Seluruh siswa kelas 12 IPA 4 serentak menghela napas lega ketika guru matematika mereka mengakhiri pendalaman materi untuk UNAS. Begitu Bu Winda –sang guru matematika– keluar, para siswa 12 IPA 4 pun berhamburan keluar.
Begitu pula dengan Oik dan Sivia. Keduanya segera mengambil dompet masing-masing dan menentengnya menuju kantin. Kantin kala itu tengah sepi karena hanya kelas mereka saja yang sedang beristirahat.
Oik duduk disalah satu meja dan membiarkan Sivia yang memesan makanan–sebelumnya ia telah memberikan selembar sepuluh ribu pada gadis berpipi chubby itu.
**
“Halo, Dek. Kita dari ekskul mading. Kita lagi cari anggota baru.” Seorang laki-laki bermata sayu tengah berdiri di hadapan seluruh siswa 10-4 yang sedang menjalani OSPEK itu.
Oik dan Sivia saling lirik melihat tiga orang kakak kelasnya yang tengah mengoceh mengenai kelebihan mengikuti ekskul mading. Keduanya tersenyum penuh arti. Rupanya dua gadis yang baru kenal sehari lalu ini memang sehati dalam –hampir– segala hal.
“Oh iya, saya Zahra.” Ujar kakak kelasnya yang berbehel. “Ini Agni.” Ia menunjuk seorang gadis yang terlihat agak tomboy di sampingnya. “Dan ini Cakka.” Terakhir, ia menunjuk seorang laki-laki bermata sayu itu.
Sivia menengok kearah Oik dan tersenyum lucu. “Oh.. namanya Cakka, Ik!”
“Iya, Siv.” Oik mengangguk-angguk bersemangat. “Ganteng, ya!”
Oik dan Sivia pun tertawa cekikikan sambil sesekali mencuri pandang pada Cakka. Keduanya pun sepakat untuk mengikuti ekskul mading bersama. Hanya demi Cakka. Ya, hanya demi lelaki itu.
“Jadi, siapa yang minat ikut ekskul mading?” Tanya Agni dengan senyum terukir lebar.
“Kita, Kak!!” Oik dan Sivia mengacungkan tangan dengan bersemangat sembari berseru bersama.
Melihat tingkah Oik dan Sivia, Cakka tertawa gemas. Oik dan Sivia saling pandang dengan wajah bersemu merah. Kakak kelasnya ini memang super ganteng!!
**
Sivia kembali dengan dua mangkuk soto ayam dan dua botol air mineral dingin. Ia menggelengkan kepalanya begitu menyadari Oik tengah melamun. Ia meletakkan nampan berisi makanan dan minuman itu di depan Oik dengan keras, membuat gadis mungil itu mengerjap kaget.
Oik menatap Sivia sengit dengan bibir yang maju beberapa senti. “Apaan sih, Siv?!”
“Elo sih, ngelamun aja.” Sivia tertawa nyaring. “Ngelamunin apa sih, Ik?”
Oik menggeleng. “Kak Cakka gimana kabarnya ya, sekarang? Dia nggak pernah dateng kalau kita ngadaian kumpul bareng sama anggota mading.”
“Mungkin dia lagi sibuk, Ik. Namanya juga awal-awal kuliah. Kenapa, sih? Lo kangen, ya?” seloroh Sivia.
“Nggak!!” Oik memalingkan mukanya yang telah bersemu merah, membuat sahabatnya itu kembali tertawa.
**
Beberapa hari setelah OSPEK selesai, ekskul mading mengadakan pertemuan bersama para anggota baru di secretariat ekskul. Pertemuan sudah dimulai semenjak lima belas menit yang lalu ketika Oik dan Sivia baru keluar dari kelas.
“Aduh! Kita telat, Ik!” seru Sivia seraya merapikan barang-barangnya.
Setelah merapikan barang dengan asal-asalan, keduanya segera berlari menuju secretariat ekskul mading. Dilihat dari luar saja sudah tampak penuh. Pasti banyak sekali yang ingin menjadi anggotanya.
Oik memberanikan diri mengetuk pintu. Seketika itu juga seluruh mata yang ada segera menumpukan fokusnya pada Oik dan Sivia.
“Maaf terlambat. Kelasnya baru bubaran soalnya.” Oik bercicit pelan. Takut juga dia begitu melihat Zahra dan Agni yang memandangnya tanpa ekspresi.
“Sini, sini.. masuk aja.” Cakka melambaikan tangan pada mereka berdua dan menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.
Oik dan Sivia pun masuk dengan bersemangat. Keduanya segera duduk di samping Cakka. Lebih tepatnya, Oik lah yang benar-benar duduk di samping Cakka. Sedangkan Sivia, ia duduk di sisi Oik yang lainnya.
“Aduh, Kak. Maaf banget, terlambat!” Oik mengatupkan kedua tangannya didepan dada, membuat Cakka tertawa.
“Iya, nggak apa-apa.” Cakka tersenyum menenangkan seraya mengusap puncak kepala Oik.
**
“Ah, yakin lo nggak kangen Kak Cakka? Gue sih, nggak munafik, ya. Gue ngakuin kalau gue kangen Kak Cakka.” Seloroh Sivia hingga membuat sahabatnya itu melotot.
“Eh, gila aja lo! Alvin mau lo taruh mana?!” cecar Oik tanpa ampun, lagi-lagi Sivia tertawa.
“Alvin tetep dihati gue dong, Ik. Nah elo, si itu mau lo taruh mana kalau lo masih mikirin Kak Cakka terus? Gagal move on banget, deh.” Ejek Sivia.
Tanpa Sivia sadari, Oik termenung mendengar perkataannya. Oik menghela napas, membuyarkan lamunan mengenai Cakka yang kembali hinggap diotaknya. Walaupun sudah hampir setahun ia tak bertemu dengan lelaki itu, ingatannya mengenai dia tak terhapuskan.
**
Petang itu, Oik dan Cakka baru saja selesai sholat berjamaah berdua di mushola sekolah mereka. Beberapa anggota ekskul mading tengah bekerja rodi menyelesaikan mading yang setiap dua minggu sekali haru diganti.
Begitu Oik selesai membereskan mukenah milik sekolah, keduanya berjalan beriringan menuju sekretariat ekskul.
“Kak Cakka tumben nggak nganterin Kak Agni pulang?” Tanya Oik.
Cakka hanya tersenyum tipis. “Emang lo pikir gue ojek langganannya sampai-sampai tiap hari harus nganterin dia pulang?”
Oik menggeleng malu. “Ya kan, aku pikir Kak Cakka sama Kak Agni itu... pacaran,”
“Hah?!” Cakka menengok kearah Oik dengan ekspresi bingung lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. “Kok lo mikirnya gitu, sih?”
Pipi Oik semakin bersemu merah saja. “Abisnya Kak Cakka sama Kak Agni deket banget kayak amplop sama perangko, nggak kepisahin.”
“Gue sama Agni udah sahabatan dari kecil, Ik. Kami satu sekolah dari TK sampai sekarang. Jelas aja kami deket banget.” Jeda sebentar sampai Cakka kemudian memasang wajah konyol dan memandang Oik. “Lo jealous, ya?”
“Nggak! Nggak, ih! Kak Cakka apaan, sih?! Nggak, aku nggak jealous! Ngapain juga aku harus jealous?!” Oik langsung gelagapan sendiri dan mengoceh tidak jelas sambil mempercepat langkahnya, meninggalkan Cakka yang berjalan santai di belakangnya.
Dengan wajah bersemu merah, Oik merapikan barang-barangnya di sekretariat ekskul. Rupanya seluruh teman-temannya anggota ekskul mading sudah pulang. Langkah kakinya berderap menuju halaman depan, menunggu ayahnya menjemput.
Berkali-kali diliriknya jam tangan tetapi ayahnya tak kunjung muncul. Hingga akhirnya seseorang yang tengah duduk diatas motornya berhenti di dekatnya.
“Belum dijemput, Ik?” Tanya orang itu–Cakka.
“Belum, Kak.” Jawab Oik singkat. Oik masih malu jika mengingat kejadian barusan.
“Mau gue anter aja?” tawar Cakka yang disambut gelengan kepala dari Oik. “Ya udah, gue tungguin sampai elo dijemput.” Cakka turun dari motornya dan lekas duduk bersama Oik dibangku sekolah.
“Kak Cakka pulang duluan aja. Ayah masih lama jemputnya, macet.” Usir Oik halus.
“Nggak.” Cakka menggeleng. “Ini udah hampir malem. Gue nggak akan ngebiarin lo nunggu sendirian. Apalagi bokap lo masih lama kan, jemputnya.”
**
“Eh, Ik.. gue denger mau ada reuni alumnus tahun lalu, deh. Angkatannya Kak Cakka kan, berarti?” Tanya Sivia dengan mulut penuh.
Oik langsung mengangkat kepalanya begitu mendengar nama Cakka disebut-sebut. “Serius lo?! Denger dari siapa?” Tanya Oik histeris.
“Dari Alvin. Biasa.. dia kan, banyak kenalan kakak kelas. Hari ini katanya, sih. Tapi gue nggak tahu lagi. Dan gue berani taruhan kalau lo pingin banget Kak Cakka dateng.”
“You got me, Siv.” Kata Oik lirih.
“Hey, Oik!” sebuah suara menyapa, membuat sang empunya nama menengok dan mendapati salah satu temannya disana. “Happy anniv, ya! Semoga kalian langgeng sampai kakek-nenek.”
Oik hanya menanggapi dengan tersenyum hambar. “Makasih, ya.”
**
Oik tengah berkutat dengan laptop ketika Cakka datang. Melihat keadaan sekretariat yang lengang dan hanya ada Oik membuat lelaki itu mendengus. Dengusannya rupanya mengagetkan Oik yang tengah berkonsentrasi penuh mencari artikel untuk mading minggu depan.
“Kak Cakka ngagetin aja,” seru Oik dongkol. Gadis itu pun kembali memfokuskan matanya pada layar laptop.
Cakka meringis dan beringsut duduk di samping Oik. “Lagi ngapain, sih? Serius amat kayaknya. Berasa gue ganggu elo banget, deh.”
“Iya, nih.” Oik menghela napasnya. “Lagi cari artikel, Kak. Tema minggu depan kan,something yang tradisional gitu. Aku masih nggak ngerti mau ngebahas apa.”
“Lho?” Cakka mengernyit. “Yang ngurusin artikel kan, nggak cuman kamu. Yang lainnya pada kemana? Agni juga.. dia kemana?”
“Nggak tau, Kak. Aku suntuk banget. Nggak ngerti harus gimana.” Oik menelungkupkan kepalanya diatas laptop. “Aku lagi nggak mood dan mereka semua nggak tau pada kemana.”
Cakka jadi bingung sendiri begitu melihat Oik yang mulai terisak. Ia menggaruk tengkuknya, bingung. Melihat sebuah sapu yang teronggok disudut sekretariat, ia bergegas mengambilnya.
“Tiap kali ku melihatmu, sesak napas dan kehilangan arah. Tolong, tolong, tolong bantulah aku berdiri tegak dengan dua kakiku.”
Oik mengangkat kepalanya. Kedua tangannya menghapus lelehan air mata dipipinya. Ia melihat Cakka tengah bernyanyi dengan menggunakan sapu sebagaimicrophone. Tak ayal, tingkah berlebihan lelaki itu ketika membawakan lagu membuat Oik sedikit tersenyum.
“Kak Cakka ngapain?” Tanya Oik dengan suara serak.
“Nyanyi, dong! Banyak yang bilang gue mirip sama vokalisnya The Finest Tree, sih.”
Oik semakin melebarkan senyumnya ketika mendengar ucapan Cakka barusan. “Makasih ya, Kak. I really mean it..”
“Iya. Jangan sedih lagi, ya.” Cakka tersenyum tipis.
**
Sivia baru saja menghabiskan sotonya. Ia meletakkan sendok beserta garpunya dengan posisi tertelungkup. Tangannya terulur untuk mengambil sebotol air mineralnya. Ia menenggaknya sambil menatap satu fokus.
“Ik, Oik..” panggilnya.
“Apa, sih?” Tanya Oik tak mengerti. Sivia tiba-tiba saja mendadak kaku.
“Look who’s coming..” Ucap Sivia, ia mengedik pada koridor.
Oik menggelengkan kepalanya tak mengerti lalu menengok kearah koridor. Napasnya tercekat begitu mengetahui siapa yang tengah berjalan menuju kantin–tempat mereka saat ini. Ia melirik Sivia. Rupanya sahabatnya itu sama terpananya dengan dirinya.
“Gue nggak salah lihat, kan?” Tanya Oik dengan suara berbisik.
Lama-kelamaan sosok itu semakin dekat dengan Oik dan Sivia. Semakin jelaskan spekulasi mereka mengenai siapakah sosok itu.
“Hay, Oik! Hay, Sivia!” sapa sosok itu–tentu saja dengan suara beratnya.
“Kak Cakka..”
**
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar satu jam yang lalu. Tetapi Cakka dan Oik masih berada di area sekolah. Semalam Cakka meminta tolong gadis itu untuk membantunya membuat figur doraemon dari tanah liat yang telah diolah sebelumnya.
“Artikelnya udah siap, Ik?” Tanya Cakka. Ia melirik gadis yang tengah duduk disampingnya itu dengan tersenyum.
“Udah, Kak.” Oik mengangguk. “Mau dibantuin nggak?”
“Nggak usah. Nanti tangan lo kotor. Gue aja harus pakai sarung tangan.” Tolak Cakka. “Udah, lo duduk manis aja disamping gue.”
Oik menghela napasnya. “Terus apa gunanya aku disini kalau Kak Cakka nggak mau aku bantuin? Kan, Kak Cakka yang semalem minta dibantuin.”
“Bukan gitu,” Cakka tertawa melihat gadis disampingnya itu cemberut.
“Gini, deh.” Cakka berbalik badan, menghadap Oik sepenuhnya dan menyodorkan kedua tangannya pada Oik. “Lepasin sarung tangan gue dulu.”
“Lepas aja sendiri!” seru Oik sebal.
“Nggak bisa, Oik.” Balas Cakka. “Ayo, lepasin. Tolong.”
Dengan wajah yang masih cemberut, Oik membantu melepaskan sarung tangan dari kedua tangan lelaki itu. Lalu ia letakkan kedua benda itu disampingnya.
“Terus? Apa?” Tanya Oik bingung.
Cakka memegang kedua tangan Oik perlahan-lahan. “Gue nggak mau tangan lo jadi kotor. Ini kerjaan cowok. Ntar tangan lo bisa kotor dan nggak halus lagi.”
Oik menahan napasnya. Begitu ia mendongak, ia mendapati Cakka tengah menatapnya dalam. Ia segera mengalihkan pandangannya. Apapun. Apapun asal jangan kedua bola mata yang memandangnya lekat itu.
Oik hanya bisa tersenyum dengan pipi yang merona merah.
**
“Ik, gue ke kelas duluan, ya. Alvin nyariin gue.” Sivia langsung bangkit berdiri dan meninggalkan Oik serta Cakka berdua.
Oik menundukkan kepalanya sekilas. Ia merutuki Sivia karena telah membiarkannya berada pada momen yang canggung seperti ini bersama Cakka. Begitu ia mendongakkan kepalanya, ia melihat Cakka telah duduk manis di hadapannya.
“Apa kabar, Ik?” Tanya Cakka dan seutas senyum.
“Baik, Kak.” Oik tersenyum kikuk. “Kak Cakka sendiri, gimana?”
“Baik juga. Aku sekarang ambil manajemen, Ik.” Ujar Cakka. Oik hanya mengangguk mengerti.
Keduanya lantas terdiam untuk waktu yang cukup lama.
**
Cakka Nuraga: Ik, bsk jgn lupa bawa artikelny ya:-)
Oik: Siap kak!!^^
Cakka Nuraga: Udh siap semua kn?
Oik: Udh ko. Ini udh diprint jg hehe.
Cakka Nuraga: Ya udh. Ini udh mlm jg. Lo cpt tidur gih sana:-)
Oik: Gak bs tidur kak. Laper:-(
Oik: Ini msh mau ngerebis mie:-(
Cakka Nuraga: Waduh sama! Tp gue gak bs masak mie=))
Oik: Wah sehati ya kita:))
Cakka Nuraga: Wah cocok dong kl gt:-P
Oik: Iy nih, cocok bgt kak=))
Cakka Nuraga: Cpt jadian aja kl gt. Udh sehati sih:-P
Oik: Ih apaan jadian2??? Ditembak aja gak:-P
Cakka Nuraga: Oh km mau aku tembak?
Oik: Jgn dong, ntar aku mati:”(
Cakka Nuraga: Gmn sih? Serius nih._.
Cakka Nuraga: Ya udh, gini aja.........
Cakka Nuraga: Oik, aku suka sm kamu:-)
Cakka Nuraga: PING!!
Oik: Iy kak:-) aku jg:-)
Cakka Nuraga: Tp aku mau fokus ujian dl. Gpp kn ik?:-(
Cakka Nuraga: Ik? Oik?
Cakka Nuraga: Km udh tidur ya?:-(
Cakka Nuraga: Ya udh deh. Sleep tight ya:-)
**
“Ik, kita bisa ngomongin soal itu, kan?” Tanya Cakka penuh harap.
“Ngomongin apalagi sih, Kak?” Tanya Oik jengah. Ia segera mengalihkan pandangannya dari lelaki di hadapannya. Ia lelah.
“Sejak itu kamu nggak pernah bales BBM aku lagi. Kamu juga kayak ngehindar. Iya, kan? Kamu kenapa sih, Ik?” Tanya Cakka memelas.
Oik menghela napasnya. “Nggak ada lagi yang perlu diomongin.”
Oik menggelengkan kepalanya melihat Cakka yang masih menatapnya penuh harap. Oik sebenarnya mengerti betul apa yang Cakka inginkan. Kini lelaki itu tengah menatapnya dengan sorot meminta penjelasan.
“Aku capek nunggu, Kak. Apalagi waktu itu Kakak bilang kalau Kakak mau fokus ujian. Iya, kan? Oke, aku turutin. Aku nggak pernah gangguin Kakak semenjak itu. Aku bukan menghindari. Aku cuman coba nurutin permintaan Kakak.” Oik membuang napasnya yang lama tertahan diparu-paru.
“Kita sama sekali nggak berhubungan sampai Kakak selesai ujian. Sampai Kakak masuk universitas, malah. Sebelum Kakak bilang kalau Kakak masuk manajemen, aku nggak tau. Aku nggak tau harus ngapain, Kak.” Oik mulai terisak.
“Ik..” Cakka mengulurkan tangannya, mencoba menghapus lelehan air mata gadis itu.
“Nggak usah. Makasih.” Oik menepis tangan Cakka dengan kasar.
“Sampai berbulan-bulan setelahnya pun aku nggak menghubungi Kakak sama sekali. Karena aku mikir kalau awal-awal jadi mahasiswa pasti sibuk. Tapi sampai awal tahun ini pun Kakak nggak ngehubungin aku.”
Oik menundukkan kepalanya. Begitu ia mendongak, Cakka menemukan gadis itu tengah memasang wajah dinginnya. “Aku capek nunggu, Kak. Aku capek nunggu kamu. Kamu nggak pernah ada kabar.”
“So, why should I hold on to something.. something doesn’t exist?” Tanya Oik sarkastik.
“Ik, aku nggak bermaksud begitu. Aku...”
“Kamu apa, Kak?” tantang Oik.
“Kasih aku satu kesempatan lagi.”
Oik menggeleng tegas. Bibirnya bergetar menahan tangis. “Nggak bisa, Kak. Kamu dateng diwaktu yang nggak tepat.”
Cakka menatap Oik bingung. Juga, tidak terima.
“Hay, Ik.” Sapa sebuah suara. “Happy anniv, Sayang.”
Oik tersenyum menatap lelaki gondrong yang tengah mengulurkan tangan dihadapannya. “Happy anniv juga, Ray.”
Oik menyambut uluran tangan Ray. Oik berdiri, berjalan beriringan dengan Ray setelah berpamitan kepada Cakka sebelumnya.
“Kasih aku satu kesempatan lagi, Ik..”
THE END
0 komentar:
Posting Komentar