Dengan
menenteng tasnya, Oik masuk ke dalam rumahnya. Ia baru saja pulang sekolah.
sang sopir pun masih memarkirkan mobil di depan sana. Oik semakin mempercepat
langkahnya ketika mendengar suara ribut-ribut dari dalam sana. Di ruang tamu,
ia bertemu dengan salah satu pembantunya yang menatap sedih kepadanya.
Oik
membeku di tempat saat itu juga. Wajahnya mengeras seiring dengan buir-bulir
yang mulai merebak dari kedua matanya. Oik melihatnya. Baru pertama kali ini
namun sudah entah pertengkaran keberapa yang dilakukan kedua orang tuanya. Mama
dan papanya saling berhadapan dan saling menunjuk satu sama lain, berteriak
satu sama lain.
“Mama
sama papa sedang apa?” tanya Oik, volume suaranya amat kecil.
Keduanya
menoleh bersamaan ke arah Oik, “Kami akan bercerai, Ik.” sahut papanya.
“Besok
sidangnya. Kamu boleh datang.” mamanya menimpali.
Oik
segera berlari menuju kamarnya. Bulir-bulir itu semakin berlomba untuk meluncur
membasahi pipinya. Oik menangis tersedu, mengurung diri di kamarnya yang luas.
Kebetulan, Ujian Nasional sudah ia lewati beberapa hari yang lalu. Jadilah kini
Oik sudah terbebas dari tanggung jawab untuk masuk sekolah. Selama tiga hari,
Oik mengurung diri di kamar, tidak keluar barang sejengkal pun. Kesembilan
sahabatnya telah datang silih berganti, membujuknya agar keluar kamar, makan.
Dan kesembilannya gagal. Tidak ada yang bisa mengeluarkan gadis itu dari
kesedihannya, sangkar emasnya
^^^
Kali
ini, giliran Alvin yang datang ke rumah Oik. Ia disambut oleh salah seorang pembantu
keluarga Oik di teras. Alvin pun melangkah menuju kamar Oik, ditemani oleh
pembantu Oik. Begitu sampai di depan pintu kamar Oik, keduanya berhenti.
“Saya
tinggal, ya, Mas Alvin. Semoga berhasil bujuk Mba’ Oik keluar kamar.
Sahabat-sahabatnya Mba Oik tidak ada yang berhasil, tinggal Mas ini
satu-satunya harapan.”
Alvin
hanya mengangguk. Sepersekian detik setelahnya, ia telah termenung sendiri di
depan daun pintu nan megah itu. Tangannya terulur untuk mengetuknya, mencoba
membuat Oik keluar dari dalam. Atau, kalau bisa, gadis itu mempersilahkannya
masuk ke dalam.
“Ik,
ini aku. Alvin. Bisa buka pintunya?” Alvin mulai membuka mulutnya.
Tak
ada jawaban.
“Ik,
kamu sudah empat hari di dalam. Kami semua khawatir.” Alvin kembali bersuara.
Lagi-lagi,
tak ada jawaban.
“Ik,
kamu masih bisa dengar aku, kan? Kami semua khawatir sama keadaan kamu. Aku,
Ify, Acha, Angel, Sivia, Nova, Shilla, Keke, Zahra, dan Aren.” Alvin mulai
menyebut nama kesembilan sahabat Oik.
“Cuma
kalian yang peduli sama aku. Mana kedua orang tuaku?” terdengar sebuah suara
lirih dari dalam.
Hati
Alvin mencelos mendengarnya. Itu suara Oik. Tapi, bukan begini suara Oik yang
biasa ia dengar, dulu. Suara Oik terdengar jernih dan merdu, dulu. Beberapa
detik yang lalu, muncul suara Oik yang berat dan sendu. Hanya dalam waktu lima
hari ia dapat merasakan perubahan Oik yang sebegitu drastisnya.
“Mereka
berdua sibuk, Ik---,”
Terdengar
suara benda yang jatuh dan pecah, “Mereka sibuk dengan egonya masing-masing!
Mereka ga pernah peduli dengan aku! Mereka sibuk dengan perceraiannya! Mereka
ga pernah berpikir kalau aku butuh mereka!” Oik berteriak histeris dari dalam
sana.
Hatinya
kembali mencelos. Dengan cepat, Alvin mendobrak pintu kamar Oik. Hanya dengan
sekali dobrak, Alvin sudah dapat melihat Oik yang terduduk lemas di lantai
kamarnya, bersandar pada ranjangnya. Di dekatnya, berserakan pecahan cermin
dari meja riasnya.
Tunggu!
Ada sesuatu yang ganjil.. Oik! Oik memegang sebuah pecahan cermin yang tajam
pada ujungnya. Alvin segera berlari masuk, menjauhkan benda laknat itu dari
dekat Oik. Menendang serpihan-serpihan itu ke sudut kamar Oik.
“Kamu
ngapain, Ik? Jangan begini, dong. Kami semua sayang kamu.” Alvin menarik gadis
itu ke dalam pelukannya, menenangkannya, lalu mengecup puncak kepala Oik dengan
lembut.
^^^
Oik
berjalan dengan tergesa. Bandara sore itu sedang ramai-ramainya. Pasalnya,
sekarang adalah waktu liburan. Bandara ramai, stasiun ramai, terminal ramai.
Orang-orang berbondong-bondong beepergian entah ke mana. Bersenang-senang di
tempat tujuan. Berangkat dengan wajah sumringah.
Tetapi,
berbeda dengan Oik. Gadis itu tampak gelisah. Mondar-mandir ia di bandara,
mencari dua orang tersayangnya yang meninggalkannya untuk beberapa tahun.
Keduanya sudah mengiriminya pesan kemarin malam. Dan sampai sekarang, Oik belum
kuasa untuk merelakan keduanya pergi.
“Oik!”
segerombolan orang di kejauhan memanggil namanya bersamaan, Oik menengok dan
berlari menghampiri mereka semua.
Begitu
telah berada di antara gerombolan orang tersebut, Oik sontak memeluk seorang
laki-laki dengan seabrek barang bawaannya. Keduanya lantas melepas pelukan
masing-masing dan berjalan menjauh dari gerombolan itu, berbicara berdua, empat
mata.
“Vin,
kamu benar-benar mau tinggalkan aku di sini?” Oik merengek pada laki-laki itu,
Alvin.
Alvin
tersenyum sedih dan mulai mengucek puncak kepala Oik, “Oma sudah mendaftarkan
aku jauh-jauh hari di Taruna Nusantara, Ik.”
“Jadi...
kita LDR?” tanya Oik.
Mendadak
Alvin menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Maaf, Ik..... Aku ga bisa LDR. LDR
itu nyiksa. Lebih baik..... Kita putus saja.” Alvin berkata dengan lirih.
Oik
menelan ludah dengan susah payah, “Putus, Vin?”
“Iya,”
Alvin kembali menatap Oik, wajahnya nampak sangat muram, “Maaf. Tapi kita masih
bisa jadi teman, kan?”
Oik
mengangguk, ia tersenyum miris, “Aku pikir kita akan langgeng sampai
kakek-nenek, Vin.” Oik menghela napasnya dengan berat, “Jaga sahabat aku di
sana, ya, Vin. Aku titip Sivia.” Oik mulai melepas genggaman tangan Alvin yang
terasa semakin lembut di kedua telapak tangannya.
“Iya.”
Alvin mengangguk, “Mungkin ga sekarang waktu yang Tuhan sediakan untuk kita.
Kalau memang kita jodoh, kita pasti akan dipersatukan kembali oleh-Nya. Jangan
terus sedih, ya. Kamu bisa cari laki-laki lain yang lebih baik dari aku, Ik.
Dan aku yakin kamu akan mendapatkannya.” Alvin mengatakannya dengan berat hati.
^^^
Malam
itu, Oik sedang memasukkan seluruh keperluannya untuk satu minggu mendatang
bersama dengan kedelapan sahabatnya. Mereka semua membantu Oik beres-beres,
sekaligus mencoba menahannya untuk tidak jadi pergi.
“Ik,
serius mau pergi?” tanya Acha, wajahnya terlihat sangat kusut.
“Setelah
Sivia yang pergi ke Jogja, sekarang giliran kamu yang ke Jakarta.” Angel
menimpali seraya tersenyum sedih.
“Minggu
depan siapa lagi yang akan pergi?” Ify bertanya, setengah menyindir.
“Mentang-mentang
kita sudah lulus SMP dan akan sekolah di SMA yang berbeda, jadi pada terpisah
gini.” Keke manatap Oik dengan sedih.
Oik
tersenyum menatap kedelapan sahabatnya, “Kalian ini kenapa? Aku di Jakarta
hanya seminggu. Lagipula, aku kangen mama. Kalian lupa kalau mama dan papaku
sudah bercerai? Sekarang mama tinggal di Jakarta, bersama eyang putri.”
“Mau
seminggu, mau sehari, mau setahun.. tapi tetap saja judulnya pergi meninggalkan
kita berdelapan.” Nova menyahut dari dalam kamar mandi Oik.
Shilla
mengangkat kedua tangannya, “Sudahlah. Kalian mau sampai kapan merengek ke Oik?
Oik pasti akan tetap pergi!” sentaknya.
Zahra
tersenyum kecut, “Supergirls bubar saja, ya?”
“Ga!
Ga boleh! Supergirls tetap ada. Ga ada yang bisa pisahkan kita. Jarak
sekalipun!” Aren merentangkan tangannya, memeluk kedelapan sahabatnya
satu-persatu.
^^^
Oik
merebahkan tubuh mungilnya di atas ranjang. Ia baru saja sampai di kediaman
eyang putrinya. Tadi mamanya yang menjemput di bandara. Tepat ketika ia baru
saja akan mencari taxi, mamanya memanggilnya. Keduanya lantas berpelukan erat,
tak terpisahkan.
Tiba-tiba
saja, pintu kamar terbuka. Muncullah mama dengan pakaian rumahan, “Oik, makan
siang, ya?” tawarnya.
Oik
menggeleng pelan, “Ga usah, Ma. Oik sedang ga lapar. Oik ngantuk, mau tidur
saja. Nanti kalau sudah sore, bangunkan Oik saja. Ya?”
Mamanya
mengangguk dan tersenyum lembut, “Ya sudah.”
^^^
Hari
ini adalah hari terakhirnya berada di Jakarta. Besok ia sudah harus pulang ke
Malang untuk mengurus kelulusannya, juga mengurus pendaftaran di SMA yang telah
ia pilih sebelumnya.
Pagi
itu, Oik sarapan bersama dengan mama dan kedua eyangnya. Mereka semua sarapan
dengan suasana yang hangat. Oik begitu menikmatinya. Sangat berbeda dengan
suasana sarapannya di Malang bersama papa. Begitu dingin dan mencekam.
“Ik,
Mama ada sesuatu untuk kamu.” Mama Oik menyerahkan sebuah amplop besar berwarna
putih kepada anak gadisnya.
Oik
menerimanya dengan bingung. Ia pun langsung membukanya saat itu juga. Sebuah
tiket, “Tiket apa ini, Ma?”
Beliau
hanya tersenyum tipis dan kembali melanjutkan sarapannya. Pertanda bahwa Oik
harus membaca setiap huruf yang tertera di dalam tiket tersebut seorang diri.
Oik mulai membacanya. Wajahnya berubah senang ketika selesai membaca.
“AAAAA!!
Thank you, Mommyyyyy!!” gadis itu bangkit dari duduknya dan mencium kedua pipi
orang tuanya itu.
Mamanya
terkekeh. Begitupula dengan kedua eyangnya. Oik berteriak sangking senangnya.
Gadis itu juga menari-nari sembarangan untuk meluapkan kegembiraannya.
“Itu
acaranya nanti malam di JCC. Mama bisa antar kamu ke sana.” Mamanya kembali
bersuara.
“Oke!
Pokoknya nanti malam Mama harus antarkan aku ke konser ini!” mata Oik kembali
berbinar melihat sebuah tiket dalam genggamannya, tiket konser Raisa!
^^^
Sebuah
Yaaris hitam baru saja sampai di pelataran JCC. Oik dan mamanya masih betah
duduk di dalam. Mamanya mengelus puncak kepala Oik perlahan. Oik hanya
tersenyum kecil diperlakukan begitu oleh mamanya.
“Nanti
kamu pulangnya naik taxi saja, ya?”
Oik
mengangguk pasti dan tersenyum lebar pada mamanya, “Oke!” setelah memastikan
tiketnya sudah berada dalam tas, Oik pun melangkah turun, “Bye, Ma!”
Oik
melangkah meninggalkan mamanya. Setelah memastikan anak semata wayangnya telah
masuk ke dalam dengan selamat, beliau pun mulai meninggalkan area JCC perlahan.
Oik memandang kepergian mamanya dengan tersenyum dari dalam sana.
BRUK!
Oik
mendongak. Matanya tajam menatap seorang gadis seumuran dengannya yang
menabraknya barusan. Gadis itu langsung kabur entah kemana begitu menyadari
sesuatu yang buruk telah terjadi karenanya.
Oik
menggeram dalam hati. Mengumpat gadis itu habis-habisan. Ia pun menunduk
sangking jengkelnya. Tunggu.. noda berwarna cokelat tiba-tiba saja muncul di
gaun putihnya. Oik menutup matanya. Jari-jari tangannya mengepal. Rupanya gadis
tadi juga menumpahkan minumannya pada gaunnya. Oik bergegas menuju toilet.
Di
dalam, Oik kembali menggerutu. Tak ia temukan tissue atau apapun yang dapat
membantunya menghilangkan noda itu dari gaun yang ia kenakan. Sayangnya, ia
juga tak membawa tissue. Dengan lunglai, Oik berjalan keluar dari dalam toilet.
Ia bersandar pada dinding toilet dengan wajah sebal.
Oik
menengok kesana-kemari. Sepi. Rupanya konser telah dimulai. Sayup-sayup Oik
mendengar suara Raisa yang mengalun merdu. Dan tak sengaja, pandangannya
tertuju pada seorang lelaki yang menatapnya dari kejauhan.
“Kenapa?
Ada yang salah?” Oik bertanya pada lelaki itu dengan ketus.
Lelaki
itu berjalan menghampirinya dengan ragu-ragu, “Butuh... sapu tangan?” tanyanya,
tangan kanannya menyerahkan sebuah sapu tangan berwarna biru muda pada Oik.
Tatapan
tajam Oik meredup dan perlahan hilang, digantikan dengan tatapan serta senyum
penuh terima kasih. Oik segera mengambil sapu tangan itu dan membersihkan noda
di gaunnya. Lumayan lah, sudah tidak terlalu terlihat.
“Terima
kasih.” Oik kembali tersenyum pada lelaki itu.
“Sama-sama,”
lelaki itu pun ikut tersenyum, tangan kanannya bergerak untuk kembali mengambil
sapu tangan itu dari tangan Oik.
Oik
menepisnya, “Mau apa? Aku akan mencuci sapu tangan ini dulu, baru
kukembalikan.”
Lelaki
itu mengedikkan bahunya, “Ya sudah. Kamu tidak masuk ke dalam?”
Oik
mengangguk, “Kita masuk bersama.”
“Aku
Cakka. Kamu?” lelaki itu mengulurkan tangan kanannya pada Oik.
Oik
menjabat tangan lelaki itu dengan tersenyum tipis, “Oik.”
Keduanya
pun masuk. Raisa baru saja selesai menyanyikan Cinta Sempurna. Kini, intro lagu
Could It Be mulai mengalun indah di telinga keduanya dan ribuan penonton
lainnya.
^^^
Konser
akbar itu baru selesai ketika jam berdentang dua belas kali. Ya, pukul dua
belas malam ribuan penonton mulai berbondong-bondong keluar dari JCC. Oik dan
Cakka termasuk dalam gerombolan itu. Keduanya berjalan beriringan.
“Kamu
membawa kendaraan sendiri?” tanya Cakka, melirik Oik sekilas.
Oik
menggeleng, “Mama menyuruhku pulang dengan taxi.”
“Hah?”
Cakka menoleh kaget ke arahnya, “Tidak baik seorang perempuan pulang sendiri
malam-malam begini. Aku antar saja, ya?” tawar Cakka.
“Aku
bisa menolaknya?” tanya Oik balik.
Cakka
menggeleng seraya terkekeh pelan. Cakka pun segera menarik lengan Oik menuju
motornya. Oik terlihat mematung untuk beberapa saat ketika melihat motor Cakka.
CBR. Lagi-lagi. Seperti motor Alvin. Kenapa semuanya selalu saja dapat
mengingatkannya akan sosok Alvin?
“Ik?”
Cakka menepuk pelan lengannya, Oik tersadar.
Cakka
mengedik pada boncengan motornya. Oik mengangguk kikuk, lalu segera naik ke
atas motor Cakka. Keduanya pun melesat membelah kesunyian malam dan jalanan
Jakarta yang mulai berangsur sepi. Oik mulai memberi petunjuk pada Cakka. Tak
sampai dua puluh menit, keduanya telah sampai di depan kediaman eyang Oik.
Oik
turun dari atas motor Cakka dan tersenyum lebar pada lelaki itu, “Terima kasih
sudah mengantarku malam-malam begini.”
“Sama-sama.”
Cakka juga balas tersenyum padanya.
“Soal
sapu tangan.....”
“Untuk
kamu saja. Lagipula besok aku sudah kembali ke Malang. Mungkin baru dua bulan
lagi aku kemari. Pasti sapu tangan itu sudah membusuk.” Cakka kembali terkekeh.
Oik
mengerutkan keningnya, “Malang?” Cakka mengangguk, Oik pun tersenyum penuh
arti, “Kamu tinggal di Malang?” lagi-lagi Cakka mengangguk, “Aku juga.”
Cakka
terbelalak kaget, “Serius?”
Oik
mengangguk dan tertawa nyaring. Hati Cakka berdesir dibuatnya, “Aku besok juga
akan kembali ke Malang.”
“Benar-benar
kebetulan yang... entahlah. Aku sampai tidak bisa menggambarkannya.” Cakka tersenyum
menatap Oik, keduanya sama-sama tak menyangka dengan seonggok fakta yang baru
saja terlontar dari mulut masing-masing.
^^^
Begitu
sampai di Malang, Oik langsung membereskan seluruh keperluan untuk mendaftar di
sekolah yang baru. Entah kenapa, hatinya benar-benar senang kali ini. Mungkin,
karena ia sudah kembali ke Malang, ke kotanya tercinta. Atau... sudahlah.
Kenapa bayangan Cakka selalu muncul?
“Bibi!
Oik mau langsung mendaftar di sekolah yang baru. Pak Ujang bisa antar aku?” Oik
berjalan keluar dari kamarnya dengan berteriak.
Seorang
pembantunya berjalan menghampiri, “Bisa, Mba’. Sudah ditunggu Pak Ujang di
depan.”
Oik
menatapnya sekilas dan tersenyum lebar. Lantas, gadis itu berjalan keluar,
meninggalkan pembantunya yang sedang terheran-heran di tempat. Baru kali ini ia
melihat Oik kembali tersenyum selebar itu setelah perceraian kedua orang
tuanya..
^^^
“Pak
Ujang tunggu di sini saja dulu. Oik ga lama, kok.”
Oik
pun turun dari mobilnya. Menatap sekolah barunya dengan mata berbinar. Bisa
dibilang, ini ada SMA terbaik di kota Malang dan Oik berhasil melalui
serangkaian test tulis dan juga lisan yang diadakan sebagai syarat untuk
menjadi siswa di sini. Oik tersenyum bangga dan melangkah masuk.
Gadis
itu melihat ke sekeliling. Sejauh matanya memandang, selalu saja ada sepasang
orang tua dan anak yang berlalu-lalang di dekatnya. Oik tersenyum miris. Andai
saja mamanya masih di sini, pasti beliau akan menemaninya mendaftar sekolah.
Andai saja. Angan-angan yang akan selalu menjadi angan-angannya belaka.
“Hey!
Jangan sedih!” suara seseorang tiba-tiba saja terdengar dari tengkuk kepalanya,
Oik menengok ke belakang dan muncullah semburat merah mudah di kedua pipinya,
“Cakka! Sedang apa di sini?” pekiknya, kaget.
Cakka
tertawa pelan dan merangkul Oik, keduanya berjalan menyusuri lorong sekolah
itu, “Orang tuaku kepala sekolah di sini.”
“Kamu
sekolah di sini?” tanya Oik.
Cakka
menggeleng, “Aku sudah kuliah.”
Oik
membulatkan bibirnya dan menganggukkan kepala tanda mengerti, “Aku ga pernah
menyangka kalau kita akan ketemu lagi,” gumamnya.
“Kenapa?
Kangen aku, ya?” goda Cakka, ia menoel dagu Oik berkali-kali.
Oik
menepisnya jengah, “Cakka! Apa, sih?!”
Keduanya
pun lantas ribut sendiri, membuat beberapa pasang mata menengok dan
menggelengkan kepala dengan maklum. Tak ada yang berani menegur, guru-guru dan
staf sekolah sekalipun. Semuanya tau siapa Cakka, siapa orang tuanya. Rupanya
hanya Oik yang baru tau siapa Cakka sebenarnya.
^^^
Waktu
terus bergulir. Kedekatan mereka pun semakin bertambah seiring berjalannya
waktu. Biasanya, Cakka akan segera meluncur ke sekolah Oik ketika mata
kuliahnya telah selesai. Ia bisa menunggu di ruangan ayahnya sambil menunggu
jam pulang Oik. Jika jam pulang sudah tinggal beberapa menit, Cakka akan
berjalan menuju kelas Oik, tersenyum pada guru yang mengajar, dan berdiri
dengan bersender pada pintu kelas Oik. Jika sudah begitu, guru yang mengajar
pun akan cepat-cepat membereskan barangnya dan kembali ke ruang guru.
Begitu
juga kali ini, entah sudah keberapa kali Cakka mengusir secara halus guru yang
mengajar di kelas Oik. Begitu guru keluar kelas, Oik langsung menghampiri Cakka
dengan menyangklong tasnya. Kali ini, Oik meninju gemas lengan Cakka.
Dahi
Cakka berkerut, “Kenapa, sih?” tanyanya.
“Kamu
usir lagi guru-guru yang mengajar di kelasku!” Oik memelototi Cakka.
“Siapa
bilang? Lagipula aku sama sekali ga nyuruh mereka untuk berhenti mengajar, kok!”
Cakka berkelit. Secepat kilat, ditariknya lengan Oik menuju parkiran, mobilnya
sudah menunggu di sana.
“Tumben
pakai mobil? Mau ke mana memang?” tanya Oik, menatap Cakka yang berada di
sampingnya, di balik kemudi.
Cakka
mengedikkan bahunya, “Lihat saja nanti.”
Mobil
pun melaju. Oik terus cemberut sepanjang perjalanan. Cakka membiarkannya begitu
saja. Cakka mengemudikan mobilnya menuju sudut terdalam Kota Malang, memasukki
jalan-jalan tikus yang kumuh, dan berbelok kesana-kemari. Setelah hampir satu
jam mengemudi, Cakka akhirnya mematikan mesin mobilnya lalu turun, diikuti Oik.
Oik
memandang sekeliling. Sepi. Hanya ada mereka berdua, mobil Cakka, dan sebuah
gubuk kecil yang berada di tengah-tengah halaman luas yang rumputnya telah
tumbuh liar. Oik berjalan mendekat ke Cakka dan menggamit lengan lelaki di
sampingnya itu.
“Ini
dimana, Kka? Kok sepi?” Oik berbisik di telinga Cakka, suaranya nyaris tak
terdengar.
Cakka
tersenyum menenangkan, “Masuk ke sana, yuk,” Cakka menunjuk gubuk kecil itu.
Mau
tak mau, Oik mengikuti langkah Cakka. Keduanya pun masuk ke dalam gubuk kecil
itu. Tak seperti yang Oik bayangkan sebelumnya, ternyata di dalam sini ramai
sekali. Ada sekitar sepuluh anak kecil yang sedang bermain. Cakka menghampiri
mereka dan ikut larut dalam candaan anak-anak kecil itu.
Oik
masih terbengong-bengong sendiri di tempatnya, beberapa langkah di belakang
anak-anak kecil itu dan Cakka. Seorang anak kecil menarik-narik jemarinya,
membuatnya menunduk menatap anak itu dan tersenyum kikuk padanya.
“Kakak
kenapa tidak ikut bermain bersama kami?” tanyanya.
Oik
tersenyum hambar, ia pun ikut duduk bersila di lantai, ikut bermain ular tangga
bersama mereka semua.
“Lihat..
Kamu masih lebih beruntung, Ik, daripada mereka.” Cakka berbisik padanya, Oik
memang pernah menceritakan perihal perceraian kedua orang tuanya pada Cakka.
“Mereka
ini siapa?”
“Mereka
anak-anak yang biasa mengamen di jalanan. Orang tua mereka entah ada di mana
sekarang.”
Oik
menahan napasnya. Ia menatap sendu anak-anak kecil itu. Oik mencoba tersenyum
pada mereka semua. Ia baru sadar bahwa masih banyak orang di dunia ini yang
tidak lebih beruntung daripadanya.
“Kak
Oik kalah!” teriak mereka semua.
Oik
segera berdiri. Berlari mengelilingi gubuk kecil itu. Ke mana pun. Yang penting
mereka semua beserta Cakka tidak bisa menangkapnya. Jadilah, mereka semua saling
kejar di dalam gubuk kecil itu hingga sore tiba dan malam menjelang.
^^^
Malam
itu udara berhembus dingin. Bintang-bintang di langit mulai membentuk gugus
masing-masing. Bulan melengkapi indahnya malam itu. Gemerlap cahaya kecil nun
jauh di sana memberikan kesan tersendiri. Bukit di samping kiri pun tampak
indah walaupun pada malam hari.
Cakka
dan Oik terdiam, di gazebo taman belakang rumah megah itu. Cakka semakin
mengeratkan pelukannya pada gadis mungil yang mulai menggigil kedinginan itu. Telapak
tangan Cakka pun mulai membungkus telapak tangan Oik sekedar untuk
menghangatkannya.
“Gantung
ya,” Oik buka suara.
Cakka
menatapnya sekilas, “Apanya?”
“Aku.
Kamu. Kita.”
“Gantung
gimana, sih, Ik?”
“Kita
sudah dekat. Lama. Dan itu sama sekali ga ada statusnya.” Oik tertawa hambar.
Cakka
melepaskan pelukannya, memaksa Oik untuk menghadap ke arahnya, “Jadi, kamu cuman
butuh status?”
Oik
tersenyum miring, “Iya. Aku masih ingat gimana tatapan teman-temanku ke aku
waktu mereka tanya soal kamu, soal kita.”
“Buat
aku, status itu ga penting, Ik. Yang penting itu, ini...” Cakka menggenggam
tangan kanan Oik dan meletakkannya di dadanya, “Dan ini...” lalu, meletakkan
tangan gadis itu di dadanya sendiri. Ia menatap gadis di hadapannya lembut.
“Cakka
ih! Bisa banget!” Oik melepas genggaman tangan Cakka, memeluk lelaki di
hadapannya itu dan semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang lelaki itu
ketika ia menyadari sudah semerah kepiting rebus wajahnya sekarang.
Cakka
terkekeh pelan, “Bisa banget apa, sayang?”
“Ga
usah panggil-panggil sayang!” Oik memekik pelan dari dalam pelukan Cakka,
memukul dada lelaki itu seraya menyunggingkan senyum malu-malu.
“Lho,
katanya kamu butuh status. Gimana, sih, Ik?” Cakka semakin gencar saja menggoda
gadis dalam pelukannya itu.
“Iya
tapi maksud aku bukan begitu!” Oik melepaskan pelukan Cakka dan menyilangkan
kedua tangannya di depan dada.
“Maksud
kamu, begini.....” Cakka menggenggam erat kedua tangan Oik dan menatapnya
seraya tersenyum amat manis, “Jadi pacar aku, ya?”
Oik
cemberut, melepaskan genggaman tangan Cakka begitu saja. “Ga romantis! Ga mau!”
“Terus
maunya gimana, Ik?” tanya Cakka.
“Ya,
gimana, kek! Gimana aja! Kalau teman-teman aku, sih, ditembak di depan banyak
orang.” Oik mulai nyerocos tiada henti.
Cakka
tersenyum geli, “Kalau aku tembak kamu di depan banyak orang, kan, ga bisa
begini...” Cakka menggantungkan kalimatnya, perlahan ia mengecup pipi kanan
Oik.
“Ih!
Cakka apa, sih?” Oik menggerutu, mendorong dada Cakka agar menjauh darinya,
takut wajahnya semakin memerah karena laki-laki itu.
“Kalau
begini.....” Cakka mengeluarkan sebuah kotak beludru dari dalam sakunya,
membukanya, dan sebuah cincin tampak bertengger manis di dalamnya, “Gimana?”
Semburat
merah muda itu kembali muncul di pipi Oik, “Aku masih SMA, Kka!” pekiknya.
“Memangnya
kalau masih SMA kenapa, Ik? Ga boleh tunangan sama aku? Apa..... mau langsung
kawin aja?” tanya Cakka dengan polosnya.
“Cakka
kenapa, sih? Godain mulu! Kesambet apa kamu, Kka?” tanya Oik heran.
“Gimana?
Mau?” tanya Cakka, tidak memedulikan perkataan Oik barusan.
“Tau,
deh!” Oik menjawab sekenanya.
Cakka
mengedikkan bahunya. Tanpa aba-aba, Cakka memasangkan cincin perak itu jari
manis tangan kiri Oik dan tersenyum puas setelahnya, “Pokoknya mulai sekarang
kamu punya aku, ya. Ga ada yang boleh ambil kamu dari aku, siapa pun itu.”
Oik
tersenyum tertahan. Ia kembali memeluk lelaki di hadapannya itu. Cakka pun
balas memeluknya juga. Keduanya larut dalam kebersamaan mereka malam itu.
(Oik's Story - End)