Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

THE UNTITLED STORY [1 of 4]

            Bel pulang baru saja berbunyi ketika Oik melangkahkan kakinya menuju toilet sekolah. Oik mengeluh pelan. Dengan segera, ia bergegas memasuki salah satu bilik toilet dan mencuci mukanya menggunakan sabun cuci muka yang ia kantongi. Begitu selesai, ia berlari kecil menuju kelasnya.

            Koridor telah sepi. Sebagai gantinya, gerbang sekolah menjadi ramai. Oik langsung membereskan segala peralatan sekolahnya dan memasukannya ke dalam tas. Oik menengok sekilas ke pintu kelasnya, ada Ray di sana. Oik melambai seraya tersenyum pada lelaki gondrong itu.

            “Ayo balik, Ik!” ajak Ray.

            Oik berjalan ke arah Ray dengan tersenyum canggung, “Maaf, Ray. Aku ada rapat OSIS. Kamu balik duluan aja. Maaf udah bikin nunggu.”

            Ray menghela napas, “Ya udah, no prob, Ik.” Ray menampakkan wajah kecewanya.

            Keduanya pun berjalan beriringan. Kebetulan Sekretariat OSIS SMA Budi Mulya berada di bawah, tepat di samping tangga. Jadi, ketika Oik berbelok kanan menuju Sekretariat OSIS, Ray akan berbelok kiri menuju area parkir.

            “Eh, gimana kabar Aren?” Oik bertanya, memecah keheningan yang menyelimuti keduanya.

            “Ga usah bahas dia lagi, Ik. Udah cukup tau aja sama dia aku, sih.” Ray tertawa garing.

            “Meskipun udah putus, kan, ga berarti jadi musuh, Ray.” Oik tersenyum tipis.

            “Iya juga, sih..”

            Oik menahan napas. Bodoh! Harusnya aku ga bilang begitu! Bisa-bisa Ray balik lagi sama Aren. Emang kamu udah siap patah hati, Ik?

            Keduanya pun memijakkan kaki di lantai bawah, berpisah di koridor. Baru beberapa langkah, keduanya lalu bersamaan membalikkan badan. Begitu sama-sama menyadari hal tersebut, keduanya tertawa tanpa suara.

            “Hati-hati, Ray!” Oik tersenyum kikuk, melambaikan tangannya pada Ray.

            Ray mengangguk dan balas melambaikan tangannya, “Jangan pulang kesorean, Ik. Kalau rapatnya udah selesai, langsung balik.”

            Begitu Ray telah hilang dari pandangannya, Oik pun membuka pintu Sekretariat OSIS. Ketika Oik mendorongnya, seseorang juga tengah menariknya dari dalam. Oik kontan kaget. Setelah pintu terbuka lebar, Oik mendapati Rio –kakak kelasnya– tengah berdiri di hadapannya dengan jarak yang bisa dibilang dekat. Lagi-lagi, Oik tersenyum kikuk.

            “Ga ikut rapat persiapan MOS, Mas?” Oik bertanya.

            Rio pun keluar dan tersenyum lebar, “Ikut, kok, dek. Mau ke kantin bentar, beli minum. Mau titip?”

            Oik menggeleng, “Ga usah, Mas. Makasih.”

            Rio pun berlalu. Oik segera masuk ke dalam Sekretariat OSIS dan duduk di salah satu kursi yang masih kosong, tepat di samping Sivia –sahabatnya–. Sivia, yang baru saja menyadari kehadirannya, langsung mengehentikan obrolannya bersama Pricilla –sahabatnya yang lain–.

            “Aku tadi papasan sama si Mas ganteng di depan.” Oik berbisik di telinga Sivia dan terkikik pelan.

            Sivia mendorong pelan bahu Oik dan memajukan bibirnya beberapa senti, “Iya, deh.. Tau! Pamer, doang, kan?”

            “Serius, tau!” Oik tertawa keras, “Iri, kan?” Oik memeletkan lidahnya pada Sivia.

            “Cukup tau aku, Ik!” Sivia mendadak bersidekap tangan.

            “Kenapa, sih?” tiba-tiba saja Pricilla melongok dari samping kanan Sivia.

            Oik menghentikan laju tawanya sesaat, “Sivia, nih.. Jealous! Aku cerita sama dia kalau aku baru aja papasan sama si Mas ganteng di luar.”

            Pricilla membelalakkan matanya, “Serius? Terus, terus? Dia bilang apa aja, Ik?”

            “Dia bilang mau kentin, beli minum sebentar. Sekalian nanyain aku mau titip apa ga, gitu..” Oik mengakhiri ceritanya dengan tersenyum penuh kemenangan.

            “Inget, Ik.. Dia udah punya pacar. Lihat, tuh, Mbak Ify! Kapten cheersnya SMA Pancasila. Cantik banget!” Sivia melirik sinis ke arah Oik.

            “Emang kenapa kalau si Mas ganteng udah punya cewek? Toh, aku cuma suka biasa. Aku cuma suka gantengnya aja. Salah?” Oik menaikan salah satu alisnya.

            Pricilla hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kedua sahabatnya berdebar mengenai si Mas ganteng pujaan mereka bertiga, Mas Rio. Tepat ketika Oik dan Sivia mengakhiri debatnya, pintu Sekretariat OSIS terbuka. Mas Rio masuk dengan membawa sebotol air mineral dingin.

            “Nah, Rio udah dateng..” Zahra –yang kali ini memimpin rapat– langsung berdiri dan mempersilahkan Rio duduk.

            Kebetulan, bangku di seberang Oik kosong. Jadilah, Rio duduk di sana. Oik, Sivia, dan Pricilla cekikikan dibuatnya. Untung saja Rio tak menyadarinya, begitu pula dengan anggota OSIS SMA Budi Mulya yang lainnya.

            “Sssstt! Mbak Zahra udah mau mulai rapatnya, tuh!” Pricilla mengedik pada seorang gadis cantik berbehel di depan sana.

            “Rapat Persiapan MOS saya buka. Kali ini kita akan membicarakn teknis makro MOS sebulan lagi... Blablabla...”

**

            Rapat baru saja selesai. Para anggota OSIS yang sudah tidak memiliki keperluan lain pun segera meninggalkan Sekretariat OSIS dan pulang ke rumah masing-masing. Masih ada Oik dan Zahra di sini. Pasalnya, mereka berdua adalah Ketua Panitia dan Ketua Pelaksana MOS. Maka dari itu, mereka perlu berbicara lebih lanjut mengenai MOS bulan depan.

            “Gimana, Mbak? Udah bikin konsepnya?” tanya Oik.

            Zahra mengangguk, “Udah, kok, dek. Pokoknya kamu bantu aku, ya, selama tiga hari full!”

            Oik mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum lebar, “Sip, Mbak!”

            Zahra tersenyum tipis. Ia sibuk dengan kertas yang berserakan di meja. Kumpulan kertas-kertas yang nantinya akan dijilid dan diajukan pada Wakasek Kesiswaan mengenai MOS. Kebetulan, Sektretaris MOS sedang berhalangan hadir karena sakit. Jadilah Zahra dan Oik yang mengurusnya.

            “Gimana kabarnya si gondrong, Ik?” tanya Zahra, melirik adik kelasnya itu sekilas.

            Pipi Oik mendadak bersemu merah, “Biasa aja, Mbak. Dia PHP banget! Adem ayem aja, gitu. Ga bilang kalau dia suka sama aku. Tapi tingka lakunya itu, lho, udah kelihatan banget kalau dia suka aku. Temen-temenku aja sampai gemes sama dia! Ga punya nyali buat bilang ke aku!”

            “Kamu yakin banget, Ik, kalau dia suka sama kamu. Kali aja kamu cuman pelampiasan aja dari mantannya itu. Siapa namanya? Ara? Arin?” Zahra menahan senyumnya.

            “Aren, Mbak!” Oik mendengus sebal, “Apa aku move on aja, ya, Mbak?”

            “Emang bisa?” Zahra mencibir.

            Oik memukul lengan Zahra dengan jengkel, “Ya doain, kek! Seneng banget kayaknya kalau aku ngestuck di orang macem si gondrong itu?!”

            Zahra tertawa kencang, “Abis, kalian lucu! Udah tau pada sama-sama suka tapi malah diem-dieman gini. Jujur sama perasaan masing-masing aja, kok, susah?”

            Jleb! Oik mendelik kesal. Perkataan Zahra barusan benar-benar mengena di hatinya. Jadi, dia harus bersikap bagaimana pada Ray? Asal kalian tau aja, Ray ini first lovenya Oik! Wajar, kan, kalau Oik doesn’t know what to do right now...

**

            Sebulan kemudian.....

            Jam menunjukkan pukul lima pagi ketika Oik telah duduk manis di dalam mobil dengan menggenggam ponselnya. Bundanya yang menyetir mobil. Sesekali, Bundanya menengok ke arahnya dengan dahi mengerenyit dan wajah sebal.

            “MOS dimulai jam berapa, sih, Ik?” tanya beliau.

            “Jam setengah tujuh. Kenapa, Bun?” tanya Oik balik.

            “Ini masih jam lima tapi kamu udah nyuruh Bunda nganterin ke sekolah. Mana kamu juga nyuruh Bunda ngebut, pula!” beliau mendengus kesal.

            Oik mengedik pada Bundanya, “Kan, ada morning call. Bunda gimana, sih? Lupa?”

            Bundanya kembali mengomel panjang lebar. Dan Oik sama sekali tak mendengarkannya. Ponsel Oik telah bergetar terlebih dahulu karena ada sebuah pesan singkat masuk. Oik membukanya, membacanya, lalu membalasnya dengan hati berbunga-bunga.

From: MRP<3
Jd nge-mos hr ini? Hati2 ya!:-)

To: MRP<3
Jd, ray. Ini otw dianter bunda.
Kok udh bgn jm sgn? Tumben:-p

From: MRP<3
Knp? Gk blh? Pdhl cmn mau blg gt doang._.
Ya udh deh, aku lnjt tdr lg aja~

            Beberapa menit kemudian, mobil tersebut telah berhenti di depan gerbang SMA Budi Mulya. Oik segera turun setelah berpamitan dan mencium punggung tangan Bundanya. Setelah itu, dengan berlari kecil Oik menuju Sekretariat OSIS. Sudah banyak para panitia MOS yang telah datang. Oik nyengir lebar pada mereka semua.

            “Ketua pelaksana, kok, ngaret..” celetuk Pricilla.

            Oik melengos saja. Pricilla tertawa dalam hati. Oik pun duduk. Briefing pagi itu kembali dilanjutkan. Zahra sedang menjelaskan segala tetek-bengek mengenai MOS hari pertama ini. Oik dan yang lainnya mendengarkan dengan seksama.

            Zahra menepukkan tangannya, “Nah, briefing selesai! Yuk, ke depan. Yang SK –Sie Kedisiplinan– cepet baris di depan lapangan. Biar Sie Humas yang ngegiring adik-adiknya masuk. Panitia lainnya baris di belakangnya SK. Aku sama Oik gabung sama SK.”

            Para panitia itu pun keluar dari dalam Sekretariat OSIS dan berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Nova –Koordinator Sie Humas– segera memberikan kode pada satpam sekolah untuk membuka pintu gerbang. Para siswa-siswi baru SMA Budi Mulya yang masih mengenakan seragam putih-biru itu pun berbaris di tengah lapangan.

            “Kak OR, adik-adiknya disuruh baris yang rapi dulu.” Zahra mengerling pada Oik, Oik mengangguk.

            “Baris yang rapi dulu! Bareng-bareng sama temen SMPnya aja! Setelah ini baru kami bacakan satu-persatu nama dan kelas kalian!” Oik berteriak nyaring, ia berjalan mondar-mandir di depan barisan adik-adik kelasnya.

            “Oik sok galak, ya!” Pricilla tertawa pelan seraya berbisik-bisik dengan Sivia, ia menggunakan nametag bertuliskan AP.

            Sivia mengangguk, “Oik judes banget!” sedangkan Sivia, menggunakan nametag bertuliskan SA.

            Masing-masing panitia MOS mengenakan sebuah nametag berwarna hitam dengan tulisan inisal masing-masing. Untuk para SK, nametag diberi tanduk merah. Untuk Ketua Panitia, Ketua Pelaksana, dan Ketua OSIS, nametag diberi tambahan lingkaran berwarna merah. Untuk para PK –Pembimbing Kelas–, nametag diberi sayap dari kertas lipat berwarna putih. Sedangkan panitia lain diberi garis dengan kertas lipat berwarna hijau tua.

            “Kak AM, Kak AZ, langsung dibacakan aja susunan kelasnya.” Zahra melirik Angel dan Shilla.

            Angel dan Shilla segera membacakan susunan kelas secara bergantian. Angel adalah Koordinator SK dan Shilla adalah salah satu anggotanya yang bertampang paling judes. Setelah membacakan seluruh susunan kelas, para PK –masing-masing kelas terdapat dua PK– segera memasukki kelasnya masing-masing.

**

            Seluruh panitia –kecuali SK dan PK– sedang berkumpul di Sekretariat OSIS. Zahra dan Oik sudah duduk bersebelahan membahas teknis MOS hari kedua. Sivia dan Pricilla sedang menyiapkan bendera dan segala macam peralatan untuk upacara pembukaan.

            Tak lama kemudian, para SK datang dan langsung duduk di sekitar Zahra dan Oik. Angel dan Shilla lah yang bertampang paling sebal. Entah kenapa. Zahra melirik pada kedua orang berbeda angkatan itu dengan pandangan bertanya.

            “Mbak Angel kenapa?” tanya Oik.

            Angel memutar bola matanya dengan kesal, “Sebel, Ik! Adik-adik kelasnya pada bandel!”

            “Mereka nyolot banget pas kita nasehatin. Anak-anak X-7, tuh, yang paling bikin kesel. Mereka sama sekali ga ngehargain aku, Mbak Angel, sama SK yang lain.” Shilla bercerita dengan menggebu-gebu.

            “Kita ke sana, yuk?” Zahra mengajak Oik.

            “Berdua aja?” Oik bertanya dengan ragu.

            Zahra mengangguk pasti, “Kenapa? Takut?”

            Oik menggeleng mantap, “Ga akan!”

            Zahra dan Oik pun bangkit. Angel dan Shilla menatap keduanya dengan bingung.

            “Udah, kalian di sini aja. Biar aku sama Oik yang ke sana.” Zahra mencegah Angel dan Shilla yang akan berdiri.

            “Ya udah..” Angel hanya mengangkat bahunya.

            Zahra dan Oik pun berlalu, menuju ke kelas X-7. Angel, Shilla, dan para panitia lain bersiap-siap untuk mengadakan upacara pembukaan.

            Zahra mengetuk pintu kelas X-7. Gita –salah satu PK X-7– membukakan pintu. Oik tersenyum sekilas pada teman sekelasnya itu. Keduanya pun masuk, diikuti Gita yang mengekor keduanya. Zahra dan Oik berdiri di depan kelas dengan wajah judes.

            “Pagi.” Oik menyapa adik-adik kelasnya dengan dingin.

            “Pagi, Kak!” sapa mereka balik.

            Zahra bersidekap tangan, mulai mandir-mandir di depan kelas dengan wajah menyeramkan dan mata yang menatap tajam, “Saya dengar kalian melawan perkataan kakak-kakak SK. Iya?”

            Hening.

            “Jawab!” Oik membentak mereka semua.

            “Maaf, Kak.” sebuah suara terdengar.

            Zahra menengok ke sumber suara, “Kenapa cuman satu yang minta maaf? Jadi, cuman ada satu orang aja siswa di kelas ini? Wow!”

            “Maaf, Kak.” koor mereka semua.

            “Ngebeo temennya aja, bisanya! Ga punya inisiatif sendiri buat minta maaf!” Oik menatap satu-persatu adik kelasnya dengan tajam.

            Hening.

            “Kenapa pada diem semua? Mana suaranya? Tadi pada celometan, kan, waktu kakak-kakak SK ke sini?!” Zahra menggebrak meja paling depan dengan keras.

            “Udah? Ga ada yang mau argumen?” suara Oik terdengar menggelegar.

            Seorang laki-laki mengangkat tangannya dan berdiri, “Maaf, Kak. Kami ga akan ngelakuin itu lagi.”

            “Siapa nama kamu?” Zahra menatapnya tajam.

            “Cakka Kawekas Nuraga, Kak.” anak laki-laki itu langsung menundukkan kepalanya.

            “Duduk!” perintah Oik. “Gini, ya.. Kami bukannya gila hormat atau apa. Kami cuman minta dihargain sama kalian semua! Kami ini kakak kelas kalian. Bisa, kan, dengerin omongan kami? Bisa, kan, ga ngejawab aja pas kami nasehatin?”

            “Bisa, Kak.” koor mereka, lagi.

            Lagi-lagi, seorang laki-laki mengangkat tangan kanannya dan berdiri perlahan, “Saya Alvin, Kak. Maaf, sebelumnya.. Yang saya tau, hanya beberapa aja yang bandel, bukan semuanya. Tapi kenapa semuanya ikut kena marah?” Alvin pun kembali duduk.

            “Kalian tau arti solidaritas ga, sih?” tanya Oik, ia menatap Alvin jengkel.

            “Udah, udah..” Zahra pun menggandeng tangan Oik keluar.

            Tepat ketika Zahra baru saja menutup pintu kelas, terdengar rebut-ribut dari dalam sana. Oik kembali membuka pintunya dengan kasar. Suasana kembali hening. Oik mengedarkan tatapan tajamnya ke seluruh penjuru kelas.

            “Kenapa langsung ramai gini waktu saya dan Kak ZD keluar?” bentak Oik, “Mau sok jadi jagoan yang ngelawan kakak kelasnya, hah?!”

            Hening.

            Tatapan Oik bertemu dengan Cakka. Cakka langsung menundukkan kepalanya. Terlihat wajah Alvin di belakang Cakka. Oik memelototinya hingga lelaki oriental itu juga menundukkan kepalanya. Oik langsung menutup pintu kelas dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berdebam yang menggema di seluruh penjuru sekolah.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar