Jam berbentuk bunga tulip itu menunjukkan pukul enam pagi. Ify, Oik, dan Sivia baru saja selesai beres-beres. Kini ketiganya sedang duduk di bibir ranjang masing-masing sembari menunggu jam itu menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh.
“Sivia, nanti jadi check up?” tanya Ify, mengedik sejenak pada gadis itu.
“Jadi, kok. Kalian bener mau ikut?” tanyanya balik.
Kontan, Ify dan Oik langsung mengangguk. Suasana kembali hening. Lima belas menit lagi menuju pukul enam lewat tiga puluh. Sungguh, ketiganya sangat bosan! Mereka ingin cepat-cepat MOS. Penasaran dengan ‘kejutan’ yang telah disiapkan oleh para panitia MOS.
Tidak lama kemudian, ketiga burung mereka menyeruak masuk dari jendela. Lantas, ketiganya berhenti di ranjang. Ify, Oik, dan Sivia memperhatikan ketiganya dengan seksama. Apalagi yang mereka bawa kali ini?
Voila! Sebuah minni basket dengan menu American breakfast langsung muncul begitu ketiga burung selesai bercicit-cuit bersamaan.
“Ini sarapan untuk kami?” tanya Oik pada burung mungilnya, burung itu menganggukkan kepalanya.
“Hari ini kita dikasih sarapan. Tapi, kok, kemarin ga?” desis Sivia.
Ify hanya geleng-geleng kepala, “Sudah. Ayo, dimakan! Sepuluh menit lagi kita sudah harus turun..”
Ify, Oik, dan Sivia pun segera menyantap Americak breakfast mereka masing-masing. Sedangkan ketiga burung tadi, kembali bertengger di dekat jam berbentuk tulip itu. Tak ada suara. Benar-benar hening. Ketiganya sibuk menjejalkan makanan itu pada mulut masing-masing.
Sepuluh menit berlalu. American breakfast di minni basket milik Ify, Oik, dan Sivia telah ludes tak bersisa. Tiba-tiba, ketiga burung tadi pun keluar melalui jendela. Itu tandanya, mereka bertiga juga harus segera menuju main hall. MOS hari pertama dimulai!
^^^
Ify, Oik, dan Sivia tiba di main hall ketika beberapa siswa-siswi baru lainnya sudah masuk ke dalam. Lagi-lagi, mereka harus antri hanya untuk masuk ke dalam. Persis seperti antrian untuk mengambil nomor sebagai penentu kelas sementara kemarin.
Akhirnya, tibalah giliran ketiganya untuk masuk. Begitu masuk, ketiganya segera menghambur pada siswa-siswi kelas delapan lainnya. Ada Alvin dan Irsyad pula di sana.
“Alvin! Irsyad!” sapa ketiganya.
Alvin dan Irsyad, yang merasa namanya dipanggil, segera menengok pada sumber suara. Mereka mendapati Ify, Oik, dan Sivia di samping mereka. Keduanya pun balas tersenyum pada Ify, Oik, dan Sivia.
“Kira-kira MOSnya gimana, ya?” gumam Irsyad.
“Pasti seru!” timpal Alvin.
“Jangan langsung mengambil kesimpulan. Kamu kemarin ga mendengar para panitia MOS bilang kalau mereka ada ‘kejutan’ untuk kita?” sahut Sivia.
Alvin tertawa renyah. Tangannya terulur untuk mengacak poni Sivia, “Kamu juga jangan langsung negative thinking begitu!”
“Bukannya negative thinking, Vin! Ini sudah sesuai kenyataan. Lihat kemarin, kakak pembimbing kita aja jutek banget!” balas Sivia, dengan jantung yang tiba-tiba saja berdegup kencang.
“Eits! Kakak pembimbing kita jutek seperti kemarin, mungkin untuk permulaan saja. Lama-kelamaan, juga, pasti dia jadi baik,” timpal Irsyad.
Oik meliriknya dengan malas, “Bukan lama-kelamaan jadi baik, tapi kitanya aja yang udah kebal sama juteknya dia!”
“Nah! Betul itu!” Sivia mengacungkan dua jempolnya.
Ify mengibaskan tangannya. Berusaha menengahi perbincangan itu, “Sudah! Jangan su’udzon dulu..”
“Bukannya su’udzon, Fy. Tapi, lihat! Itu kelas kelima, kan? Coba kalian lihat. Kakak pembimbing mereka sedang berbincang akrab dengan seluruh siswa di kelas itu. Kalau kita? Boro-boro berbincang akrab, udah judes duluan itu kakak pembimbing kita!” celoteh Oik.
Keempatnya pun segera mengikuti arah pandang Oik. Seluruh siswa-siswi kelas kelima sedang bersenda-gurau dengan kakak pembinanya. Berbeda sekali dengan keadaan kelas kedelapan ini. Mana kakak pembimbing mereka?
“Hayo! Ify mau membantah apa lagi? Sudah, Fy. Kakak pembimbing kita memang seperti itu orangnya. Jutek dan judes!” timpal Sivia.
“Ya sudah, terserah kalian. Pendapat orang, kan, beda-beda!” kata Ify.
Suasana main hall mendadak hening. Kelimanya pun segera mengunci mulut rapat-rapat dan segera meletakkan fokus perhatian masing-masing pada para panitia MOS yang sudah berdiri di atas podium.
“Selamat pagi!” sapa para panitia MOS.
“Pagi!” koor para siswa-siswi baru.
“Pagi ini kita akan menyelenggarakan MOS pada hari pertama. Kegiatan pertama akan berlangsung di Bukit Hijau. Bukit Hijau adalah sebuah bukit yang terletak tepat di belakang caffetaria. Untuk mempersingkat waktu, mari kita menuju ke sana!”
Dalam sekejap, para panitia MOS telah hilang dari hadapan mereka. Para panitia MOS itu telah berpindah ke Bukit Hijau, dengan sihir. Para siswa-siswi baru hanya berdecak kesal. Kenapa para kakak-kakak itu tidak berjalan saja menuju Bukit Hijau?
Para siswa-siswi pun segera berbondong-bondong keluar dari main hall dan menuju Bukit Hijau. Sekarang tibalah giliran Ify, Oik, dan Sivia untuk keluar dari main hall. Ify dan Sivia telah berjalan beberapa langkah. Keduanya berhenti ketika menyadari ‘ada yang menghilang’.
“Oik!” panggil Sivia.
Oik terkesiap. Gadis mungil itu segera mengalihkan pandangannya menuju Ify dan Sivia, “Ada apa?” tanyanya.
“Ayo ke Bukit Hijau!” seru Ify dengan gemas.
Oik kembali terkesiap. Gadis itu masih saja berdiri di tempat, tak bergerak sedikitpun. Karena jengkel, Ify dan Sivia pun berbalik dan menggeret Oik agar cepat-cepat berjalan menuju Bukit Hijau.
Oik kembali menengok pada salah satu sudut main hall. ‘Ia’ masih ada di sana. Menatap Oik dengan senyum yang... Sulit diartikan. Ketika Oik menatapnya balik, ‘ia’ segera mengalihkan pandangannya. Oik terdiam sejenak, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Bukannya dia itu.....
“Lihat apa, sih, Ik? Kamu sampai kaget begitu waktu tadi aku panggil,” tanya Sivia.
Oik sadar dari lamunannya. Ia mengedik pada Sivia dan hanya tersenyum hambar.
“Kenapa, Ik?” tanya Ify. Gadis berdagu tirus itu menyadari ada yang aneh dengan Oik.
Oik menggeleng cepat, “Ga kenapa-kenapa. Cuman... Ya, aku sendiri juga ga tau,”
^^^
“Ayo, yang baru datang segera berkelompok dengan kelas sementara masing-masing!” seru salah seorang panitia MOS.
Segelintir siswa-siswi yang baru saja datang pun segera menghambur pada teman-teman mereka yang lain. Begitupula dengan Ify, Oik, dan Sivia. Ketiganya mengedarkan pandangan dan mendapati Alvin, Irsyad, serta yang lainnya berada di barisan paling pojok. Ketiganya segera melenggang ke sana.
“Hey! Kenapa terlambat?” tanya Alvin.
Ify dan Oik sudah duduk bersila di dekat Alvin dan Irsyad. Sedangkan Sivia, masih sibuk mengatur pakaiannya yang agak berantakan karena tersapu angin yang lumayan kencang tadi. Begitu selesai, Sivia segera menunduk. Pandangannya tak sengaja jatuh pada Alvin, yang kebetulan juga sedang menatapnya.
Sivia membeku.
Hey! Aku ini kenapa?
“Iya, tadi nunggu sampai main hall sedikit sepi. Errr, ga mau desak-desakan saja..” jawab Ify.
“Sivia, kenapa masih berdiri? Ayo, duduk!” ajak Irsyad, ia menepuk-nepuk tempat kosong di belakangnya. Tepat di antara Ify dan Oik, serta tepat pada serong kiri belakang Alvin.
Sivia tersenyum manis pada Irsyad, “Eh, iya..”
Sivia pun segera duduk. Menyadari Sivia duduk di samping kanannya, Oik agak menggeser badannya ke kiri. Mengedik pada Sivia dan keduanya pun seolah berbincang tanpa kata-kata, hanya melalui mata dan senyum, telepati.
“Ini, ya, yang namanya Bukit Hijau..” gumam Ify.
Alvin, Oik, dan Sivia hanya mengangguk kepalanya. Ify menghirup udara di sana dengan menutup matanya, mengisi seluruh rongga paru-parunya dengan udara yang tercampur bau-bauan segar dari rumput yang tertetesi embun.
“Inilah Bukit Hijau. Lihat, jika kamu berdiri di tempat kakak panitia MOS itu, kamu akan melihat rumah pohon kita di bawah sana..” jelas Irsyad.
“Benarkah?” tanya Oik, Irsyad mengangguk.
Sebuah tepukan tangan keras dari depan sana bergaum keras. Seluruh siswa-siswi baru itu pun segera menghadap pada kakak-kakak panitia MOS di depan sana. Suasana kembali hening seiring dengan berhentinya pula tepukan tangan itu.
“Sudah bisa diam?” tanya salah seorang panitia MOS, tak ada jawaban, ia mengangguk.
“Oke. Untuk permulaan...”
Seorang panitia MOS itu berhenti berbicara, ia menepukkan kedua tangannya. Dan, turunlah beratus-ratus carik kertas putih kecil beserta sebuah pen turun dari langit. Benda-benda itu mengambang di atas para siswa-siswi baru itu.
“Ambil kertas dan pen itu. Tulis kelas apa yang akan kalian masukki untuk tiga bulan kedepan..” komando seorang panitia MOS.
“Waktu kalian berpikir adalah sepuluh menit dari sekarang!” timpal seorang lagi.
“Sekedari informasi, Witchy School of Art memiliki delapan kelas yang akan kembali diatur ulang setiap tiga bulan sekali..”
“Kedelapan kelas tersebut adalah Kelas Seni Suara, Kelas Seni Musik, Kelas Seni Lukis, Kelas Seni Teater, Kelas Seni Tari, Kelas Seni Sastra, Kelas Seni Pahat, dan Kelas Seni Kriya.”
Ify, Oik, dan Sivia sedang mengobrol, membicarakan soal kelas yang akan mereka ambil untuk tiga bulan kedepan. Ketiganya hanya mendengarkan secuil informasi saja yang telah diberikan oleh kakak-kakak itu.
“Jadi, mau ambil kelas apa?” tanya Oik.
“Aku maunya bareng-bareng sama kalian berdua..” rajuk Ify.
“Sama! Coba, deh, kalian maunya ambil kelas apa?” tanya Sivia.
“Aku pingin ambil yang seni musik. Kan, lumayan bisa ngembangin permainan pianoku..” kata Ify.
“Aku dari dulu, pingin masuk sekolah ini karena ada kelas seni lukisnya,” timpal Oik.
“Kalau aku... Seni suara,” tutup Sivia.
“Kita ga sekelaaaaasss!!!” pekik ketiganya.
“Kalian teriak-teriak lagi..”
Sebuah suara menyapa. Ify, Oik, dan Sivia segera menengok. Sudah ada kakak pembimbing mereka yang berjongkok di antara Alvin dan Irsyad. Ify tersenyum padanya. Sedangkan Sivia dan Oik hanya melengos malas.
“Memang kenapa kalau kita teriak?” tanya Sivia.
“Mengganggu yang lainnya,” jawab kakak pembimbing itu.
“Jutek! Judes! Hih!” dumel Oik.
Kakak pembimbing mereka pun berdiri, “Ya sudah. Cepat ditulis!”
Sivia dan Oik tersenyum senang ketika kakak pembimbing tadi telah kembali bersama dengan kakak-kakak panitia MOS yang lainnya. Alvin dan Irsyad kaget melihat Sivia dan Oik yang seperti itu.
“Kenapa?!” tanya Sivia dan Oik dengan galak pada Alvin dan Irsyad.
“Ga,” Alvin dan Irsyad menggelengkan kepalanya.
Kelimanya segera menulis pilihan masing-masing pada secarik kertas tadi. Oik dengan seni lukis, Ify dengan seni musik, serta Sivia, Alvin, dan Irsyad dengan seni suara. Setelahnya, ketiganya pun meletakkan secarik kertas dan pen masing-masing di dekat kaki mereka.
“Sudah menjatuhkan pilihan?” tanya salah seorang kakak panitia MOS.
“Sudah,” koor mereka semua.
“Baiklah. Sekarang letakkan secarik kertas tadi dan pen di dekat kaki kalian. Letakkan di atas rumput!” komandonya.
Siswa-siswi baru itu pun segera melaksanakan perintah seniornya. Dan, dalam sekejap, secarik kertas beserta pen tadi terbang tinggi ke angkasa. Seluruhnya pun mendongak ke atas. Rupanya, di atas sana ada sebuah balon udara besar dengan lambang Witchy School of Art di permukaannya.
“Pada penutupan MOS besok, akan dibagikan kelas-kelasnya. Jadi, besok kalian sudah akan menempati kelas-kelas sesuai minat kalian masing-masing,”
“Dan, untuk sekarang, silahkan mulai mengerjakan tugas-tugas dari kami. Seluruh tugas telah kami pesankan kepada kakak pembimbing. Segera cari kakak pembimbing masing-masing! Untuk clue, kakak pembimbing kalian masih ada area Bukit Hijau,”
Kedelapan kakak pembimbing telah menghilang semenjak lima menit yang lalu. Sedangkan kakak-kakak panitia MOS yang lain, baru saja menghilang. Suasana mendadak riuh. Seluruh siswa-siswi baru itu pun segera mencari kakak pembimbing mereka bersama-sama dengan teman sekelas masing-masing.
“Aduh! Kakak pembimbing judes itu sembunyi di mana, sih?” dumel Oik.
“Pasti sembunyi di tempat-tempat terpencil!” desis Sivia.
Alvin tersenyum miring mendengar celotehan kedua teman barunya itu, “Kalian berdua ini mengeluh saja,”
“Mereka memang begitu, Vin. Apalagi kalau sudah menyangkut kakak pembimbing kita,” timpal Ify.
“Memangnya kenapa dengan kakak pembimbing kita, Siv, Ik?” tanya Alvin.
“Kami berdua ga suka!” sahut Oik dengan cepat.
“Dia judes dan jutek! Ga seperti kakak pembimbing kelas yang lain!” imbuh Sivia.
“Itu berarti kelas kita unik! Berbeda dengan kelas yang lainnya!” seru Ify.
Sivia dan Oik menimpuk pelan kepala Ify, “Kamu ini! Selalu aja ngebela kakak itu!”
“Lho? Ada yang salah kalau aku membela kakak pembimbing kita sendiri?” tanya Ify.
“Kami berdua ga suka!” pekik Sivia dan Oik. Keduanya mencak-mencak di hadapan Alvin, Irsyad, dan Ify.
“Sudah, sudah! Ayo, kita cari dia saja,” ajak Irsyad.
Akhirnya, kelimanya pun segera mengekor siswa-siswi kelas kedelapan yang lainnya. Mereka mencari hingga ke balik-balik rerumputan tinggi yang ada di Bukit Hijau. Dan setelah lima belas mencari, akhirnya mereka menemukan sang kakak pembimbing yang duduk di atas dahan salah satu pohon tertinggi di Bukit Hijau!
“Kakak! Ayo turun!” teriak mereka semua, dari bawah.
^^^
Jam makan siang tiba. Seluruhnya telah mencatat makanan-makanan apa saja yang mereka inginkan di selembar kertas. Burung-burung mereka pun telah membawanya ke petugas caffetaria.
Sivia, Oik, Ify, Irsyad, dan Alvin baru saja sampai di caffetaria. Kelimanya merasakan ada yang janggal. Oh, rupanya.....
“Tempat duduknya sama seperti yang kemarin, ya?” sergah Irsyad.
“Iya,” jawab Alvin, dengan senyum mengembang.
“Kita bertiga semeja lagi!” pekik Ify, Oik, dan Sivia dengan senang.
“Kalian berempat senang, aku malas!” desis Irsyad.
“Kenapa memangnya, Syad?” tanya Ify.
“Gimana ga malas kalau aku harus lunch dengan dua pasangan yang sok romantis,” bisiknya pada Ify, Oik, dan Sivia.
“Alvin dan Zevana serta Cakka dan Nadya maksudmu?” bisik Oik balik, Irsyad mengangguk.
Sivia menepuk pundak Irsyad pelan, “Sudahlah. Masih ada kami bertiga. Nanti kita ga usah memperhatikan mereka-mereka itu. Biarkan mereka mengobrol sendiri dan kita, kita juga bisa mengobrol sendiri!”
Irsyad kembali mengangguk. Alvin telah berjalan duluan. Keempatnya pun segera mengekor Alvin. Akhirnya kelimanya duduk di meja yang sama dengan kemarin. Baru ada Zevana di sana.
“Hay!” sapa Zevana pada semuanya.
Yang lainnya hanya tersenyum tipis. Kecuali Alvin. Ia lantas merangkul bahu Zevana dan duduk di sampingnya. Sebelumnya, Alvin telah menggeser kursinya agar lebih dekat dengan kursi yang telah didudukki Zevana.
Irsyad sendiri, segera menggeser kursinya agar lebih dekat dengan Ify, Oik, dan Sivia. Keempatnya lantas berbincang dengan berbisik-bisik sembari menunggu makanan yang, seperti biasanya, akan muncul di meja setelah terdengar dentuman keras dari langit-langit caffetaria.
“Lihat! Apa aku bilang, mereka pasti langsung ga memperdulikan kita. Mereka merasa dunia hanya milik berdua,” dengus Irsyad.
Ify, Oik, dan Sivia mengangguk. Keempatnya hanya memandang Alvin dan Zevana tanpa ekspresi. Keduanya sedang berbincang hangat. Masih dengan tangan Alvin yang merangkul bahu Zevana. Sampai akhirnya, keempatnya merasa ada yang kurang..
“Kok, ada yang kurang, ya..” gumam Oik.
“Iyalah! Ada dua kursi yang masih kosong,” sahut Sivia.
“Errr, Cakra sama Nayla, ya?” tanya Ify.
“Cakka sama Nadya, oy!” Irsyad mengoreksi.
Ify menepuk jidatnya, “Oh, iya!” gumamnya.
“Tumben mereka belum datang,” kata Sivia.
Keempatnya berhenti mengobrol sejenak dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru caffetaria. Dan ketika mereka tak sengaja mengedik pada pintu utama caffetaria, dua orang siswa baru sedang bergandengan dan berjalan ke arah mereka.
“Baru saja diobrolin, sudah datang aja,” celetuk Irsyad.
“Itu berarti mereka panjang umur, Syad!” ujar Ify, tangan kanannya menepuk pelan pundak Irsyad.
“Sudah, mereka berdua ga panjang umur juga ga apa-apa..” kata Sivia, santai.
“Yap! Biar kita berempat saja yang panjang umur,” celoteh Oik.
Kedua orang tadi, Cakka dan Nadya, pun segera duduk di dua kursi yang tersisa di meja itu. Keduanya tersenyum sekilas pada Irsyad, Ify, Oik, dan Sivia. Yang diberi senyum hanya menatap keduanya tanpa ekspresi.
“Kenapa kalian?” tanya Nadya.
Keempatnya menggeleng dan kembali berbisik-bisik seperti semula. Sedangkan Cakka dan Nadya kembali bercengrama, seperti Alvin dan Zevana, yang sama sekali tidak memperdulikan keempatnya.
“Kalau mereka bisa menganggap kita ga ada, kita juga harus bisa menganggap mereka ga ada!” bisik Oik, ketika ia, Ify, Sivia, dan Irsyad kembali bergerombol dan saling berbisik.
Sivia pun mengamininya, “Betul! Untuk apa memperdulikan orang yang jelas-jelas ga memperdulikan kita?”
“Tapi, ya, jangan sampai keterlaluan. Maklum, mereka lagi kasmaran.” lagi-lagi, Ify menjadi penengah.
“Mereka yang keterlaluan, Fy. Bisa-bisanya ga memperdulikan kita..” desis Irsyad.
BOAM! Dentuman besar telah terdengar dari langit-langit caffetaria. Seluruhnya yang ada di caffetaria, menahan napas sejenak. Ketika kebanyakan dari mereka baru saja menghembuskan napas, makanan telah tersaji di meja masing-masing.
“Selamat makan!” suara itu menggema di seluruh penjuru caffetaria.
Begitu pula dengan yang lainnya, Ify, Oik, Sivia, Irsyad, Alvin, Zevana, Cakka, dan Nadya pun mulai menyantap makanan masing-masing. Kali ini, suasana tak sekaku sebelumnya. Mereka mulai mengobrol bersama. Catat! Tanpa Alvin dan Zevana serta Cakka dan Nadya yang tidak memperdulikan Ify, Oik, dan Sivia.
“Eh, kenapa sekarang kita tinggal berdelapan?” tanya Zevana, disela-sela mengunyah makanannya.
“Iya, ya. Ke mana Lintar dan Agni?” tanya Alvin juga.
“Kalau Lintar, mungkin makan di kamarnya. Dia yang menyelesaikan tugas dari kakak-kakak itu,” sahut Cakka.
“Jadi, Lintar yang menyelesaikan tugas membuat naskah drama itu?” pekik Oik.
Cakka tersenyum lebar sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal, “Iya, hehe.. Dia, kan, minat masuk kelas teater,”
“Iya tapi bukan gitu caranya. Sama saja itu yang mengerjakan cuman dia. Ke mana yang lain? Bukannya di kelas kelima banyak yang minat ke kelas teater?” tembak Oik, Cakka terdiam sejenak.
“Yang lainnya sedang... Malas saja,” jawab Cakka.
“Dasar pemalas. Tidak berperikemanusiaan. Sama seperti kamu.” desis Oik, matanya menatap Cakka tajam. Cakka kembali terdiam.
“Kalau Agni, ke mana dia?” tanya Irsyad.
“Di klinik sekolah. Tadi dia mengeuh sedikit pusing,” jawab Nadya.
Irsyad hanya membulatkan bibirnya. Sebenarnya, ia sama sekali tak ingin menanggapi perkataan Nadya. Mengingat bagaimana ia dan pasangannya sama sekali tak memperdulikan Irsyad dan Ify, Oik, serta Sivia.
Begitu selesai makan, kedelapannya segera bangkit dari kursi masing-masing dan melenggang keluar dari caffetaria, menuju rumah pohon. Ify, Irsyad, Oik, dan Sivia berjalan terlebih dahulu. Alvin, Zevana, Cakka, dan Nadya berjalan di belakang mereka.
Begitu mereka memasukki area rumah pohon, mereka tak sengaja bertemu dengan seorang kakak kelas yang baru saja turun dari rumah pohonnya dan akan menuju... Entahlah. Oik memandangnya tanpa berkedip.
Kakak itu lagi! Senyumnya... Makin manis.
Ify menyenggol pelan lengan Oik. Ia tau bahwa Oik tertarik dengannya. Ia juga tau kalau, sampai saat ini, Oik belum juga tau nama kakak kelas itu. Bukan hanya Ify, Sivia pun juga tau. Sivia hanya tersenyum mengejek pada Oik.
“Apa, sih, kalian?!” dumel Oik.
“Kakak manis... Manis, ya, ternyata. Aduh, jangan-jangan kita juga mulai suka dia, Fy!” kata Sivia, sedikit heboh.
“Wah, iya! Aku juga... Suka senyumnya kakak tadi!” lanjut Ify.
Oik menghentak-hentakkan kakinya dengan jengkel. Tepat ketika itu, kakak tadi sedang melihat ke arahnya. Oik langsung terdiam. Ia terdiam melihat kakak tadi yang berlalu begitu saja dengan senyum yang... Sangat manis!
“Meleleeeeeeehhh!” gumam Oik.
Ify dan Sivia hanya menahan tawanya melihat Oik. Oik mengedik ke belakang, melihat kakak manis tadi yang sudah berjalan keluar dari area rumah pohon. Tak sengaja, Oik kembali menemukan ‘dia’ yang menatapnya dengan senyuman itu.
Dia kenapa? Kenapa selalu menatapku dengan senyum seperti itu? Bukannya dia... Sudah...
Oik menggelengkan kepalanya. Ia segera kembali menghadap ke depan. Irsyad telah kembali ke asramanya. Ia sendiri, bersama Ify dan Sivia, telah sampai di depan rumah pohon mereka. Entahlah bagaimana dengan Alvin, Zevana, Cakka, dan Nadya.
^^^
Begitu berada di rumah pohonnya, ketiganya segera bersih-bersih badan. Rencanya, Ify dan Oik akan mengantarkan Sivia untuk check up ke Central Hospital. Begitu selesai, ketiganya langsung menuju ke kantor Kepala Sekolah yang terletak di bangunan utama Witchy School of Art.
Kini ketiganya telah tiba tepat di depan ruangan sang Kepala Sekolah. Ketiganya masih terdiam di sana. Terutama Sivia. Ia terlihat gelisah, kedua telapak tangannya sampai mengeluarkan keringat dingin.
“Ini gimana?” tanya Sivia.
“Ya.. Gimana lagi? Ayo, masuk!” ajak Ify.
“Sudah. Biar nanti aku saja yang bicara ke kepala sekolah,” kata Oik.
Sivia pun mengangguk. Ia menghirup udara di sana dan menghembuskannya dengan keras. Pertanda ia telah siap. Ify pun segera mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Sampai akhirnya terdengar sahutan dari dalam, dan mereka pun masuk.
“Selamat sore, pak!” sapa ketiganya.
Sang kepala sekolah pun tersenyum, ”Siswi baru, ya? Ada apa? Ayo, silahkan duduk..”
Ify, Oik, dan Sivia pun kembali melangkah menuju meja sang kepala sekolah. Ify dan Sivia duduk di dua kursi yang telah ada. Sedangkan Oik, berdiri di belakang keduanya.
“Ada apa kalian kemari?” tanya beliau.
“Begini, pak, kita mau izin keluar sebentar. Sebentar saja, kok, pak. Hanya ingin ke... Central Hospital. Mengantarkan Sivia check up,” jelas Oik.
Beliau mengangguk mengerti, “Jadi, mana yang bernama Sivia?”
“Saya, pak..” Sivia tersenyum sopan.
“Kebetulan, kedua orang tua kamu telah menghubungi saya dan memberitahukan jadwal check up kamu. Jadi, kalian boleh pergi sekarang. Ingat, jangan lama-lama!” kata beliau.
Ify, Oik, dan Sivia mengangguk bersemangat. Ketiganya langsung bersalaman dengan sang kepala sekolah dan berjalan menuju pintu ruangan itu, berniat untuk langsung ke Central Hospital.
“Oh, ya! Kereta kuda bisa kalian pakai. Ada beberapa kereta kuda di halaman depan,” pesan beliau, tepat ketika mereka baru saja akan menutup pintunya.
“Iya, terima kasih!”
^^^
Begitu sampai di Central Hospital, ketiganya pun segera menuju ruangan dokter Sivia. Sivia telah membuat janji dengan sang dokter hari ini. Dan untungnya, ketiganya tak telat. Ketika sampai di rungan dokter, dokter itu juga sedang santai, tak ada pasien lain.
“Sore, dok!” sapa Sivia.
Dokter itu pun tersenyum, “Hey, Sivia! Ayo, check up!”
Sivia pun mengangguk. Ia segera berjalan menuju sudut lain ruangan itu, bersama sang dokter. Sedangkan Ify dan Oik, keduanya hanya duduk di depan meja sang dokter. Ruangan itu mendadak menjadi sangat sepi.
Kriett..
Terdengar bunyi pintu yang terbuka. Tak lama, terdengar pula langkahan kaki dari belakang Ify dan Oik. Tetapi keduanya bergeming, sama sekali tak menengok ataupun mencari tau siapakah yang baru saja datang.
“Dokter!” panggil sebuah suara.
“Masuk saja! Saya berada di dalam ruang periksa!” terdengar sahutan sang dokter dari dalam ruang periksa.
Ify dan Oik menengok. Rupanya seorang lelaki berbadan tinggi dan sedikit kurus baru saja datang. Lelaki itu segera berjalan menuju ruang periksa. Meninggalkan Ify dan Oik yang terpaku karena senyumannya. Manis..
“Dok, ini berkas-berkas dari pasien yang tadi mau diletakkan di mana?” tanyanya.
Sivia pun menengok pada lelaki itu. Lagi-lagi, lelaki itu tersenyum manis. Sekarang, ganti Sivia lah yang terpaku karena senyumannya. Tak hanya tersenyum, lelaki itu juga melambaikan tangan kanannya pada Sivia.
“Terserah kamu saja, baiknya bagaimana. Lagipula, kamu juga dokter,” jawa beliau.
Lelaki itu tertawa renyah, “Saya masih calon dokter, dok!”
“Kamu hanya tinggal menunggu wisuda,” sangkal beliau.
“Iya, sih, dok. Sudahlah, saya letakkan di sini saja,” katanya.
Tangannya terulur. Ia meletakkan beberapa map berkas itu di meja di samping Sivia. Otomatis, tangannya terulur melewati tubuh Sivia. Sivia hanya dapat menahan napas. Ia tak mengira bahwa ia dapat menahan napas hanya karena lelaki itu mengulurkan tangan di depannya.
“Saya bantu periksa, ya?” tawar lelaki itu.
Dokter itu menggeleng, “Tidak usah. Kamu bawa saja dia ke meja saya dan tuliskan resep untuknya,”
“Baiklah,”
“Saya mau membereskan peralatan-peralatan ini dulu,”
Akhirnya, Sivia bersama lelaki itu pun menuju meja dokter tadi. Oik bangkit dari duduknya, ia kembali berdiri. Sivia segera duduk, begitupula dengan lelaki tadi. Lelaki itu segera menuliskan resep untuk Sivia.
“Ini resepnya,” lelaki itu menyerahkan secarik kertas resep pada Sivia dengan senyumnya.
“Terima kasih,” kata Sivia.
Selesai! Ify dan Oik segera membantu Sivia berdiri. Ketiganya lantas keluar dari ruangan tersebut dengan diiringin senyum manis lelaki tadi. Ketiganya segera menuju Apotek. Setelahnya, mereka pun kembali ke Witchy School of Art.
0 komentar:
Posting Komentar