“Hay!”
Ozy membalas sapaan mereka semua, tangan kanannya melambai pada mereka.
“Kamu
ngapain masih di sini, Cha?” tanya Shilla.
“Kan,
kalian tadi peluk aku!” jawab Acha.
Tanpa
ba-bi-bu lagi, Shilla segera mendorong tubuh mungil Acha ke arah Ozy. Setelahnya,
ia nyengir lebar dan mengacungkan jari telnjuk serta jari tengahnya pada sejoli
itu. Ozy dan Acha hanya tersenyum malu.
“Kalian
sudah ga marah lagi sama Acha, kan?” tanya Ozy, mereka bersembilan mengangguk
bersamaan, Ozy tersenyum lega.
Tiba-tiba
saja, terdengar jingle es krim dari
luar sana. Mereka semua berpandangan sesaat. Kemudian, berlari bersama ke luar
rumah Angel. Mereka mendapati seorang penjaja es krim keliling di seberang
rumah Angel.
“Esnya,
mas!” teriak mereka semua.
“Sudah.
Ayo ambil satu-satu! Aku yang bayar!” celoteh Shilla.
“Serius,
Shill?” tanya Sivia.
Shilla
menatap sekilas dan mengangguk. Lalu ia kembali sibuk memilih es krim, “Iya,
serius! Ayo ambil aja, Siv..”
Yang
lainnya hanya tersenyum senang dan segera berebut mengambil es krim. Sang
penjual hanya berdiri di samping dagangannya dengan mengulum senyum tipis.
Sepertinya hari ini dagangannya akan laku semua.
Mereka
telah mengambil es krim dengan varian favorit masing-masing. Membukanya, dan
melahapnya perlahan-lahan. Shilla kembali melongok ke barang dagangan penjual
tersebut. Sudah ludes. Padahal ia ingin membeli satu lagi.
“Jadinya
berapa, mas?” tanya Shilla, sang penjual terlihat sedang menghitung.
“Makasih,
Shill!” ucap Oik.
“Thanks, Shill! Akhirnya aku bisa makan
es krim gratis, hehe..” celoteh Zahra.
Ify
menyenggol pelan lengan Zahra, “Ngaco, ih! Kalau uangnya Shilla habis gara-gara
traktir kita gimana, coba?”
“Ga
apa-apa..” Shilla tersenyum pada keduanya.
“Kita
masuk duluan, Shill..” pamit Angel, diikuti dengan Ozy, Acha, Ify, Zahra, Oik,
Sivia, Aren, dan Nova.
Shilla
mengangguk, “He’eh.”
Mereka
bersembilan pun kembali masuk ke rumah Angel dan mengambil posisi masing-masing
di ruang keluarga kediaman tersebut. Shilla masih berada di luar, menunggu sang
penjual menghitung seluruhnya, ditemani oleh Keke.
“Jadinya
32.000, dik..” kata sang penjual.
Shilla
pun membuka dompetnya. Keke pun ikut melongok melihat isi dompet Shilla. Shilla
segera menjauhkan dompetnya dari pandangan Keke. Dengan cepat, Shilla
mengangsurkan berlembar-lembar uang pecahan 1000 dan 2000 kepada sang penjual.
“Dihitung
dulu aja, mas..” kata Shilla, kepalanya menunduk dalam.
Keke
mengernyit heran, “Kok uangnya recehan semua, Shill?”
“Eeeee..”
Shilla gelagapan, bingung mencari alasan yang tepat, “Aku... Aku... Belum ambil
uang di ATM, Ke. Iya. Dan uangku tinggal recehan begini,”
“Oh,”
Keke hanya mengangguk, sebenarnya ia pikir alasan Shilla tak cukup masuk akal.
“Iya,
pas. Makasih, dik!” kata sang penjual.
Shilla
dan Keke tersenyum pada sang penjual. Tak lama kemudian, penjual es krim itu
pun sudah menghilang dari pandangan Shilla dan Keke. Ia ditelan oleh gelapnya
malam. Shilla dan Keke pun kembali masuk ke dalam rumah Angel.
“Hey!
Kenapa lama banget?” sapa Aren, ketika keduanya baru saja memasukki ruang
keluarga.
“Itu...
Tadi mas-mas yang jual rebut nyari kembalian dulu. Iya,” jawab Shilla.
Keke
kembali mengernyit. Ia menatap Shilla lekat-lekat. Awalnya, Shilla tak sadar.
Tapi, lama-kelamaan, Shilla pun sadar bahwa ia telah ditatap lekat-lekat oleh
Keke. Wajah Shilla mendadak pias. Ia salah bicara! Shilla menahan napas. Ia
segera berangsur menjauh dari sisi Keke.
Tin
tin!
Terdengar
bunyi klakson motor dari luar sana. Oik mengerjap. Ia menepuk pelan jidatnya.
Ia segera mengambil tasnya dan bersalaman dengan mereka semua. Ia lupa.
Benar-benar lupa.
“Aku
duluan, ya! Lupa kalau Alvin mau jemput, padahal tadi dia sudah BBM aku,
hehe..” kata Oik, disela-sela gerakannya menyalami mereka semua.
“Cie
dijemput Alvin!” celetuk Nova.
“Apa,
sih, Nov?” sangkal Oik, wajahnya mendadak memerah.
“Hati-hati,
Ik!” pesan Acha, orang terakhir yang disalami oleh Oik.
“Sip!
Duluan, ya!” teriak Oik.
Oik
pun lekas keluar. Alvin sudah menunggunya di luar sana. Masih ada sembilan tamu
lagi di rumah Angel. Angel berkali-kali mengedik pada jam yang menggantung di
salah satu sudut ruang keluarga. Ini sudah hampir malam.
Acha
dan Ozy bangkit, “Kita pulang dulu, ya. Sudah malam. Bye!”
Kedelapan
orang lainnya hanya mengangguk seraya melambaikan tangan pada mereka berdua.
Keduanya pun melesat menuju rumah Acha.
Berangsur-angsur,
rumah Angel mulai sepi. Nova dijemput oleh Lintar. Keke dijemput oleh Deva. Ify
dijemput oleh Gabriel. Dan Zahra yang dijemput oleh mamanya. Tinggallah Shilla,
Sivia, dan Aren di rumah Angel.
“Bukannya
maksud untuk mengusir. Tapi ini, kan, sudah malam. Kalian bertiga ga pulang?”
tanya Angel, menatap ketiga sahabatnya satu-persatu.
“Ya
udah, deh. Aku pulang, Ngel!” kata Aren, ia pun bangkit dari kursinya.
“Hati-hati!”
balas Angel, ia menepuk pelan bahu Aren.
“Kalian
berdua mau aku antar? Kebetulan sopir yang jemput aku,” tawar Aren.
Sivia
mengangguk, “Boleh, deh. Dari tadi aku coba telpon rumah tapi ga ada yang
mengangkat,”
“Shilla
bareng Aren sekalian?” tanya Angel, Shilla mengangguk ragu-ragu.
“Yuk,
Shill!” ajak Aren.
Ketiganya
pun bergegas menuju halaman rumah Angel, Angel mengekornya. Mobil beserta sopir
Aren telah bertengger di sana. Mereka pun segera naik ke mobil Aren dan melesat
meninggalkan rumah Angel.
^^^
“Pak,
antar teman-teman saya dulu, ya..” pesan Aren, ketika ketiganya telah berada di
dalam mobil.
“Iya,
mba’..” jawab sang sopir.
“Ini
siapa dulu yang diantar?” tanya Aren pada Sivia dan Shilla.
“Sivia
saja,” jawab Shilla dengan cepat.
“Shilla,
dong, Ren. Rumah kita, kan, searah banget!” jawab Sivia kemudian.
Aren
hanya mengangguk, “Rumah kamu di mana, Shill?” tanya Aren.
Shilla
masih terdiam. Merutukki dirinya sendiri diam-diam karena telah menerima
tawaran Aren untuk mengantarkannya. Tiba-tiba, Sivia menyenggol lengannya
dengan keras. Shilla pun mendongak menatap Sivia.
“Apa,
Siv?” tanyanya.
“Rumah
kamu itu di mana? Kita, kan, mau antar kamu dulu,” ulang Aren.
“Errr...
Rumahku... Jalan Sarangan!” jawab Shilla dengan terbata.
Aren
kembali mengangguk. Ia berbicara kepada sang sopir dengan menyebut nama jalan
letak rumah Shilla. Mobil itu pun melaju ke pusat Kota Malang, menuju Jalan
Sarangan. Mobil mulai memasukki Jalan Sarangan dari Jalan Jaksa Agung Suprapto.
Sang sopir pun memperlambat laju mobil.
“Mba’,
rumahnya nomor berapa?” tanya sang sopir.
Sivia
dan Aren mengedik pada Shilla. Wajah Shilla kembali pias, “Kiri, pak! Kiri! Stop! Nah, ini..”
Mobil
pun berhenti di depan sebuah rumah megah dengan taman yang luas di depannya.
Sivia dan Aren melongok melihat rumah tersebut. Keduanya berdecak kagum
melihatnya.
“Ini
rumah kamu, Shill?” tanya Aren dengan masih menatap rumah megah tersebut.
“Besar
banget, Shill. Bagus, pula!” desis Sivia.
“Iya.
Ya sudah, aku turun. Kalian cepat pulang, ini sudah malam,” pesan Shilla.
Shilla
pun segera turun dari mobil Aren dan kembali menutup pintunya. Aren membuka
kaca mobilnya. Shilla melambai pada keduanya. Keduanya tersenyum pada Shilla
seraya curi-curi pandang ke arah bangunan megah di belakang Shilla.
“Cepat
masuk, Shill. Di luar dingin..” kata Sivia.
Shilla
hanya menggeleng. Cepat-cepat ia rangkai alasan yang masuk akal dalam otaknya,
“Ga. Nanti tetangga-tetanggaku kira aku ga sopan karena membiarkan kalian di
sini terus. Sudah, kalian pulang sana,” usir Shilla dengan senyum lucunya.
“Ya
sudah. Bye, Shill!” pamit Aren.
Shilla
mengangguk dan tersenyum. Aren kembali menutup kaca mobilnya. Mobil pun
melesat. Meninggalkan Shilla dengan bangunan megah di belakangnya. Shilla
segera membalikkan badannya. Ia berjalan dengan gontai seraya menundukkan
kepalanya.
“Mba’
Shilla! Dicari adiknya, itu. Ibu lagi ngambil sisa dagangan di toko depan,”
sapa sebuah suara.
Shilla
mendongak. Ia mendapati salah seorang tetangganya di depannya. Shilla pun
tersenyum padanya.
“Iya,
bu. Ini saya juga mau langsung pulang,” balasnya.
^^^
Pagi
itu, Nova berangkat bersama papanya. Papanya yang menyetir. Kebetulan, papanya
ada banyak kerjaan. Jadilah, beliau berangkat sepagi ini.
Beberapa
ratus meter dari SMP Mariskova, Nova melihat seorang gadis berseragam sama
seperti dirinya di depan sana. Berjalan dengan tas terselempang di bahunya.
Nova menyipitkan matanya.
Perlahan,
mobilnya melewati gadis itu. Nova mengintipnya dari spion mobil. Ia terperanjat
ketika menyadari siapa gadis dengan peluh yang membanjiri wajah ayunya itu.
“Shilla..”
^^^
Bel
masuk sudah hampir berbunyi. Angel, Sivia, Ify, Zahra, Oik, Aren, Acha, dan
Nova sudah standby di tempat duduk
masing-masing. Hanya saja, kursi di samping Sivia dan Oik masih kosong.
“Nova
dan Shilla ke mana?” tanya Sivia.
Ify
menggeleng, “Mungkin terlambat,”
“Siapa
yang terlambat?” sahut sebuah suara, disusul dengan bunyi tas yang dilempar
begitu saja di samping Oik.
Kedelapannya
pun mendongak. Nova sudah datang rupanya. Berarti tinggal Shilla saja yang
belum. Nova pun segera duduk. Ia masih sibuk mengatur napasnya setelah ia
berlarian dari gate menuju kelasnya.
“Eh,
kalian tau ga?” tanya Nova.
“Tau
apa?” tanya Acha balik.
“Ya
jelas kita ga tau, Nov! kamu, kan, belum kasih tau kita!” seru Oik dengan
gemas.
Nova
pun mulai bercerita, “Tadi, waktu di jalan, aku lihat.....”
“Hay!”
sapa sebuah suara, dengan napas yang memburu.
Lagi-lagi,
mereka semua diharuskan untuk mendongak. Dan, terpaksa, cerita Nova terpotong.
Rupanya Shilla. Ia datang dengan peluh yang membanjiri wajahnya. Ia segera
duduk dan mengintip kolong bangkunya.
“Ada
kado lagi, Shill?” tanya Aren.
Shilla
mengangguk. Ia segera mengeluarkan semua kado yang ada di dalam kolong
bangkunya dan meletakkannya di atas bangku. Ia tersenyum penuh arti.
“Kamu
ngapain senyum-senyum?” tanya Acha.
“Jangan
bilang kalau kamu akan menanggapi para pengirim kado itu,” ancam Keke.
Shilla
hanya menggeleng. Lagi-lagi, ia tersenyum penuh arti. Ia pun segera memasukkan
semua kado tersebut ke dalam tasnya.
“Kok
keringetan, Shill?” tanya Angel, sedari tadi ia menatap Shilla lekat.
“Iya.
Itu... Tadi... Eeeee... Aku lari dari gate
sampai sini,” jawab Shilla.
Keke
terlihat kembali mengernyit, “Kamu ke sekolahnya jalan kaki?”
Shilla
tersenyum hambar, “Ga, Ke. Mana mungkin aku jalan kaki? Terus, sopir aku
ngapain, dong?” candanya.
Nova
menahan napasnya untuk beberapa detik. Diantar sopir? Lantas, siapa gadis yang
ia lihat tadi di trotoar? Ia Shilla, kan? Iya, pasti! Nova tak mungkin salah
lihat. Lagipula, gadis di trotoar tadi mengenakan tas yang sama persis dengan
milik Shilla.
Ify
kembali menengok kepada Nova, “Kamu tadi mau cerita apa, Nov?”
“Ga.
Bukan apa-apa. Ga penting, kok. Kapan-kapan juga bisa,” kata Nova.
^^^
Bel
istirahat berbunyi. Mereka bersepuluh pun segera melenggang menuju kantin.
Pelajaran Matematika tadi sudah cukup menguras otak mereka. Pasalnya, tadi ada
ujian dadakan.
Bayangkan!
Bisa apa mereka bersepuluh? Mereka bersepuluh, kan, tadi malam berada di rumah
Angel. Bersama Ozy pula. Jadilah, tak ada persiapan sedikitpun untuk ujian
dadakan tadi. Membuka buku catatan saja tidak.
Begitu
sampai di kantin, kesepuluhnya langsung berpencar menuju stan favorit
masing-masing. Shilla dan Zahra menuju stan milik Bu Ade. Mereka pun memesan
menu favorit mereka. Nasi rames dan susu kedelai.
Shilla
masih sibuk dengan dompetnya ketika Zahra telah menyerahkan selembar uang
berwarna ungu kepada Bu Ade. Untuk sejenak, Zahra menunggu Shilla.
“Kembaliannya
ambil aja, Bu Ade..” kata Zahra.
“Kenapa,
Shill?” tanya Zahra, ia melongok ke dalam dompet Shilla.
Shilla
hanya menggeleng. Rupanya jemari Shilla sedang menghitung uang receh di dalam
sana. Zahra sedikit kagok karenanya. Tak ingin semakin kagok, ia pun mengambil
ancang-ancang untuk segera bergabung dengan yang lainnya.
“Shill,
aku duluan, ya? Sudah lapar soalnya,” pamit Zahra.
“Iya,
duluan aja, Ra. Aku nanti nyusul, kok,” sahut Shilla, tanpa mengalihkan pandangannya
sedikitpun dari dompetnya.
Zahra
pun berjalan meninggalkan Shilla. Ia segera menuju meja tempat kedelapan
sahabatnya telah duduk. Ia berjalan dengan menenteng makan siangnya dan
tenggelam dengan pikirannya mengenai Shilla.
“Shilla
mana, Ra?” tanya Oik, ketika Zahra baru saja duduk di salah satu kursi yang
kosong.
Zahra
mengedik pada stan Bu Ade, “Masih hitung uang buat bayar,”
“Hitung
uang? Uang receh?” tanya Keke, beruntun.
“Iya.
Kok tau, Ke?” Zahra mengangguk bingung.
Kedelapannya
pun segera mendekatkan kursi masing-masing pada meja. Membentuk lingkaran yang
hanya berjarak beberapa centi dari
ujung meja tersebut. Kedelapannya mengedik pada Shilla, rupanya ia masih sibuk
dengan dompetnya di sana.
“Kemarin
waktu dia bayarin es krim kita, di rumah Angel, dia pakai uang recehan juga.
Katanya, sih, karena dia belum ambil uang di ATM,” jelas Keke.
“Masa,
sih? Kemarin, kan, Shilla bilang kalau kalian berdua agak lama masuk ke dalam
karena mas-mas penjual es krimnya sibuk cari kembalian,” sela Angel.
Keke
mengangkat bahunya, “Aku juga ga tau, Ngel..”
“Tadi
pagi aku lihat Shilla jalan di trotoar. Beberapa ratus meter dari sekolah. Dan
aku ga mungkin salah lihat!” kata Nova.
Mata
Acha membulat sempurna, “Lho? Tadi, kan, dia bilang kalau dia ke sekolah
diantar sama sopir!”
“Guys! Barusan ini, di stan Bu Ade, aku
ihat Shilla lagi hitung uang recehan,” celetuk Zahra.
Ify
membuka mulutnya, “I got it, girls! Mungkin saja, Shilla itu.....”
“Ga
mungkin! Tadi malam, aku antar Shilla pulang ke rumahnya. Dan rumah Shilla itu
megah banget! Mewah!” sangkal Aren.
“Iya.
Jangan su’udzon dulu..” timpal Sivia.
“Gimana
kalau kita selidiki saja?” tanya Oik.
^^^
Shilla
baru saja membalikkan tubuhnya dan akan menuju tempat kesembilan sahabatnya duduk
ketika ia hampir saja menabrak seseorang. Shilla membeku di tempat. Ia
mendongak, menatap orang yang hampir ia tabrak tadi.
“Maaf...
Kak,” lirih Shilla, menyadari lelaki di hadapannya ini berseragam putih
abu-abu.
“Iya,
ga apa-apa,” balas lelaki tersebut.
Lelaki
itu tersenyum pada Shilla. Shilla kembali membeku. Ia menyingkir sedikit dari
hadapan lelaki manis itu. Memandangi punggungnya yang kini berada di stan milik
Bu Ade.
Shilla
meletakkan tangan kirinya di depan dada. Ia sadar betul detak jantungnya sudah
sangat tak karuan. Ia tersenyum sendiri. Shilla pun berjalan menuju tempat
kesembilan sahabatnya duduk dengan senyum malu-malu. Dan, sebentar-sebentar, ia
melirik lelaki berseragam putih abu-abu yang nyasar di SMP Mariskova tersebut.
Ini, ya, yang namanya jatuh cinta..
^^^
Shilla
turun dari dalam mobil Aren. Aren membuka kaca mobilnya. Shilla melongok ke
dalam untuk sekedar berpamitan kepada Aren, Sivia, Keke, Zahra, dan Ify.
Kelimanya melambai pada Shilla.
Shilla
pun bergerak mundur, menjauh dari mobil Aren. Tapi mobil Aren tak kunjung
melaju juga. Shilla langsung was-was seketika itu juga.
“Masuk,
dong, Shill..” suruh Ify.
“Ga.
Nanti tetangga-tetangga aku kira aku ini ga sopan..” tolak Shilla.
“Ga
usah terlalu pikirin apa yang mereka katakan, Shill. Masuk, gih, cepet,” timpal
Keke.
Dan,
dengan langkah berat, Shilla bergegas menuju rumah megah itu. Tangan kanannya
memegang pagar berwarna emas itu. Ia menengok ke belakang. Kelima sahabatnya
sedang tersenyum di sana. Perlahan-lahan, mobil Aren mulai meninggalkannya.
“Huh!
Akhirnya..” Shilla mengembuskan napas lega, ia menundukkan kepalanya.
“Hey!
Sedang apa kamu?” tanya sebuah suara.
Sebuah
siluet muncul dari dalam rumah megah tersebut. Perlahan-lahan mulai berjalan ke
arahnya. Shilla hanya mampu menahan napas ketika menyadari siluet siapakah itu.
Siluet, yang telah muncul sepenuhnya, itu segera membuka pagar dan menatap
Shilla lekat.
“Kamu,
kan.....” katanya menggantung.
“Iya,
kak. Aku yang tadi hampir menabrak kakak di kantin SMP Mariskova,” kata Shilla,
wajahnya menunduk, menyembunyikan rona merah di kedua pipinya.
Lelaki
itu tersenyum, “Iya, aku ingat. Aku Rio, kamu siapa?” lelaki itu menyodorkan
tangan kanannya.
“Aku
Shilla, kak..” Shilla menyambut uluran tangan Rio, “Sedang apa tadi di
Mariskova, kak?” tanyanya.
“Beli
nasi ramesnya Bu Ade. Aku alumni Mariskova, kok, Shill..” jawabnya.
“Oh,”
Shilla membulatkan bibirnya.
“Kamu
ngapain kemari, Shill?” tanya Rio.
Shilla
gelagapan, “Ga, sih, kak. Ini tadi mendadak pusing saja. Aku cepat-cepat cari
tumpuan biar ga limbung. Jadinya, ya, bertumpu di pagar rumah Kak Rio,”
“Kamu
pusing, Shill? Masuk saja dulu, istirahat di dalam..” tawar Rio.
Shilla
menggeleng seraya tersenyum tipis, “Ga usah, kak. Makasih. Aku cuman mau kasih
ini..”
Shilla
cepat-cepat membuka tasnya. Ia mengeluarkan sebatang coklat dari secret admirernya dan menyerahkannya pada Rio. Rio menerimanya dengan
senyum mengembang.
“Itu
sebagai permintaan maafku karena tadi aku hampir nabrak Kak Rio,”
“Oke.
Makasih, Shill!”
“Ya
sudah. Aku pulang duu, ya, kak. Sore!” pamit Shilla.
Shilla
pun membalikkan badannya. Melangkahkan kakinya menjauhi rumah megah milik Rio.
Ketika itu pula, Rio menutup pagarnya dan masuk ke dalam rumah. Ketika Shilla
menengok ke belakang, Rio sudah hilang dari pandangannya.
^^^
Aren,
Keke, Sivia, Zahra, dan Ify sudah kembali berada di tempat ketika menurunkan
Shilla beberapa menit yang lalu. Mobil Aren berhenti. Kaca mobil di kedua sisi
pun telah dibuka lebar-lebar. Kelimanya celingukan kesana-kemari.
“Shilla
ke mana, ya?” tanya Zahra, entah kepada siapa.
Keke
menggelengkan kepalanya, “Dia hilang,”
“Nah,
kan.. Mungkin saja Shilla sudah masuk ke rumah itu,” telunjuk Sivia mengarah
pada rumah mewah nan megah di sebelah kiri, “Jangan su’udzon, makanya..”
“Ya
sudah, kita balik aja, yuk..”
^^^
Aren
beserta sopirnya baru saja mengantarkan Keke, Ify, Zahra, dan Sivia ke rumah
masing-masing. Sekarang, keduanya sedang terjebak macet di pertigaan menuju
Jalan Buring. Karena bosan, Aren membuka lebar-lebar kaca mobilnya dan melongok
keluar sana.
Tak
sengaja, matanya tertuju pada seorang gadis dengan rambut bergelombangnya yang
sedang hinggap dari mobil yang satu dan mobil yang lainnya. Aren mengerjap,
kaget. Ia pun segera menutup kaca mobilnya seketika itu juga.
“Mereka
semua harus tau ini,” desis Aren.
Dengan
cepat, ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat untuk delapan
orang. Setelah itu, ia kembali menatap penuh tanya pada siluet tubuh gadis
berambut bergelombang itu.
^^^
Acha
baru saja tiba dengan sepeda anginnya. Kebetulan, rumahnya tidak terlalu jauh
dengan sebuah alamat yang diberikan oleh Aren melalui SMS tadi. Acha
mengedarkan pandangannya, mencari-cari sesuatu.
“Acha!”
Acha
pun menengok. Didapatinya Aren di seberang jalan sana. Acha pun segera turun
dari sepeda anginnya dan menuntunnya ke seberang jalan, menghampiri Aren.
“Ada
apa, Ren?” tanya Acha.
“Tunggu
yang lain datang saja dulu,” jawab Aren, pendek.
Tak
lama kemudian, datanglah Sivia. Berangsur-angsur setelahnya, datanglah Oik,
Ify, Zahra, Angel, Nova, dan Keke. Kesembilannya tetap berada di seberang
jalan, seberang rumah mewah nan megah, dan seberang.....
“Itu
dia!” pekik Aren, dengan suara tertahan.
Kepala
Angel, Ify, Sivia, Zahra, Oik, Keke, Acha, dan Nova pun segera mengikuti arah
telunjuk Aren. Kedelapannya menahan napas seketika itu juga.
“Kita
susul dia saja,” komentar Ify, yang lainnya hanya mengangguk.
Lalu,
kedelapannya pun segera menyeberang. Mengikuti siluet seorang gadis yang masuk
ke sebuah gang tikus, tepat di samping rumah mewah nan megah itu.
“Bukannya
itu rumah Shilla?” tanya Sivia, telunjuk Sivia mengarah ke rumah megah di bibir
gang tikus tersebut.
“Sudah,
ikuti saja..” sahut Nova.
Kedelapannya
pun berhenti. Seiring dengan berhentinya sebuah siluet di depan sana. Siluet
tersebut terlihat sedang melepas alas kakinya dan masuk ke sebuah rumah kecil
yang kusam. Kesembilannya tercengang kaget.
“Shilla,”
desis Sivia, tak percaya.
“Rumahnya
dia bukan yang di depan itu?” tanya Zahra.
Siluet
itu mematung untuk beberapa saat. Pelan-pelan, ia menengok ke belakang.
Tatapannya terantuk pada kesembilan gadis yang berjubel di gang tikus itu. Raut
wajahnya menegang. Seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.
“Kalian.....”
ucapnya menggantung.
“Itu
benar-benar kamu, Shill?” tanya Angel.
“Bukannya
rumah kamu yang di depan sana?” tanya Aren.
“Ini
rumah siapa, Shill?” tanya Oik.
“Kenapa
masuk ke gang tikus begini?” tanya Nova.
“Shilla.....”
baru saja Acha akan berkata, orang yang bersangkutan telah memotongnya.
“SEDANG
APA KALIAN SEMUA DI SINI?! KALIAN GA ADA HAK SAMA-SEKALI UNTUK TAU SEMUA INI!
PERGI KALIAN!” ucapnya, kedua telapak tangannya menutupi daun telinganya dengan
rapat-rapat.
Acha,
yang notabenenya paling tak tega, langsung berjalan menghampiri Shilla. Tangan
kanannya terulur untuk mengusap-usap bahu sahabatnya tersebut.
“Shill---”
“APA
KAMU?! KAMU MAU BILANG AKU MUNAFIK, HAH?! KAMU MAU BALAS DENDAM KE AKU KARENA
TEMPO HARI AKU BILANG KAMU MUNAFIK?!” teriak Shilla, tangannya menepis kasar
tangan Acha yang bertengger di bahunya.
Acha
menahan napas. Ia terlampau kaget dengan reaksi Shilla, begitupula dengan
kedelapan gadis yang lainnya.
“Kamu
kenapa, sih, Shill?” tanya Keke.
Shilla
pun beralih menatap Keke dan ketujuh sahabatnya yang lain, “KALIAN YANG
KENAPA?! KENAPA KALIAN MENGIKUTIKU?!”
“Kita
hanya ingin tau kamu, Shill..” jawab Nova.
“Tapi
aku sama sekali ga mau kalau kalian tau siapa aku sebenarnya!” hardik Shilla.
“Kamu
bukan Shilla. Kamu bukan Ashilla Zahrantiara, sahabat kami..” desis Aren.
“Oh,
begitu? Fine! Kalian juga bukan sahabat aku! Aku tau betul, kalian pasti ga mau
punya sahabat semiskin aku!” desis Shilla.
“Pikiran
kamu picik banget, Shill, kalau kamu kamu berpikiran kami semua ini hanya mau
berteman dengan orang-orang kaya,” balas Oik.
“Cukup
tau kita, Shill..” kata Ify, ia menggeleng tak percaya.
“Sudahlah,
Cha. Kamu sedang apa di situ, di sisi orang berpikiran dangkal?” tanya Sivia,
ia menarik lengan Acha.
“Aku
di sini saja, sama Shilla..” jawab Acha.
“Lihat,
Shill! Lihat Acha!” telunjuk Angel mengarah pada Acha, “Lihat! Kita ga menilai
kamu hanya dari kaya atau miskinnya kamu! Kita sayang kamu apa adanya, Shill!”
“Benar?”
tanya Shilla, kesembilan sahabatnya mengangguk.
^^^
Sepulang
sekolah, kesepuluh gadis itu pun segera meluncur menuju rumah Aren. Hari ini
hari Jumat. Wajar saja kalau siang-siang begini mereka semua sudah pulang.
Begitu
sampai di rumah Aren, mereka meletakkan tas masing-masing di kamar Aren.
Sesudahnya, menuju dapur dan mulai mengobrak-abrik koleksi resep kepunyaan
ibunda Aren. Masing-masing dari mereka membuka lembar demi lembar koleksi resep
tersebut dengan brutalnya.
“Mau
masak apa untuk Kak Rio, Shill?” tanya Angel, pandangannya masih terfokus pada
kumpulan resep kue di depannya.
“Gimana
kalau sushi?” usul Zahra.
“Jangan
sushi, ah. Wajahnya Kak Rio, kan,
Indonesia banget. Takutnya, dia ga suka sushi,” bantah Ify.
“Terus
apa? Atau makanan Indonesia aja?” tanya Sivia.
“Ralat!
Kue khas Indonesia!” potong Oik, cepat.
“Pastel
tutup aja, gimana?” sergah Keke, matanya membulat sempurna melihat gambar
pastel tutup di depannya.
“Terlalu
ribet,” tolak Nova.
“Ginger cake?” tanya Aren.
“Itu,
kan, kue yang pedas. Jangan! Takutnya Kak Rio ga mau,” kata Acha.
“Gimana
kalau putu mayang?” tanya Shilla, terdengar ragu-ragu.
“NAH!!”
kesembilan sahabatnya pun mengangguk setuju.
Bahan-bahan
mulai disiapkan. Sebagian langsung mengambil dari almari dan sebagian lagi,
yang memang Aren tak punya, beli di toko. Ify dan Acha cepat-cepat berlari ke
toko terdekat. Member kelapa utuh dan esens strawberry.
Mereka sengaja membuat putu mayang rasa strawberry,
bukan rasa pandan.
^^^
Mobil
milik Aren baru saja berhenti di depan rumah megah Rio. Nova segera mendorong
tubuh Shilla keluar dari dalam mobil. Setelahnya, dengan cepat ia menutup pintu
mobil dan membuka kacanya.
“Sekarang,
ya?” tanya Shilla.
Keke
dengan gemas menatap Shilla, “Iya, dong, Shill! Kapan lagi? Tahun depan? Ck!”
“Tapi
aku malu..” sahut Shilla, ia pun segera menundukkan kepalanya.
“Malu
apa, sih?” tanya Aren.
“Aku,
kan, perempuan. Masa, ya, aku dulu yang ‘bilang’ ke Kak Rio?” lirihnya.
“Emansipasi
wanita, Shill!” celetuk Acha.
“Udah!
Hush hush! Sana!” usir Zahra.
Dengan
cemberut, Shilla pun berlalu menuju gerbang rumah Rio. Ia masih memakai seragam
sekolahnya. Sayangnya, seragamnya terlihat sangat kucel karena ia pakai memasak
tadi. Ia juga menggenggam erat sebuah kotak kue berwarna biru langit yang
berisi putu mayang untuk Rio.
Ketika
ia sampai di depan gerbang, Shilla mengedik ke belakang. Kesembilan sahabatnya
langsung sibuk sendiri, berpura-pura tak melihatnya. Shilla mengeluh jengah.
Tangannya pun bergerak untuk memencet bel ketika kepalanya masih menengok ke
belakang.
Ting
tong!
“Cari
siapa?” tanya sebuah suara.
Shilla
meloncat kaget. Ia pun segera menengok ke sumber suara tersebut, pipinya
mendadak merona merah.
“Oh,
kamu, Shill..” kata suara itu lagi.
“Sore,
kak..” sapa Shilla balik.
“Ada
apa, Shill? Kok ke sini?” tanyanya lagi, Rio.
Shilla
pun segera menyodorkan kotak kue berwarna biru langit itu kepada Rio, “Ini buat
kakak,” katanya.
“Makasih,”
Rio pun tersenyum, cukup membuat Shilla melayang.
“Errr,
kak..”
“Iya.
Kenapa, Shill?”
“Aku.....”
“Kamu
kenapa?”
“Suka
sama kakak,” kata Shilla, tanpa jeda sedikitpun.
“Hah?
Apa, Shill? Ngomong yang jelas, dong!” Rio menggaruk tengkuk kepalanya yang tak
gatal.
“Aku.....
Suka..... Sama..... Kak Rio,” jawab Shilla.
Mata
Rio membulat, “Aduh, Shill.. Gimana, ya?” gumamnya.
“Aku
ga maksa kakak buat jadi pacar aku, kok. Aku cuman mau bilang aja ke kakak.
Kalau kakak ga suka sama aku, ya, ga apa-apa,” jawab Shilla dengan cepat.
“Aduh,
bukannya gitu..”
Perlahan-lahan,
kesembilan sahabat Shilla yang lainnya pun turun dari mobil Aren. Kesembilannya
berdiri di belakang Shilla. Rio sempat kaget melihat mereka bersembilan.
“Mereka
sahabat-sahabat aku, kak..” jelas Shilla.
“Oh,”
“Iya,
terus gimana?”
“Kamu
tau love at the first sight ga?”
tanya Rio.
“Tau,
kak..” Shilla menjawab dengan jantung yang sudah lompat kemana-mana.
“Ya,
itu.. Aku ke kamu,”
Shilla
menahan napas, “Serius, kak?”
“Iya..”
lagi-lagi, Rio menjawab seraya tersenyum manis.
“AAAAAAAA!!!”
Shilla berteriak senang, ia pun segera berbalik dan memeluk kesembilan
sahabatnya.
“Kok
malah pelukan sama kita, sih, Shill? Peluk Kak Rio aja, dong..” celetuk Oik,
dengan wajah polosnya.
Seketika
itu pula, wajah Rio dan Shilla memerah..
0 komentar:
Posting Komentar