Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

JE T'AIME [01]

            “Mama! Oik berangkat dulu, ya!” Oik berteriak dari teras rumahnya, ia baru saja selesai memakai sepatunya.

            Terdengar bunyi benda jatuh dari dalam sana, “Aduh, kamu bikin mama kaget aja, Ik! Iya, iya. Mau diantar? Eh tapi mama masih masak.”

            Oik terkikik pelan, “Ga usah, Ma! Oik bisa naik metromini. Kan, ini masih pagi. Oik bisa nunggu di depan kompleks.”

            “Ya udah. Hati-hati, Ik!” Mamanya kembali berteriak.

            Oik pun segera membuka pagar rumahnya, keluar, dan kembali menutupnya. Gadis itu berjalan santai menuju depan kompleks. Kuncir kudanya bergerak kesana-kemari karena ditiup angin. Oik bersiul pelan sambil sesekali menengok ke belakang, memastikan Mamanya tidak mengikutinya.

            Di rumah sederhana yang nyaman itu, Oik hanya tinggal berdua dengan Mamanya karena ia adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya telah bercerai semenjak ia masih duduk di bangku TK. Papanya sekarang telah menikah dengan seorang wanita yang –menurut Oik– menyebalkan dan memiliki seorang anak laki-laki yang umurnya berbeda sekitar Sembilan tahun dengan Oik. Sedangkan Mama Oik lebih memilih hidup sendiri dan mengurus Oik tanpa bantuan siapapun.

            Oik telah sampai di depan kompleks perumahannya. Ia bersandar pada sebuah pohon rindang yang berdiri kokoh di bawah plang penunjuk nama jalan. Oik melirik jam tangannya sekilas. Seharusnya jam segini dia sudah menjemputnya.

            Dia? Iya, dia. Oik memang kerap kali berbohong pada Mamanya. Gadis itu sering berkata pada Mamanya bahwa ia akan berangkat sekolah menaiki metromini yang biasa berhenti di depan kompleks perumahannya. Tapi nyatanya, Oik selalu diantar-jemput oleh dia.

            Oik terkesiap. Ia mendengar seseorang membunyikan klakson motornya berkali-kali. Oik menengok pada sumber suara. Ada dia di sana, di atas motornya, tersenyum geli ke arahnya. Dahi Oik mengernyit heran. Apa? Ada yang salah dengan dirinya pagi ini?

            “Ga ada yang salah sama kamu, kok.” Dia seolah bisa membaca pikiran Oik. “Kamu mau sampai kapan ngelamun di situ? Ga ke sekolah, Ik?”

            Oik mendengus sebal, “Cakka! Apa, sih?!”

            Cakka kembali tertawa. Oik segera naik ke boncengan motor Cakka dan mencubiti pinggang laki-laki di hadapannya itu dengan keras. Cakka mengaduh kesakitan, semakin membuat Oik mengeraskan cubitannya pada pinggang Cakka.

            “Mau nyubitin aku sampai kapan? Nanti kalau Mama nyamperin ke sini, gimana? Terus Mama tau kalau kamu ga naik metromini ke sekolah, gimana?” Cakka mulai menakut-nakuti Oik.

            Oik manyun, “Ya udah! Cepetan jalan!”

            Cakka pun melajukan motornya menuju sekolah Oik.

            Ya, dia adalah Cakka. Mereka berdua merupakan teman sekolah ketika SMP. Lalu ketika lulus SMP, mereka mendaftar di sekolah yang berbeda. Oik lebih memilih mendaftar di sebuah SMA yang benar-benar terletak di pusat kota dan Cakka mendaftar di sekolah yang ekskul basketnya sedang berkembang pesat. Sekolah mereka berdua hanya berjarak sekitar 2km. Maka dari itu, Cakka tak keberatan jika harus mengantar-jemput Oik setiap harinya.

            Mereka berpacaran semenjak setahun yang lalu, ketika mereka masih duduk di bangku SMP. Selama setahun itu pula, Oik menyembunyikan hubungannya dengan Cakka dari Mamanya. Walaupun begitu, Oik dan Cakka masih tetap bisa go public di sekolah. Kedua orang tua Cakka juga sebenarnya sudah mengetahui perihal hubungan mereka. Jadi, hanya Mama Oik yang masih belum tau-menahu.

            Oik bergegas turun dari motor Cakka. Gerbang sekolahnya nyaris ditutup. Mereka berdua tadi terjebak macet di dekat rel kereta api. Oik pun menyerahkannya helmnya pada Cakka.

            “Udah! Sana kamu ke sekolah. Pasti telat, deh! Aku aja hampir telat gini.” Oik mengedik pada gerbang sekolahnya.

            Cakka hanya mengangguk, “Aku duluan, ya. Nanti aku jemput. Jangan kemana-mana kalau aku belum nyampai.”

            Kini giliran Oik yang mengangguk. Cakka pun menyalakan mesin motornya. Oik mengibas-kibaskan tangannya pada Cakka, mengusir laki-laki di hadapannya itu. Cakka tertawa, mengaca poni Oik sekilas, lalu melajukan motornya menuju sekolahnya. Meninggalkan Oik yang terkikik pelan seraya merapikan poninya.

            Oik berbalik, ikut mengantri untuk masuk. Kalau sudah mepet jam masuk begini, gerbang sekolahnya memang dibuka sedikit. Jadi, siswa harus berjalan satu-persatu. Tak berjarak jauh dari gerbang, sudah ada guru piket yang berbaris. Biasanya beliaulah yang sering member hukuman pada siswa-siswi yang tidak mematuhi tata tertib sekolah. Pagi-pagi begini adalah jadwal beliau untuk pemeriksaan.

            Oik mulai mencium tangan beliau, “Oik ini... selalu diantar-jemput pacarnya, ya.” beliau berkomentar seraya tersenyum lebar.

**

            Jam istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Kini Ify, Oik, Pricilla, dan Sivia tengah berada di kantin. Mereka memang biasa sarapan bersama pada saat jam istirahat pertama. Seperti saat ini. Keempatnya sedang mengobrol heboh sambil sesekali melahap sarapan mereka ketika seorang gadis berbehel menghampiri mereka lalu duduk di samping Ify.

            “Ify!” sapa gadis itu, menyenggol pelan tubuh Ify.

            Ify menengok ke arahnya dan tersenyum lebar, “Hay, Shill!”

            “Hay!” gadis berbehel itu –Shilla– melambaikan tangannya pada Oik, Pricilla, dan Sivia yang disambut anggukan dari ketiga gadis popular itu.

            Shilla. Dia adalah salah satu gadis popular juga di sekolah. tapi, tetap saja, kepopuleran Ify, Oik, Pricilla, dan Sivia tidak dapat ditandingi. Shilla sendiri adalah teman les Ify. Mereka berdua biasa bergosip bersama di tempat les. Mereka juga sering berbagi cerita. Tapi biasanya Shilla-lah yang akan bercuap-cuap, lalu Ify akan menjadi pendengar setia.

            “Ngapain, Shill, ngampirin aku?” tanya Ify.

            Shilla menggeleng, gadis itu menyerobot minuman Ify dan menyeruputnya. “Pingin curhat lagi, sih. Tapi di sini rame, ga enak.”

            “Emang mau curhat soal apa? Soal cowok itu lagi?” Ify meliriknya sekilas.

            Shilla mengangguk bersemangat, “Iya, Fy! Tadi malem dia telepon aku! Kita ngobrol sampai larut malem! Rasanya seneng banget, Fy!”

            Ify tersedak. Gadis itu segera meminum jus jeruknya diiringi tatapan aneh dari Shilla. Ify hanya menggelengkan kepalanya dan mengisyaratkan pada teman lesnya itu bahwa ia tidak apa-apa, hanya tersedak biasa. Sungguh.. Hanya Oik, Pricilla, dan Sivia yang tau segalanya. Bukan Shilla.

            “Ya udah, Fy. Aku cuman mau cerita itu aja.” Shilla bangkit dari duduknya. “Aku balik ke kelas duluan ya!”

            Keempat gadis itu mengangguk pada Shilla. Secepat pudarnya senyum keempat gadis itu lah Shilla menghilang di koridor. Oik, Pricilla, dan Sivia hanya menatap Ify tak mengerti. Ify membalas tatapan ketiganya dengan tatapan paling polos sedunia.

            “Ada yang salah?” Ify bersuara.

            “Kamu bakalan tetep nyembunyiin perasaanmu?” tanya Pricilla, Ify mengangguk lugas.

            Sivia menggeleng tak terima, “Fy, yang bener aja! Kamu, kan---,”

            Ify menggeleng perlahan dan tersenyum tipis, “Udahlah. Jodoh ga ke mana, guys.” Ify pun berdiri lalu menggamit lengan Oik. “Balik kelas, yuk?”

            Sivia dan Pricilla hanya mampu mengangguk lemas. Ify ini memang kelewat keras kepala. Kelewat berkorban juga. Untuk apa, sih, melakukan semua itu? Menutup-nutupinya? Sebenarnya Oik juga tak habis pikir dengan Ify. Tapi, mau bagaimana lagi?

            Keempatnya berjalan beriringan menuju kelas. Kebetulan, kelas mereka berada di lantai atas, maka dari itu mereka harus melewati tangga. Di sekolah ini ada dua tangga. Satu tangga biasa dijadikan tempat nongkrong oleh anak kelas 12 IPS yang terkenal bandel dan satu lagi... tepat berada di depan mereka!

            Nyaris saja keempatnya melewatkan momen itu. Keempatnya menengok bersamaan kepada sumber teriakan. Tepat di pinggir lapangan, seorang laki-laki sedang berteriak kepada seseorang yang berada di koridor lantai atas. Ify menyipitkan matanya, memastikan bahwa laki-laki di pinggir lapangan itu adalah dia.

            “SHILLA!” laki-laki itu berteriak kembali.

            “Dia, Fy.” Oik mengeratkan gandengannya pada Ify. Sivia dan Pricilla kontan melongo hebat menyaksikan ‘pertunjukan’ di hadapannya.

            “SHILL, AKU SUKA SAMA KAMU!” dia berteriak seraya tersenyum lembut pada seseorang di atas sana, Shilla.

            Terdengar sorakan yang membahana dari segara penjuru sekolah. Seolah-olah mereka menertawakan perasaan Ify yang ia tutup rapat-rapat. Seolah-olah mereka menyalahkan Ify karena telah mengunci perasaan itu di sudut terdalam hatinya, tak membiarkan dia tau akan hal itu.

            “KAMU MAU JADI PACAR AKU, KAN, SHILL?” dia berlutut di pinggir lapanga, tangan kanannya menengadah ke arah Shilla di atas sana.

            “Terima! Terima! Terima!” sorakan-sorakan semacam itu semakin membuat lutut Ify melemas.

            “SURE, I WILL, MARIO!” Shilla balas berteriak dan tersenyum lebar.

            Dan, dengan secepat kilat, Shilla turun lalu menghampiri lelaki yang telah berlutut padanya –Mario, atau yang lebih akrab disapa Rio–. Keduanya berhadapan, tersenyum malu-malu. Sorakan kembali terdengar. Ify terisak. Menyesali kebodohannya karena menutupi perasaannya sendiri.

**

            Untung saja ini adalah hari Jumat. Sekolah pulang lebih cepat. Menjelang adzan dhuhur, bel pulang telah berbunyi. Hanya dalam waktu lima menit pun, kelas-kelas telah ditinggalkan penghuninya. Berbeda dengan teman-temannya, keempat gadis itu masih berada di dalam kelas. Oik, Pricilla, dan Sivia masih menemani Ify yang mendadak mogok pulang.

            Pricilla sedari tadi terlihat gelisah. Ia berpindah posisi duduk terus sejak bel pulang berbunyi. Entah ada apa dengan si Barbie satu itu. Hingga akhirnya, ia ngibrit keluar kelas.

            “Ke mana, Cill?” tanya Ify.

            “Toilet!” gadis itu menjawab singkat.

            Pricilla berhenti berlari. Ia sudah lumayan jauh dari kelasnya. Ketiga sahabatnya itu pun pasti tak akan melihatnya. Toilet berada di ujung koridor, tapi ia malah berbelok ke samping dan memasuki Laboratorium Kimia. Pricilla mengedarkan pandangannya. Bagus! Sepi.

            Gadis imut itu menghampiri seorang lelaki yang sedang berkutat dengan percobaannya. Pricilla berdehem pelan. Alhasil, lelaki –yang kini telah berada di sampingnya– itu menengok padanya. Lelaki itu tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya.

            “Kamu ga pulang?” tanya Pricilla.

            “Kamu sendiri?” dia balik bertanya.

            Pricilla tertawa singkat, “Masih nungguin Ify. Dia lagi patah hati.” Pricilla mengarahkan pandangannya pada sebuah percobaan yang sedang dilakukan lelaki itu. “Ga bisa dilanjutin besok itu eksperimennya?”

            Lelaki itu menggeleng, “Kenapa? Kamu mau aku anter pulang?”

            “Ga. Tapi ini, kan, udah sore. Apa ntar kamu pulangnya ga terlambat?” Pricilla memandangi wajah manis di sampingnya.

            Lelaki itu pun membereskan alat-alat percobaannya dan melepas jas laboratorium yang ia kenakan. Pricilla masih terus memandangi lelaki itu dengan senyum mengembang. Setelah selesai membereskan seluruhnya, lelaki itu kembali menghampiri Pricilla dan tertawa pelan.

            “Ap-Apa?” Pricilla mendadak was-was.

            Lelaki itu menggeleng, “Rambut kamu berantakan banget!” desisnya.

            Dalam sekejap, lelaki itu sudah menyibakkan beberapa helai rambut Pricilla yang jatuh di dekat pipi gadis itu. Ia menyibakkannya ke belakang daun telinga Pricilla. Pricilla kontan menunduk malu. Masalahnya, ini adalah kali pertama lelaki itu melakukannya! Kemajuan, ya? Biasanya, kan, mereka hanya duduk-duduk saja berdua.

            Pricilla memandangi lelaki manis itu dari sudut matanya. Ia memperhatikan lelaki itu yang mengambil tasnya, menyangklongnya, mengambil sebuah kunci dari atas meja guru, dan berjalan menuju pintu laboratorium

            “Kamu ga mau keluar, Cill? Betah di laboratorium?” tanyanya.

            Pricilla tersenyum geli dan menggeleng cepat, “Kamu, sih, ga ngajakin aku keluar!”

            Pricilla akhirnya ikut keluar. Ia menunggu lelaki itu mengunci pintu laboratorium. Setelahnya, mereka berdua pun berbalik dan berjalan beriringan. Tidak ada acara gandengan tangan. Jalan beriringan begini saja Pricilla sudah senang.

            “Kamu mau pulang jam berapa, Cill?” tanyanya.

            Pricilla mengedikkan bahu, “Ga tau, deh. Tergantung Oik sama Sivia juga mau balik jam berapa. Mereka masih nenangin Ify, mungkin.”

            “Oh..” lelaki itu hanya mengangguk.

            Pricilla menengok ke arahnya dan berbubah keki. Hanya mengangguk? Pada pacarnya sendiri? Yang benar saja! Kadang-kadang Pricilla juga merutuki dirinya sendiri karena mau saja berpacaran dengan robot. Apa? Robot? Apalagi sebutan yang pantas untuk lelaki yang secuek itu dengan pacarnya sendiri?

            “Ya udah, kamu tunggu di tempat biasa aja. Nanti aku nyusul.” Pricilla tersenyum jengah.

            Lelaki itu kembali mengangguk. Pricilla terus memandang punggung lelaki yang beranjak menjauh darinya itu. Dandanannya sangat culun. Celana seragam yang dinaikan hingga perut, baju yang selalu rapi, dasi yang tidak pernah longgar, sabuk yang selalu pada tempatnya, sebuah kaca mata tebal, dan rambut yang ditata rapi. Pricilla menghela napas.

            Gadis itu mengangkat tangannya, melambaikan tangan pada lelaki itu. Ya, walaupun ia sendiri tau kalau lelaki itu tak mungkin melihat lambaian tangannya karena ia membelakangi Pricilla.      

            “Bye, Gabriel!” lirihnya.

**

            Ify, Oik, Pricilla, dan Sivia baru saja sampai di gerbang sekolah. Sudah lumayan sepi. Keempatnya duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di depan pos satpam sekolah. Keempatnya akhirnya memutuskan untuk pulang ketika Ify sudah mulai tenang dan tangisnya mereda.

            “Pulang sama siapa, Siv?” tanya Oik.

            “Sama---,”

            Tiba-tiba saja, terdengar suara klakson. Sivia menengok. Seorang lelaki baru saja melepas helmnya dan Sivia mengenali wajah itu. Sivia melambai ke arahnya dan tersenyum lebar. Dengan cepat, Sivia menggendong tasnya.

            Sivia tersenyum pada ketiga sahabatnya, “Sama Duto.”

            Tanpa berpamitan pada ketiganya, Sivia berlari kecil menghampiri Duto. Tak lama setelah itu, keduanya telah melaju menuju sebuah tempat makan tak jauh dari sekolah Sivia. Kebetulan, ini sudah jamnya makan siang. Tak heran jika tempat makan yang mereka kunjungi tengah ramai-ramainya.

            Sivia dan Duto memilih untuk duduk di salah satu sudut tempat makan itu yang sedikit lebih sepi. Keduanya duduk berhadapan. Tak lama, seorang waitress datang dan memberikan mereka daftar menu.

            “Nasi rames sama es jeruk manis aja, deh.” Duto pun mengedik pada Sivia yang masih serius memilih makanan.

            Sivia bergumam pelan, “Nasi goreng sama jus mangga.”

            Waitress tersebut pun menyingkir. Sivia dan Duto kembali mengobrol seraya menunggu pesanan mereka datang. Ini sudah kesekian kalinya mereka jalan berdua. Tapi, entah sampai kapan mereka akan betah tanpa status apapun.

            “Jadi, gimana sekolah kamu?” tanya Duto.

            “Biasa aja. Temennya asyik-asyik, kok. Kamu sendiri? Ada kakak kelas yang cantik ga?” goda Sivia, berniat memancing lelaki di hadapannya itu.

            Duto tertawa renyah, “Kamu tetep yang paling cantik, kok, Siv.”

            “Gombal!” sergahnya, pipi Sivia telah semerah tomat sekarang.

            Lalu, tiba-tiba saja Duto bersin. Refleks, lelaki itu menutupi hidungnya. Dengan segera, Sivia mengangsurkannya sebuah tissue yang ia ambil dari dalam tasnya. Duto menerimanya dengan senyum tipis, Sivia menahan tawanya saat itu juga.

            “Kamu memang sahabat aku yang paling oke, Siv.” Duto bergumam pelan.

            Hah? Apa?

            “Apa? Sahabat?” ulang Sivia, kali-kali saja ia tadi salah dengar.

            Duto mengangguk. Ia mendadak pucat pasi. Ia tatap wajah Sivia. Ia tau betul gadis cantik itu sedang menggeram kesal, menahan laju amarahnya karena kata-kata yang ia lontarkan barusan. Duto keceplosan!

            “Jadi, selama ini kamu cuman nganggep aku sahabat, ga lebih?” cecar Sivia.

            Duto menunduk, “Maaf.”

            Sivia menggeleng tak percaya, “Kenapa ga bilang dari awal, sih, kalau kamu cuman nganggep aku sahabat? Kenapa baru bilang sekarang setelah aku mulai ngarep kita bakalan lebih dari sahabat?”

            “Aku juga maunya gitu, Siv. Aku maunya kita lebih dari sahabat. Kamu itu cewek yang tipeku banget. Kamu cantik, kamu baik, kamu perhatian sama aku. Tapi ternyata, ga tau kenapa, aku ga ada rasa sama kamu, Siv.” Duto mengakui semuanya.

            “Kenapa baru bilang sekarang, Duto? Kamu tau sendiri aku udah capek diginiin. Aku udah capek selalu di PHP sama cowok-cowok. Aku udah pernah cerita, kan, ke kamu?” nada suara Sivia mulai terdengar meninggi.

            “Maaf.” Duto berkata lirih.

            “Aku pikir kamu beda dari yang lain. Tapi ternyata aku salah. Kamu bahkan lebih buruk daripada cowok-cowok yang udah nyakitin aku. Aku udah cerita semuanya ke kamu. Semuanya, Duto. Tapi kamu malah...”

            Sivia bangkit dari duduknya. Ia sudah tak mampu berkata apa-apa lagi. Sedih, marah, kecewa, jengkel, sakit semuanya jadi satu. Sivia berlalu, meninggalkan Duto. Duto hanya mampu memandang punggung Sivia dengan penuh penyesalan. Seharusnya ia tidak asal ceplos tadi. Seharusnya ia tidak mengatakannya. Seharusnya ia tidak...

**

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar