Aku bagaikan perokok pasif dan kaulah perokok aktifnya. Kau yang
merokok dan akulah yang paling terkena efeknya. Kaulah yang melakukan
dan aku yang akan paling tersakiti. – no name
**
Ify baru saja turun dari stage. Dengan long dress berwarna merah menyala dan mic yang masih berada di tangannya, ia berjalan menuju backstage. Sesekali ia tersenyum ramah pada para IFC –penggemarnya-. Pengawalan ketat selalu diberlakukan untuk dirinya. Bodyguard berada di kanan dan kirinya.
Begitu sampai di backstage, ia segera menghambur ke ruangan yang memang diperuntukkan padanya dan para crewnya. Segera ia buka pintunya dan menghempaskan diri ke sebuah sofa besar di sudut ruangan. Ruangan itu sepi. Para crewnya telah memboyong peralatannya ke minni bus IFCrew.
“Istirahat dulu, Fy..” sapa sebuah suara.
Ify mendongak, mencari sumber suara. Ada Gabriel –managernya-
di sana. Ify hanya mengangguk. Gadis berwajah tirus itu pun kembali
mengistirahatkan matanya, menutup kelopaknya secara perlahan. Sedangkan
Gabriel, dengan perlahan, melepas sepatu Ify dan mengangkat kedua kaki
Ify menuju sofa.
Ify telah terlelap. Wajar saja karena jadwalnya akhir-akhir ini memang terlampau padat. Gabriel menghandle seluruhnya dengan baik. Ify pun telah percaya dengan lelaki itu sepenuhnya. Ya, sepenuhnya.
Drrt drrt..
Gabriel terkesiap. Ia meletakkan sejenak sebuah tas besar berisikan pakaian show
Ify dan mengambil ponsel di saku celananya. Ponsel Ify. Memang. Gabriel
lah yang memegang ponsel itu ketika Ify sedang show. Gabriel juga yang
biasa mengangkat panggilan dari Rio –pacar Ify- yang merupakan seorang
anak dari direktur utama RiStar, sebuah management artis terbesar di
Indonesia.
Rio Hunnn is calling
“Ada apa, Yo?”
“Di mana Ify? Kenapa selalu kamu yang mengangkat panggilanku?”
“Ify sedang beristirahat. Ia baru saja turun dari stage.”
“Dia selalu lupa mengabariku. Cih!”
“Maklum, Yo. Jadwal Ify bulan ini sangat padat.”
“Katakan padanya padanya bahwa kami harus bertemu besok. Di tempat biasa. Pukul delapan malam.”
“Ba---,”
Tut tut tut..
Gabriel terkesiap. Rupanya Rio telah memutuskan panggilan sepihak.
Lelaki jangkung itu hanya mengedik dan kembali mengantongi ponsel Ify.
Gabriel kembali pada tas besar itu. Mulai mengangkatnya dan.....
Drrt drrt..
“Sial! Ada saja yang mengganggu pekerjaanku!” umpatnya.
Ia letakkan tas itu –untuk yang kedua kalinya- dan menyamber ponselnya
sendiri. Ia mengedik sekilas pada layarnya. Sepupunya yang menelepon.
Dengan cepat, ia angkat panggilan tersebut. Menyadari ada yang tidak
beres karena sepupunya itu sampai meneleponnya.
“Ada apa?”
“Ibu kamu kritis, Gab. Kamu harus cepat-cepat ke Bandung!”
“Ibu kritis? Kamu serius?”
“Iya! Untuk apa aku bohong padamu soal ini?”
“Tap- Tapi aku tidak bisa meninggalkan Ify begitu saja di sini. Jadwalnya padat sekali. Aku harus mencari manager pengganti terlebih dahulu.”
“Kamu
bisa percaya padaku, Gab. Biar aku yang menangani Ify untuk beberapa
hari, sampai ibumu sadar. Kamu hanya perlu mengajariku bagaimana cara
mengurus artismu itu.”
“Kamu serius? Baiklah. Sore ini juga aku akan ke Bandung. Kamu standyby di rumah sakit saja. Aku langsung ke sana.”
“Baiklah. Kami semua menunggu kedatanganmu, Gab.”
Gabriel menutup panggilan dari sepupunya itu dengan mengumpat pelan. Ia
harus cepat-cepat mengantar Ify pulang dan berangkat ke Bandung.
Gabriel segera meletakkan ponselnya, mengangkat tas besar tadi ke minni
bus IFCrew, dan membangunkan Ify.
Begitu
keduanya telah berada di dalam Mercedes-Benz milik Ify –dengan Gabriel
yang menyetir dan Ify duduk di sampingnya-, Gabriel sibuk merangkai kata
untuk menajukan izin kepada Ify. Pasalnya, ia sudah berjanji kepada
sepupunya itu bahwa ia akan berangkat ke Bandung hari ini juga.
“Fy..”
Ify menengok kepadanya dengan alis terangkat sebelah, “Ada apa, Gab?”
“Ibuku kritis di Bandung dan seluruh keluargaku menungguku di sana. Aku
boleh izin untuk menjenguk ibuku beberapa hari, kan?” tanya Gabriel.
“Lalu siapa yang akan mengatur seluruh jadwalku?” mata Ify membulat sempurna.
Gabriel meliriknya sekilas, “Tetap aku yang akan mengatur. Sepupuku
dari Bandung yang akan menemanimu selama aku berada di sana. Aku akan
tetap mengontrolmu.”
“Hn,”
“Dan, ah ya! Rio memintamu untuk datang ke tempat biasa, besok, pukul delapan malam. Sudah kumasukkan ke jadwalmu.”
Ify hanya mengangguk. Malas. Ia menyadari bahwa –pasti- kinerja sepupu
Gabriel nanti tak sebagus kinerja Gabriel sendiri. Perasaannya mulai tak
enak.
**
Begitu sampai di
apartemennya –setelah mengantar Ify pulang-, Gabriel langsung bergegas
mengemasi barangnya untuk beberapa hari ke depan. Setelahnya, ia turun
dan menuju receptionist untuk menitipkan kunci apartemennya. Ia pun langsung meluncur menuju Bandung, menyetir sendiri.
**
Gabriel memarkirkan Yaarisnya di pelataran sebuah rumah sakit yang
cukup terkenal di Bandung. Ia menuju bagasi dan menarik keluar sebuah
tas ransel, menutupnya, dan langsung berjalan masuk ke dalam rumah
sakit. Tangan kanannya sibuk memencet keypad ponselnya, menghubungi sepupunya –yang sepertinya- telah menunggu di salah satu sudut lobby rumah sakit.
“Gabriel!”
Gabriel mendongak. Ia acuhkan ponselnya dan mengedarkan pandangan,
mencari asal suara. Ada sepupunya di dekat sebuah sofa panjang. Gabriel
mengangkat tangan kanannya. Ia pun melepas kaca mata hitamnya dan
berjalan menghampiri sepupunya tersebut.
“Bagaimana keadaan ibu?”
“Masih kritis. Lebih baik kita cepat-cepat ke ruang perawatannya saja.”
Keduanya berjalan berdampingan. Sesekali mengobrol. Beberapa saat
berjalan melewati lorong-lorong rumah sakit, keduanya sampai di depan
sebuah ruang perawatan VVIP. Sepupunya itu pun membuka perlahan daun
pintu, terlihat beberapa sanak saudara di dalam sana. Gabriel menghambur
masuk dan menuju bed tempat ibunya terbujur lemah.
“Kamu tunggui beliau sampai sadar, ya. Aku bisa menggantikanmu di
Jakarta.” sepupunya itu menepuk pundak Gabriel dari belakang.
Gabriel menengok ke belakang tanpa membalikkan badannya. Ia tersenyum berterima kasih kepada sepupunya itu.
Setelah menjelaskan segala sesuatunya kepada sang sepupu, juga
memberikan sebuah agenda berisikan jadwal Ify untuk seminggu ke depan,
sepupu Gabriel itu langsung menggeret kopernya dan mencari taxi di pelataran rumah sakit. Taxi itu melaju menuju seuah stasiun tak jauh dari situ.
**
Ify berada di dalam Mercedes-Benz miliknya. Sopirnya telah berada di
luar, menunggu sepupu Gabriel yang turun dari kereta. Ify mendengus
kesal. Ia telah menunggu sepupu Gabriel itu lebih dari sepuluh menit. Ia
sebenarnya mau-mau saja tidak ikut menjemputnya. Tapi, bukankah itu
tidak sopan? Jadilah ia di sini sekarang. Bersembunyi di dalam mobil
agar tak digeruduk fansnya.
“Neng Ify, ini sepupunya mas Gabriel sudah datang,”
Ify terkesiap. Ia mengucek matanya pelan dan mendapati sopirnya berada
di luar, mengetuk kaca mobilnya. Ify segera membuka kaca mobilnya. Gadis
itu melongok, menatap seorang gadis berpenampilan cupu di belakang
sopirnya. Ify pun tersenyum.
“Sepupunya Gabriel, ya?” tanya Ify.
Gadis dengan rambut kepang dua itu mengangguk, “Iya, mba’..”
“Ya udah, ayo masuk sini..” ajak Ify.
Pintu pun terbuka dari luar. Gadis kepang dua itu segera masuk dan
duduk bersebelahan dengan Ify. Sopir Ify kembali menutup pintunya dan
beralih meletakkan koper besar itu di bagasi. Setelahnya, ketiganya pun
melesat menuju rumah Ify. Untuk sementara, Ify menyuruh sepupu Gabriel
itu tinggal di rumahnya. Ia tak mau gadis itu tinggal seorang diri di
apartemen Gabriel.
**
Ify dan
gadis itu berjalan masuk ke dalam rumah megah Ify. Koper telah digeret
oleh sopir Ify menuju kamar tamu, tepat di samping kamar Ify. Ify segera
menggandeng gadis itu menuju ke sana. Dengan canggung, gadis kepang dua
itu berjalan melewati ruangan-ruangan paling mewah yang pernah ia
lihat.
“Nah, kita sampai!” seru Ify dengan girang.
Keduanya tengah berada di depan sebuah daun pintu besar. Ify melepas
gandengan tangannya dan mendorong daun pintu di depannya. Pintu perlahan
terbuka. Gadis di sampingnya nampak menahan napas ketika daun pintu itu
telah terbuka lebar.
“Ini kamar kamu untuk beberapa hari ke depan,” kata Ify.
Ify menyeruak masuk ke dalam kamar bernuansa hitam dan putih tersebut.
Gadis itu mengekor. Ia melihat kopernya telah terbuka dan kosong.
Rupanya seluruh pakaiannya telah tertata rapi di dalam sebuah almari
dengan pintu geser di pojok kamar itu.
“Mba’, apa ini tidak terlalu mewah untuk saya?” tanyanya, ragu-ragu.
“Hn?” Ify menengok padanya dan tersenyum tipis, “Anggap rumah sendiri saja.”
“Terima kasih,” gumam gadis itu.
Ify melihat gadis itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut
panjang yang terkepang dua, kaca mata tebal yang sesekali melorot hingga
ke hidung, wajah yang kusam, blouse tua yang warnanya telah
memudar, rok lipit yang semakin lebar ke bawah, dan sandal jepit yang
biasa dijual di warung-warung pinggir jalan. Seketika itu pula, sebuah
ide menghampiri otak gadis cantik itu. Senyumnya mengembang.
“Sekarang kamu istirahat dulu,” Ify mendorong pelan gadis itu hingga ia terduduk di kasur empuk kingsize, “Nanti sore, sekitar pukul empat, aku ajak kamu jalan-jalan.”
Gadis kepang dua itu hanya mengangguk perlahan. Ify pun tersenyum
senang. Ia menepuk pelan pundak gadis itu dan berlalu menuju kamarnya
sendiri. Gadis kepang dua itu tersenyum senang. Ia diperlakukan dengan
baik di sini.
**
“Mba’, kita
ngapain kemari?” tanya gadis kepang dua itu, ia menahan lengan Ify yang
sudah akan mendorong pintu semi kaca di depannya itu.
Dahi Ify berkerut heran. Ia menatap butik di depannya itu. boutIFY.
Butik miliknya sendiri, “Kita beli pakaian untuk kamu. Apa lagi?”
Gadis itu mengerjapkan matanya. Tangannya terulur untuk mengambil
sebuah dompet plastic di saku roknya. Wajahnya berubah sedih ketika
melihat tak selembar uang pun bertengger di sana. Ia mendongak, menatap
Ify dengan wajah sedih, “Aku tidak punya uang, mba’ Ify.”
Ify mengibaskaskan tangannya, “Panggil aku teh Ify saja, aku juga orang Bandung, sama sepertimu.”
Gadis itu mengangguk, “Kita ke pasar saja, yuk, teh. Kalau di pasar,
kan, bisa hutang. Nanti kalau sudah dapat kiriman dari Gabriel, baru aku
bayar. Ya, teh?” bujuknya.
Wajah Ify berubah.
Ia mendadak tertawa lebar. Dengan segera, ia menggeret gadis itu masuk
ke dalam butiknya, “Ini butik milikku. Kamu bisa mengambil seluruh
pakaian yang kamu mau. Dan, jangan lupa! Kamu harus memakainya. Titik!
Tidak ada tapi-tapi!”
“Tapi teh---,”
Ify menyilangkan telunjuknya di depan bibir, “Sudah---, nama kamu
siapa? Aku belum tahu nama kamu semenjak tadi kita bertemu di stasiun.”
“Aku Shilla, teh. Ashilla Zahrantiara.”
Ify mengangguk mengerti. Ia mendudukkan Shilla di sebuah kursi kayu di
dekatnya, “Kamu duduk di sini dulu, ya, Shill. Aku cari styler dulu. Biar dia yang nanti pilihin pakaian untuk kamu.”
Shilla mengangguk mengerti. Ify kembali tersenyum. Dalam sekejap, Ify
sudah menghilang di antara pakaian-pakaian yang terpajang di sana.
Shilla menghembuskan napasnya. Ia memandang sekeliling. Dress mewah
bertebaran di mana-mana. Harganya pun pasti tak murah, seperti di
pasar-pasar tradisional yang biasa ia beli.
Beberapa menit kemudian, Ify kembali dengan menggandeng seorang gadis berkaca mata minus dengan frame tebal berwarna hitam dan dandanan yang modis. Ini pasti styler yang Ify maksud tadi. Shilla pun berdiri, menghadap kedua gadis cantik di hadapannya.
“Nah, Shill.. Ini Angel. Styler andalan butikku. Kamu memilih pakaian dengan dia saja, ya. Aku tunggu kamu di sini,” kata Ify, Shilla mengangguk.
Ify pun beralih pada Angel, “Carikan pakaian yang cocok untuk Shilla, Ngel. Dia akan jadi managerku untuk beberapa hari ke depan.”
“Oke, teh.. Teteh bisa percaya sama saya.”
Kedua gadis berpenampilan yang jauh berbeda itu pun melenggang,
meninggalkan Ify. Ify lantas duduk dan membaca berbagai majalah fashion yang disediakan di sana. Kebetulan, butik tidak terlalu ramai sore ini. Jadilah Angel bisa mendampingi Shilla mencari pakaian.
**
“Teh Ify.. Bangun, teh.. Teh.. Teteh..” Shilla menepuk-nepuk pipi Ify, Ify tertidur di kursi kayu butiknya.
“Hn,” Ify mengulat.
Detik berikutnya, Ify menguap lebar. Shilla dan Angel cekikikan di
depannya. Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Ify berdiri. Begitu
matanya telah terbuka, ia dapat melihat Shilla yang sudah berganti
pakaian. Gadis kepang dua itu kini tengah menggunakan dress one shoulder selutut berwarna tosca.
“Nah! Ini baru cantik, Shill!” seru Ify, suaranya masih agak terdengar parau karena baru saja bangun tidur.
Shilla menunduk dan tersenyum malu-malu. Ify mengangguk puas. Ia menjabat tangan Angel dengan tersenyum lebar.
“Rambut dan riasan Shilla masih perlu dipermak, teh. Teteh bawa ke sebelah saja,” kata Angel.
Ify mengangguk, “Iya. Ini aku akan membawanya ke sana. Kamu pilihkan
pakaian-pakaian yang modis, kan, Ngel?” tanya Ify.
“Iya. Teteh tidak usah khawatir. Aku juga sudah ajarkan bagaimana cara memakainya, kok.” lanjut Angel.
Ify kembali mengangguk, “Ya sudah. Aku dan Shilla ke sebelah dulu, Ngel!” pamit Ify.
Angel mengangguk. Ify pun segera menggandeng tangan Shilla keluar dari
boutIFY dan menuju sebuah bangunan -yang tampak girly- yang berada tepat di samping boutIFY. Tas-tas belanjaan Shilla pun sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobil oleh sopir Ify.
“Ini tempat apa?” gumam Shilla, matanya menatap takjub bangunan girly di hadapannya.
“Ini namanya salon, Shill. Salon milikku. Kamu tidak keberatan, kan,
kalau rambut dan riasan kamu dipermak?” tanya Ify, Shilla hanya
menggeleng.
Keduanya pun segera masuk. Ify
segera menyerahkan Shilla kepada salah seorang pegawainya. Lagi-lagi Ify
hanya menunggu dan tertidur di sofa empuk berwarna shocking pink di sudut ruang tunggu.
**
Keduanya telah sampai di rumah Ify. Seluruh barang belanjaan Shilla pun
telah dibawakan oleh sopir Ify dan diletakkannya di kamar Shilla.
Penampilan Shilla yang sekarang dengan yang beberapa jam lalu pun sudah
berbeda jauh.
Ify mengantar Shilla ke
kamarnya. Ia ikut masuk ke dalam dan duduk di bibir ranjang Shilla,
memandangi Shilla yang tengah mematut bayangan dirinya di depan sebuah
cermin berukuran besar di sebelah almari pakaian. Shilla nampak tak
percaya dengan apa yang ia lihat.
“Itu benar-benar kamu, Shill. Kenapa kamu tidak percaya? Kamu itu cantik!” seru Ify.
Shilla menggeleng tak percaya, “Terima kasih, teteh.”
Ify mengangguk seraya tersenyum. Ia pun berdiri dan ikut mematut
bayangan dirinya, di samping Shilla. Ia merangkul bahu Shilla. Keduanya
tersenyum lebar di depan cermin.
“Tidur yang nyenyak, Shilla. Sepertinya besok jadwalku sangat padat. Gabriel sudah memberimu agenda, kan?”
Shilla mengangguk, “Sudah, teh. Iya, teteh juga tidur yang nyenyak, ya.”
“Oke. Guten nacht, Shilla!”
Ify pun beranjak mematikan lampu kamar Shilla. Kini hanya lampu redup night stand yang menyala. Ify keluar dari kamar Shilla dan menuju kamarnya sendiri.
**
Shilla menengok ke jam tangannya. Sudah pukul enam lewat beberapa
menit. Gadis itu pun segera menuju kamar Ify. Membuka pintunya dan
menyibak tirai. Sinar matahari perlahan menelusup masuk ke kamar Ify.
Ify mengubah posisi tidurnya, tidak tangan dengan sinar matahari yang
menusuk kelopak matanya.
“Teteh, bangun! Sudah pukul enam lewat! Teteh hari ini ada show!” seru Shilla, tangannya menepuk-nepuk lengan Ify pelan.
“Hn,” Ify mengulat, semakin menenggelamkan dirinya ke dalam selimut biru itu.
Shilla berdecak. Dengan cepat, ia menyibak selimut tersebut.
Memperlihatkan Ify yang masih tertidur. Shilla pun memutuskan untuk
membangunkan badan Ify secara paksa. Ia tarik kedua tangan gadis berdagu
tirus itu agar posisinya berubah menjadi duduk. Setelahnya, Ify pun
membuka mata.
“Teteh susah sekali dibangunkannya,” komentar Shilla.
**
19.58, Reslaw Café
Ify dan Shilla baru saja tiba. Keduanya pun segera masuk. Ify memilih
untuk duduk di sudut terdalam café agar tak terlihat pengunjung lainnya.
Bisa jumpa fans mendadak kalau begitu caranya. Ify menggandeng lengan
Shilla menuju sebuah meja bundar dengan tiga kursi mengelilinginya.
Keduanya duduk bersebelahan.
“Ketemu bang Mario, ya, teh?” tanya Shilla, ketika keduanya telah nyaman di posisi duduk masing-masing.
Ify mengangkat bola matanya dari buku menu yang ia pelototi beberapa
detik belakangan, “Rio, Shill. Sebut dia Rio saja.”
“Iya. Itu maksud aku, teh!” Shilla menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal.
Ify hanya mengangguk, “Kamu pesan apa?”
“Samakan dengan teteh saja.”
Dahi Ify berkerut heran, “Aku hanya pesan salad dan green tea. Kamu mau makanan dan minuman seperti itu? Tidak mau makanan berat saja?” tanya Ify.
Shilla menggeleng, “Aku tidak lapar, teh.”
Sang pramusaji yang sedari tadi berdiri di dekat Ify dan Shilla pun
segera mencatat pesanan keduanya. Setelahnya, ia pergi meninggalkan Ify
dan Shilla dalam keheningan dan suasana yang temaram. Beberapa kali Ify
mengedik pada jam tangan diamondnya, namun Rio tak kunjung datang. Ify mendengus menyadari ketidak tepatan waktu kekasihnya itu.
“Shill, aku ke toilet sebentar..” pamit Ify.
Shilla mengangguk, mempersilahkan. Ify berdiri dan melenggang menuju
toilet. Tak lama kemudian, seorang lelaki bertubuh kurus dan jangkung
berjalan menghampiri Shilla.
**
Rio baru saja tiba di tempat ia dan Ify janjian. Ia tahu bahwa ia tak
tepat waktu. Maka dari itu, dengan segera ia masuk ke café tersebut dan
berjalan ke meja tempat ia dan Ify biasa duduk.
Pelan-pelan, Rio menghampiri siluet seorang gadis yang duduk seorang
diri di meja paling ujung. Ketika Rio sudah berada tepat di belakangnya,
Rio menutup kedua mata gadis itu dari belakang dengan tangannya.
Perlahan, ia maju dan mencondongkan wajahnya pada telinga gadis itu.
“Tebak ini siapa..” bisiknya.
Gadis itu menggeleng.
Rio melepas tutupan matanya pada gadis itu. Ia menarik tubuh itu agar
berdiri. Dengan segera, ia balikkan tubuh itu dan memeluknya dengan
cepat. Ada yang aneh. Ini bukan perasaan yang biasa muncul ketika aku memeluk Ify..
“Maaf aku terlambat. Maaf aku membuatmu menunggu. Aku kangen kamu..” bisik Rio lagi.
Gadis dalam pelukan Rio itu bergeming. Tak membalas pelukan Rio dan tak
berusaha melepas pelukan lelaki manis itu. Sudut-sudut bibirnya
tergerak untuk menciptakan lekuk indah.
**
Ify baru saja keluar dari toilet. Ia melongok sebentar untuk melihat
deretan mobil yang terparkir di depan sana. Ada mobil Rio. Senyum Ify
mengembang. Itu berarti, Rio sudah datang. Dengan ceria, Ify berjalan
kembali ke tempatnya tadi.
Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah.
Ify terdiam di tempat. Ia memegang ulu hatinya. Terasa nyeri sekali di
sana. Seperti ada ribuan jarum yang menusuknya. Seakan ada ratusan pisau
yang menorehkan bekas di sana. Ify meggigit bagian bawah bibirnya
hingga bibir itu berubah warna menjadi merah sekali.
“Ehm..” Ify berdeham cukup keras, tepat selangkah di belakang sejoli yang sedang berpelukan itu.
Rio tersadar. Ia menengok ke sumber suara. Ada Ify di belakangnya.
Ekspresi wajah Rio berubah kaget. Ia pun segera melepaskan pelukannya
pada gadis yang ia kira Ify tadi dengan perasaan campur aduk.
To be continued..
1 komentar:
hayoloh rio wkwkwk u.u bagus veritanya :D visit back ya :) *klomau*
Posting Komentar