“Mama!
Oik berangkat dulu, ya!” Oik berteriak dari teras rumahnya, ia baru saja
selesai memakai sepatunya.
Terdengar
bunyi benda jatuh dari dalam sana, “Aduh, kamu bikin mama kaget aja, Ik! Iya,
iya. Mau diantar? Eh tapi mama masih masak.”
Oik
terkikik pelan, “Ga usah, Ma! Oik bisa naik metromini. Kan, ini masih pagi. Oik
bisa nunggu di depan kompleks.”
“Ya
udah. Hati-hati, Ik!” Mamanya kembali berteriak.
Oik
pun segera membuka pagar rumahnya, keluar, dan kembali menutupnya. Gadis itu
berjalan santai menuju depan kompleks. Kuncir kudanya bergerak kesana-kemari
karena ditiup angin. Oik bersiul pelan sambil sesekali menengok ke belakang,
memastikan Mamanya tidak mengikutinya.
Di
rumah sederhana yang nyaman itu, Oik hanya tinggal berdua dengan Mamanya karena
ia adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya telah bercerai semenjak ia masih
duduk di bangku TK. Papanya sekarang telah menikah dengan seorang wanita yang
–menurut Oik– menyebalkan dan memiliki seorang anak laki-laki yang umurnya
berbeda sekitar Sembilan tahun dengan Oik. Sedangkan Mama Oik lebih memilih
hidup sendiri dan mengurus Oik tanpa bantuan siapapun.
Oik
telah sampai di depan kompleks perumahannya. Ia bersandar pada sebuah pohon
rindang yang berdiri kokoh di bawah plang penunjuk nama jalan. Oik melirik jam
tangannya sekilas. Seharusnya jam segini dia
sudah menjemputnya.
Dia? Iya, dia. Oik memang kerap kali
berbohong pada Mamanya. Gadis itu sering berkata pada Mamanya bahwa ia akan
berangkat sekolah menaiki metromini yang biasa berhenti di depan kompleks
perumahannya. Tapi nyatanya, Oik selalu diantar-jemput oleh dia.
Oik
terkesiap. Ia mendengar seseorang membunyikan klakson motornya berkali-kali.
Oik menengok pada sumber suara. Ada dia
di sana, di atas motornya, tersenyum geli ke arahnya. Dahi Oik mengernyit
heran. Apa? Ada yang salah dengan dirinya pagi ini?
“Ga
ada yang salah sama kamu, kok.” Dia
seolah bisa membaca pikiran Oik. “Kamu mau sampai kapan ngelamun di situ? Ga ke
sekolah, Ik?”
Oik
mendengus sebal, “Cakka! Apa, sih?!”
Cakka
kembali tertawa. Oik segera naik ke boncengan motor Cakka dan mencubiti
pinggang laki-laki di hadapannya itu dengan keras. Cakka mengaduh kesakitan,
semakin membuat Oik mengeraskan cubitannya pada pinggang Cakka.
“Mau
nyubitin aku sampai kapan? Nanti kalau Mama nyamperin ke sini, gimana? Terus
Mama tau kalau kamu ga naik metromini ke sekolah, gimana?” Cakka mulai
menakut-nakuti Oik.
Oik
manyun, “Ya udah! Cepetan jalan!”
Cakka
pun melajukan motornya menuju sekolah Oik.
Ya,
dia adalah Cakka. Mereka berdua
merupakan teman sekolah ketika SMP. Lalu ketika lulus SMP, mereka mendaftar di
sekolah yang berbeda. Oik lebih memilih mendaftar di sebuah SMA yang
benar-benar terletak di pusat kota dan Cakka mendaftar di sekolah yang ekskul
basketnya sedang berkembang pesat. Sekolah mereka berdua hanya berjarak sekitar
2km. Maka dari itu, Cakka tak keberatan jika harus mengantar-jemput Oik setiap
harinya.
Mereka
berpacaran semenjak setahun yang lalu, ketika mereka masih duduk di bangku SMP.
Selama setahun itu pula, Oik menyembunyikan hubungannya dengan Cakka dari
Mamanya. Walaupun begitu, Oik dan Cakka masih tetap bisa go public di sekolah. Kedua orang tua Cakka juga sebenarnya sudah
mengetahui perihal hubungan mereka. Jadi, hanya Mama Oik yang masih belum tau-menahu.
Oik
bergegas turun dari motor Cakka. Gerbang sekolahnya nyaris ditutup. Mereka
berdua tadi terjebak macet di dekat rel kereta api. Oik pun menyerahkannya
helmnya pada Cakka.
“Udah!
Sana kamu ke sekolah. Pasti telat, deh! Aku aja hampir telat gini.” Oik
mengedik pada gerbang sekolahnya.
Cakka
hanya mengangguk, “Aku duluan, ya. Nanti aku jemput. Jangan kemana-mana kalau
aku belum nyampai.”
Kini
giliran Oik yang mengangguk. Cakka pun menyalakan mesin motornya. Oik
mengibas-kibaskan tangannya pada Cakka, mengusir laki-laki di hadapannya itu.
Cakka tertawa, mengaca poni Oik sekilas, lalu melajukan motornya menuju
sekolahnya. Meninggalkan Oik yang terkikik pelan seraya merapikan poninya.
Oik
berbalik, ikut mengantri untuk masuk. Kalau sudah mepet jam masuk begini,
gerbang sekolahnya memang dibuka sedikit. Jadi, siswa harus berjalan
satu-persatu. Tak berjarak jauh dari gerbang, sudah ada guru piket yang
berbaris. Biasanya beliaulah yang sering member hukuman pada siswa-siswi yang
tidak mematuhi tata tertib sekolah. Pagi-pagi begini adalah jadwal beliau untuk
pemeriksaan.
Oik
mulai mencium tangan beliau, “Oik ini... selalu diantar-jemput pacarnya, ya.”
beliau berkomentar seraya tersenyum lebar.
**
Jam
istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Kini Ify, Oik, Pricilla, dan
Sivia tengah berada di kantin. Mereka memang biasa sarapan bersama pada saat
jam istirahat pertama. Seperti saat ini. Keempatnya sedang mengobrol heboh
sambil sesekali melahap sarapan mereka ketika seorang gadis berbehel
menghampiri mereka lalu duduk di samping Ify.
“Ify!”
sapa gadis itu, menyenggol pelan tubuh Ify.
Ify
menengok ke arahnya dan tersenyum lebar, “Hay, Shill!”
“Hay!”
gadis berbehel itu –Shilla– melambaikan tangannya pada Oik, Pricilla, dan Sivia
yang disambut anggukan dari ketiga gadis popular itu.
Shilla.
Dia adalah salah satu gadis popular juga di sekolah. tapi, tetap saja,
kepopuleran Ify, Oik, Pricilla, dan Sivia tidak dapat ditandingi. Shilla
sendiri adalah teman les Ify. Mereka berdua biasa bergosip bersama di tempat
les. Mereka juga sering berbagi cerita. Tapi biasanya Shilla-lah yang akan
bercuap-cuap, lalu Ify akan menjadi pendengar setia.
“Ngapain,
Shill, ngampirin aku?” tanya Ify.
Shilla
menggeleng, gadis itu menyerobot minuman Ify dan menyeruputnya. “Pingin curhat
lagi, sih. Tapi di sini rame, ga enak.”
“Emang
mau curhat soal apa? Soal cowok itu lagi?” Ify meliriknya sekilas.
Shilla
mengangguk bersemangat, “Iya, Fy! Tadi malem dia telepon aku! Kita ngobrol
sampai larut malem! Rasanya seneng banget, Fy!”
Ify
tersedak. Gadis itu segera meminum jus jeruknya diiringi tatapan aneh dari
Shilla. Ify hanya menggelengkan kepalanya dan mengisyaratkan pada teman lesnya
itu bahwa ia tidak apa-apa, hanya tersedak biasa. Sungguh.. Hanya Oik, Pricilla,
dan Sivia yang tau segalanya. Bukan Shilla.
“Ya
udah, Fy. Aku cuman mau cerita itu aja.” Shilla bangkit dari duduknya. “Aku
balik ke kelas duluan ya!”
Keempat
gadis itu mengangguk pada Shilla. Secepat pudarnya senyum keempat gadis itu lah
Shilla menghilang di koridor. Oik, Pricilla, dan Sivia hanya menatap Ify tak
mengerti. Ify membalas tatapan ketiganya dengan tatapan paling polos sedunia.
“Ada
yang salah?” Ify bersuara.
“Kamu
bakalan tetep nyembunyiin perasaanmu?” tanya Pricilla, Ify mengangguk lugas.
Sivia
menggeleng tak terima, “Fy, yang bener aja! Kamu, kan---,”
Ify
menggeleng perlahan dan tersenyum tipis, “Udahlah. Jodoh ga ke mana, guys.” Ify pun berdiri lalu menggamit
lengan Oik. “Balik kelas, yuk?”
Sivia
dan Pricilla hanya mampu mengangguk lemas. Ify ini memang kelewat keras kepala.
Kelewat berkorban juga. Untuk apa, sih, melakukan semua itu? Menutup-nutupinya?
Sebenarnya Oik juga tak habis pikir dengan Ify. Tapi, mau bagaimana lagi?
Keempatnya
berjalan beriringan menuju kelas. Kebetulan, kelas mereka berada di lantai
atas, maka dari itu mereka harus melewati tangga. Di sekolah ini ada dua
tangga. Satu tangga biasa dijadikan tempat nongkrong oleh anak kelas 12 IPS
yang terkenal bandel dan satu lagi... tepat berada di depan mereka!
Nyaris
saja keempatnya melewatkan momen itu. Keempatnya menengok bersamaan kepada
sumber teriakan. Tepat di pinggir lapangan, seorang laki-laki sedang berteriak
kepada seseorang yang berada di koridor lantai atas. Ify menyipitkan matanya,
memastikan bahwa laki-laki di pinggir lapangan itu adalah dia.
“SHILLA!”
laki-laki itu berteriak kembali.
“Dia, Fy.” Oik mengeratkan gandengannya
pada Ify. Sivia dan Pricilla kontan melongo hebat menyaksikan ‘pertunjukan’ di
hadapannya.
“SHILL,
AKU SUKA SAMA KAMU!” dia berteriak
seraya tersenyum lembut pada seseorang di atas sana, Shilla.
Terdengar
sorakan yang membahana dari segara penjuru sekolah. Seolah-olah mereka
menertawakan perasaan Ify yang ia tutup rapat-rapat. Seolah-olah mereka
menyalahkan Ify karena telah mengunci perasaan itu di sudut terdalam hatinya,
tak membiarkan dia tau akan hal itu.
“KAMU
MAU JADI PACAR AKU, KAN, SHILL?” dia berlutut di pinggir lapanga, tangan
kanannya menengadah ke arah Shilla di atas sana.
“Terima!
Terima! Terima!” sorakan-sorakan semacam itu semakin membuat lutut Ify melemas.
“SURE,
I WILL, MARIO!” Shilla balas berteriak dan tersenyum lebar.
Dan,
dengan secepat kilat, Shilla turun lalu menghampiri lelaki yang telah berlutut
padanya –Mario, atau yang lebih akrab disapa Rio–. Keduanya berhadapan,
tersenyum malu-malu. Sorakan kembali terdengar. Ify terisak. Menyesali
kebodohannya karena menutupi perasaannya sendiri.
**
Untung
saja ini adalah hari Jumat. Sekolah pulang lebih cepat. Menjelang adzan dhuhur,
bel pulang telah berbunyi. Hanya dalam waktu lima menit pun, kelas-kelas telah
ditinggalkan penghuninya. Berbeda dengan teman-temannya, keempat gadis itu
masih berada di dalam kelas. Oik, Pricilla, dan Sivia masih menemani Ify yang
mendadak mogok pulang.
Pricilla
sedari tadi terlihat gelisah. Ia berpindah posisi duduk terus sejak bel pulang
berbunyi. Entah ada apa dengan si Barbie
satu itu. Hingga akhirnya, ia ngibrit keluar kelas.
“Ke
mana, Cill?” tanya Ify.
“Toilet!”
gadis itu menjawab singkat.
Pricilla
berhenti berlari. Ia sudah lumayan jauh dari kelasnya. Ketiga sahabatnya itu
pun pasti tak akan melihatnya. Toilet berada di ujung koridor, tapi ia malah
berbelok ke samping dan memasuki Laboratorium Kimia. Pricilla mengedarkan
pandangannya. Bagus! Sepi.
Gadis
imut itu menghampiri seorang lelaki yang sedang berkutat dengan percobaannya.
Pricilla berdehem pelan. Alhasil, lelaki –yang kini telah berada di sampingnya–
itu menengok padanya. Lelaki itu tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya.
“Kamu
ga pulang?” tanya Pricilla.
“Kamu
sendiri?” dia balik bertanya.
Pricilla
tertawa singkat, “Masih nungguin Ify. Dia lagi patah hati.” Pricilla
mengarahkan pandangannya pada sebuah percobaan yang sedang dilakukan lelaki
itu. “Ga bisa dilanjutin besok itu eksperimennya?”
Lelaki
itu menggeleng, “Kenapa? Kamu mau aku anter pulang?”
“Ga.
Tapi ini, kan, udah sore. Apa ntar kamu pulangnya ga terlambat?” Pricilla
memandangi wajah manis di sampingnya.
Lelaki
itu pun membereskan alat-alat percobaannya dan melepas jas laboratorium yang ia
kenakan. Pricilla masih terus memandangi lelaki itu dengan senyum mengembang.
Setelah selesai membereskan seluruhnya, lelaki itu kembali menghampiri Pricilla
dan tertawa pelan.
“Ap-Apa?”
Pricilla mendadak was-was.
Lelaki
itu menggeleng, “Rambut kamu berantakan banget!” desisnya.
Dalam
sekejap, lelaki itu sudah menyibakkan beberapa helai rambut Pricilla yang jatuh
di dekat pipi gadis itu. Ia menyibakkannya ke belakang daun telinga Pricilla.
Pricilla kontan menunduk malu. Masalahnya, ini adalah kali pertama lelaki itu
melakukannya! Kemajuan, ya? Biasanya, kan, mereka hanya duduk-duduk saja
berdua.
Pricilla
memandangi lelaki manis itu dari sudut matanya. Ia memperhatikan lelaki itu
yang mengambil tasnya, menyangklongnya, mengambil sebuah kunci dari atas meja
guru, dan berjalan menuju pintu laboratorium
“Kamu
ga mau keluar, Cill? Betah di laboratorium?” tanyanya.
Pricilla
tersenyum geli dan menggeleng cepat, “Kamu, sih, ga ngajakin aku keluar!”
Pricilla
akhirnya ikut keluar. Ia menunggu lelaki itu mengunci pintu laboratorium.
Setelahnya, mereka berdua pun berbalik dan berjalan beriringan. Tidak ada acara
gandengan tangan. Jalan beriringan begini saja Pricilla sudah senang.
“Kamu
mau pulang jam berapa, Cill?” tanyanya.
Pricilla
mengedikkan bahu, “Ga tau, deh. Tergantung Oik sama Sivia juga mau balik jam
berapa. Mereka masih nenangin Ify, mungkin.”
“Oh..”
lelaki itu hanya mengangguk.
Pricilla
menengok ke arahnya dan berbubah keki. Hanya mengangguk? Pada pacarnya sendiri?
Yang benar saja! Kadang-kadang Pricilla juga merutuki dirinya sendiri karena
mau saja berpacaran dengan robot. Apa? Robot? Apalagi sebutan yang pantas untuk
lelaki yang secuek itu dengan pacarnya sendiri?
“Ya
udah, kamu tunggu di tempat biasa aja. Nanti aku nyusul.” Pricilla tersenyum
jengah.
Lelaki
itu kembali mengangguk. Pricilla terus memandang punggung lelaki yang beranjak
menjauh darinya itu. Dandanannya sangat culun. Celana seragam yang dinaikan
hingga perut, baju yang selalu rapi, dasi yang tidak pernah longgar, sabuk yang
selalu pada tempatnya, sebuah kaca mata tebal, dan rambut yang ditata rapi.
Pricilla menghela napas.
Gadis
itu mengangkat tangannya, melambaikan tangan pada lelaki itu. Ya, walaupun ia
sendiri tau kalau lelaki itu tak mungkin melihat lambaian tangannya karena ia
membelakangi Pricilla.
“Bye, Gabriel!” lirihnya.
**
Ify,
Oik, Pricilla, dan Sivia baru saja sampai di gerbang sekolah. Sudah lumayan
sepi. Keempatnya duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di depan pos
satpam sekolah. Keempatnya akhirnya memutuskan untuk pulang ketika Ify sudah
mulai tenang dan tangisnya mereda.
“Pulang
sama siapa, Siv?” tanya Oik.
“Sama---,”
Tiba-tiba
saja, terdengar suara klakson. Sivia menengok. Seorang lelaki baru saja melepas
helmnya dan Sivia mengenali wajah itu. Sivia melambai ke arahnya dan tersenyum
lebar. Dengan cepat, Sivia menggendong tasnya.
Sivia
tersenyum pada ketiga sahabatnya, “Sama Duto.”
Tanpa
berpamitan pada ketiganya, Sivia berlari kecil menghampiri Duto. Tak lama setelah
itu, keduanya telah melaju menuju sebuah tempat makan tak jauh dari sekolah
Sivia. Kebetulan, ini sudah jamnya makan siang. Tak heran jika tempat makan
yang mereka kunjungi tengah ramai-ramainya.
Sivia
dan Duto memilih untuk duduk di salah satu sudut tempat makan itu yang sedikit
lebih sepi. Keduanya duduk berhadapan. Tak lama, seorang waitress datang dan memberikan mereka daftar menu.
“Nasi
rames sama es jeruk manis aja, deh.” Duto pun mengedik pada Sivia yang masih
serius memilih makanan.
Sivia
bergumam pelan, “Nasi goreng sama jus mangga.”
Waitress tersebut pun menyingkir. Sivia
dan Duto kembali mengobrol seraya menunggu pesanan mereka datang. Ini sudah
kesekian kalinya mereka jalan berdua. Tapi, entah sampai kapan mereka akan
betah tanpa status apapun.
“Jadi,
gimana sekolah kamu?” tanya Duto.
“Biasa
aja. Temennya asyik-asyik, kok. Kamu sendiri? Ada kakak kelas yang cantik ga?”
goda Sivia, berniat memancing lelaki di hadapannya itu.
Duto
tertawa renyah, “Kamu tetep yang paling cantik, kok, Siv.”
“Gombal!”
sergahnya, pipi Sivia telah semerah tomat sekarang.
Lalu,
tiba-tiba saja Duto bersin. Refleks, lelaki itu menutupi hidungnya. Dengan segera,
Sivia mengangsurkannya sebuah tissue yang
ia ambil dari dalam tasnya. Duto menerimanya dengan senyum tipis, Sivia menahan
tawanya saat itu juga.
“Kamu
memang sahabat aku yang paling oke, Siv.” Duto bergumam pelan.
Hah?
Apa?
“Apa?
Sahabat?” ulang Sivia, kali-kali saja ia tadi salah dengar.
Duto
mengangguk. Ia mendadak pucat pasi. Ia tatap wajah Sivia. Ia tau betul gadis
cantik itu sedang menggeram kesal, menahan laju amarahnya karena kata-kata yang
ia lontarkan barusan. Duto keceplosan!
“Jadi,
selama ini kamu cuman nganggep aku sahabat, ga lebih?” cecar Sivia.
Duto
menunduk, “Maaf.”
Sivia
menggeleng tak percaya, “Kenapa ga bilang dari awal, sih, kalau kamu cuman
nganggep aku sahabat? Kenapa baru bilang sekarang setelah aku mulai ngarep kita
bakalan lebih dari sahabat?”
“Aku
juga maunya gitu, Siv. Aku maunya kita lebih dari sahabat. Kamu itu cewek yang
tipeku banget. Kamu cantik, kamu baik, kamu perhatian sama aku. Tapi ternyata,
ga tau kenapa, aku ga ada rasa sama kamu, Siv.” Duto mengakui semuanya.
“Kenapa
baru bilang sekarang, Duto? Kamu tau sendiri aku udah capek diginiin. Aku udah
capek selalu di PHP sama cowok-cowok. Aku udah pernah cerita, kan, ke kamu?”
nada suara Sivia mulai terdengar meninggi.
“Maaf.”
Duto berkata lirih.
“Aku
pikir kamu beda dari yang lain. Tapi ternyata aku salah. Kamu bahkan lebih
buruk daripada cowok-cowok yang udah nyakitin aku. Aku udah cerita semuanya ke
kamu. Semuanya, Duto. Tapi kamu malah...”
Sivia
bangkit dari duduknya. Ia sudah tak mampu berkata apa-apa lagi. Sedih, marah,
kecewa, jengkel, sakit semuanya jadi satu. Sivia berlalu, meninggalkan Duto.
Duto hanya mampu memandang punggung Sivia dengan penuh penyesalan. Seharusnya ia
tidak asal ceplos tadi. Seharusnya ia tidak mengatakannya. Seharusnya ia tidak...
**
0 komentar:
Posting Komentar