Bel
pulang baru saja berbunyi ketika Oik melangkahkan kakinya menuju toilet
sekolah. Oik mengeluh pelan. Dengan segera, ia bergegas memasuki salah satu
bilik toilet dan mencuci mukanya menggunakan sabun cuci muka yang ia kantongi.
Begitu selesai, ia berlari kecil menuju kelasnya.
Koridor
telah sepi. Sebagai gantinya, gerbang sekolah menjadi ramai. Oik langsung
membereskan segala peralatan sekolahnya dan memasukannya ke dalam tas. Oik
menengok sekilas ke pintu kelasnya, ada Ray di sana. Oik melambai seraya
tersenyum pada lelaki gondrong itu.
“Ayo
balik, Ik!” ajak Ray.
Oik
berjalan ke arah Ray dengan tersenyum canggung, “Maaf, Ray. Aku ada rapat OSIS.
Kamu balik duluan aja. Maaf udah bikin nunggu.”
Ray
menghela napas, “Ya udah, no prob,
Ik.” Ray menampakkan wajah kecewanya.
Keduanya
pun berjalan beriringan. Kebetulan Sekretariat OSIS SMA Budi Mulya berada di
bawah, tepat di samping tangga. Jadi, ketika Oik berbelok kanan menuju
Sekretariat OSIS, Ray akan berbelok kiri menuju area parkir.
“Eh,
gimana kabar Aren?” Oik bertanya, memecah keheningan yang menyelimuti keduanya.
“Ga
usah bahas dia lagi, Ik. Udah cukup tau aja sama dia aku, sih.” Ray tertawa
garing.
“Meskipun
udah putus, kan, ga berarti jadi musuh, Ray.” Oik tersenyum tipis.
“Iya
juga, sih..”
Oik
menahan napas. Bodoh! Harusnya aku ga
bilang begitu! Bisa-bisa Ray balik lagi sama Aren. Emang kamu udah siap patah
hati, Ik?
Keduanya
pun memijakkan kaki di lantai bawah, berpisah di koridor. Baru beberapa
langkah, keduanya lalu bersamaan membalikkan badan. Begitu sama-sama menyadari
hal tersebut, keduanya tertawa tanpa suara.
“Hati-hati,
Ray!” Oik tersenyum kikuk, melambaikan tangannya pada Ray.
Ray
mengangguk dan balas melambaikan tangannya, “Jangan pulang kesorean, Ik. Kalau
rapatnya udah selesai, langsung balik.”
Begitu
Ray telah hilang dari pandangannya, Oik pun membuka pintu Sekretariat OSIS.
Ketika Oik mendorongnya, seseorang juga tengah menariknya dari dalam. Oik
kontan kaget. Setelah pintu terbuka lebar, Oik mendapati Rio –kakak kelasnya–
tengah berdiri di hadapannya dengan jarak yang bisa dibilang dekat. Lagi-lagi,
Oik tersenyum kikuk.
“Ga
ikut rapat persiapan MOS, Mas?” Oik bertanya.
Rio
pun keluar dan tersenyum lebar, “Ikut, kok, dek. Mau ke kantin bentar, beli minum.
Mau titip?”
Oik
menggeleng, “Ga usah, Mas. Makasih.”
Rio
pun berlalu. Oik segera masuk ke dalam Sekretariat OSIS dan duduk di salah satu
kursi yang masih kosong, tepat di samping Sivia –sahabatnya–. Sivia, yang baru
saja menyadari kehadirannya, langsung mengehentikan obrolannya bersama Pricilla
–sahabatnya yang lain–.
“Aku
tadi papasan sama si Mas ganteng di depan.” Oik berbisik di telinga Sivia dan
terkikik pelan.
Sivia
mendorong pelan bahu Oik dan memajukan bibirnya beberapa senti, “Iya, deh..
Tau! Pamer, doang, kan?”
“Serius,
tau!” Oik tertawa keras, “Iri, kan?” Oik memeletkan lidahnya pada Sivia.
“Cukup
tau aku, Ik!” Sivia mendadak bersidekap tangan.
“Kenapa,
sih?” tiba-tiba saja Pricilla melongok dari samping kanan Sivia.
Oik
menghentikan laju tawanya sesaat, “Sivia, nih.. Jealous! Aku cerita sama dia kalau aku baru aja papasan sama si Mas
ganteng di luar.”
Pricilla
membelalakkan matanya, “Serius? Terus, terus? Dia bilang apa aja, Ik?”
“Dia
bilang mau kentin, beli minum sebentar. Sekalian nanyain aku mau titip apa ga,
gitu..” Oik mengakhiri ceritanya dengan tersenyum penuh kemenangan.
“Inget,
Ik.. Dia udah punya pacar. Lihat, tuh, Mbak Ify! Kapten cheersnya SMA Pancasila. Cantik banget!” Sivia melirik sinis ke
arah Oik.
“Emang
kenapa kalau si Mas ganteng udah punya cewek? Toh, aku cuma suka biasa. Aku
cuma suka gantengnya aja. Salah?” Oik menaikan salah satu alisnya.
Pricilla
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua sahabatnya berdebar mengenai
si Mas ganteng pujaan mereka bertiga, Mas Rio. Tepat ketika Oik dan Sivia
mengakhiri debatnya, pintu Sekretariat OSIS terbuka. Mas Rio masuk dengan
membawa sebotol air mineral dingin.
“Nah,
Rio udah dateng..” Zahra –yang kali ini memimpin rapat– langsung berdiri dan
mempersilahkan Rio duduk.
Kebetulan,
bangku di seberang Oik kosong. Jadilah, Rio duduk di sana. Oik, Sivia, dan
Pricilla cekikikan dibuatnya. Untung saja Rio tak menyadarinya, begitu pula
dengan anggota OSIS SMA Budi Mulya yang lainnya.
“Sssstt!
Mbak Zahra udah mau mulai rapatnya, tuh!” Pricilla mengedik pada seorang gadis
cantik berbehel di depan sana.
“Rapat
Persiapan MOS saya buka. Kali ini kita akan membicarakn teknis makro MOS
sebulan lagi... Blablabla...”
**
Rapat
baru saja selesai. Para anggota OSIS yang sudah tidak memiliki keperluan lain
pun segera meninggalkan Sekretariat OSIS dan pulang ke rumah masing-masing.
Masih ada Oik dan Zahra di sini. Pasalnya, mereka berdua adalah Ketua Panitia
dan Ketua Pelaksana MOS. Maka dari itu, mereka perlu berbicara lebih lanjut
mengenai MOS bulan depan.
“Gimana,
Mbak? Udah bikin konsepnya?” tanya Oik.
Zahra
mengangguk, “Udah, kok, dek. Pokoknya kamu bantu aku, ya, selama tiga hari full!”
Oik
mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum lebar, “Sip, Mbak!”
Zahra
tersenyum tipis. Ia sibuk dengan kertas yang berserakan di meja. Kumpulan
kertas-kertas yang nantinya akan dijilid dan diajukan pada Wakasek Kesiswaan
mengenai MOS. Kebetulan, Sektretaris MOS sedang berhalangan hadir karena sakit.
Jadilah Zahra dan Oik yang mengurusnya.
“Gimana
kabarnya si gondrong, Ik?” tanya Zahra, melirik adik kelasnya itu sekilas.
Pipi
Oik mendadak bersemu merah, “Biasa aja, Mbak. Dia PHP banget! Adem ayem aja,
gitu. Ga bilang kalau dia suka sama aku. Tapi tingka lakunya itu, lho, udah
kelihatan banget kalau dia suka aku. Temen-temenku aja sampai gemes sama dia!
Ga punya nyali buat bilang ke aku!”
“Kamu
yakin banget, Ik, kalau dia suka sama kamu. Kali aja kamu cuman pelampiasan aja
dari mantannya itu. Siapa namanya? Ara? Arin?” Zahra menahan senyumnya.
“Aren,
Mbak!” Oik mendengus sebal, “Apa aku move
on aja, ya, Mbak?”
“Emang
bisa?” Zahra mencibir.
Oik
memukul lengan Zahra dengan jengkel, “Ya doain, kek! Seneng banget kayaknya
kalau aku ngestuck di orang macem si
gondrong itu?!”
Zahra
tertawa kencang, “Abis, kalian lucu! Udah tau pada sama-sama suka tapi malah
diem-dieman gini. Jujur sama perasaan masing-masing aja, kok, susah?”
Jleb!
Oik mendelik kesal. Perkataan Zahra barusan benar-benar mengena di hatinya.
Jadi, dia harus bersikap bagaimana pada Ray? Asal kalian tau aja, Ray ini first lovenya Oik! Wajar, kan, kalau Oik
doesn’t know what to do right now...
**
Sebulan kemudian.....
Jam
menunjukkan pukul lima pagi ketika Oik telah duduk manis di dalam mobil dengan
menggenggam ponselnya. Bundanya yang menyetir mobil. Sesekali, Bundanya
menengok ke arahnya dengan dahi mengerenyit dan wajah sebal.
“MOS
dimulai jam berapa, sih, Ik?” tanya beliau.
“Jam
setengah tujuh. Kenapa, Bun?” tanya Oik balik.
“Ini
masih jam lima tapi kamu udah nyuruh Bunda nganterin ke sekolah. Mana kamu juga
nyuruh Bunda ngebut, pula!” beliau mendengus kesal.
Oik
mengedik pada Bundanya, “Kan, ada morning
call. Bunda gimana, sih? Lupa?”
Bundanya
kembali mengomel panjang lebar. Dan Oik sama sekali tak mendengarkannya. Ponsel
Oik telah bergetar terlebih dahulu karena ada sebuah pesan singkat masuk. Oik membukanya,
membacanya, lalu membalasnya dengan hati berbunga-bunga.
From:
MRP<3
Jd
nge-mos hr ini? Hati2 ya!:-)
To:
MRP<3
Jd,
ray. Ini otw dianter bunda.
Kok
udh bgn jm sgn? Tumben:-p
From:
MRP<3
Knp?
Gk blh? Pdhl cmn mau blg gt doang._.
Ya
udh deh, aku lnjt tdr lg aja~
Beberapa
menit kemudian, mobil tersebut telah berhenti di depan gerbang SMA Budi Mulya. Oik
segera turun setelah berpamitan dan mencium punggung tangan Bundanya. Setelah itu,
dengan berlari kecil Oik menuju Sekretariat OSIS. Sudah banyak para panitia MOS
yang telah datang. Oik nyengir lebar pada mereka semua.
“Ketua
pelaksana, kok, ngaret..” celetuk Pricilla.
Oik
melengos saja. Pricilla tertawa dalam hati. Oik pun duduk. Briefing pagi itu kembali dilanjutkan. Zahra sedang menjelaskan
segala tetek-bengek mengenai MOS hari pertama ini. Oik dan yang lainnya
mendengarkan dengan seksama.
Zahra
menepukkan tangannya, “Nah, briefing
selesai! Yuk, ke depan. Yang SK –Sie Kedisiplinan– cepet baris di depan
lapangan. Biar Sie Humas yang ngegiring adik-adiknya masuk. Panitia lainnya
baris di belakangnya SK. Aku sama Oik gabung sama SK.”
Para
panitia itu pun keluar dari dalam Sekretariat OSIS dan berjalan bersama menuju
gerbang sekolah. Nova –Koordinator Sie Humas– segera memberikan kode pada
satpam sekolah untuk membuka pintu gerbang. Para siswa-siswi baru SMA Budi
Mulya yang masih mengenakan seragam putih-biru itu pun berbaris di tengah
lapangan.
“Kak
OR, adik-adiknya disuruh baris yang rapi dulu.” Zahra mengerling pada Oik, Oik
mengangguk.
“Baris
yang rapi dulu! Bareng-bareng sama temen SMPnya aja! Setelah ini baru kami
bacakan satu-persatu nama dan kelas kalian!” Oik berteriak nyaring, ia berjalan
mondar-mandir di depan barisan adik-adik kelasnya.
“Oik
sok galak, ya!” Pricilla tertawa pelan seraya berbisik-bisik dengan Sivia, ia
menggunakan nametag bertuliskan AP.
Sivia
mengangguk, “Oik judes banget!” sedangkan Sivia, menggunakan nametag bertuliskan SA.
Masing-masing
panitia MOS mengenakan sebuah nametag berwarna hitam dengan tulisan inisal
masing-masing. Untuk para SK, nametag
diberi tanduk merah. Untuk Ketua Panitia, Ketua Pelaksana, dan Ketua OSIS, nametag diberi tambahan lingkaran
berwarna merah. Untuk para PK –Pembimbing Kelas–, nametag diberi sayap dari kertas lipat berwarna putih. Sedangkan
panitia lain diberi garis dengan kertas lipat berwarna hijau tua.
“Kak
AM, Kak AZ, langsung dibacakan aja susunan kelasnya.” Zahra melirik Angel dan
Shilla.
Angel
dan Shilla segera membacakan susunan kelas secara bergantian. Angel adalah
Koordinator SK dan Shilla adalah salah satu anggotanya yang bertampang paling
judes. Setelah membacakan seluruh susunan kelas, para PK –masing-masing kelas terdapat
dua PK– segera memasukki kelasnya masing-masing.
**
Seluruh
panitia –kecuali SK dan PK– sedang berkumpul di Sekretariat OSIS. Zahra dan Oik
sudah duduk bersebelahan membahas teknis MOS hari kedua. Sivia dan Pricilla
sedang menyiapkan bendera dan segala macam peralatan untuk upacara pembukaan.
Tak
lama kemudian, para SK datang dan langsung duduk di sekitar Zahra dan Oik. Angel
dan Shilla lah yang bertampang paling sebal. Entah kenapa. Zahra melirik pada
kedua orang berbeda angkatan itu dengan pandangan bertanya.
“Mbak
Angel kenapa?” tanya Oik.
Angel
memutar bola matanya dengan kesal, “Sebel, Ik! Adik-adik kelasnya pada bandel!”
“Mereka
nyolot banget pas kita nasehatin. Anak-anak X-7, tuh, yang paling bikin kesel. Mereka
sama sekali ga ngehargain aku, Mbak Angel, sama SK yang lain.” Shilla bercerita
dengan menggebu-gebu.
“Kita
ke sana, yuk?” Zahra mengajak Oik.
“Berdua
aja?” Oik bertanya dengan ragu.
Zahra
mengangguk pasti, “Kenapa? Takut?”
Oik
menggeleng mantap, “Ga akan!”
Zahra
dan Oik pun bangkit. Angel dan Shilla menatap keduanya dengan bingung.
“Udah,
kalian di sini aja. Biar aku sama Oik yang ke sana.” Zahra mencegah Angel dan
Shilla yang akan berdiri.
“Ya
udah..” Angel hanya mengangkat bahunya.
Zahra
dan Oik pun berlalu, menuju ke kelas X-7. Angel, Shilla, dan para panitia lain
bersiap-siap untuk mengadakan upacara pembukaan.
Zahra
mengetuk pintu kelas X-7. Gita –salah satu PK X-7– membukakan pintu. Oik tersenyum
sekilas pada teman sekelasnya itu. Keduanya pun masuk, diikuti Gita yang
mengekor keduanya. Zahra dan Oik berdiri di depan kelas dengan wajah judes.
“Pagi.”
Oik menyapa adik-adik kelasnya dengan dingin.
“Pagi,
Kak!” sapa mereka balik.
Zahra
bersidekap tangan, mulai mandir-mandir di depan kelas dengan wajah menyeramkan
dan mata yang menatap tajam, “Saya dengar kalian melawan perkataan kakak-kakak
SK. Iya?”
Hening.
“Jawab!”
Oik membentak mereka semua.
“Maaf,
Kak.” sebuah suara terdengar.
Zahra
menengok ke sumber suara, “Kenapa cuman satu yang minta maaf? Jadi, cuman ada
satu orang aja siswa di kelas ini? Wow!”
“Maaf,
Kak.” koor mereka semua.
“Ngebeo
temennya aja, bisanya! Ga punya inisiatif sendiri buat minta maaf!” Oik menatap
satu-persatu adik kelasnya dengan tajam.
Hening.
“Kenapa
pada diem semua? Mana suaranya? Tadi pada celometan, kan, waktu kakak-kakak SK
ke sini?!” Zahra menggebrak meja paling depan dengan keras.
“Udah?
Ga ada yang mau argumen?” suara Oik terdengar menggelegar.
Seorang
laki-laki mengangkat tangannya dan berdiri, “Maaf, Kak. Kami ga akan ngelakuin
itu lagi.”
“Siapa
nama kamu?” Zahra menatapnya tajam.
“Cakka
Kawekas Nuraga, Kak.” anak laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya.
“Duduk!”
perintah Oik. “Gini, ya.. Kami bukannya gila hormat atau apa. Kami cuman minta
dihargain sama kalian semua! Kami ini kakak kelas kalian. Bisa, kan, dengerin
omongan kami? Bisa, kan, ga ngejawab aja pas kami nasehatin?”
“Bisa,
Kak.” koor mereka, lagi.
Lagi-lagi,
seorang laki-laki mengangkat tangan kanannya dan berdiri perlahan, “Saya Alvin,
Kak. Maaf, sebelumnya.. Yang saya tau, hanya beberapa aja yang bandel, bukan
semuanya. Tapi kenapa semuanya ikut kena marah?” Alvin pun kembali duduk.
“Kalian
tau arti solidaritas ga, sih?” tanya Oik, ia menatap Alvin jengkel.
“Udah,
udah..” Zahra pun menggandeng tangan Oik keluar.
Tepat
ketika Zahra baru saja menutup pintu kelas, terdengar rebut-ribut dari dalam
sana. Oik kembali membuka pintunya dengan kasar. Suasana kembali hening. Oik mengedarkan
tatapan tajamnya ke seluruh penjuru kelas.
“Kenapa
langsung ramai gini waktu saya dan Kak ZD keluar?” bentak Oik, “Mau sok jadi
jagoan yang ngelawan kakak kelasnya, hah?!”
Hening.
Tatapan
Oik bertemu dengan Cakka. Cakka langsung menundukkan kepalanya. Terlihat wajah
Alvin di belakang Cakka. Oik memelototinya hingga lelaki oriental itu juga
menundukkan kepalanya. Oik langsung menutup pintu kelas dengan kasar hingga
menimbulkan bunyi berdebam yang menggema di seluruh penjuru sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar