Matahari baru saja tenggelam diufuk
barat dan Alvin masih tetap setia duduk diatas motornya di pelataran tempat kos
Oik. Matanya menatap jendela kamar Oik. Sudah sejam lebih ia memandang jendela
tersebut dan ia sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa Oik ada di dalam.
“Mas, cari siapa?” tanya sebuah
suara dari belakangnya.
Alvin cepat-cepat menengok ke
belakang dan mendapati seorang gadis mungil berkulit sawo matang tengah
menatapnya curiga. “Oiknya ada?” tanya Alvin balik.
“Ada,” jawab gadis itu dengan alis
berkerut. “Mas ini siapa?”
Alvin segera turun dari motornya dan
mengulurkan tangannya pada gadis itu. “Aku Alvin. Teman kuliah Oik. Kamu teman
kos Oik?”
Gadis itu mengangguk sambil menerima
ulura tangan Alvin. Keduanya berjabat tangan untuk beberapa detik. “Aku Osa. Mari,
Mas..” Osa memberi kode pada Alvin untuk mengikutinya berjalan menuju teras.
“Sa, Oiknya ada?” tanya Alvin lagi.
Osa duduk pada sebuah kursi kayu di
teras kosnya. “Ada, Mas. Tadi sekitar jam sembilan Oik udah pulang kuliah. Tapi
keadaannya berantakan.”
Alvin –yang telah duduk di hadapan
Osa– menghela napasnya dengan lesu. “Dia belum keluar kamar dari pagi tadi?”
“Belum, Mas,” Osa menggeleng kecil. “Dia
tadi pagi belum sarapan juga sebelum berangkat kuliah. Mungkin tadi siang dia
juga nggak makan. Kan, Oik nggak keluar kamar sama sekali. Ibu kos tadi juga
tanya tapi nggak saya jawab, saya nggak tahu.”
Alvin bangkit dari duduknya. “Kamu
coba bujuk Oik keluar kamar, ya. Aku minta tolong. Aku keluar dulu, carikan
makan buat Oik.”
Osa mengangguk patuh dan Alvin pun
melangkah meninggalkannya. Setelah melihat Alvin yang berlalu menggunakan
motornya, Osa pun berdiri hendak menuju kamar Oik. Pintu kamar Oik masih
tertutup rapat.
“Oik, kamu kenapa lagi?” gumamnya
sedih.
Tangannya terangkat untuk mengetuk
pintu kamar Oik. Sudah hampir lima menit ia mengetuk pintu kamar Oik tapi tak
ada jawaban dari dalam. “Oik! Buka pintunya, dong. Aku tahu kamu di dalam.”
Osa berhenti mengetuk pintu kamar
Oik setelah menyadari jemarinya telah memerah karena mengetuk daun pintu di
hadapannya. “Ik, buka pintunya. Aku nggak bisa ketuk pintu kamu lagi, tanganku
udah merah-merah karena ketuk pintu kamu terus dari tadi.”
Osa mendengar bunyi benda jatuh dari
dalam, disusul dengan suara saklar lampu yang ditekan. Ia dapat melihat cahaya
lampu berpendar dari celah-celah pintu kamar Oik. Benar. Oik ada di dalam.
“Ik, buka, dong. Tadi ada temanmu
kesini. Namanya Alvin. Kamu kenapa, Ik?”
Pintu mendadak dibuka dari dalam. Muncul
Oik dengan rambut berantakan dan mata yang berair serta memerah. “Alvin kesini,
Sa?” tanyanya dengan suara serak.
“Iya.” Osa mengangguk. “Ayo, cuci
muka dulu.”
Osa menuntun Oik menuju kamar mandi
yang terletak di bagian belakang rumah kos tersebut. Oik membasuh wajahnya
dengan air, merapikan penampilannya, lalu keluar dari kamar mandi. Rupanya Osa
masih menungguinya.
“Alvin sekarang mana, Sa?” tanya Oik
lagi.
“Udah ada di dalam kamarmu. Barusan dia
sampai waktu kamu di dalam. Aku suruh masuk ke kamarmu tadi.”
Keduanya pun berjalan menuju
bangunan utama rumah kos tersebut. Osa berhenti di depan pintu kamarnya dan
segera masuk, meninggalkan Oik yang berjalan menuju kamarnya seorang diri. Ia melihat
pintu kamarnya terbuka.
“Vin?” sapa Oik pada seorang lelaki
yang tengah duduk diatas ranjangnya.
“Sini, Ik..” Alvin menepuk-nepuk
tempat di sampingnya, menyuruh agar Oik duduk di situ. Oik melangkah dan duduk
di sebelah Alvin.
“Kamu kenapa kesini?” tanya Oik
sambil menatap Alvin bingung.
“Aku khawatir sama kamu.” Alvin menyerahkan
sebuah kantung plastik berwarna hitam pada Oik. “Ini nasi padang kesukaan kamu.
Kamu makan dulu, ya.”
Oik mengangguk. Ia membuka bungkusan
makanan tersebut dan mulai melahapnya. Ia melirik Alvin yang tengah berdiri
menatap seluruh penjuru kamarnya. Tak ia hiraukan lelaki itu yang mulai
berceloteh mengenai betapa berantakannya kamarnya.
“Kamu makan aja, biar aku yang
bereskan kamarmu.”
Alvin mulai dengan mengumpulkan
bungkus-bungkus makanan yang berserakan dilantai kamar Oik. “Aku tadi udah
ngomong dengan Pricilla. Dia bilang dia sama sekali nggak tahu soal
perjodohannya dengan Gabriel.”
Oik menelan nasi padangnya. “Iya. Jangan
salahkan Pricilla seperti tadi lagi, Vin. Aku sadar perjodohan itu sepenuhnya
orangtua mereka yang ngatur, bukan Gabriel dan Pricilla sendiri.”
Alvin tersenyum. Ia membuang seluruh
bungkus makanan ditangannya pada sebuah tong sampah di sudut kamar Oik. “Pricilla
juga minta maaf soal ini. Dia masih belum berani bilang ke kamu langsung, takut
kamu histeris, katanya.”
“Sampaikan ke dia kalau aku juga
minta maaf.” Oik tersenyum tipis, pandangannya menerawang.
Alvin menepuk bahu Oik sambil
terkekeh. “Jangan ngelamun terus, Oik. Ayo, lanjutkan makannya!” perintahnya.
Oik pun kembali melahap makanannya,
sedangkan Alvin kembali merapikan kamar Oik. Lelaki itu kini tengah merapikan
meja belajar Oik yang dipenuhi buku-buku dalam keadaan berantakan.
“Kamu ngobrol apalagi sama Pricilla,
Vin?” tanya Oik penasaran.
Alvin menghentikan aktivitasnya. “Tadi
Pricilla langsung telepon Mamanya...”
“Iya. Terus?” tanya Oik gemas. Pasalnya
Alvin tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Instingnya mengatakan Alvin akan
mengatakan sesuatu yang akan membuatnya sakit hati lagi.
“Beliau bilang pertunangan Gabriel
dan Pricilla akan dilaksanakan secepatnya. Mungkin bulan depan.” Alvin membalikkan
badannya, melihat reaksi Oik.
Oik telah selesai melahap nasi
padangnya. Ia kemudian membuang bungkus makanannya pada tong sampah dan kembali
duduk diatas ranjang. “Aku udah coba merelakan Gabriel buat Pricilla tapi itu
bukan berarti aku sanggup datang ke acara pertunangan mereka.”
Alvin tersenyum tipis. Dalam sekejap
Alvin sudah berada dalam pelukannya. Alvin mengelus puncak kepala gadis itu
dengan sayang. “Kamu kuat, Ik. Kamu bener-bener kuat. Dan kamu memang harus
kuat.”
“Rasanya lega, Vin. Aku memang belum
merelakan mereka sepenuhnya tapi, paling nggak, aku udah merelakan keputusan Gabriel
untuk putus. Itu pun rasanya udah lega banget. Seperti ada beban yang diangkat.”
Alvin melepaskan pelukannya,
membiarkan Oik kembali bernapas setelah sebelumnya –ia yakin– gadis itu sulit
bernapas karena dekapan eratnya. “You’re
fine, aren’t you?”
“Aku baik-baik aja,” ujar Oik seraya
tersenyum ragu-ragu. “No. I’m not fine at
all.”
Alvin sudah berancang-ancang akan
kembali memeluknya jika saja Oik tidak menahannya. “Stop, Vin. Berhenti peluk
aku. Aku susah napas!” serunya lalu terkekeh pelan.
Alvin ikut tertawa karena Oik sudah
bisa tertawa kembali. Lelaki itu kembali mengusap puncak kepala Oik. Dan Oik,
senang sekali diperlakukan begitu oleh Alvin. Entah mengapa, Oik senang jika
ada yang mau mengelus puncak kepalanya. Itu seperti mengalirkan energy tersendiri
padanya.
“Vin,” panggil Oik, suaranya mulai
terdengar serius. “Jangan salahkan Pricilla seperti tadi, ya. Aku nggak mau
para sahabatku jadi musuhan cuma gara-gara aku.”
Alvin mengangguk mantap. “Aku janji
aku nggak akan menyalahkan Pricilla seperti tadi. Kamu bisa pegang janjiku,
Oik.”
Oik bergerak-gerak gelisah di
tempatnya. Ia sudah memikirkan hal ini dari tadi pagi tapi ia tak punya cukup
keberanian untuk menanyakannya langsung pada Alvin. Ia takut hal ini benar
adanya.
“Kenapa, Ik? Mau ngomong sesuatu?”
tanya Alvin. Oik menggeram, Alvin terlampau mengenal dirinya.
“Aku mau tanya sesuatu..” Oik
melirik Alvin takut-takut. Melihat Alvin yang mengangkat sebelah alisnya –mempersilahkannya
untuk melanjutkan perkataan–, Oik pun kembali berujar. “Kenapa reaksi kami
sebegitu marahnya begitu tahu Pricilla dijodohkan dengan Gabriel?”
Alvin terdiam di tempat. Tak menyangka
pertanyaan macam itu terlontar dari bibir mungil Oik. Alvin segera mengalihkan
pandangannya dari Oik. “Aku...”
“Selama ini kamu anggep aku apa,
Vin? Cuma sahabat, kan? Nggak lebih, kan? Ataupun kalau lebih, kamu anggap aku
sebagai adik kamu. Iya, kan?” cecar Oik. Rupanya gadis itu telah menemukan
keberaniannya untuk mengemukakan hal yang berkecamuk dihatinya.
“Aku...” Alvin tidak menemukan
kata-kata yang pas untuk mengatakannya pada Oik.
“Kamu nggak menyimpan rasa buat aku,
kan?” tanya Oik. Kali ini tepat menohok ulu hati Alvin.
“Aku anggap kamu adik,” ujar Alvin
dalam satu helaan napas. Rasa nyeri langsung menyergap hatinya.
“Untung aja perkiraanku sejak tadi
pagi salah.” Oik tersenyum senang dan segera menghambur dalam pelukan Alvin. “Aku
nggak ngebayangin gimana jadinya kalau kamu nyimpen rasa buat aku, Vin.”
“Iya.” Alvin mengangguk dengan berat
hati. “Lagipula, kita berdua beda. Sama
seperti kamu dan Gabriel. Nggak akan pernah jadi satu.”
“Iya!” Oik mengangguk dengan
bersemangat. “Pasti reaksi Oma kamu sama seperti reaksi kedua orangtua Gabriel
jika tahu kita berpacaran. Sama sekali nggak lucu.” Oik tertawa geli.
Alvin benci perbedaan. Alvin benci
ada sekat pembeda yang menghampar abstrak tetapi tak tertembus antara dia dan
Oik. Alvin benci perbedaan karena hal itulah yang memaksanya untuk berbohong
pada Oik. Alvin benci perbedaan karena perbedaan itu membuat Alvin mengingkari
perasaannya sendiri selama ini. Sungguh, Alvin ingin menghapus perbedaannya
dengan Oik jika ia bisa.
“Iya, aku cuman nganggap kamu
sebagai adik. Nggak lebih.” Alvin bergumam seraya memeluk Oik. Ia menujukan
gumaman tersebut lebih kepada dirinya sendiri, bukan kepada Oik.