Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

SUPERGIRLS #07 [Aren's Story]

            Tak terasa, mereka semua kini telah menjadi siswi kelas 9 SMP Mariskova. Dan, sayangnya, kesepuluhnya tidak sekelas. Keke dan Sivia di kelas 9-B. Oik dan Nova di 9-D. Zahra dan Acha di 9-E. Ify di 9-G. Shilla dan Aren di 9-H. Angel di 9-J.

            Kini kesepuuhnya sedang berada di depan Ruang OSIS. Memandangi papan pengumuman soal pertukaran pelajar yang diadakan oleh Pemerintah Kota Malang ke Paris, Perancis akhir bulan nanti.

            “Ren, kamu mau ikut?” tanya Ify, Aren mengangguk bersemangat.

            “Aku daftar di mana, ya?” gumam Aren.

            “Coba ke Ruang Guru saja,” kata Sivia.

            “Nah!” Aren menjentikkan telunjuknya seraya tersenyum lebar.

            “Oik juga mau ikut mendaftar, kan?” celetuk Zahra.

            Aren mengangguk dengan alis yang terangkat sebelah, “Iya, Zah. Kenapa?”

            Angel melongo. Ia memukul pelan lengan Aren dengan gemas, “Nah terus, sekarang Oiknya mana? Kalian pasti mendaftar bareng, kan?”

            Aren balas memukul lengan Angel dan berkata, “Oik tadi ada di---,”

            “Ada yang manggil aku?” tanya sebuah suara.

            Kesembilan gadis itu pun menengok ke sumber suara. Ada Oik dan Alvin di sana. Tangan kiri Alvin menggenggan tangan Oik, sedangkan tangan kanannya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Alvin tersenyum salah tingkah kepada kesembilannya.

            Oik melepaskan genggaman Alvin dan berjalan menuju kesembilan sahabatnya itu, “Ada apa manggil aku?” tanyanya dengan tersenyum lebar.

            Oik mendadak bingung ketika mendapati Acha menatapnya dengan menggigit bibir bagian bawahnya, “Itu, Ik... Alvin... Kamu biarkan dia tetap berdiri di situ?”

            Oik menepuk jidatnya dan berbalik menatap Alvin, “Sudah, kamu baik aja! Aku, kan, mau mendaftar pertukaran pelajar itu dengan Aren.” Oik mengkibas-kibaskan tangannya pada Alvin.

            Alvin mengangguk, “Aku balik, ya.” pamitnya, sesaat Alvin tersenyum pada Oik dan berbalik lalu berjalan entah kemana.

^^^

            Pesawat yang ditumpangi oleh Aren, Oik, dan beberapa pelajar Kota Malang lainnya baru saja lepas landas. Untuk dua jam kedepan, mereka akan duduk berdiam di seat masing-masing hingga pesawat tersebut mendarat di Bandara Soekarno Hatta untuk transit.

            Tepat ketika pesawat tersebut telah mendarat, Aren dan Oik melepas seat belt masing-masing dan melenggang keluar dari pesawat lalu menuju waiting room untuk menunggu kedatangan pesawat yang akan membawa mereka ke Charles de Gaulle, Paris, Prancis.

            Aren dan Oik meletakkan koper di depan kursi masing-masing. Aren dan Oik serta dua orang lagi perwakilan dari Kota Malang sedang duduk di waiting room. Oik mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya dan larut di dalamnya. Aren mengedik padanya dan tersenyum jengah, merasa dicueki.

            “Hey!” seseorang menepuk pundak Aren dari belakang.

            Aren menengok ke belakang dan mendapati seorang laki-laki berambut gondrong sedang tersenyum ke arahnya, “Ada apa, ya?” tanya Aren dengan wajah bingung.

            “Kamu dan temanmu,” laki-laki itu menunjuk Oik dengan dagunya, “Perwakilan dari Malang juga?” tanyanya balik.

            Aren mengangguk, “Iya. Kamu juga?”

            Laki-laki itu juga mengangguk, “Dari sekolah mana?”

            “SMP Mariskova. Kamu?”

            “SMPN 227. Oh iya, aku Ray. Kamu?” laki-laki itu, Ray, mengulurkan tangan kanannya pada Aren.

            Aren menyambutnya dengan sebuah senyum yang membekukan laki-laki itu, “Aren,” Aren menyenggol pelan perut Oik hingga gadis itu meletakkan novelnya dan memandangnya penuh tanya, “Ini Oik, temanku..”

            Oik melihat Ray dan melambaikan tangannya pada Ray, “Aku Oik.”

            “Aku Ray. Ini temanku..” Ray merangkul seorang laki-laki yang duduk di sampingnya, “Nyopon.”

^^^

            Aren, Oik, Ray, dan Nyopon baru saja turun dari sebuah Volkswagen keluaran terbaru yang telah membawa mereka kemari dari Charles de Gaulle. 10 Avenue d'Lena, Paris. Seorang wanita staf Kedubes Indonesia untuk Paris mendampingi mereka. Kelimanya masuk ke dalam sebuah hotel berarsitektur klasik di dekat Eiffel Tower itu. Shangri-La Hotel, Paris.

            Setelah mengambil kunci kamar dari sang receptionist, kelimanya menuju lift dan naik ke lantai paling atas. Ketika pintu lift terbuka, wanita itu berjalan terlebih dahulu. Aren, Oik, Ray, dan Nyopong mengekornya. Ia berhenti di depan dua pintu kamar yang saling berhadapan.

            “Ini untuk Aren Nadya dan Oik Cahya,” wanita itu menyerahkan sebuah kunci kepada Aren, “Kamarnya yang sebelah sini.” dagunya menunjuk pintu kamar di samping kanannya.

            “Dan kamar yang di sini,” ia mengedik pada pintu kamar di sebelah kirinya, “Untuk kalian berdua.”

            Ray menerima kunci itu dengan senyum mengembang, “Terima kasih.”

            “Ya sudah, kalian istirahat saja dulu. Ini juga sudah larut,” wanita itu mengintip jam tangannya, “Sudah pukul sepuluh malam. Besok pagi saya jemput kalian di sini pukul delapan, ya.” Aren, Oik, Ray, dan Nyopon mengangguk, “Ya sudah, saya balik.”

            “Night, Ma’am!” sapa Nyopon.

            Begitu wanita itu hilang ditelan pintu lift, Aren segera membuka pintu kamarnya dan Oik langsung masuk ke dalam. Ray menyerahkan kunci kamarnya pada Nyopon dan membiarkan temannya kitu membukanya lalu masuk terlebih dahulu.

            “Ren,” panggil Ray.

            Aren, yang tadinya akan masuk juga, berbalik dan menatap Ray, “Apa, Ray?”

            Gutten Nacht. Sweet dream, ya.” Ray tersenyum setelahnya lalu masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya.

            Aren masih terbengong-bengong sambil memegang handle pintu kamarnya. Beberapa detik setelahnya, ia menghembuskan napas dengan berat dan menggelengkan kepalanya, “Apa-apan Ray?!” gerutunya.

^^^

            Pagi itu, ketika Oik sedang membuka tirai kamarnya, terdengar suara erangan dari belakangnya. Oik menengok dan mendapati Aren yang sedang memincingkan matanya karena terkena silaunya sinar mentari pagi itu. Aren memanyunkan bibirnya.

            “Ini masih pagi sekali, Oik. Tutup saja tirainya!” dengus Aren.

            Oik tertawa kecil dan semakin lebar membuka tirai tersebut, “Iya, aku tau ini masih pagi. Tapi coba kamu lihat pemandangan di luar sana.” saran Oik.

            Aren kembali mendengus. Sambil mengucek matanya yang masih setengah terpejam, ia menyibak selimut yang menyelimuti tubuhnya dan berjalan menuju tempat Oik berdiri. Oik menatapnya dengan senyum. Aren kembali mengucek matanya, kali ini karena terlampau kaget dengan pemandangan yang tersaji di depannya.

            “EIFFEL!” pekik Aren dengan mata berbinar.

            “Nah! Apa aku bilang. Bagus, kan?” Oik kembali tersenyum dan berjalan menuju sebuah almari di sudut ruangan dan mengeluarkan peralatan mandinya, “Ren, aku mandi duluan, ya? Kamu puas-puaskan saja dulu lihat Eiffel.”

            “Iya.” Aren hanya mengangguk, tak memperdulikan Oik, dan terus menatap terpesona ke arah salah satu keajaiban dunia itu dengan mata berbinar.

            Hingga dua puluh menit kemudian, ketika Oik keluar dari dalam kamar mandi dengan mengenakan pakaian formal, Aren masih menatap bengong tower terindah di dunia itu. Oik sampai geleng-geleng kepala. Lantas, Oik meletakkan kembali peralatan mandinya di dalam almari dan beranjak menghampiri Aren yang posisinya masih sama seperti dua puluh menit lalu.

            Oik menepuk pundak Aren, “Hey! Kagum, sih, kagum.. Tapi ini sudah pukul berapa? Ayo, mandi sana! Setelah itu, kita turun, ke resto and having breakfast there.” celoteh Oik.

            Aren mengangguk dengan malas. Dan, dengan berat hati gadis berbehel itu menuju kamar mandi. Oik menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menggeleng tak percaya.

            Untuk sekedar membunuh waktu –menunggu Aren yang tak kunjung selesai mandi-, Oik memutuskan untuk kembali membaca novelnya. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah novel tebal dari dalamnya. Dalam hitungan detik, ia telah tenggelam dan mengikuti alur novel tersebut.

            Tok tok tok..

            Oik tak cukup ‘sadar’ untuk mendengar ketukan pintu dari luar sana. Ia terlalu fokus dengan novelnya. Sampai-sampai.. “IK! BUKA PINTUNYA! AKU MASIH MANDI!” teriak Aren dari dalam kamar mandi.

            Sama sekali tak ada sahutan dari Oik. Di dalam sana, Aren berdecak kesal dan cepat-cepat memakai pakaiannya dan membungkus rambut basahnya dengan handuk lalu keluar dari dalam kamar mandi. Benar tebakannya, Oik sedang serius dengan novel yang baca.

            Aren menggeleng dan berlalu. Gadis itu membuka pintunya dan mendapati Ray sedang tersenyum canggung ke arahnya, “Ada apa, Ray?” tanyanya.

            Ray meringis, “Itu.. Staf Kedubes sudah menunggu di resto. Kamu cepat turun, ya.”

            “Aku?” dahi Aren kembali berkerut bingung, “Oik juga, kan?” tanyanya lagi.

            Ray kembali meringis dan menjentikkan telunjuknya, “Nah! Dengan Oik juga!”

            “Oke. Lima menit lagi kami turun.” Aren sudah bersiap-siap akan kembali menutup pintu kamarnya, sayangnya Ray masih betah berada di sana, “Hey! Kenapa masih di sini?”

            Ray seakan ‘tersadar’ dan langsung tersenyum malu, “Oh.. Oke. See you!”

            Aren menatap punggung Ray yang semakin menjauh dan masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup, Aren kembali mendapati Ray yang tersenyum ke arahnya. Aren langsung menutup pintu kamarnya begitu pintu lift itu tertutup dan membawa Ray ke lantai paling bawah.

            Aren berbalik lalu bergerak menuju kasurnya dan duduk. Ia menadang Oik dengan datar. Diambilnya sebuah bantal dan ia lemparkan tepat pada novel Oik, “Jangan baca novel terus, Ik! Tadi ada Ray ketuk pintu kamu ga dengar!” pekiknya.

            Oik gelagapan. Ia hanya menadang Aren dengan bersalah. Oik pun memasukkan novelnya ke dalam tas dan beranjak menuju meja rias, “Ray ngapain ke sini?” tanyanya.

            “Dia minta kita untuk cepat turun. Staf Kedubes sudah menunggu di resto.” jawab Aren.

            “Terus kenapa kamu masih duduk di kasurmu? Ayo siap-siap!” ajak Oik, ia menatap pantulan wajah Aren dari cermin di depannya.

            Aren mengangguk. Ia mengambil tasnya, begitupula Oik. Keduanya pun keluar dari kamar dan menuju resto dengan menggunakan lift. Begitu mendapati siluet tubuh Ray dan Nyopon, keduanya dengan segera menghampiri meja tempat mereka duduk.

            Morning, Ma’am..” sapa Oik, ia tersenyum pada wanita itu dan duduk di sampingnya.

            Eat your food, guys. We’re gonna go to Lycee Louis-le-Grand.” katanya.

            Oik mengangguk. Ia pun segera memakan makanannya. Ray, Nyopon, dan wanita itu kembali menglahap makanan masing-masing. Sedangkan Aren, menatap bingung sebuah lotus pink di samping peralatan makannya.

            Who have put this here?” gumamnya, mengambil lotus tersebut dan menatapinya bingung.

            “Not me!” kata Oik, Nyopon, dan wanita itu bersamaan.

            Aren menatapi ketiganya satu persatu. Dan menggeleng bingung. Tatapan Aren beralih pada Ray yang tengah sibuk melahap makanannya, “Did you?” tanya Aren.

            “Huh?” Ray mendongak menatapnya dengan wajah bingung dan kembali melahap makanannya.

            Aren mendengus, “Why lotus? Why not rose?” dumelnya.

            Diam-diam, Ray tersenyum kecut dan memasukkan kata ‘rose’ ke dalam memori otaknya tentang Aren. Apa? Ray? Ya. Memang dia yang meletakkan lotus itu di dekat peralatan makan Aren.

^^^

            Kelimanya turun dari Volkswagen itu. Lycee Louis-le-Grand berada tepat di depan mereka. Sekolah terbaik di Paris berada di depan mata mereka! Wanita itu kembali berjalan mendahului keempatnya. Ia berbicara dengan seorang laki-laki berpakaian security yang sedang berjaga di depan pintu utama Lycee Louis-le-Grand.

            Setelah beberapa menit berbicara, wanita itu menengok kepada Aren, Oik, Ray, dan Nyopong. Menyuruh keempatnya untuk kembali berjalan mengikutinya. Kelimanya masuk. Kemewahan sekolah itu jelas terlihat dari setiap bagian sudutnya. Keempatnya hanya mampu berdecak kagum.

            Mereka berlima pun mulai berjalan menyusuri setiap bagian Lycee Louis-le-Grand. Tentu saja dengan wanita itu sebagai ‘tour gide’nya.

            Begitu tiba di taman, di tengah-tengah bangunan itu, mata Ray tak sengaja terantuk pada tanaman rose di bawah pohon maple. Ray melihat wanita itu, Nyopon, Oik, dan Aren yang sedang duduk di bangku taman. Dengan cepat, Ray memetik sebuah rose dan menyembunyikannya di belakang punggungnya.

            Setelah itu, ia memaksa duduk di antara Nyopon dan Aren. Nyopon hanya meringis melihatnya. Sedangkan Aren, ia kembali bingung dengan tingkah aneh Ray ini. Pasalnya, tidak hanya kali ini saja Ray bertingkah aneh di depannya.

            Je t’aime..” bisik Ray seraya mengeluarkan rose dari balik punggungnya dan menyerahkannya pada Aren.

            Aren menatap Ray dengan sebal, “Are you kidding me, huh?” lantas tersenyum dan memasukkan rose pemberian Ray ke dalam tasnya, “But thanks for the rose.”

^^^

            Tak terasa, sudah seminggu mereka berempat berada di Paris. Saat ini, keempatnya baru saja turun dari pesawat yang sempat transit di Bandara Soekarno Hatta. Sudah ada kedelapan sahabat Aren dan Oik yang menunggu di lobby Bandara Adi Soecipto Malang. Keempatnya menggeret koper masing-masing menuju lobby.

            “Aren! Oik!” Nova memekik keras ketika melihat Aren dan Oik dari kejauhan.

            “Kalian!” Aren dan Oik balas memekik, keduanya pun berjalan kea rah mereka berdelapan dengan lebih cepat.

            Begitu sampai di di depan mereka berdelapan, langsung saja Aren dan Oik menjadi bulan-bulanan. Mulai dari dipeluk, dicubit, dicium, ditodong oleh-oleh, dll. Setelah itu, muncul seorang laki-laki dari belakang mereka berdelapan dan menghampiri Oik.

            “Alvin,” sapa Oik, gadis itu tersenyum lebar.

            Alvin tersenyum padanya dan menyerahkan sebuah bingkisan, “Welcome home, Ik.”

            Sementara itu, kedelapan sahabat Aren dan Oik mulai menggeledah tas keduanya untuk mencari oleh-oleh. Aren dan Oik membiarkannya. Oik sedang sibuk dengan Alvin. Sedangkan Aren, sedang sibuk dengan Ray dan Nyopon.

            “Kamu pulang dengan siapa, Ren?” tanya Ray seraya tersenyum kikuk.

            Aren kembali mengerutkan dahinya, “Kamu ga lihat sahabat-sahabatku?” Aren mengedik pada kedelapan sahabatnya, “Aku pulang dengan mereka, Ray. Kenapa?”

            Ray hanya menggeleng, “Ga. Hanya saja.. Kalau kamu ga tau mau pulang dengan siapa, kamu bisa bareng aku.”

            “Oh..” Aren mengangguk mengerti dan tersenyum berterima kasih, “Terima kasih tawarannya. Tapi mereka sudah menjemput aku dan Oik.”

^^^

            Pagi-pagi sekali, keesokan harinya, ketika Aren sedang memakai sepatu di teras rumahnya, ada seseorang yang berdiri di sana dengan membawa sebuket bunga. Aren memincingkan matanya bingung dan bangkit untuk membuka pagar.

            “Cari siapa, Mas?” tanya Aren seraya membuka pagar.

            Lelaki itu mengintip secarik kertas yang ia ambil dari sakunya, “Mba’ Arenmya ada?”

            Aren mengangguk dan menunjuk dirinya sendiri, “Iya, saya sendiri.”

            “Ini ada kiriman bunga,” lelaki itu mengangsurkan sebuket rose pada Aren lengkap dengan bolpoin dan tanda terima, “Sekalian ditanda tangani, ya, Mba’, tanda terimanya.”

            Aren menerima rose itu dan memeluknya dengan tangan kiri. Tangan kanannya sibuk membubuhkan tanda tangan. Setelah itu mengembalikan tanda terima beserta bolpoin kepada kurir itu.

            “Dari siapa, ya, Mas?” tanya Aren.

            Kurir itu menggeleng tak tau, “Mungkin di dalamnya ada suratnya, Mba’.”

            Aren mengangguk. Kurir itu pun beralih pergi. Aren menutup kembali pagar rumahnya dan masuk ke dalam. Ia bertemu mamanya di ruang tamu yang sedang bersiap akan mengantarnya. Aren membuka surat yang diselipkan di antara rose itu.

            Mata Aren meneliti setiap huruf yang tertera di sana, “Ray.” desah Aren.

^^^

            Bel pulang sekolah sudah berbunyi dari sejam yang lalu. Dan sayangnya, tinggal Aren yang belum dijemput. Kesembilan sahabatnya telah pulang semenjak bermenit-menit yang lalu. Aren tertunduk lesu di depan gerbang SMP Mariskova.

            Aren menatap sekeliling dan kembali mendesah, “Mama ke mana, sih? Mama lupa jam menjemput aku, ya?” tanyanya, entah kepada siapa.

            Tiba-tiba saja, ketika Aren sedang memainkan ponselnya, sebuah motor berhenti di depannya. Aren pun mendongak. Seorang laki-laki sedang melepas helm fullfacenya. Aren terlihat kaget ketika mengetahui siapa yang kini tengah berada di hadapannya.

            “Ray?” pekik Aren.

            Ray tersenyum lebar lalu turun dari motornya, “Kenapa belum pulang, Ren?” tanyanya, lalu Ray mengeluarkan setangkai rose yang masih segar dan menyerahkannya pada Aren.

            “Terima kasih.” Aren kembali terlihat kesal ketika ingat mamanya tak kunjung menjemput, “Mamaku belum menjemput. Apa mungkin dia lupa jam menjemputku? Ditelpon juga ga bisa.” dumelnya.

            “Aku antar pulang, ya?” tawar Ray.

            Aren menggeleng, “Ga usah! Iya, ga usah! Mamaku sebentar lagi pasti datang.” pekiknya.

            Ray mengusap-usap telinganya, “Ga usah teriak, Ren.” Ray tertawa dibuatnya, “Yakin ga mau aku antar saja?” tawar Ray, sekali lagi.

            “Ga usah. Sudah, sana. Kamu pulang saja. Ini kan sudah sore.” Aren mendorong Ray untuk naik ke motornya dan memakaikan helmnya, “Bye, Ray!” Aren melambaikan tangannya pada Ray.

            “Mamamu ga bisa ditelpon, kan? Mau sampai kapan kamu menunggu di sini?” tanya Ray, mencoba membujuk Aren kembali.

            Aren terlihat sebal. Tanpa berkata apa-apa lagi, akhirnya Aren naik ke boncengan motor Ray. Ray pun melajukan motornya. Dengan senyum yang tersungging di balik helmnya ketika melihat wajah masam Aren melalui kaca spion.

^^^

            Keesokan harinya, kesepuluh sahabat karib itu sedang duduk-duduk di kantin sekolah. Kebetulan, bel pulang baru saja berbunyi. Langsung saja kesepuluhnya berlari menuju kantin karena tak sempat makan pada saat jam istirahat kedua tadi.

            Aren baru saja kembali dari toilet dan segera duduk di samping Shilla. Aren melihat kesembilan sahabatnya itu telah memesan makanan dan sibuk dengan makanan masing-masing. Aren pun mencubit pelan lengan Shilla.

            “Apa, sih, Ren?” Shilla mengalihkan pandangannya dari makanannya pada Aren.

            Aren menampakkan wajah sebalnya, “Kenapa sudah pesan makanan semua?”

            “Kamu lama, sih! Sudah, pesan makanan dulu sana. Keburu sore.” Shilla pun kembali sibuk dengan makanannya.

            Aren menatap sebal kesembilan sahabatnya itu dan bangkit untuk memesan makanan. Untung saja kantin saat itu tidak terlalu ramai. Jadi Aren tidak perlu mengantri lama dan membiarkan cacing di perutnya berteriak-teriak terus.

^^^

            Ray memarkirkan motornya di salah satu sudut parking area SMP Mariskova. Ia pun mematikan mesin motornya, melepas helmnya, dan berjalan menyusuri setiap sudut SMP Mariskova dengan masih mengenakan seragamnya yang terbalut dengan jaket berwarna biru tua. Alhasil, ia sukses menjadi tontonan siswa-siswi SMP Mariskova lainnya.

            Kebetulan, ketika ia melewati kantin, ia melihat Oik dan kedelapan sahabat Aren lainnya sedang melahap makanan. Dan, ada tas Aren di sana. Langsung saja Ray menghampiri kesembilannya dan menepuk bahu Oik.

            “Ray? Ada apa? Kok, ke sini?” tanya Oik.

            “Aren mana?” tanya Ray balik.

            Oik mengedik pada tempat memesan makanan, “Lagi pesan makanan. Cari Aren, ya?”

            Ray mengangkat bahunya dengan cuek. Ia mengeluarkan setangkai rose dari dalam tasnya dan memasukkannya pada tas Aren, “Ik, kalau Aren tanya ini rose dari siapa, bilang kalian ga tau, ya!”

            Oik dan kedelapan sahabat Aren itu pun mengangguk. Ray tersenyum lega. Setelahnya, ia membisikkan sesuatu kepada kesembilan gadis itu. Pada akhir bisikannya, ia tersenyum lebar yang disambut acungan jempol kesembilan gadis itu.

            “Oke. Aku duluan, ya!” pamit Ray, ia tersenyum pada kesembilan gadis itu dan berlalu pergi.

            Ray berjalan menuju parking area dan melajukan motornya ke suatu tempat. Sebuah nama tempat yang telah ia sebutkan tadi ketika membisikkan sesuatu kepada kesembilan sahabat Aren. Lagi-lagi, senyum tersungging dari bibirnya.

^^^

            “Aren beruntung, ya!” celetuk Acha.

            Ify membekap mulut Acha ketika mengetahui Aren tengah berjalan ke arah mereka dengan membawa makanan dan minumannya, “Sssstt!! Ada Aren!”

            Aren pun duduk di samping Shilla dan segera melahap makanannya. Ia tak menyadari bahwa kesembilan sahabatnya itu sedang saling lirik dan sesekali memandanginya penuh arti. Dalam sepuluh menit pun, makanan kesepuluhnya telah ludes.

            Aren membuka tasnya, ia mencari ponselnya. Tak sengaja, ia menemuka setangkai rose di sana. Ia mengambilnya keluar bersamaan dengan ponselnya. Ia menatapi kesembilan sahabatnya satu persatu dengan curiga.

            “Siapa yang taruh ini di tasku?” tanyanya, kesembilan sahabatnya hanya menggeleng, Aren mendengus kesal.

            Tiba-tiba saja, Zahra –yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya- angkat bicara, “Kalian mau ikut aku?” tanyanya.

            “Ke mana?” tanya Sivia.

            Zahra tersenyum lebar, “Ad ataman yang baru selesai dibangun. Dekat rumahku. Bagus, deh. Mau, ya?” ajak Zahra.

            “Boleh.” Aren mengangguk, kedelapan gadis lainnya pun ikut mengangguk.

^^^

            Aren dan yang lainnya memandang sekeliling. Taman di dekat rumah Zahra itu memang masih baru. Buktinya, belum ada sampah tercecer dimana-mana. Dan lagi, belum ada pengunjung lain selain mereka. Aren tersenyum lebar ketika mengetahui ada berbagai tanaman rose di salah satu sudut taman itu.

            “Ayo ke sana!” ajak Aren, kesepuluhnya pun melenggang.

            Ketika telah sampai di area khusus rose itu, Aren pun duduk di hamparan rerumputan dan memandangi rose-rose itu dengan mata berbinar. Kesembilan sahabatnya masih tetap berdiri di belakang Aren.

            Tak sengaja, mata Aren tertuju pada siluet seorang lelaki yang sedang memotret. Masalahnya, lelaki itu membelakanginya. Aren menatap lelaki tiu tak berkedip. Ia merasa mengenali siluet itu. Aren pun berdiri dan berjalan menghampiri siluet itu.

            Aren menepuk pundak laki-laki itu hingga membuatnya menengok pada Aren. Aren terlihat kaget bercampur senang, “Ray?”

            “Eh, ada Aren..” Ray pun menghentikan aktivitas memotretnya.

            Aren duduk lalu menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, “Duduk sini, Ray.” Ray pun duduk, “Motret apa?” tanya Aren.

            “Banyak. Kamu lihat saja sendiri.” kata Ray.

            Ray melepaskan kalungan camera dari lehernya dan mengangsurkannya pada Aren. Aren terlihat serius menatapi bidikan camera Ray. Ray melihatnya sekilas dan tersenyum. Lalu Ray kembali menatap lurus ke depan.

            Foto pertama. Hamparan rose berwarna kuning. Setelah Aren memincingkan matanya, ada rose berwarna merah di tengah hamparan rose kuning tersebut yang membentuk huruf ‘I’. Foto kedua membentuk huruf ‘L’ dan foto ketika membentuk huruf ‘Y’. Aren melirik Ray sekilas dan kembali melihat foto-foto selanjutnya.

            Masih ada lima belas foto lagi yang formatnya sama persis dengan tiga foto terdahulu. Aren mencoba merangkai huruf-huruf di kelima belas foto tersebut dengan dahi berkerut bingung.

            ‘W’ ‘O’ ‘U’ ‘L’ ‘D’ ‘Y’ ‘O’ ‘U’ ‘B’ ‘E’ ‘M’ ‘I’ ‘N’ ‘E’ ‘?’

            Would you be mine?

            “Ray..” Aren terperangah. Ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Ia mengerjap tak percaya. Beberapa detik kemudian, tangan kirinya ia turunkan dari mulutnya, “Kamu..”

            Ray mengalihkan pandangannya kepada Aren dengan santai, “Kenapa, Ren?”

            “Ini---,” Aren masih tak percaya.

            “Serius, kok. Gimana? Bagus?” tanya Ray.

            Aren mengerjap tak percaya, “Iya, bagus. Tapi, kamu tau, bukan itu yang ku maksud.”

            Ray mengangguk dan tersenyum tipis, “So, what’s tour answer?”

            Aren pun meletakkan camera Ray di sampingnya dan menatap Ray untuk sesaat. Berikutnya, Ray telah merasakan tangan gadis itu memeluknya.

            “Ray..” rengek Aren.

            “Apa ini artinya iya?” tanya Ray, sekedar untuk memastikan.

            Aren mengangguk. Semburat pink mulai muncul di kedua pipinya. Ray tersenyum lebar. Kesembilan sahabat Aren di belakang sana pun berteriak kegirangan. Pasalnya, mereka adalah bagian dari skenario yang Ray buat tadi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SESUATU YANG BARU [05] : Tentang Sivia

            Sivia baru saja tiba di rumah pohonnya. Ketika itu, Ify dan Oik sedang berbincang heboh seraya saling melempar bantal. Lalu, tiba-tiba saja, kepala Sivia muncul dari pintu rumah pohon mereka. Setelahnya, Sivia pun bergegas menuju ranjangnya dan langsung mengehempaskan badan, tanpa berganti pakaian terlebih dahulu.

            Oik kembali melemparkan sebuah bantal ke arah Ify. Ify pun menengok. Oik menunjuk Sivia dengan dagunya, Ify otomatis mengerti dan membalikkan tubuhnya pada Sivia.

            “Baru selesai berlatih, Siv?” tanya Ify, hanya terdengar sebuah gumaman tak jelas dari Sivia dan anggukkan samar gadis berambut pendek itu.

            “Sudah makan malam?” tanya Ify lagi, tak terdengar jawaban, Sivia menggeleng perlahan.

            Oik terlonjak kaget. Gadis berbehel itu pun segera berdiri dan berkacak pinggang menatap Sivia, “Sudah minum obat?” tanyanya dengan lantang.

            Sivia berbalik, menatap Ify dan Oik bergantian secara sekilas dan kembali menutup wajahnya dengan selimut, “Belum.” gumamnya.

            “Lalu, kenapa tidak minum obat sekarang?” pekik Oik.

            Sivia menurunkan selimut dari wajahnya. Ia ambil sebuah bantal dan ia lemparkan tepat di wajah Oik, “Bagaimana, sih, kamu?! Kan, tidak boleh minum obat kalau belum makan!”

            Ify menutup telinganya ketika mendengar pekikan Oik dan Sivia, “Sssstt!! Ya sudah, makan sekarang saja, Siv..”

            “Aku sudah mengantuk!” jawab Sivia, pendek.

            Ify dan Oik hanya mampu berdecak menghadapi perilaku Sivia. Sivia langsung tenggelam dalam selimutnya dan tertidur, tidak menghiraukan Ify dan Oik yang khawatir akan keadaannya. Perlahan, Ify dan Oik dapat memaklumi perilaku Sivia yang cenderung menyebalkan itu. Mungkin karena gadis itu terlampau lelah.

^^^

            Pagi-pagi sekali, keributan jelas terdengar dari dalam kamar mandi. Mulai dari suara gemericik air dari shower, bunyi benda-benda yang terjatuh, dan suara melengking seorang gadis yang sedang mengatur temperatur showernya. Ya, dia Sivia. Ia sudah bangun pagi buta tadi.

            Beberapa menit kemudian, ketika sinar sang mentari baru saja menyembul masuk ke dalam rumah pohon, Sivia keluar dari dalam kamar mandi dengan sudah mengenakan seragamnya.

            Sivia pun bergegas menuju meja belajarnya dan menyiapkan keperluannya bersekolah dengan cepat. Lagi-lagi, banyak barang berjatuhan karenanya. Dan karenanya, Ify terbangun dengan kaget. Sivia sukses membangunkan sang ratu tidur itu hanya dalam sekejap.

            “Sivia? Sedang apa?” tanya Ify, matanya belum terbuka sempurna ketika itu.

            Sivia mengedik padanya beberapa saat dan kembali sibuk dengan keperluan sekolahnya, “Mau cepat-cepat ke kelas. Latihan lagi sama Aren, Agni, Irsyad, dan Alvin.” katanya.

            Karena penasaran, dan karena Sivia yang berdiri membelakanginya, Ify menyibak selimutnya dan berdiri lalu melangkah ke arah meja belajar Sivia. Sebelumnya, ia telah menggoyang-goyangkan kaki Oik agar gadis mungil itu juga terbangun. Sadar akan Oik yang mulai beranjak dari mimpinya, Ify kembali melangkah menuju tempat Sivia saat ini.

            “Nah! Aku duluan, Fy, Ik!”

            Baru saja Ify membuka mulutnya untuk kembali bertanya, Sivia sudah berbalik ke arahnya seraya menggendong tasnya. Ify menatapnya bingung. Tepat ketika Sivia telah sampai di bawah sana, Oik menyentuh pundak Sivia dengan salah satu alis terangkat.

            “Sivia, kok, tumben sudah berangkat?” tanya Oik.

            Ify menggeleng tak mengerti seraya mengangkat bahunya, “Ga tau.” Ify tak sengaja menengok pada American breakfast milik Sivia yang masih utuh, “Sivia ga sarapan?!” desahnya.

            Oik menggeleng. Ia pun bergegas menuju jendela dan membukanya. Terlihat Sivia yang belum jauh dari rumah pohonnya, “SIVIA! GA SARAPAN SAJA DULU?” teriak Oik.

            Sivia berbalik dan mendongak menatap Oik. Ia menggeleng pelan, “GA USAH!”

            Sebelah alis Oik kembali terangkat, “GA MINUM.....” Oik sengaja menggantungkan kata-katanya.

            Sivia terlihat bingung untuk beberapa detik. Lalu akhirnya ia kembali menggeleng dan tersenyum tipis kepada Oik, “GA USAH. I’LL BE FINE, IK.” teriak Sivia, lagi.

^^^

            Begitu sampai di Kelas Seni Suara, Sivia mendapati keempat teman sekelompoknya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Aren dan Agni yang sedang melahap American breakfastnya. Irsyad dan Alvin yang tengah berkutat dengan lima kertas bertuliskan lirik lagu Jet Lag.

            “Hay!” sapa Sivia ketika ia baru saja duduk di antara Aren dan Irsyad.

            “Eh, Sivia..” sapa Agni balik, ketika ia baru saja selesai mengunyah omelettenya.

            Sementara Aren, ia hanya mengangkat tangan kanannya sekedar untuk berhigh five dengan Sivia. Sivia menyambutnya dengan tertawa lebar.

            “Sudah.. Lanjutkan saja dulu sarapannya, Ren, Ag.” kata Sivia, ketika ia melihat kedua temannya itu baru saja membuka mulut lagi untuk mengobrol dengannya.

            Aren dan Agni mengangguk. Sivia lalu beralih pada Irsyad dan Alvin. Keduanya masih saja sibuk dengan kertas yang sudah dicoret-coret untuk pembagian suara dll. Sivia menepuk pundak Irsyad dan ikut melongok pada kertas-kertas itu.

            “Sudah selesai pembagiannya?” tanya Sivia, masih terpaku pada kertas yang digenggam Irsyad.

            Alvin dan Irsyad mengangguk. Sivia pun mengangguk mengerti, “Kertasku yang mana?” tanya Sivia, tangannya mengobrak-abrik ketiga kertas yang tercecer di depan Irsyad dan Alvin.

            “Yang ini..” Sivia mendongak dan tersenyum lebar ketika ia mendapati Alvin tengah menyodorkan sebuah kertas.

            Sivia menerimanya, “Merci..”

^^^

            “Dan kelompok terakhir yang akan maju adalah Agni and friends..” ucap Madam Eva.

            Agni menghirup udara sebanyak-banyaknya. Akhirnya, ia pun berdiri. Diikuti oleh Sivia, Aren, Irsyad, dan Alvin. Kelimanya berjalan menuju depan kelas. Pertama-tama, kelimanya berbaris sejajar memanjang menghadap teman-temannya dengan saling bergandengan tangan. Lalu, sedikit membungkuk untuk member hormat. Dan kemudian, siap pada posisi masing-masing.

What time is it? Where you are?
I miss you more than anything
Back at home you feel so far
Waiting for the phone to ring

It’s getting, lonely living upside down
I don’t even wanna be in this town
Trying to figure out the time zones
Making me crazy

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

What time is it? Where you are?
Five more days and I’ll be home
I keep your picture in my car
I hate the thought of you alone

I’ve been keeping busy all the time
Just to try to keep you off my mind
Trying to figure out the time zones
Making me crazy

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

I miss you so bad
I wanna share your horizon
And see the same sun rising
Turn the hour hand back to
When you were holding me

You say good morning when it’s midnight
Going out of my head alone in this bed
I wake up to your sunset, and it’s driving me mad
I miss you so bad and my heart, heart, heart is so jet lagged, so jet lagged

(Jet Lag – Simple Plan ft Natasha Bedingfield)

            Tepukan tangan mulai terdengar. Semakin bergerumuh dengan seiring berakhirnya lagu yang mereka berlima bawakan. Madam Eva pun ikut bertepuk tangan dan tersenyum tipis. Mereka kembali saling bergandengan tangan dan sedikit membungkuk. Tepuk tangan kembali terdengar. Kelimanya tersenyum lebar dan kembali duduk.

            “Thank God! Kita bisa!” kata Alvin, setengah tak percaya.

            Sivia hanya tersenyum. Perlahan tapi pasti, sakit mulai menjalari lengannya –yang didiami tumor itu- dan juga kepalanya. Pandangan Sivia mulai kabur, ia meremas tangan Agni yang –kebetulan- berada di dekatnya. Hingga akhirnya... Gelap.

            “Madaaam! Sivia pingsaaan!” teriak Agni.

^^^

            Madam Eva dan sang kepala sekolah baru saja tiba di rumah sakit tempat Sivia biasa check up. Dua orang suster segera memindahkan Sivia ke sebuah bed dan mendorongnya menuju ruang periksa. Madam Eva dan sang kepala sekolah menunggu di luar dengan perasaan khawatir.

            Beberapa menit kemudian, seorang dokter laki-laki yang masih cukup muda pun keluar lalu menghampiri keduanya, “Sivia dehidrasi. Kurang istirahat juga. Tapi perlu ada serangkaian tes yang harus ia jalani dan mengharuskan ia untuk opname beberapa hari.” Jelas dokter tersebut, tanpa ditanya.

            “Tapi tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan, kan, Dok?” tanya Madam Eva.

            Dokter itu menggeleng, “Tidak. Tenang saja. Kalian bisa kembali ke sekolah. Biar nanti saya yang mengabari orang tuanya.”

            Madam Eva dan sang kepala sekolah mengangguk. Keduanya pun berjabat tangan dengan sang dokter dan berlalu setelahnya.

^^^

            Perlahan, kelopak mata Sivia mulai terbuka. Ketika itu, dua orang suster sedang ada bersamanya. Seorang suster yang memasang infusnya, dan seorang lagi yang sedang membereskan peralatan pemeriksaan.

            Sivia menggeram kecil ketika menyadari ia telah berada di rumah sakit. Suster yang telah selesai memasang infusnya pun tersenyum padanya.

            “Kamu dehidrasi, Sivia..” katanya.

            Setelahnya, dua orang suster itu pun meninggalkannya. Selang beberapa menit, seorang dokter masuk untuk menengok keadaan Sivia. Sivia terlihat agak bingung ketika melihat dokter itu, bukan dokter yang biasa menanganinya.

            “Dokter Wirya sudah dipindah tugaskan ke rumah sakit lainnya,” kata dokter itu. Ia tersenyum lembut pada Sivia, “Saya dokter barumu. Gabriel.” Dokter Gabriel mengulurkan tangannya pada Sivia.

            Sivia mengangguk dan membalas uluran tangan dokter barunya itu dengan senyuman tipis, “Saya Sivia. Kalau boleh saya tau.. Kenapa saya bisa ada di sini, Dok?”

            Gabriel tersenyum. Ia mengambil sebuah kursi plastik yang tak jauh darinya dan meletakkannya tepat di samping bed Sivia. Ia dudukki kursi itu, “Panggil saya Gabriel saja. Saya dokter baru di sini.”

            “Iya, tapi saya sudah pernah melihat kamu bersama Dokter Wirya..” seru Sivia.

            Gabriel menjentikkan jarinya, “Kamu masih ingat rupanya. Dan, oh ya. Soal kamu yang telah berada di sini, tadi dua orang dari sekolahmu membawamu ke sini dalam keadaan pingsan. Tapi mereka berdua sudah kembali ke sekolahmu. Tanpa mengetahui penyakitmu.”

            Sebelah alis Sivia terangkat, “Lalu?”

            Mimik wajah Gabriel berubah, “Ada berita buruk.”

            “Apa?” tanya Sivia lagi.

            Gabriel menatap Sivia dalam. Seolah-olah itu adalah salah satu cara paling ampuh untuk menguatkan hati seseorang, “Saya baru saja melihat hasil tes yang baru saja kamu jalani. Dan hasilnya..... Buruk.”

            “Seburuk apa, dok... Eh, maksud saya... Seburuk apa, Gab?” Sivia masih saja sempat tersenyum.

            “Tumor di lenganmu itu... Telah berubah menjadi kanker. Beberapa centi tulangmu pun sudah hampir lapuk karena kanker itu. Jadi, kamu harus menjalani operasi dalam beberapa hari kedepan.”

            Sivia sudah menutup mulutnya dengan tangan. Ia terlampau kaget dengan berita yang baru saja ia dengar. Badannya mulai bergetar hebat karena menahan tangis.

            Gabriel jadi serba salah. Ia hanya mempu menggenggam tangan kiri Sivia erat-erat, “Tenang. Besok sore kamu sudah dioperasi. Tulang lenganmu yang sudah lapuk itu akan kami ganti dengan tulang dari panggulmu.”

            “Lalu? Bagaimana dengan panggulku?” tanya Sivia dengan suara bergetar.

            “Panggulmu akan baik-baik saja. Tulang di sana nanti akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Karena ini merupakan operasi besar, setelah operasi kamu harus benar-benar bed rest selama satu hari penuh.”

            Sivia mengangguk mengerti. Getaran tubuhnya pun mulai berangsur menghilang. Redaman isakannya juga sudah mulai tak terdengar. Gabriel kembali manatpnya dalam dan tersenyum.

            “Kamu tidak mau memberitahu orang tuamu dan kedua temanmu itu?” tanyanya.

            Sivia mengangguk saja.

^^^

            Pagi-pagi sekali, Sivia sudah selesai membersihkan badannya. Sarapan yang telah disediakan oleh rumah sakit pun langsung ia lahap. Begitupula obat-obatan yang diperuntukan baginya. Pukul tujuh tepat, Sivia sudah selesai melahap semuanya.

            Sivia kembali berbaring di bednya. Tangan kanannya terulur untuk mengambil sebuah apel merah yang tak jauh darinya. Ia memakan apel itu, tanpa mengupas ataupun memotong-motongnya terlebih dahulu.

            Tiba-tiba saja, terdengar ketukan dari luar sana. Beberapa detik kemudian, kepala seseorang menyembul dari luar. Gabriel. Sivia tersenyum lebar padanya. Gabriel pun masuk dan menghampiri Sivia.

            “Ayo, cepat mandi!” perintah Gabriel.

            “Sayang sekali, dokter.. Aku sudah mandi,” balas Sivia, lalu kembali menggigit apelnya.

            “Ya sudah.. Ayo makan, lalu minum obat.” perintah Gabriel lagi.

            Sivia meliriknya dan tersenyum mengejek, “Sudah juga,”

            Gabriel terlihat kaget. Ia hanya tersenyum samar, “Baiklah, baiklah. Cepat habiskan apelmu karena sebentar lagi aku akan mengajakmu berkeliling rumah sakit.”

            Sivia tiba-tiba saja mengubah posisinya menjadi duduk. Matanya berbinar, “Benar? Oke!”

            Dengan cepat, Sivia menghabiskan apelnya. Gabriel tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Setelah itu, Sivia pun turun dari bednya dan mengenakan sebuah sandal yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit.

            “AYO!!” ajak Sivia, dengan bersemangat.

            Gabriel mengernyit bingung melihat Sivia yang sudah berdiri di hadapannya. Dan itu membuat Sivia semakin kesal. Memangnya tadi siapa yang mengajaknya berkeliling rumah sakit? Dan sekarang, siapa yang membuat rencana itu terhambat?

            “Kenapa lagi, Gabriel?” Sivia merengek, “Ayo kita berkeliling rumah sakit!” Sivia sampai menarik-narik lengan Gabriel karenanya.

            “Kamu mau berkeliling dengan jalan kaki? Serius?” tanya Gabriel.

            Sivia melengos, “Ya iya, Gab! Mau bagaimana lagi? Masa iya kamu menggendongku?!”

            Gabriel gelagapa, “Bukan! Bukan itu maksudku! Kamu pakai kursi roda!”

            Sivia melotot kaget. Lalu, Gabriel mengambil sebuah kursi roda yang sedari tadi berada di sudut ruang rawat Sivia. Gabriel mendorongnya menuju tempat Sivia terkaget-kaget.

            “Tunggu apa lagi? Katanya mau berkeliling rumah sakit..” goda Gabriel.

            Sivia cemberut lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Kenapa harus pakai kursi roda, sih?!”

            “Sudah. Duduk saja. Mau jalan-jalan ga?” ujar Gabriel.

            Sivia melengos malas untuk yang kedua kalinya. Tapi akhirnya, ia duduk juga di atas kursi roda itu. Gabriel tertawa. Gabriel pun mendorong kursi roda tersebut mengelilingi rumah sakit. Menjelajahi setiap sudut salah satu rumah sakit terbaik itu bersama seorang pasien barunya.

            “Itu apa, Gab?” tanya Sivia, tangannya menunjuk sebuah pondok bamboo kecil yang terletak di tengah-tengah salah satu taman rumah sakit.

            Gabriel mengikuti arah jemari Sivia, “Tempat main anak kecil. Biasanya pasien anak-anak suka bermain di situ ketika sore hari.”

            “Kalau pagi-pagi begini, pasien anak-anak biasanya di mana?” tanya Sivia, ia mendongak menatap Gabriel.

            Gabriel terlihat berpikir sebentar, “Mungkin mereka ada di perpustakaan. Tepat di samping kantin. Kamu mau ke sana?” tawarnya.

            Sivia mengangguk bersemangat, “Boleh! Ayo kita ke sana! Tapi nanti traktir aku di kantin, ya, Gab..” bujuk Sivia, Gabriel mengangguk saja.

^^^

            Gabriel membuka pintu perpustakaan dan mendorong kursi roda Sivia masuk. Sivia langsung tersenyum lebar ketika melihat sekelompok anak kecil sedang menggambar di salah satu sudut perpustakaan yang dihampari oleh karpet berwarna merah marun.

            Sivia pun menggerakan kursi rodanya menuju sekelompok anak itu. Gabriel membiarkannya. Tepat ketika Sivia telah sampai di sana, Gabriel berangsur duduk di salah stau kursi yang dekat dengan rak-rak berisikan buku pengetahuan. Gabriel mengambil salah satunya dan membacanya.

            Sivia perlahan turun dari kursi rodanya dan duduk di samping seorang anak kecil yang sedang menggambar dengan mimik serius.

            “Gambar apa, dek?” tanya Sivia, ia mengintip gambaran anak kecil itu.

            Anak kecil itu mengedik ke arah Sivia dan tersenyum lucu, “Ini gambal lumah cakit, kakak.”

            Sivia kembali tersenyum dan ikut larut dalam dunia mereka. Hingga tanpa disadarinya, hari sudah beranjak siang. Kalau tidak karena Gabriel yang menghampirinya dan mengajak makan siang, mungkin ia akan di sini terus bersama anak-anak kecil itu.

            “Kamu traktir aku, lho, Gab. Tadi kamu sudah janji!” seru Sivia, matanya memelototi setiap makanan yang tersaji di kantin rumah sakit itu.

            Gabriel mengangguk, “Ya sudah. Kamu mau makan apa?” tanyanya.

            Sivia berdecak pelan, bingung memilih makanan, “Terserah, deh. Aku bingung mau piluh yang mana. Pilihkan yang paling enak saja.”

            Lagi-lagi Gabriel hanya mengangguk. Ia menyebutkan beberapa nama makanan kepada sang pramusaji dan, kemudian, mendorong kursi roda Sivia ke sebuah meja yang kosong. Beberapa menit kemudian, makanan sudah tersaji di meja mereka. Mereka melahapnya ketika itu juga.

^^^

            Begitu Sivia membuka matanya sore itu, Ify dan Oik sudah berada di samping bednya. Kedua sahabatnya itu sedang tersenyum lebar kepadanya. Sivia tertawa. Apalagi ketika keduanya menyodorkan sebuket mawar merah kepadanya.

            “Kalian ngapain bawa mawar, sih?” tanya Sivia, disela-sela laju tawanya.

            Oik menggeleng tak tau, “Tanya Ify saja. Tadi dia yang memaksa bawa mawar buat kamu.”

            Sivia memberikan tatapan menyelidiknya pada Ify. Ify hanya tersenyum lebar dengan jari telunjuk dan tengah yang terangkat, “Sorry, Siv. Habis aku ga tau bunga apa yang biasa dibawa untuk orang yang lagi sakit.”

            “Dasar Ify,” lirih Sivia, kepalanya menggeleng pelan, “Selalu ga jelas.” lanjutnya.

            Ify melotot, “Apa, Siv? Selalu ga jelas?” dan dengan brutalnya, Ify mencubiti lengan Sivia hingga memerah dan Sivia yang tertawa nyaring sekali.

            “Ada apa ini?” suara seseorang terdengar menggema di ruang perawatan Sivia, ketiga gadis itu langsung menengok ke sumber suara.

            Ify dan Oik hanya saling pandanga dengan tatapan bingung. Sedangkan Sivia melambaikan tangannya pada laki-laki di ambang pintu tersebut, “Gab! Sini!” oh, Gabriel.

            Gabriel berjalan ke arah ketiganya dengan senyum mengembang menatap Ify dan Oik. Ify dan Oik menyikut Sivia dan bertanya kepada Sivia siapakah laki-laki itu dengan gerakan bibir. Sivia hanya mengedik pada Gabriel, tanpa memberikan penjelasan apapun.

            “Halo! Saya Gabriel, dokter barunya Sivia.” ujar Gabriel, menyalami Ify dan Oik bergantian. Ify dan Oik mengangguk mengerti.

            Gabriel pun beralih pada Sivia, “Suster akan ke sini sebentar lagi. Kamu operasi 30 menit lagi, ya?”

            “Oke,” Sivia menganggung, “Ify dan Oik bisa menunggu di ruang tunggu, kan?” tanyanya balik, Gabriel pun mengangguk.

            Tepat saat itu juga, dua orang suster memasukki ruang rawat Sivia. Salah satunya pun mulai menyuntikkan obat bius untuk Sivia. Perlahan, rasa kantuk mulai menyergap Sivia hingga gadis itu tertidur pulas. Rombongan itu pun mendorong bed Sivia masuk ke dalam ruang operasi dan menyisakan Ify dan Oik di ruang tunggu.

^^^

            Keesokan harinya, ketika seorang suster sedang memeriksa infuse Sivia, Sivia terbangun. Suster itu pun segera memeriksa Sivia. Beruntung, operasi kemarin berjalan lancer dan tidak terjadi komplikasi dalam tubuh gadis itu.

            “Sarapan, Sivia?” tawar suster itu.

            “Iya, sus. Aku lapar.” jawab Sivia dengan lirih.

            Suster itu pun bergegas keluar untuk mengambilkan makanan. Lima menit tak kunjung kembali, Sivia agak sedikit menegakkan tubuhnya. Sayangnya, badannya terlalu lemah untuk melakukannya sendirian. Tepat saat itu, seseorang berangsur masuk dan berteriak kaget ketika melihat Sivia berusaha untuk duduk.

            Sivia menoleh sebal pada orang tersebut, “Ini masih pagi, Gabriel! Jangan berteriak seperti itu!” dumelnya.

            Gabriel berdecak. Ia segera meletakkan sebuah nampan berisikan menu makanan Sivia pagi ini di atas sebuah meja dan menghampiri bed Sivia, “Kamu ini masih terlalu lemah, Sivia. Kamu, kan, bisa panggil suster.” kata Gabriel, seraya membantu Sivia untuk duduk.

            “Terlalu lama! Suster yang mau ngambilkan aku makanan saja ga kembali-kembali dari beberapa menit yang lalu!” sewotnya.

            Gabriel kembali mengambil nampan itu dan duduk di kursi samping bed Sivia, “Ini makanan kamu,” Gabriel mengacungkannya pada Sivia, “Suster tadi dipanggil dokter senior, makanya aku langsung ngambil alih nampan makanan kamu.”

            Sivia melunak, ia menatap Gabriel dengan datar, “Ya sudah. Taruh bed saja makananku. Aku mau makan. Lapar!” desisnya.

            Kening Gabriel terlihat berkerut, “Mau makan sendiri? Lupa kalau kamu masih terlalu lemah? Biar aku yang suapi!”

            “Genit! Aku bisa makan sendiri, Gab!” ujar Sivia, ia mencubit keras-keras lengan Gabriel.

            Gabriel meringis kesakitan dan meniup-niup bekas cubitan Sivia dengan sesekali melirik melas pada gadis yang menatapnya tanpa ekspresi itu, “Siapa yang genit, Siv? Suster tadi bilang ke aku kalau kamu belum boleh makan sendiri. Rencananya, ya, suster tadi yang mau suapi kamu. Tapi ternyata--,”

            “Oke, oke. Fine! Ayo, suapi aku sekarang. Aku lapar!” Sivia mengangkat kedua tangannya, menghentikan laju ucapan Gabriel.

            “Nah!” Gabriel mengacungkan jempolnya pada Sivia dan tersenyum lebar.

            Gabriel pun perlahan menyuapi Sivia. Tentu saja dengan Sivia yang tak mau berhenti berbicara tentang apapun kalau saja Gabriel tidak kembali menyendokkan makanan untuknya. Dan sekarang, Gabriel tau seberapa cerewetnya pasien barunya ini.

^^^

            Jam makan malam telah tiba. Seluruh siswa-siswi Witchy School of Art pun berbondong-bondong menuju Caffetaria. Begitu pula dengan Ify dan Oik. Keduanya menyeruak di antara ratusan siswa-siswi lainnya dengan terburu-buru. Begitu sampai di meja mereka, keduanya pun duduk dan mengatur napas terlebih dahulu.

            “Oik? Kenapa?” tanya Cakka, begitu menyadari gadis mungil itu mengatur napas dengan diliputi keresahan luar biasa.

            Nadya menyenggol pelan perut Cakka. Cakka menengok padanya dan meringis. Sekarang, ganti Nadya yang bertanya, “Ada apa, Fy?”

            “Kita berdua.. Hhh.. Lagi bingung.. Hhh..” ujar Ify.

            “Kita.. Hhh.. Ga bisa.. Hhh.. Jemput Sivia.. Hhh..” lanjut Oik.

            “Terus, siapa yang jemput Sivia di rumah sakit?” tanya Zevana.

            “Ik, kita ada tugas kelompok sama Cakka dan Nadya. Jangan lupa. Setelah makan malam.” seloroh Lintar.

            Oik mengedik pada Lintar dan mengangguk, “Iya, aku ingat. Makanya aku bilang kalau aku dan Ify ga bisa jemput Sivia malam ini.”

            Agni mengaduk jusnya dengan bingung, “Lalu, Ify kenapa juga ga bisa jemput?”

            “Aku belum menghafalkan not-not balok sama sekali. Ini tugas. Apalagi not-notnya susah dihafal!” dumel Ify.

            Cakka menatap Oik, “Kamu, kan, tau kalau aku dan Nadya juga ga bisa jemput Sivia. Kita berdua dan kamu serta Lintar ada tugas kelompok.”

            Oik mengangguk, “Iya, aku tau..” lirihnya.

            Zevana memandang Oik dan Ify bergantian dengan tatapan memohon maaf, “Maaf, aku juga ga bisa bantu kalian berdua. Ada korea yang harus aku hafalkan untuk besok.”

            Ify pun tersenyum untuk sekedar menenangkan Zevana dari rasa bersalahnya, “Iya, aku tau. Kelasmu sangat sibuk. Ga apa-apa, kok. Mungkin yang lainnya bisa menggantikan aku dan Oik untuk jemput Sivia.”

            “Maaf, Fy, Ik.. Aku belum selesai mengerjakan tugas. Maaf banget.” kata Irsyad.

            “Aku juga belum..” Agni ikut mengiyakan perkataan Irsyad.

            Alvin meletakkan sendok serta garpunya dan menyenderkan tubuhnya pada punggung kursi, “Kebetulan tugasku sudah selesai. Jam berapa aku bisa jemput Sivia?” tanyanya. Sungguh, nadanya benar-benar datar.

            Ify melotot tak percaya, “Bener, Vin? Sungguh? Oke! Kamu bisa jemput Sivia setelah makan malam selesai. Kereta kudanya ada di gate depan. Aku dan Oik sudah izinkan ke kepala sekolah, kok.”

            Alvin hanya mengangguk.

            “Makasih, Vin! Thanks! Merci! Sankyu! Xie xie! Matur nuwun! Hatur nuhun!” Oik berkata dengan hebohnya seraya mengatupkan kedua telapak tangannya rapat-rapat di depan dada dan membungkuk dalam-dalam pada Alvin.

            Nadya, Zevana, Ify, Agni, Lintar, dan Irsyad tertawa terbahak-bahak melihatnya. Sedangkan Alvin, menahan tawanya agar tidak melaju keluar karena tindakan Oik ini. Cakka? Menatap gadis mungil itu dengan senyum yang amat sangat tipis.

^^^

            Alvin turun dari kereta kuda milik sekolahnya dan berjalan masuk ke dalam bangunan rumah sakit itu. Ia mengikuti petunjuk Oik dan Ify yang ditulis pada secarik kertas yang ia genggam. Ia mengikuti arah yang tertera di sana. Sampai akhirnya, ia tiba di dengan sebuah kamar inap dan masuk ke dalamnya.

            Alvin melongok. Ia mendapati Sivia duduk di atas bednya. Dan seorang lagi, mengenakan pakaian dokter, yang duduk membelakanginya.

            “Ehmm..” Alvin berdehem kecil.

            Sivia menengok ke arahnya dan nampak kaget. Perlahan, bibir gadis itu mulai tersenyum kikuk padanya, “Hay, Alvin! Sini!” Sivia menepuk-nepuk sebuah kursi lagi di samping sosok dokter itu.

            Alvin balik tersenyum dan berdiri di samping kursi itu, “Makasih. Tapi aku Cuma mau jemput kamu. Ify dan Oik sedang ada banyak tugas.”

            Sivia hanya mengangguk. Ia pun beralih pada sosok dokter di samping Alvin, “Gab, aku sudah boleh pulang, kan?” tanyanya.

            Gabriel mengangguk dan berangsur berdiri, “Boleh. Obatnya jangan lupa diminum. Jangan dehidrasi dan terlalu lelah lagi, ya.” pesannya, Sivia mengangguk.

            Perlahan, Sivia turun dari bednya dengan dibantu Alvin dan Gabriel. Setelahnya, Alvin merangkulnya dan membantunya berjalan mengambil tas pakaiannya. Gabriel tetap saja mengekor ke mana pun mereka berdua bergerak.

            Sivia menengok ke belakang dan tersenyum pada Gabriel dalam rangkulan Alvin, “Gab, aku pulang dulu, ya! Minggu depan, kan, jadwal check upku?”

            “Iya. Jangan mangkir lagi dari jadwal check up, Siv, kalau kamu ga mau dehidrasi dan terlalu lelah lagi!” seloroh Gabriel.

            Sivia menahan senyumnya. Gadis itu mengepalkan sebuah tangannya dan memperlihatkannya kepada Gabriel. Gabriel hanya tertawa. Disusul dengan tawa Sivia. Setelah itu, Alvin mulai menuntun Sivia untuk keluar dari ruang rawatnya, rumah sakit itu, dan masuk ke dalam kereta kuda.

            “Tadi itu siapa, Siv?” tanya Alvin.

            Sivia meliriknya sekilas, “Gabriel, dokterku.”

            “Oh,”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS