi kenapa bisa putus? Dan, kenapa mereka baru tau sekarang? Sahabat macam apa mereka ini?

            “Kok bisa, Ik?” Sivia bertanya dengan lirih.

            “Panjang ceritanya.” Oik mengedikkan bahu. “Udah, ah! I had so much fun today with you two, guys. Ga penting banget masih mikirin Cakka.” Oik kembali melahap dragon rollnya.

            “Ga ada kemungkinan buat balikan lagi, Ik?” tanya Ify dengan hati-hati.

            Oik tertawa sinis, “Kenapa kalian tanyanya sama gue? Tuh, tanya sama Cakka dan selingkuhannya!”

            “Lo yakin? Lo bisa ngelupain Cakka?” Sivia mencibir, lama-lama kesal juga dengan Oik yang sok jual mahal.

            “Bisa.” Oik berkata yakin. ...untuk saat ini. Nantinya mungkin ga akan bisa.

**

            Rabu, 5 Januari 2011

            Oik baru saja membuka matanya. Ia melirik sekilas jam yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah hampir tengah hari dan ia baru saja bangun. Oik mendesah pelan.

            Oik pun bangkit. Duduk termenung di bibir ranjangnya untuk beberapa saat. Ketika ia menyalakan ponselnya, tak ada satu pun SMS maupun telepon dan chat dari Cakka. Ia merasa kosong, hampa. Biasanya ia akan tersenyum sendiri membaca good morning text dari Cakka. Tapi sekarang? Ke mana dia? Oh, pasti bersama selingkuhannya. Oik tersenyum miris.

            Oik membuka history chat dan SMSnya dengan Cakka. Membacanya satu-persatu. Ada rasa senang dan sedih yang berkecamuk di hatinya. Kapan lagi ia akan mendapat pesan-pesan seperti itu dari Cakka? Ia yakin, pasti saat ini Cakka sedang bersama selingkuhannya itu. Huh!

From: Mr. CKN:-*
It’s already morn. Wake up, sweetheart!({})
Open ur eyes n see the sun outside. Beautiful, rite?
No, I think. U’re the most beautiful one in my life:-*
Lvyou!;;)

            “Sekarang siapa yang kamu panggil sweetheart? Siapa yang kamu kirimin good morning text segombal ini? Siapa? Shilla, kan? Bukan aku.” Oik tertawa sengau, segera ia hapus buliran bening yang kembali menetes itu.

From: Mr. CKN:-*
Happy anniv a year, sweetheart!({})
Wish we’ll last forever.
Actually, my love for u lasts forever. Hw ‘about ur love for me?:p
Ps: nanti mlm aku jmpt jm 7. We’ll hv a romantic dinner!:-*

            “Anniv?” Oik tertawa miris. “Kamu udah berapa bulan sama Shilla, Kka? Apa tiap anniv kamu sama Shilla, kamu bakal ajak dia dinner kayak kamu ajak aku dinner waktu first anniv kita?”

            Oik melemparkan ponselnya ke sembarang arah. “Kenapa kamu ga kasih aku kabar?” Oik termenung sesaat dan kembali tertawa miris. “Eh, aku siapa kamu, ya, kok aku minta kamu ngabarin aku? Oh, iya.. Berarti kamu sekarang lagi ngabarin keadaan kamu ke Shilla, ya.”

            “AAAAAAARRGGHH!! You’re driving me mad, Kka! All the time!” Oik berteriak frustasi. Ia menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya dan menangis tersedu-sedu hingga mentari berganti tahta dengan sang rembulan.

**

            Kamis, 6 Januari 2011

            Pagi-pagi sekali, Oik sudah terlihat rapi dengan dandanan kasual seperti biasa. Tanpa pamit pada sang Bunda, gadis itu berlari menuju garasi dan mengemudikan mobilnya entah ke mana. Pikirannya kosong, tak tau entah ke mana. Yang jelas, ia ingin mencarinya. Mencari Cakka.

            “Kamu dimana, Kka?” bisiknya.

            Oik akhirnya memutuskan untuk menuju kediaman Cakka. Rumahnya dan rumah Cakka memang terbilang dekat. Maka dari itu ia dapat sampai di kediaman Cakka tak sampai sepuluh menit kemudian. Setelah memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, Oik turun, menghampiri pagar rumah keluarga Nuraga yang menjulang tinggi.

            Oik membunyikan bel. Dari sela-sela pagar, ia melihat seorang satpam sedang berlari tergopoh-gopoh untuk membukakan pagar. Begitu pagar terbuka, Oik langsung melongok ke dalam.

            “Mbak Oik? Cari Mas Cakka, ya?” tanya satpam keluarga Nuraga.

            Oik mengangguk cepat, “Cakka ke mana, ya, Pak?”

            “Wah, Mas Cakka baru saja pergi. Ga tau ke mana. Mau nunggu di dalam saja, Mbak?” tawarnya.

            Oik pasti akan mengangguk cepat jika ia tidak ingat bahwa ia telah memutuskan Cakka karena Shilla. Akhirnya Oik menggeleng dan tersenyum tipis pada satpam tersebut, “Ga usah, Pak. Saya langsung balik aja. Ga usah bilang ke Cakka, ya, kalau saya kemari.”

            “Iya, Mbak.” satpam tersebut mengangguk dengan bingung.

            Oik pun berbalik, kembali memasukki mobilnya. Ia kembali menatap rumah megah keluarga Nuraga dan mendesah pelan. Ke mana Cakka? Ke rumah Shilla? Pergi bersama Shilla? Berduaan dengan Shilla? Liburan dengan Shilla? Oik memukul kemudi mobilnya dengan keras. Telapak tangannya pun sampai memerah. Oik berteriak kencang, diiringi dengan isakan tangis yang mengencang pula.

            “Kamu ke mana, Kka? Aku kangen.” Oik berkata lirih.

**

            Jumat, 7 Januari 2011

            Oik masih terlelap walaupun sang mentari sedang gigih-gigihnya menyinari seisi dunia. Ia tak peduli walaupun ponselnya telah berbunyi berkali-kali, Bundanya yang mencoba membangunkannya semenjak subuh tadi, dan juga pembantunya yang membujuknya untuk sarapan.

            Ia seolah sudah tak punya semangat hidup, sudah bosan hidup. Bagaimana tidak? Orang yang biasanya selalu ada di sampingnya dan selalu menyemangatinya –dulu– kini telah hilang entah ke mana. Oik juga telah memergokinya sedang berduaan dengan gadis memuakkan itu. Kurang malang apalagi hidupnya saat ini?

            Tok tok tok..

            Pintu kamar Oik kembali diketuk. Oik segera menyembunyikan kepalanya di balik bantal, tak peduli jika orang di luar sana sampai memerah jemarinya karena terus-terusan mengetuk dan tak ia gubris sama sekali. Oik hanya ingin sendiri, di sini.

            “Ik, Oik?” Oik seperti mengenali suara lembut di luar sana, bukan Bundanya.

            “Ini kami, Ik.. Ify sama Sivia. Boleh masuk, kan?” Oh, mereka berdua rupanya.

            Oik tak menggubris kedua sahabatnya itu. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di balik bantal. Sivia dan Ify sebal juga lama-lama. Sudah hampir lima menit mereka mengetuk pintu, Oik tak menjawab sama sekali. Akhirnya mereka memutuskan untuk langsung masuk saja, untung kamar Oik tidak dikunci.

            “Astaga, Oik!” Sivia terpekik kaget begitu mengetahui kamar Oik lebih berantakan daripada kapal pecah.

            Ify segera duduk di bibir ranjang Oik dan mengusap pelan punggung gadis itu, “Bangun, dong, Ik..” bujuknya.

            Sivia memandang Ify dan Oik sekilas. Gadis chubby itu hanya mampu menggelengkan kepalanya begitu menyadari betapa kacaunya Oik tanpa Cakka. Ini semua gara-gara gadis memuakkan itu, Shilla. Ya, ini semua gara-gara Shilla. Sivia pun kembali melanjutkan kegiatannya, membereskan kamar Oik.

             “Ik, bangun. Jangan jadi mayat hidup, dong, Ik! Lo mau Cakka sama Shilla seneng karena udah berhasil bikin lo terpuruk gini?” Ify mengoceh panjang-lebar dibuatnya.

            Akhirnya Oik pun menyingkirkan bantal dari wajahnya dan duduk, menghadap ke Ify. Sivia, yang telah selesai membereskan kamar Oik, ikut duduk di ranjang Oik. Ketiganya duduk melingkar.

            Oik mengedarkan pandangannya dan sedikit kikuk begitu menyadari Sivia lah yang telah membereskan kamarnya, “Thanks, Siv.”

            Sivia mengangguk dan tersenyum, “That’s what friends are for, right?”

            “Bangkit, dong, Ik!” Ify mengusap pelan bahu Oik dengan tersenyum tulus. “Jangan terpuruk terus, ah! Kalau gini caranya, ya, pasti Cakka sama Shilla bakal seneng banget karena mereka berhasil bikin lo bener-bener down.”

            Oik menunjukkan wajah angkuhnya, “Siapa yang terpuruk? Siapa yang down? Ga ada!”

            Sivia terkekeh pelan. Ify melongo hebat. Coba bayangkan, siapa yang tidak berkata Oik sedang terpuruk kalau begini caranya? Lihat wajah Oik. Bekas air mata ada di seluruh sudut wajahnya, kantung matanya sudah sangat lebar, wajahnya pucat, dan matanya berair. Apalagi ini kalau bukan habis menangis berhari-hari?

            “Bisa aja, sih, lo!” Sivia meninju pelan lengan Oik.

            Oik mengaduh kesakitan. Pasalnya, tinjuan Sivia tadi tepat mengenai lengannya yang sedang kram karena terlalu banyak tidur. “Sakit, bego!” desisnya.

            “Udah, ah!” Ify tertawa pelan. “Janji, ya, kalau lo ga bakalan nangisin orang macem Cakka lagi.”

            Oik menunduk dan mengangguk kecil, “Janji.”

            “Janji ga? Yang bener, kek, kalau janji!” bentak Ify.

            Oik mendongakkan kepalanya dan menatap Ify lurus-lurus, “Janji! Janji! Janji, Fy!”

            “Nah!” Sivia dan Ify segera menghampur dalam pelukan Oik.

**

            Sabtu, 8 Januari 2011

            Siang-siang begini Ify dan Sivia rela berpanas-panasan menuju rumah Oik dengan berboncengan motor. Mobil Ify sedang di bengkel dan mobil Sivia sedang dipinjam sepupunya. Jadilah mereka berdua pergi ke rumah Oik dengan motor. Begitu sampai di kamar Oik, keduanya langsung merebahkan tubuh di ranjang Oik dan melepas jaket dengan cepat.

            “Panas!” desis Ify.

            “Badai, deh!” desis Sivia.

            “Lo berdua ngapain kemari?” tanya Oik, melirik kedua sahabatnya itu dari sudut mata.

            Sivia segera bangkit dan mengeluarkan berlembar-lembar foto dari dalam tasnya, “Nih! Kandidat-kandidat yang bakalan jadi cowok lo.”

            “Baik, kan, kami? Kami khusus hunting cowok cuman buat lo seorang, Ik!” Ify menimpali.

            Oik melongok, menatap lima lembar foto yang dibawa oleh Sivia. Lima lembar foto dengan sosok yang berbeda di masing-masingnya. Oik harus mengakui bahwa dari kelima laki-laki di foto itu, semuanya oke! Yah, walaupun, tidak ada yang bisa menandingi okenya Cakka di hatinya.

            “Ini Ozy.” Sivia menyerahkan sebuah foto laki-laki berbehel kepada Oik. “Dia satu sekolah sama kita, tapi adik kelas. Dia most wanted. Anak kelas sebelas Sosial. Terakhir pacaran sama model yang namanya Pamella dan akhirnya putus karena Pamella egois.”

            “Muhammad Raynald Prasetya.” Ify mengangsurkan foto seorang laki-laki gondrong kepada Oik. “Panggilannya Ray. Drummer paling kece se-Jakarta! Mantannya seabrek dan cantik badai semua. Kata orang-orang, sih, dia agak playboy. Tapi gue sama Sivia ga percaya! Wajahnya dia polos banget, cuy!”

            “Yang ini namanya Gabriel.” Sivia menunjukkan foto seorang laki-laki berparas manis. “Alumni sekolah kita, baru aja lulus tahun kemarin. Sekarang kuliah di Universitas Indonesia, ambil jurusan Kedokteran. Pinter? Ga usah ditanya! Jenius ini, sih! Terakhir pacaran, sih, pas kelas 3 SMP sama Saras.”

            “Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. Tapi lo cukup panggil dia Deva.” Ify memberikan kepada Oik selembar foto laki-laki yang mengenakan pakaian adat Bali. “Bali tulen. Vocalist band sekolah. Seangkatan sama kita. Dari awal masuk dia udah suka curi-curi pandang ke lo. Baru aja digosipin sama Keke tapi pas gue tanya sama dia, dia jawab kalau dia ga ada hubungan apa-apa sama Keke.”

            “Nih, yang terakhir..” Sivia menyerahkan foto seorang laki-laki berwajah kalem.

            “Namanya Debo. Kalau ngomong masih suka pake Bahasa Sunda. Dia agak-agak mirip Cakka, sih. tapi, gue jamin, sifat mereka berdua beda banget! Debo ini kalemnya ga ketulungan. Denger-denger, sih, dia masih sama Itte. Tapi ga tau lagi, deh.” Ify mengakhiri penjelasannya dengan seulas senyum tipis.

**

            Sudah seminggu ini Oik mencoba melupakan Cakka. Tapi, hasilnya nihil. Usaha Ify dan Sivia untuk mencomblangkannya dengan Ozy, Ray, Gabriel, Deva, maupun Debo pun berantakan! Ada saja hal-hal kecil yang membuat Oik sama sekali tidak mau menjalani hubungan dengan kelima cowok tersebut.

            Ketika ia ngedate dengan Ozy, Oik benar-benar kalap. Bagaimana tidak? Ozy terus-terusan membandingkannya dengan Pamella. Apa-apa Pamella, apa-apa Pamella. Jadi, intinya, Ozy masih belum bisa melupakan Pamella. Terus, kenapa ia mau saja dicomblangkan Ify dan Sivia dengan Oik? Oik benar-benar tak habis pikir.

            Ray memang baik, ganteng, dan charming. Ketika mereka berdua jalan bareng di sebuah mall, Oik mengumpat dalam hati tiada habisnya. Pasalnya, setiap mereka berdua melangkah, selalu aja ada gadis-gadis cantik yang menyapa Ray. Dan setiap Oik bertanya siapa mereka, Ray akan menjawab dengan polosnya bahwa mereka adalah mantannya.

            Ify dan Sivia tidak salah pilih orang, kan? Gabriel, astaga! Laki-laki ini mengajaknya ngedate di perpustakaan kampus! Oh, salah. Gabriel tidak date dengannya, tapi date dengan buku-buku kedokteran yang tebalnya minta ampun itu! Mana mungkin Oik yang glamour bisa tahan menjalani hubungan dengan laki-laki macam Gabriel? Ify dan Sivia terlalu ngaco!

            Deva, Deva.. Oik jadi malas sendiri dengan laki-laki Bali tulen itu. Deva terlalu over menunjukkan kekayaannya! Mulai dari rumah-lima-hektarnya di Denpasar, sawah yang terhampar luas di Singaraja, sebuah club house di dekat Tanah Lot, toko souvenir supermegah di Kutai. Lalu, apalagi? Oik ingin sekali menutup mulut laki-laki itu dengan wedgesnya!

            Sudahlah. Oik benar-benar tidak memiliki kata yang tepat untuk mendeskripsikan Debo. Sialan! Rupanya ia masih menjalin hubungan dengan Itte! Ify dan Sivia kenapa mencomblangkannya dengan Oik? Oik benar-benar sudah emosi ketika mendengarkan pembicaraan Debo dengan Itte via ponsel. Jadi, Debo akan menjadikannya selingkuhan? No way!

            Tidak ada yang sebaik Cakka. Tidak ada yang seperhatian Cakka. Tidak ada yang dapat membuatnya nyaman ketika berada di sampingnya. Hanya Cakka. Jadi, intinya, usaha Ify dan Sivia untuk mencarikan pengganti Cakka benar-benar gagal! Tidak aka nada yang bisa menggantikan Cakka di hatinya. Sampai kapanpun. Ya, selamanya.

**

             Oik berlinangan air mata. Dadanya sesak menahan kerinduannya pada sosok Cakka. Tanpa memedulikan gengsinya, Oik berlari memasuki kediaman Cakka. Para pembantunya berkata bahwa Cakka sedang ada di teras belakang. Oik segera ke sana.

            Begitu sampai, Oik melihat sosok Cakka yang sedang menatap kosong ke arah kolam renang. Tangan kanan laki-laki itu menenteng sebuah gelas wine yang masih terisi penuh. Tanpa menunggu lama, Oik bergerak menghampiri laki-laki itu dan memeluknya dari belakang.

            “Aku kangen kamu, Kka.” Oik berbisik.

            Untuk sesaat, tubuh Cakka menegang. Ia segera meletakkan gelas wine itu di sebuah meja kecil. Cakka sedikit menengokkan kepalanya ke belakang. Benar dugannya. Gadis yang tengah memeluknya itu adalah Oik. Cakka membalikkan tubuhnya sepenuhnya lalu merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.

            “Maafin aku. Aku ga ada apa-apa sama Shilla.” Cakka berbisik di telinga Oik.

            Oik mengangguk dalam dekapan Cakka dan tersenyum kecil.

            Cakka melepaskan pelukannya. Sebagai gantinya, ia memegang pundak Oik dan menatap gadis itu dalam-dalam, “Jadi, kita balikan?” tanyanya.

            “Iya.” Oik menjawab dengan kalem.

            Cakka berteriak kegirangan. Ia kembali memeluk gadis itu dengan erat. Lalu, ia beralih menatap wajah Oik. Ia menciumi setiap inchi wajah Oik. Sampai akhirnya.. BYUR!!

            Keduanya tercebur ke dalam kolam renang. Cakka tertawa lepas dan menyiratkan air ke arah Oik. Oik masih termenung di tempatnya dengan badan menggigil dan bibir yang mulai membiru karena kedinginan.

            “Kenapa, sweetheart?” tanya Cakka.

            “Dingin, Cakkaaaaaaaaa!!!” Oik berteriak jengkel, suaranya terdengar bergetar karena ia kedinginan.

            Cakka menatapnya dalam dengan tersenyum simpul. Dengan cepat, ia kembali menenggelamkan Oik ke dalam pelukannya, “Udah ga kedinginan, kan?”

            Oik hanya mengangguk dan tersenyum kecil dalam dekapan Cakka.

**

            Bunyi dering ponsel membangunkan Oik, kembali menariknya dalam realita kehidupan. Oik menegakkan punggungnya. Menatap kosong pada dinding kamarnya. Wajahnya mendadak muram saat itu juga.

            “Jadi, yang tadi cuman mimpi?” lirihnya.

            Oik kembali sadar ketika ponselnya meraung-raung untuk yang kesekian kalinya. Oik segera mengangkatnya. Rupanya sebuah telepon dari Ify.

            “Oik! Lo ke mana aja, sih? gue telepon dari tadi, tau ga!” pekikan kencang Ify langsung terdengar ketika Oik mengangkat teleponnya.

            “Kalem, Fy!” Oik menguap lebar. “Kenapa, sih?”

            “Cakka, Ik! Cakka!” Suara Ify terdengar menggebu, membuat Oik bergidik mendengarnya. “Dia flight jam sebelas ke Spore! Baru balik tahun depan! Dia ngelanjutin sekolah ke sana! Cepet susul dia, Ik!” Ify kembali berteriak di ujung sana.

            Oik terkesiap. Ia melihat jam dindingnya. Pukul setengah sebelas! “Kenapa lo baru telepon sekarang, Ifyyyy???”

            “Gue udah coba telepon lo dari sejam yang lalu tapi ga lo angkat, bego!” Ify ikut gemas sendiri.

            Tanpa memerdulikan Ify yang masih terus menceramahinya melalui sambungan telepon, Oik melemparkan begitu saja ponselnya. Wajahnya mendadak pucat. Dengan pakaian ala kadarnya, Oik memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju bandara. Bagaimana bisa ia menempuh perjalanan ke bandara hanya dalam waktu setengah jam?

            Pukul sebelas tepat. Oik segera meningkatkan kecepatannya ketika memasukki area bandara. Oik memarkirkan mobilnya sembarangan. Setelah mematikan mesin mobilnya, Oik turun, berlari menuju main building bandara.

            Oik mengedarkan pandangannya ke segala penjuru bandara. Bibirnya sudah seputih kapas, pucat sekali. Ia segera mencari screen yang menunjukkan keberangkatan pesawat Singapore Air. Ketemu! Oik membaca dengan seksama setiap huruf yang tertera di sana.

            “Cakka..” lirihnya.

            Kakinya langsung lemas begitu mengetahui pesawat Singapore Air telah lepas landas semenjak sepuluh menit yang lalu. Oik berjalan gontai menuju parkiran. Air matanya berlinangan tanpa terkendali. Walaupun Oik telah mengusapnya ratusan kali, tapi tetap saja bening-bening itu muncul kembali.

            Oik terduduk di atas aspal bandara dengan kepala tertunduk dalam, “Aku tunggu kamu di sini, Kka. Setahun lagi.”

**

            Seorang laki-laki terduduk di business class Singapore Air. Matanya menatap dalam pada foto-foto di tabnya, sosok gadis yang sama di seluruh foto tersebut. Senyumnya terlihat sendu. Hatinya berat meninggalkan gadis dalam foto itu.

            “Tunggu aku setahun lagi, sweetheart. Aku janji, aku akan jelasin semuanya ke kamu. Dan aku janji, kamu adalah orang pertama yang aku temui di Jakarta tahun depan. I promise, sweetheart.” Cakka –lelaki itu– mengecup layar tabnya, tepat pada foto gadis itu –Oik–.

**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

JE T'AIME [02]


            Ify baru saja dijemput oleh papanya, Sivia bersama Duto, dan Oik entah ke mana dengan Cakka. Kini tinggal Pricilla seorang. Ia memang biasa menjadi siswi yang selalu pulang paling akhir di sekolah ini. Untuk apalagi kalau bukan agar para temannya tidak tau soal dirinya dan Pangeran Cupunya?

            Pricilla berjalan pelan menuju ujung jalan sekolahnya. Di ujung jalan tersebut ada sebuah pertigaan. Cafe favoritnya dan Gabriel berada di kanan jalan, tepat sebelum belokan. Biasanya Gabriel akan memarkirkan sepeda gunungnya di trotoar dan masuk ke dalam cafe, duduk di belakang sebuah kaca tembus pandang dengan mata yang terus memperhatikan keadaan di luar.

            Baru saja Pricilla sampai di depan cafe tersebut, ia sudah mendapati bayangan tubuh Gabriel di tempat duduk favorit mereka. Pricilla melambai riang ke laki-laki manis di balik kaca tersebut, masuk ke dalam, lalu duduk di hadapannya.

            “Udah lama, Gab?” tanya Pricilla seraya meletakkan tasnya di atas meja.

            Gabriel menggeleng dan tersenyum tipis, “Gimana Ify?”

            “Dia patah hati banget,” Pricilla menopang dagu dengan kedua tangannya. Matanya menatap Gabriel lurus-lurus, dengan bibir yang sedikit mengerucut.

            “Terus gimana? Memangnya Shilla ga tau kalau Ify juga suka Rio?” tanya Gabriel.

            Gadis itu mengangkat bahunya, “Ga tau.” Pricilla mendesah pelan. “Ify, sih, ga mau jujur sama perasaannya sendiri ke Shilla mulai awal. Padahal aku, Sivia, dan Oik sudah nyaranin dia buat bilang itu ke Shilla. Kamu tau sendiri Shilla suka curhat ke Ify soal PDKTnya dengan Rio.”

            “Kasihan Ify..” Gabriel hanya mampu tersenyum tipis.

            Pricilla tersenyum lebar dalam hati. Ini yang ia suka dari Gabriel. Oh, salah! Sifat Gabriel yang seperti inilah salah satu alas an mengapa ia begitu menyayangi laki-laki manis di hadapannya. Gabriel bisa bersikap sebagai teman, sahabat, kakak, dan pacar untuknya. Pricilla menganggapnya sebagai teman yang selalu mau mendengarkan ceritanya. Pricilla menganggapnya sebagai sahabat yang selalu ada setiap saat ia butuh. Pricilla menganggapnya sebagai kakak yang dengan mudah meredam emosinya. Dan Pricilla menganggapnya sebagai pacar yang selalu mewarnai dunianya.

            “Prissy?”

            Pricilla terkesiap. Ia pun sadar dari lamunannya. Ia menatap Gabriel, laki-laki itu sedang menatapnya lurus-lurus dengan tangan memegang daftar menu. Pricilla menunduk, ada sebuah daftar menu juga yang berada tepat di atas mejanya.

            “Kamu mau pesan apa?” lanjut Gabriel.

            “Terserah kamu aja,” kemudian Pricilla menyerahkan daftar menu itu pada waitress.

            “Tumben.” Gabriel berkata pelan. Gabriel pun berbalik pada waitress, “Ice Lemon Tea dua, Strawberry Waffle juga dua. Dibungkus aja, Mbak.”

            Setelah mencatat pesanan tersebut, waitress pun berlalu. Gabriel memandang Pricilla tanpa henti. Hal itu membuat Pricilla salah tingkah sendiri.

            “Kamu apaan, sih, Gab?” Pricilla menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

            Gabriel tertawa. Dan, dalam sekejap, Pricilla sudah merasakan tangan Gabriel yang menyingkirkan kedua telapak tangan dari wajahnya. Pricilla tersenyum kecil, merasakan kepakan sayap kupu-kupu yang begitu banyak di perutnya.

            “Ada masalah apa lagi?” Gabriel bertanya dengan suara lembut.

            “Ada tugas, Gab. Susah.” Pricilla merajuk dengan bibir mengerucut.

            “Pantes..” Gabriel menahan tawanya. “Mau dibantu?”

            Pricilla mengangguk dengan bersemangat, “Mau! Mau banget! Langsung ke rumahku aja, ya?”

            Dan tanpa menunggu jawaban dari Gabriel, Pricilla tersenyum lebar. Pricilla tau, tanpa Gabriel menjawab pun, pasti laki-laki itu setuju untuk langsung ke rumahnya. dan Gabriel pun tau bahwa Pricilla mengerti arti senyumannya barusan.

            Waitress pun datang dengan membawa sebuah tas plastik pesanan mereka. Pricilla menerima tas plastik tersebut dengan tersenyum lebar.

            “Eh, ngapain?” Pricilla mencegah Gabriel yang akan membayar pesanan mereka.

            “Mau bayar, dong, Pris.” Gabriel menatapnya tak mengerti.

            Pricilla meletakkan tangan Gabriel di atas meja dan mengambil dompet miliknya dalam tas, “Biar aku yang bayar. Itung-itung tanda terima kasih karena kamu mau bantuin aku ngerjain tugas.” Pricilla mengedipkan sebelah matanya pada Gabriel dan tertawa kencang.

            Setelah membayar pesanan, mereka keluar dari cafe tersebut dan menuju kediaman Pricilla. Gabriel membonceng Pricilla dengan sepeda gunungnya. Jadilah Pricilla duduk di depan Gabriel dengan posisi menyamping.

**

            “Sampai!” Oik memekik senang ketika ia dan Cakka telah tiba di depan kompleks perumahannya.

            Cakka pun mematikan mesin motornya dan melepas helmnya. Ia melihat Oik yang tengah mencoba turun dari motornya melalui kaca spion. Rupanya Oik sedang ribet dengan rok sekolahnya yang panjang itu. Cakka terkikik pelan.

            Cakka sedikit membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkap kedua tangan Oik dan meletakkannya di pinggangnya. Refleks, Oik kembali duduk, tidak jadi turun dari motor Cakka.

            “Ga bisa turun, kan? Jalan-jalan aja, yuk!” Cakka menengok pada Oik.

            “Hih! Cakka, apa banget, sih?” Oik segera mengibas-ngibaskan kedua tangan Cakka yang masih menggenggam tangannya erat-erat. “Malu, tau, kalau dilihat orang!”

            “Ga ada yang lihat, Oik. Sepi.” Cakka berkata dengan kalem.

            “Lepasin tangannya.” Oik merengek. “Aku mau pulang, nih!”

            Dengan terpaksa, Cakka melepaskan genggaman eratnya pada tangan Oik. Dan pada saat itu juga, Oik menarik tangannya dari pinggang Cakka. Cakka tersenyum miring mengiringi turunnya Oik dari boncengan motornya.

            Oik melepaskan helm yang ia pinjam dari Cakka dan mengembalikan pada sang empunya, “Nih, makasih..”

            “Ngambek, ya?” tanya Cakka, ia menatap Oik tepat di manik matanya.

            Oik menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Lain kali jangan gitu lagi, ya.”

            “Iya.” Cakka kembali menggenggam kedua tangan Oik dan meletakkannya tepat di dadanya, “Dimaafin, kan?”

            “Iya, iya..” Oik terkikik pelan, merasakan hangat yang membungkus kedua telapak tangannya.

            “Yakin ga mau jalan?” tanya Cakka lagi.

            Oik menggeleng yakin, “Ga, nanti mama curiga, Kka. Tumben, sih, ngajak jalan?”

            “Lagi bosen aja di rumah. Ga ada kerjaan.” Cakka nyengir lebar.

            “Bilang aja ga mau pisah sama aku!” Oik mencibir.

            Setelah mengobrol untuk beberapa menit, Cakka pun berlalu. Oik menatap kepergian Cakka dengan tersenyum kecil. Setelah itu, Oik pun segera berjalan menuju rumahnya. Ia takut mamanya curiga karena biasanya ia sudah sampai di rumah lima belas menit yang lalu. Ini semua gara-gara Cakka yang terus mengajaknya ngobrol. Huh!

            “Mama!” Oik berteriak memanggil mamanya dari teras rumah.

            Tak ada jawaban. Selesai melepas sepatunya, Oik pun masuk ke dalam. Ia berjalan menuju dapur dan mendapati mamanya yang sedang memasak. Oik hanya menggelengkan kepalanya. Kemudian, gadis itu duduk di meja makan dengan mata yang terus memperhatikan mamanya.

            “Mama masak apa?” tanya Oik.

            Mamanya berbalik. Rupanya wanita paruh baya itu baru menyadari kehadiran putrinya. “Kamu tadi pagi berangkat sama siapa, Ik?” tanya beliau.

            “Hah?” Oik hanya mampu melongo menatap mamanya.

            Mama Oik berkacak pinggang, “Tadi Tante Rina, yang rumahnya di depan kompleks itu, bilang ke Mama kalau tadi pagi dia lihat kamu berangkat dibonceng cowok. Cowok itu siapa, Ik?”

            “Eh..” Oik terkesiap, “Tante Rina salah lihat, kali, Ma!”

            “Ga usah bohong lagi, Oik! Mana mungkin Tante Indah juga salah lihat? Tadi pagi Tante Indah juga lihat kamu!” Mama Oik berteriak jengah.

            “Mama ini kenapa, sih?” Oik berdiri dan berkacak pinggang pula di depan mamanya. “Mama terlalu overprotektif sama aku! Ga boleh ini, lah. Ga boleh itu, lah. Oik udah besar, Ma! Salah kalau Oik udah mulai dekat sama cowok?” Oik menyeka air mata yang mulai berlinangan di pipinya. “Tau begini, Oik ikut papa aja ke Jogja. Biar, deh, meskipun ada istri baru papa. Yang jelas, mereka ga akan se-overprotektif Mama!”

            Oik berbalik, berlari menuju kamarnya dan menutupnya dengan kencang sehingga menimbulkan bunyi berdebam yang menggema hingga ke dapur. Mama Oik hanya terdiam melihat kepergian putrinya. Terlalu overproetktif, kah, dia?

            “Ini semua untuk kebaikan kamu juga, Ik..”

            Air mata pun juga ikut berlinangan di pipi beliau..

**

            Ting tong!

            Bel rumah Sivia baru saja berbunyi. Kebetulan Sivia sedang home alone saat ini. Dengan malas, Sivia meletakkan iPad whitenya di atas kasur dan bergegas membukakan pintu. Gadis chubby itu menggerutu pelan. Bagaimana tidak? Ia belum selesai bermain Temple Run tadi. Dan gara-gara bunyi bel sialan itu, runnernya harus rela jatuh ke sungai.

            “Siapa?” tanya Sivia saat pintu rumahnya belum benar-benar terbuka.

            “Hay!” Sivia mendapati seorang laki-laki berkulit putih sedang tersenyum kikuk di depan pintu rumahnya.

            “Alvin? Ngapain? Tau rumah aku dari mana?” tanya Sivia beruntun, kaget.

            Laki-laki berkulit putih itu, Alvin, menggaruk kepala bagian belakangnya yang tak gatal dengan nyengir lebar, “Main aja, Siv. Bosen di rumah.”

            Sivia membulatkan mulutnya. Ia pun membukakan pintu rumahnya lebih lebar agar Alvin dapat masuk. Setelah kembali menutup pintu rumahnya, Sivia segera mengajak Alvin ke taman samping rumahnya. Keduanya duduk bersebelahan –dengan dipisahkan sebuah meja kayu kecil–, menghadap ke sebuah kolam ikan berukuran mini.

            “Tau alamatku dari siapa, Vin?” tanya Sivia, melirik laki-laki di sampingnya sekilas.

            “Hah? Eh.. Dari Ozy.” Alvin menjawabnya dengan terbata.

            Ozy? Oh. Orang itu, rupanya. Entah apa lagi yang telah laki-laki tengil itu ceritakan pada Alvin mengenai dirinya. Ozy adalah salah satu teman SMP Sivia yang masih satu sekolah dengannya sampai saat ini. Semua orang memiliki pemikiran yang sama soal laki-laki tengil ini, ceplas-ceplos!

            “Astaga!” Sivia menepuk jidatnya. “Mau minum apa, Vin?”

            Orange juice enak, deh, Siv.” Alvin kembali menunjukkan cengiran terlebarnya.

            Sivia pun bangkit berdiri, “Ya udah, tunggu sini bentar. Aku ambilin dulu.”

            Sivia berlalu menuju dapur. Tak lama kemudian, Sivia kembali dengan membawa sebuah nampan berisikan dua gelas orange juice dan beberapa DVD film-film yang new release. Sivia meletakkan nampan tersebut di atas meja kayu kecil dan kembali duduk.

            “Mau nonton film, Vin? Aku ada banyak DVD baru, belum aku lihat.” Sivia membolak-balikkan satu-persatu DVD yang berada di tangannya.

            “Boleh.” Alvin meletakkan gelas orange juicenya dan sedikit mencondongkan tubuhnya ke Sivia. “Ada kaset apa aja, Siv?”

            “Macem-macem, sih. Kamu sukanya genre apa?” Sivia masih tak melepaskan pandangannya dari DVD-DVD di tangannya.

            “Action, ada?”

            Sivia mengangguk kecil, “The Mother’s Day. Gimana?” Sivia mengerling pada Alvin.

            Setelah memastikan Alvin mengangguk, Sivia segera mengajak Alvin ke ruang keluarga kediamannya. Sivia yang membawa DVD-DVD dan Alvin membawa nampan berisikan gelas miliknya dan milik Sivia.

            Sivia mempersilahkan Alvin duduk di sebuah sofa di depan home theatrenya sementara dirinya berlalu ke dapur untuk mengambil beberapa camilan. Kemudian, Sivia mengambil tempat tepat di samping Alvin. Saat itu pula, Sivia menyerahkan sebuah stoples berisikan keripik kentang pada Alvin.

            “Kamu punya banyak DVD, Siv?” tanya Alvin.

            “Iya.” Sivia tersenyum simpul. “Kalau bosen gini, home alone di rumah, biasanya aku nonton sendirian.”

            “Sendirian? Aku berarti ganggu kamu, dong, ini..” Alvin terkekeh.

            “Bisa aja kamu!” Sivia ikut tertawa, kemudian menyenggol pelan tubuh Alvin.

            “DVD film action ada banyak, kan?” Alvin menatap Sivia dari samping.

            Sivia mengangguk bersemangat, “Ada banyak banget! Kebetulan aku, ayah, dan bunda ga suka film menye-menye yang nguras air mata. Jadi, biasanya kami beli DVD film action atau horror sekalian.”

            Alvin mengangguk mengerti.

            Satu lagi hal kecil yang membedakan Sivia dari gadis-gadis yang lain. Alvin tersenyum kecil. Sivia benar-benar berbeda dengannya yang sangat tergila-gila dengan film bergenre romance. Benar kata Ozy, Sivia berbeda dari gadis-gadis yang lain. Alvin menunggu kejutan kecil apalagi yang akan ia ketahui soal gadis di sampingnya ini. Apalagi yang membedakannya dengan gadis-gadis lainnya?

**

            Ify menutup pintu kamarnya dengan lesu. Ia baru saja selesai dinner dengan papa, mama, kakak, dan adiknya. Selama dinner tadi pun ia tak banyak bicara. Kakaknya sampai bingung. Padahal, biasanya, Ify akan mengoceh panjang-lebar ketika dinner.

            Ify duduk di bibir ranjangnya, menghadap ke sebuah nakas yang di atasnya terdapat berbagai macam foto yang terpigura. Ada foto Ify bersama keluarganya, bersama tetangganya, bersama teman SDnya, bersama teman SMPnya, bersama teman SMAnya –Sivia, Pricilla, Oik–, bersama Shilla –teman les sekaligus teman sekolahnya–. Ada satu foto lagi yang menarik perhatiannya. Foto seorang laki-laki berwajah manis yang sedang tertawa lebar.

            “Rio..” Ify berbisik pelan, wajahnya kembali muram.

            “Baik-baik, ya, sama Shilla. Jaga temanku yang satu itu.” lanjutnya.

            Ify tersenyum sedih. Perlahan, tangannya terulur untuk menyentuh foto Rio. Jemarinya menelusuri setiap inchi wajah Rio di foto tersebut. Setelahnya, dengan berat hati, Ify membalikkan foto itu, membuat wajah Rio tak lagi dapat dilihat, membuat pigura tersebut mencium nakasnya.

            Tangan Ify berpindah pada sebuah pigura di samping pigura foto Rio. Fotonya bersama Shilla yang sedang bermain piano bersama di tempat les musiknya. Ia dan Shilla terlihat sedang terssenyum lebar ke arah kamera, memperlihatkan behel masing-masing. Lihatlah betapa kompaknya ia dengan Shilla sampai-sampai warna karet behel mereka pun sama.. Biru muda.

            “Hay, Shill.. Yang langgeng, ya, sama Rio. Aku sudah seneng, kok, ngelihat kalian berdua seneng.” Ify kembali tersenyum muram.

            Ify melakukan hal yang sama pada pigura fotonya bersama Shilla, membaliknya. Setelah itu, Ify membaringkan tubuhnya di ranjang berseprai oranye miliknya. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan muram.

            Tak lama kemudian –beberapa menit setelah ia mencoba memejamkan matanya–, ponselnya berdering. Ify meraba-raba bawah bantalnya dengan malas. Setelah melihat layar ponselnya dan mengetahui bahwa Shilla lah yang menelepon, Ify menegakkan tubuhnya lalu mengangkat telepon dari Shilla.

            “Halo? Ify? Ngangkatnya lama banget!” suara melengking Shilla langsung terdengar, Ify menjauhkan ponsel dari telinganya untuk beberapa saat.

            “Udah malam, Shill! Jangan teriak-teriak!” Ify balas berteriak dan, kemudian, tertawa pelan.

            “Ify, ih! Kamu barusan juga teriak, Neng!” suara Shilla terdengar sangat menggemaskan, Ify sampai kembali tertawa.

            “Ngapain telepon? Biasanya, juga, chat di BBM! Tumben.” Ify menahan napas, pasti Shilla akan membicarakan soal Rio.

            Shilla menghembuskan napasnya di ujung sana. Dan, Ify tau betul bahwa Shilla sedang tersenyum simpul meskipun ia tak melihatnya. Ify sudah terlampau mengerti Shilla dan begitu pula sebaliknya. Tanpa Shilla memberitahunya pun, Ify tau Shilla akan mengocehkan Rio panjang-lebar mala mini.

            “Rio, Fy! Kamu tau, kan, tadi dia nembak aku waktu istirahat kedua?” Shilla terdengar sangat bersemangat.

            Ify mengangguk, “Tau, Shill..” Ify tersenyum muram untuk yang kesekian kalinya hari ini.

            “Tadi dia nganterin aku pulang, Fy! Dia juga minta langsung dikenalin sama mama dan papa. Tapi sayangnya papa lagi kerja. Jadinya aku cuman ngenalin dia ke mama. Dan, kamu tau, Fy? Mama bilang kalau aku ga salah pilih cowok, Fy! Mama bilang begitu!”

            Ify mendengarkan dengan seksama setiap kata yang terlontar dari bibir Shilla. Dan, setiap kata itu membuat luka di hatinya semakin dalam. Tapi mau bagaimana lagi? Sudah kepalang tanggung kalau ia mengakui perasaannya pada Rio sekarang. Semuanya sudah terlambat dan ia tau betul bahwa waktu tak mungkin bisa diulang kembali.

            “Halo? Fy? Kamu masih di sana, kan? Halo?” Shilla bingung juga lama-kelamaan karena ia tak mendengar suara Ify sama sekali, hanya deru napas Ify yang ia dengar semenjak sepuluh menit yang lalu.

            “Eh?” Ify terkesiap. “Iya, iya! Aku masih di sini. Aku...” Ify sibuk mencari alasan, “Lagi ngeberesin kamar, nih. Iya, ngeberesin kamar! Kamu tau sendiri Khalif nakal banget, sukanya berantakin kamar aku. Iya, begitu..”

            “Ya ampun!” Shilla kembali terpekik di ujung sana. “Aku ganggu kamu, ya, Fy? Ya udah, udahan, deh! Kamu lanjutin aja beres-beresnya, terus langsung tidur. Besok kita sekolah, Fy. Jangan tidur kemaleman, ya! Bye, sweetheart!” sebelum telepon benar-benar terputus, Ify sempat mendengar Shilla mencium gagang teleponnya.

            Ify tersenyum kecut, kembali meletakkan ponsel di bawah bantalnya.

            Lihat.. Bagaimana Ify bisa membenci Shilla? Bagaimana bisa Ify membenci teman yang begitu perhatian pada dirinya? Bagaimana bisa Ify membenci gadis cantik itu walaupun ia telah merenggut kebahagiaan Ify? Shilla terlalu berharga bagi Ify untuk dibenci. Ya. Dan keadaan akan selalu begitu. Selamanya. Seterusnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS