“Kamu
Mama antar aja, ya, Ik, berangkat sekolahnya?” Mama Oik memerhatikan gadis
mungilnya yang sedang sarapan itu.
Oik
menggeleng cepat, “Ga usah, Ma. Nanti Mama capek. Sekolah aku, kan, jauh!”
Kali
ini ganti mamanya yang menggeleng, “Ga bisa. Nanti kamu bohongin Mama lagi!
Bilang naik angkot tapi ternyata dibonceng cowok.”
Oik
memutar otaknya. Bagaimana pun caranya, dia harus berangkat sekolah sendiri.
Jangan sampai Mamanya mengatarnya hingga ke sekolah. Ini semua gara-gara
tante-tante yang tinggal di ujung kompleks itu. Bermulut besar sekali! Huh!
“Ya
udah, gini aja.. Mama nganterin aku sampai depan kompleks. Nungguin aku sampai
dapat angkot juga boleh. Oke, Ma?” tawar Oik.
Mama
Oik pun mengangguk. Paling tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri
bahwa Oik berangkat menggunakan angkot, tidak berboncengan dengan lelaki mana
pun lagi. Beliau dapat menghela napas lega sekarang, begitu pula dengan Oik
yang masih menyimpan rencananya rapat-rapat dengan senyum tertahan.
Setelah
selesai sarapan, mereka berdua pun beranjak meninggalkan rumah sederhana
tersebut dengan terlebih dahulu mengunci pintunya. Mereka berdua berjalan
beriringan menuju depan kompleks. Oik masih juga belum menyadari sebuah
‘kesalahan’ kecilnya.
“Kamu
biasa nunggu angkot di mana, Ik?” tanya mamanya ketika mereka berdua telah
sampai di depan kompleks.
“Di
sini aja, Ma.” Oik menjawab seraya mengedarkan pandangannya. Tepat ketika
pandangannya tertumbuk pada sebuah siluet laki-laki yang terduduk di atas
motornya di bawah pohon akasia, Oik terkesiap.
“Kenapa,
Ik?” tanya mamanya, menyadari putrinya mendadak berkeringat dingin.
Oik
menggeleng perlahan, “Ga kenapa-kenapa, Ma.” Oik kembali mengedarkan
pandangannya, menangkap bayangan angkot yang lewat. “Itu, Ma, angkotnya!”
Oik
melangkah ke tepi jalan dengan gelisah, ada Cakka di sana. Angkot itu pun
berhenti, mempersilakan Oik masuk. Oik duduk di belakang. Beberapa detik
kemudian, angkot pun melaju. Oik dapat melihat mamanya yang perlahan berbalik
dan kembali ke rumah, serta Cakka yang mengikutinya menggunakan motor.
Oik
pun buru-buru memberi kode kepada sang sopir angkot begitu menyadari angkot
telah berada di sebuah perempatan yang lumayan jauh dari kompleks rumahnya.
Angkot berhenti, Oik turun, dan membayar. Oik melangkah menuju motor Cakka yang
terparkir di depan sebuah halte.
“Kka,
kamu jemput aku?” tanya Oik, setelah Cakka menyadari kehadirannya dan
melepaskan helm.
Cakka
mengangguk dengan bingung, “Iya, lah, Ik. Memang gini, kan, biasanya?”
Oik
kembali gelisah, “Aduh, Kka.. Semalem aku lupa ngasih tau kamu kalau hari ini
kamu ga perlu jemput aku.”
“Lho?
Emang kenapa, Ik?”
“Masalahnya---,”
Belum sempat Oik menyelesaikan kalimatnya, sebuah motor berhenti di samping
keduanya. Pengendara motor tersebut pun melepaskan helmnya setelah mematikan
mesin motornya terlebih dahulu. “Papa...”
“Mama
kamu ga tau kalau kamu mau berangkat dianter Papa, kan, Ik?” tanya pengendara
motor tersebut –yang ternyata adalah Papa Oik–.
Oik
menggeleng, “Ga, sih, Pa. Tapi...” Oik menggantungkan kalimatnya, menyenggol
rusuk Cakka dengan lengannya.
“Dia
siapa, Ik?” tanya Papa Oik, mengedik ke arah Cakka.
“Nah
itu, Pa!” Oik menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. “Aku lupa ngasih tau
Cakka kalau hari ini aku berangkat sama Papa.”
“Pacar
kamu?” tanya Papa Oik, menatap anaknya dengan senyum penuh arti.
“Jangan
marah tapi, Pa..” Oik mengangguk dengan ragu-ragu. Perlahan, Oik meremas tangan
Cakka yang sedang menggenggamnya.
“Kenapa
harus marah, Ik?” Papanya mengusap lengan Oik penuh sayang.
“Kan,
Mama ga bolehin aku pacaran. Takutnya Papa juga ga ngebolehin. Makanya aku sama
Cakka kalau berangkat sekolah bareng, ya, sembunyi-sembunyi gini, takut
ketahuan Mama. Mama kemarin marah waktu tetangga bilang aku berangkat sekolahnya
diboncengin cowok, bukan naik angkot.” Oik menjelaskan dengan perlahan.
Papa
Oik mengangguk mengerti, “Ya sudah..” Beliau menepuk bahu Cakka, “Kamu anter
Oik sekolah, ya. Saya langsung balik ke Bekasi aja, takut Mama tirinya Oik tau
kalau saya ke sini. Jaga Oik, ya.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Papa
Oik bergegas kembali melaju dengan motornya, meninggalkan Cakka dan Oik yang
terbengong-bengong karenanya.
**
Bel
istirahat baru saja berbunyi. Oik, Pricilla, Ify, dan Sivia sudah duduk manis
di salah satu spot paling nyaman di
kantin. Oik dan Sivia tetap duduk, sedangkan Pricilla dan Ify kembali bangkit
untuk memesan makanan.
Setelah
selesai memesan makanan, Ify kembali dengan membawa sebuah nampan yang terisi
penuh oleh menu makan siang mereka berempat. Sedangkan Pricilla masih mengantri
minuman. Ify, Oik, dan Sivia belum menyentuh makanan mereka karena masih
menunggu Pricilla.
Lima
menit kemudian, Pricilla kembali dengan tiga gelas jus jeruk. Ia segera
meletakkannya di meja.
“Terus
minuman lo mana, Pris?” tanya Sivia ketika menyadari Pricilla hanya membawa
tiga gelas jus jeruk.
“Gue
pesen jus sirsak, masih dibuatin. Makanya gue mau balik sana lagi.” Pricilla
pun kembali ke stan kantin tersebut untuk mengambil jus sirsaknya.
Jus
sirsak pesanan Pricilla telah jadi. Ia kembali berjalan ke arah tiga sahabatnya
seraya mengacungkan gelas jusnya tinggi-tinggi dan tersenyum lebar. Ia sudah
lama tak minum jus sirsak. Karenanya, ia tidak melihat jalan. Padahal lantai
baru saja dipel.
Bruk!
Pricilla
terpeleset. Jus sirsaknya tumpah-ruah kemana-mana. Kantin mendadak hening. Tapi
tak ada seorang pun yang berani menertawakan Pricilla. Wajah gadis imut itu
sudah merah padam karena malu.
Dengan
begitu saja, Pricilla meletakkan gelas kaca yang nyaris pecah itu pada meja
terdekat. Pricilla hendak berdiri ketika sebuah tangan terulur kepadanya. Gadis
itu mendongak, ada Gabriel di sana. Pricilla menatapnya berterima kasih.
Pricilla pun menerima uluran tangan Gabriel lalu berdiri.
“Jus
sirsak kamu tumpah. Mau aku ganti?” tawar Gabriel, keduanya pun berjalan ke
arah meja Pricilla. Kantin kembali ramai.
“Boleh.
Bener lo mau ganti?” tanya Pricilla tak yakin. Ia kembali menggunakan gue-lo
karena ada Ify, Oik, dan Sivia di sampingnya.
Gabriel
mengangguk yakin, “Aku pesenin dulu, ya, Bar---,” Gabriel terkesiap. Hampir
saja ia memanggil Pricilla dengan sebutan Barbie!
“...Pricilla.” Gabriel pun berlalu. Meninggalkan Pricilla yang mulai disoraki
oleh ketiga sahabatnya.
“Tau,
deh, Pris, yang dibantuin sama Pangeran Cupu, mah!” Oik mengedip-edipkan
matanya pada Pricilla.
“Kayaknya
dia suka sama lo, deh, Pris!” Sivia tak henti-hentinya menyerang Pricilla
dengan hipotesa abalnya.
Ya iya, lah, dia suka sama gue! Gue, kan,
pacarnya! Gimana ceritanya dia ga suka sama pacarnya sendiri?! Pricilla
masih terus menggerutu dalam hati.
Ify
menyenggol Pricilla seraya tertawa lebar, “Pangeran Cupu lo, tuh, Pris!”
Pricilla
menggebrak meja dengan sebal, “Apaan, sih, kalian?! Bisa ga berhenti nyorakin
gue sama Gabriel? Kita cuman temen!”
Dan
saat itu pula Gabriel datang. Tepat ketika Pricilla mengatakan bahwa dia dan
dirinya hanya teman. Gabriel tersenyum sedih. Ia meletakkan segelas jus sirsak
untuk Pricilla di meja begitu saja. Pricilla menatapnya dengan perasaan serba
salah.
Maaf, Gab..
Aku yang harusnya minta maaf, Pris..
Maaf udah bilang di depan mereka
kalau kita cuman temen..
Iya, ga apa-apa. Seperti kata kamu,
kan.. Kita cuman backstreet.
Jangan marah, Gab..
Siapa yang marah, sih, Pris? Aku
baik-baik aja.
Aku janji aku bakal bilang ke mereka
kalau kita pacaran, kok. Tunggu waktu yang tepat aja.
Iya, terserah kamu. Yang penting
kamu nyaman sama keadaannya aja.
Makasih, Gab..
Anything for you, Pris..
“Heh!”
Sivia menyenggol lengan Pricilla dengan ganasnya.
Pricilla
terkesiap, “Eh? Apa?” Gadis itu mengalihkan pandangannya kepada tiga sahabatnya
yang menatapnya judes.
“Dipanggilin
dari tadi malah bengong aja sambil ngelihatin si Pangeran Cupu!” sungut Ify.
“Eh?”
Pricilla memandang mereka bertiga tak mengerti. Ia kembali mengalihkan
pandangannya pada Gabriel. Ternyata lelaki itu telah melangkah pergi dengan
kepala tertunduk. Pricilla menatapnya sedih. Maaf..
“Lo
kenapa, sih?” Oik menatap Pricilla lekat-lekat. “Kalau gue juga ga salah lihat,
lo tadi mandang Gabrielnya gitu banget, Pris.”
Pricilla
menggeleng lemah, “Gue ga kenapa-kenapa, kok.”
“Tuh,
kan!” Ify memekik jengkel. “Sekarang lo malah ngelihatin punggung Gabriel
dengan wajah sedih gitu!” Ify menggelengkan kepalanya tak mengerti.
**
Ify
sedang menunggu taxi yang lewat kala itu. Sekolah sudah sepi tapi tak kunjung
ada taxi atau pun angkot yang lewat. Ify menggeram kesal. Pasalnya, Papanya
sedang tak bisa menjemput karena lembur. Sedangkan Mamanya sedang di Bandung,
ada urusan kata beliau.
“Fy,
belum pulang?” tanya sebuah suara. Ify seperti mengenalinya.
Ify
pun berbalik, “Rio? Shilla? Kalian ngapain?”
Shilla
mendelik pada Ify, “Harusnya gue yang nanya sama lo, Fy. Ngapain jam segini
masih di sini?”
“Nunggu
taxi, angkot, gitu..” Ify kembali mengedik pada jalanan yang mulai lengang.
“Kenapa
ga bareng Sivia, Pricilla, atau Oik aja tadi?” tanya Rio.
Ify
mengedikkan bahu, “Mereka udah balik duluan, Yo.”
“Sahabat
macem apa, sih, mereka?” dengus Shilla. “Lo ga ada yang ngejemput, kok, malah
balik duluan gitu.”
Ify
menatap Shilla dengan wajah tersinggung, “Kadar kesetiaan sahabat ga cuman diukur
dari ini doang, Shill. Mereka, kan, juga punya urusan masing-masing.”
“Iya,
tapi---,”
Belum
sempat Shilla kembali menyelesaikan kalimatnya, Rio telah memotong, “Udah, ah. Intinya,
lo mau balik bareng gue sama Shilla ga, Fy?”
Ify
menatap Rio dan Shilla dengan tak enak. Apalagi ketika menyadari kedua orang di
hadapannya itu tengah saling bertaut tangan. Ify menggeleng perlahan dan
tersenyum tipis, “Ga usah. Jadi kambing congek, dong, gue ntar.”
“Ga
akan, kok!” dengan cepat Shilla menimpali. “Mau, ya?”
Ify
kembali menggeleng, “Ga usah, makasih. Gue pasti ntar ngerecokin kalian berdua
aja.” Ify tersenyum tipis diakhir kalimatnya.
“Ya
udah, Shill, ga usah dipaksa.” Rio kembali membuka mulutnya.
“Tapi
Ify kasihan, Yo. Masa dia nunggu taxi sendirian? Mending bareng kita aja, kan?”
Shilla menatap Rio dengan wajah memohon supaya lelaki itu membantunya membujuk
Ify.
“Kita
tungguin sampai Ify dapet taxi.” Rio menimpali dengan pendek, jelas, dan –tentunya–
dapat membuat Ify terbang melayang karenanya.
Shilla
tersenyum lebar. Ketiganya pun duduk di samping pos satpam sekolah. Memandang
jalanan dengan waspada, mungkin saja ada taxi lewat di depan mereka. Bukannya
taxi, mereka malah mendapati penjual es krim keliling yang lewat.
Rio
pun berdiri, “Bang! Es krim!” panggilnya.
Penjual
es krim itu pun berhenti. Rio dengan segera menghampirinya. Ify dan Shilla
saling pandang sesaat sebelum akhirnya mengikuti jejak Rio yang tengah
memilih-milih es krim. Ify dan Shilla pun ikut memilih.
“Mau
rasa apa, Shill?” tanya Rio, tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan es
krim di hadapannya.
“Apa,
ya?” gumam Shilla.
“Coklat?”
tanya Rio.
Shilla
menggeleng kesal dengan wajah cemberut, “Aku ga suka coklat, Yo! Coklat itu
rasa favoritnya Ify, bukan aku. Ya, kan, Fy?”
Ify
mengangguk dengan senyum terkembang, “Aku ambil yang itu, deh, Yo..” Ify
menunjuk sebatang es krim rasa coklat yang tengah digenggam Rio.
Rio
mengangguk dan menyerahkannya pada Ify. Ia kembali beralih pada Shilla. “Kamu
yang mana, Shill?”
“Terserah,
deh..” Shilla mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
“Ngambek!”
desis Rio sebal.
“Kamu,
sih! Siapa suruh malah nyebutin rasa favoritnya Ify, bukan aku!” dengus Shilla.
“Ya
mana aku tau, Shill!” balas Rio.
Ify
hanya menatap keduanya dengan melongo hebat. Hanya karena masalah sekecil ini
saja Shilla ngambek pada Rio? Harusnya Shilla tau ia tak boleh menyia-nyiakan
Rio. Apalagi sampai marah hanya karena hal kecil begini. Shilla beruntung
memiliki Rio.
“Jangan
ngambek, dong, Shill. Rio, kan, ga sengaja tadi nyebut rasa favorit gue.” Ify memandang
Shilla dengan tersenyum tipis.
Shilla
melengos sebal, “Jangan-jangan kamu suka, ya, sama Ify? Ngaku, deh!”
“Apaan,
sih, Shill?” gerutu Ify. Gadis berbehel itu segera mengalihkan pandangnnya agar
kedua orang itu tak melihat wajahnya yang telah merah padam.
“Yang
pacar aku, tuh, kamu, Shill.” Rio menatap Shilla tak mengerti.
“Udah,
ah!” Saat itu pula ada taxi yang lewat. Shilla pun menyetopnya. “Fy, taxinya
dateng. Pulang, gih!” suruh Shilla.
Ify
pun mengangguk. Setelah membayar es krimnya, Ify naik ke dalam taxi tersebut. Ia
membuka kaca jendelanya dan melambaikan tangan pada Rio dan Shilla. “Duluan,
ya!”
Taxi
pun melaju, meninggalkan Rio dan Shilla yang masih saja berdebat.
**
“Sivia..”
terdengar panggilan dari luar diiringi dengan suara ketukan pintu.
Sivia
menggeliat lalu menguap lebar, “Apa, Ma?” tanya Sivia dengan suara parau.
“Ada
tamu. Boleh masuk ga?” tanya Mama Sivia balik.
“Siapa?”
dahi Sivia berkerut heran. Ia merasa tak memiliki janji pada siapapun malam
ini. Apalagi ia sedang demam dari sore tadi.
“Alvin,
Siv.” jawab mamanya.
Dahi
Sivia tampak berkerut heran. Untuk apa Alvin kemari malam-malam begini? Ini sudah
jam tujuh lewat! Sivia pun menegakkan badannya, “Masuk aja.”
Pintu
pun terbuka. Sivia dapat melihat mamanya yang sedang berdiri berdampingan
dengan Alvin. Sivia tersenyum lemah pada keduanya. Alvin pun masuk. Mamanya berlalu
entah ke mana.
“Ngapain
ke sini, Vin? Mau nonton DVD lagi? Aduh, kapan-kapan aja, ya!” Baru saja Alvin
duduk di kursi meja belajarnya ketika Sivia berceloteh ria.
Alvin
menggeleng dan tersenyum, “Ga, kok. Tadi Mama kamu bilang kamu sakit. Sakit apa?”
“Demam
doang, sih.” Sivia nyengir lebar di akhir kalimatnya.
Alvin
bergerak mendekat. Dirabanya dahi dan pipi Sivia. Panas. “Iya, demam..”
gumamnya.
“Gue
bilang juga apa!” timpal Sivia. Pipinya sudah semerah tomat kala itu. Siapa suruh
Alvin menjadi superperhatian begitu?
“Eh,
iya!” Alvin seakan teringat sesuatu, “Nih, gue bawain ramen. Suka ramen, kan,
Siv?” tanya Alvin, ia lalu menyerahkan sebungkus ramen pada Sivia.
Sivia
menerimanya dengan senyum mengembang, “Suka, kok, Vin. Suka banget malah!”
tangan Sivia perlahan membuka bungkusan tersebut. “Cuman satu?”
Alvin
mengangguk dengan bingung, “Iya, lah. Emang lo mau berapa? Dua? Satu aja ga
kenyang, ya?”
Sivia
mendorong bahu Alvin dengan gemas, “Bukan gitu! Maksud gue, satu aja? Terus lo
ga makan, gitu? Lo diem doang sambil ngelihatin gue makan?”
Alvin
membulatkan bibirnya, “Gue udah makan, kok. Buat lo aja itu.”
Sivia
mengangguk mengerti, “Gue makan dulu, ya.”
Alvin
mengangguk. Sivia pun membuka bungkusan ramen tersebut dan memakannya perlahan.
Keheningan menyelimuti mereka berdua. Alvin mengetuk-ketukkan jemarinya pada
nakas Sivia dengan gelisah.
Sivia
mendongak menatap Alvin, “Lo kenapa, Vin?”
Alvin
menggeleng, “Ga, kok.”
Sivia
pun kembali melanjutkan makannya. Alvin juga kembali gelisah. Ia terus
berpindah-pindah posisi duduk. Membuat Sivia bertanya-tanya dalam hati. Alvin kenapa, sih, hari ini? Aneh banget!
“Siv, gue mau ngomong. Boleh?” Alvin pun bersuara.
Sivia
terkikik pelan, “Dari tadi, juga, lo udah ngomong, Vin!”
Mau
tidak mau, Alvin pun ikut tertawa garing karena kebodohannya sendiri. “Anu, Siv...”
“Anu
apa?” tanya Sivia santai, tak menyadari kegugupan Alvin.
“Gue...”
“Iya,
lo kenapa?”
“Gue
suka sama...”
“Ify?
Oik? Pricilla?” tebak Sivia, menyebutkan satu-persatu nama sahabatnya.
“Bukan,
Siv!” Alvin menatap Sivia dengan gemas, seakan-akan Sivia adalah tikus yang
harus diterkamnya.
“Iya,
iya!” Sivia pun tertawa kencang.
“Serius,
dong!” Alvin mulai hopeless karena
cewek berpipi chubby di hadapannya itu.
“Sok,
atuh.. Katanya mau ngomong.” Sivia segera menghentikan laju tawanya.
“Gue
suka sama lo..” kata Alvin dengan volume sangat kecil. Biarpun begitu, Sivia
masih tetap dapat mendengarnya.
Sivia
membeku ketika mendengar pernyataan Alvin. Sumpit yang membawa ramen dan hampir
saja masuk ke dalam mulutnya, berhenti di udara. Sivia melongo hebat. Ia memandang
Alvin tak berkedip.
“Siv?”
Alvin menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajah Sivia.
“Eh?”
Sivia pun tersadar. Ia mencoba santai. Ia habiskan ramen tersebut dengan kikuk.
“Gimana?”
tanya Alvin.
Sivia
mendesah keras, “Kok gue ngerasa ini terlalu cepet, ya?”
“Tapi
kalau gue udah nyaman sama lo, mau gimana lagi?” timpal Alvin.
Sivia
menatap Alvin lurus-lurus, “Lo yakin? Lo yakin udah nyaman sama gue? Gue anaknya
pecicilan, lho.”
“Gue
nyaman sama lo apapun kondisinya, kok.” Kata Alvin, meyakinkan Sivia.
“Oke.”
Sivia mengangguk dan tersenyum lebar.
“Kita
jadian, nih?” tanya Alvin tak percaya.
“Ga
mau, nih? Gue, sih, bisa aja tarik kata-kata gue..” gumam Sivia, berlagak jual
mahal.
“Ga!
Ga! Jangan!” Alvin mengusap puncak kepala Sivia dengan sayang. Akhirnya ia bisa
mengatakan kalimat ajaib itu pada Sivia..