Tak
terasa, mereka semua kini telah menjadi siswi kelas 9 SMP Mariskova. Dan,
sayangnya, kesepuluhnya tidak sekelas. Keke dan Sivia di kelas 9-B. Oik dan
Nova di 9-D. Zahra dan Acha di 9-E. Ify di 9-G. Shilla dan Aren di 9-H. Angel
di 9-J.
Kini
kesepuuhnya sedang berada di depan Ruang OSIS. Memandangi papan pengumuman soal
pertukaran pelajar yang diadakan oleh Pemerintah Kota Malang ke Paris, Perancis
akhir bulan nanti.
“Ren,
kamu mau ikut?” tanya Ify, Aren mengangguk bersemangat.
“Aku
daftar di mana, ya?” gumam Aren.
“Coba
ke Ruang Guru saja,” kata Sivia.
“Nah!”
Aren menjentikkan telunjuknya seraya tersenyum lebar.
“Oik
juga mau ikut mendaftar, kan?” celetuk Zahra.
Aren
mengangguk dengan alis yang terangkat sebelah, “Iya, Zah. Kenapa?”
Angel
melongo. Ia memukul pelan lengan Aren dengan gemas, “Nah terus, sekarang Oiknya
mana? Kalian pasti mendaftar bareng, kan?”
Aren
balas memukul lengan Angel dan berkata, “Oik tadi ada di---,”
“Ada
yang manggil aku?” tanya sebuah suara.
Kesembilan
gadis itu pun menengok ke sumber suara. Ada Oik dan Alvin di sana. Tangan kiri
Alvin menggenggan tangan Oik, sedangkan tangan kanannya menggaruk tengkuknya
yang tak gatal. Alvin tersenyum salah tingkah kepada kesembilannya.
Oik
melepaskan genggaman Alvin dan berjalan menuju kesembilan sahabatnya itu, “Ada
apa manggil aku?” tanyanya dengan tersenyum lebar.
Oik
mendadak bingung ketika mendapati Acha menatapnya dengan menggigit bibir bagian
bawahnya, “Itu, Ik... Alvin... Kamu biarkan dia tetap berdiri di situ?”
Oik
menepuk jidatnya dan berbalik menatap Alvin, “Sudah, kamu baik aja! Aku, kan,
mau mendaftar pertukaran pelajar itu dengan Aren.” Oik mengkibas-kibaskan
tangannya pada Alvin.
Alvin
mengangguk, “Aku balik, ya.” pamitnya, sesaat Alvin tersenyum pada Oik dan berbalik
lalu berjalan entah kemana.
^^^
Pesawat
yang ditumpangi oleh Aren, Oik, dan beberapa pelajar Kota Malang lainnya baru
saja lepas landas. Untuk dua jam kedepan, mereka akan duduk berdiam di seat masing-masing hingga pesawat
tersebut mendarat di Bandara Soekarno Hatta untuk transit.
Tepat
ketika pesawat tersebut telah mendarat, Aren dan Oik melepas seat belt masing-masing dan melenggang
keluar dari pesawat lalu menuju waiting
room untuk menunggu kedatangan pesawat yang akan membawa mereka ke Charles de Gaulle, Paris, Prancis.
Aren
dan Oik meletakkan koper di depan kursi masing-masing. Aren dan Oik serta dua
orang lagi perwakilan dari Kota Malang sedang duduk di waiting room. Oik mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya dan
larut di dalamnya. Aren mengedik padanya dan tersenyum jengah, merasa dicueki.
“Hey!”
seseorang menepuk pundak Aren dari belakang.
Aren
menengok ke belakang dan mendapati seorang laki-laki berambut gondrong sedang
tersenyum ke arahnya, “Ada apa, ya?” tanya Aren dengan wajah bingung.
“Kamu
dan temanmu,” laki-laki itu menunjuk Oik dengan dagunya, “Perwakilan dari
Malang juga?” tanyanya balik.
Aren
mengangguk, “Iya. Kamu juga?”
Laki-laki
itu juga mengangguk, “Dari sekolah mana?”
“SMP
Mariskova. Kamu?”
“SMPN
227. Oh iya, aku Ray. Kamu?” laki-laki itu, Ray, mengulurkan tangan kanannya
pada Aren.
Aren
menyambutnya dengan sebuah senyum yang membekukan laki-laki itu, “Aren,” Aren
menyenggol pelan perut Oik hingga gadis itu meletakkan novelnya dan
memandangnya penuh tanya, “Ini Oik, temanku..”
Oik
melihat Ray dan melambaikan tangannya pada Ray, “Aku Oik.”
“Aku
Ray. Ini temanku..” Ray merangkul seorang laki-laki yang duduk di sampingnya,
“Nyopon.”
^^^
Aren,
Oik, Ray, dan Nyopon baru saja turun dari sebuah Volkswagen keluaran terbaru yang telah membawa mereka kemari dari Charles de Gaulle. 10 Avenue d'Lena, Paris. Seorang wanita
staf Kedubes Indonesia untuk Paris mendampingi mereka. Kelimanya masuk ke dalam
sebuah hotel berarsitektur klasik di dekat Eiffel
Tower itu. Shangri-La Hotel, Paris.
Setelah
mengambil kunci kamar dari sang receptionist,
kelimanya menuju lift dan naik ke
lantai paling atas. Ketika pintu lift
terbuka, wanita itu berjalan terlebih dahulu. Aren, Oik, Ray, dan Nyopong
mengekornya. Ia berhenti di depan dua pintu kamar yang saling berhadapan.
“Ini
untuk Aren Nadya dan Oik Cahya,” wanita itu menyerahkan sebuah kunci kepada
Aren, “Kamarnya yang sebelah sini.” dagunya menunjuk pintu kamar di samping
kanannya.
“Dan
kamar yang di sini,” ia mengedik pada pintu kamar di sebelah kirinya, “Untuk
kalian berdua.”
Ray
menerima kunci itu dengan senyum mengembang, “Terima kasih.”
“Ya
sudah, kalian istirahat saja dulu. Ini juga sudah larut,” wanita itu mengintip
jam tangannya, “Sudah pukul sepuluh malam. Besok pagi saya jemput kalian di
sini pukul delapan, ya.” Aren, Oik, Ray, dan Nyopon mengangguk, “Ya sudah, saya
balik.”
“Night,
Ma’am!” sapa Nyopon.
Begitu
wanita itu hilang ditelan pintu lift, Aren segera membuka pintu kamarnya dan
Oik langsung masuk ke dalam. Ray menyerahkan kunci kamarnya pada Nyopon dan
membiarkan temannya kitu membukanya lalu masuk terlebih dahulu.
“Ren,”
panggil Ray.
Aren,
yang tadinya akan masuk juga, berbalik dan menatap Ray, “Apa, Ray?”
“Gutten Nacht. Sweet dream, ya.” Ray tersenyum setelahnya lalu masuk ke dalam
kamarnya dan menutup pintunya.
Aren
masih terbengong-bengong sambil memegang handle
pintu kamarnya. Beberapa detik setelahnya, ia menghembuskan napas dengan berat
dan menggelengkan kepalanya, “Apa-apan Ray?!” gerutunya.
^^^
Pagi
itu, ketika Oik sedang membuka tirai kamarnya, terdengar suara erangan dari
belakangnya. Oik menengok dan mendapati Aren yang sedang memincingkan matanya
karena terkena silaunya sinar mentari pagi itu. Aren memanyunkan bibirnya.
“Ini
masih pagi sekali, Oik. Tutup saja tirainya!” dengus Aren.
Oik
tertawa kecil dan semakin lebar membuka tirai tersebut, “Iya, aku tau ini masih
pagi. Tapi coba kamu lihat pemandangan di luar sana.” saran Oik.
Aren
kembali mendengus. Sambil mengucek matanya yang masih setengah terpejam, ia
menyibak selimut yang menyelimuti tubuhnya dan berjalan menuju tempat Oik
berdiri. Oik menatapnya dengan senyum. Aren kembali mengucek matanya, kali ini
karena terlampau kaget dengan pemandangan yang tersaji di depannya.
“EIFFEL!”
pekik Aren dengan mata berbinar.
“Nah!
Apa aku bilang. Bagus, kan?” Oik kembali tersenyum dan berjalan menuju sebuah
almari di sudut ruangan dan mengeluarkan peralatan mandinya, “Ren, aku mandi
duluan, ya? Kamu puas-puaskan saja dulu lihat Eiffel.”
“Iya.”
Aren hanya mengangguk, tak memperdulikan Oik, dan terus menatap terpesona ke
arah salah satu keajaiban dunia itu dengan mata berbinar.
Hingga
dua puluh menit kemudian, ketika Oik keluar dari dalam kamar mandi dengan
mengenakan pakaian formal, Aren masih menatap bengong tower terindah di dunia itu. Oik sampai geleng-geleng kepala.
Lantas, Oik meletakkan kembali peralatan mandinya di dalam almari dan beranjak
menghampiri Aren yang posisinya masih sama seperti dua puluh menit lalu.
Oik
menepuk pundak Aren, “Hey! Kagum, sih, kagum.. Tapi ini sudah pukul berapa?
Ayo, mandi sana! Setelah itu, kita turun, ke resto and having breakfast there.” celoteh Oik.
Aren
mengangguk dengan malas. Dan, dengan berat hati gadis berbehel itu menuju kamar
mandi. Oik menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menggeleng tak
percaya.
Untuk
sekedar membunuh waktu –menunggu Aren yang tak kunjung selesai mandi-, Oik
memutuskan untuk kembali membaca novelnya. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan
sebuah novel tebal dari dalamnya. Dalam hitungan detik, ia telah tenggelam dan
mengikuti alur novel tersebut.
Tok
tok tok..
Oik
tak cukup ‘sadar’ untuk mendengar ketukan pintu dari luar sana. Ia terlalu
fokus dengan novelnya. Sampai-sampai.. “IK! BUKA PINTUNYA! AKU MASIH MANDI!”
teriak Aren dari dalam kamar mandi.
Sama
sekali tak ada sahutan dari Oik. Di dalam sana, Aren berdecak kesal dan
cepat-cepat memakai pakaiannya dan membungkus rambut basahnya dengan handuk
lalu keluar dari dalam kamar mandi. Benar tebakannya, Oik sedang serius dengan
novel yang baca.
Aren
menggeleng dan berlalu. Gadis itu membuka pintunya dan mendapati Ray sedang tersenyum
canggung ke arahnya, “Ada apa, Ray?” tanyanya.
Ray
meringis, “Itu.. Staf Kedubes sudah menunggu di resto. Kamu cepat turun, ya.”
“Aku?”
dahi Aren kembali berkerut bingung, “Oik juga, kan?” tanyanya lagi.
Ray
kembali meringis dan menjentikkan telunjuknya, “Nah! Dengan Oik juga!”
“Oke.
Lima menit lagi kami turun.” Aren sudah bersiap-siap akan kembali menutup pintu
kamarnya, sayangnya Ray masih betah berada di sana, “Hey! Kenapa masih di
sini?”
Ray
seakan ‘tersadar’ dan langsung tersenyum malu, “Oh.. Oke. See you!”
Aren
menatap punggung Ray yang semakin menjauh dan masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup, Aren kembali mendapati Ray yang tersenyum ke
arahnya. Aren langsung menutup pintu kamarnya begitu pintu lift itu tertutup
dan membawa Ray ke lantai paling bawah.
Aren
berbalik lalu bergerak menuju kasurnya dan duduk. Ia menadang Oik dengan datar.
Diambilnya sebuah bantal dan ia lemparkan tepat pada novel Oik, “Jangan baca
novel terus, Ik! Tadi ada Ray ketuk pintu kamu ga dengar!” pekiknya.
Oik
gelagapan. Ia hanya menadang Aren dengan bersalah. Oik pun memasukkan novelnya
ke dalam tas dan beranjak menuju meja rias, “Ray ngapain ke sini?” tanyanya.
“Dia
minta kita untuk cepat turun. Staf Kedubes sudah menunggu di resto.” jawab Aren.
“Terus
kenapa kamu masih duduk di kasurmu? Ayo siap-siap!” ajak Oik, ia menatap
pantulan wajah Aren dari cermin di depannya.
Aren
mengangguk. Ia mengambil tasnya, begitupula Oik. Keduanya pun keluar dari kamar
dan menuju resto dengan menggunakan lift.
Begitu mendapati siluet tubuh Ray dan Nyopon, keduanya dengan segera
menghampiri meja tempat mereka duduk.
“Morning, Ma’am..” sapa Oik, ia tersenyum pada wanita itu dan duduk di
sampingnya.
“Eat your food, guys. We’re gonna go to Lycee
Louis-le-Grand.” katanya.
Oik
mengangguk. Ia pun segera memakan makanannya. Ray, Nyopon, dan wanita itu
kembali menglahap makanan masing-masing. Sedangkan Aren, menatap bingung sebuah
lotus pink di samping peralatan makannya.
“Who have put this here?” gumamnya,
mengambil lotus tersebut dan
menatapinya bingung.
“Not
me!” kata Oik, Nyopon, dan wanita itu bersamaan.
Aren
menatapi ketiganya satu persatu. Dan menggeleng bingung. Tatapan Aren beralih
pada Ray yang tengah sibuk melahap makanannya, “Did you?” tanya Aren.
“Huh?”
Ray mendongak menatapnya dengan wajah bingung dan kembali melahap makanannya.
Aren
mendengus, “Why lotus? Why not rose?” dumelnya.
Diam-diam,
Ray tersenyum kecut dan memasukkan kata ‘rose’
ke dalam memori otaknya tentang Aren. Apa? Ray? Ya. Memang dia yang meletakkan lotus itu di dekat peralatan makan Aren.
^^^
Kelimanya
turun dari Volkswagen itu. Lycee
Louis-le-Grand berada tepat di depan mereka. Sekolah terbaik di Paris
berada di depan mata mereka! Wanita itu kembali berjalan mendahului keempatnya.
Ia berbicara dengan seorang laki-laki berpakaian security yang sedang berjaga di depan pintu utama Lycee Louis-le-Grand.
Setelah
beberapa menit berbicara, wanita itu menengok kepada Aren, Oik, Ray, dan
Nyopong. Menyuruh keempatnya untuk kembali berjalan mengikutinya. Kelimanya
masuk. Kemewahan sekolah itu jelas terlihat dari setiap bagian sudutnya.
Keempatnya hanya mampu berdecak kagum.
Mereka
berlima pun mulai berjalan menyusuri setiap bagian Lycee Louis-le-Grand. Tentu saja dengan wanita itu sebagai ‘tour gide’nya.
Begitu
tiba di taman, di tengah-tengah bangunan itu, mata Ray tak sengaja terantuk
pada tanaman rose di bawah pohon maple. Ray melihat wanita itu, Nyopon,
Oik, dan Aren yang sedang duduk di bangku taman. Dengan cepat, Ray memetik
sebuah rose dan menyembunyikannya di
belakang punggungnya.
Setelah
itu, ia memaksa duduk di antara Nyopon dan Aren. Nyopon hanya meringis
melihatnya. Sedangkan Aren, ia kembali bingung dengan tingkah aneh Ray ini.
Pasalnya, tidak hanya kali ini saja Ray bertingkah aneh di depannya.
“Je t’aime..” bisik Ray seraya
mengeluarkan rose dari balik
punggungnya dan menyerahkannya pada Aren.
Aren
menatap Ray dengan sebal, “Are you
kidding me, huh?” lantas
tersenyum dan memasukkan rose pemberian Ray ke dalam tasnya, “But thanks for the rose.”
^^^
Tak
terasa, sudah seminggu mereka berempat berada di Paris. Saat ini, keempatnya
baru saja turun dari pesawat yang sempat transit di Bandara Soekarno Hatta.
Sudah ada kedelapan sahabat Aren dan Oik yang menunggu di lobby Bandara Adi Soecipto Malang. Keempatnya menggeret koper
masing-masing menuju lobby.
“Aren!
Oik!” Nova memekik keras ketika melihat Aren dan Oik dari kejauhan.
“Kalian!”
Aren dan Oik balas memekik, keduanya pun berjalan kea rah mereka berdelapan
dengan lebih cepat.
Begitu
sampai di di depan mereka berdelapan, langsung saja Aren dan Oik menjadi
bulan-bulanan. Mulai dari dipeluk, dicubit, dicium, ditodong oleh-oleh, dll.
Setelah itu, muncul seorang laki-laki dari belakang mereka berdelapan dan
menghampiri Oik.
“Alvin,”
sapa Oik, gadis itu tersenyum lebar.
Alvin
tersenyum padanya dan menyerahkan sebuah bingkisan, “Welcome home, Ik.”
Sementara
itu, kedelapan sahabat Aren dan Oik mulai menggeledah tas keduanya untuk
mencari oleh-oleh. Aren dan Oik membiarkannya. Oik sedang sibuk dengan Alvin.
Sedangkan Aren, sedang sibuk dengan Ray dan Nyopon.
“Kamu
pulang dengan siapa, Ren?” tanya Ray seraya tersenyum kikuk.
Aren
kembali mengerutkan dahinya, “Kamu ga lihat sahabat-sahabatku?” Aren mengedik
pada kedelapan sahabatnya, “Aku pulang dengan mereka, Ray. Kenapa?”
Ray
hanya menggeleng, “Ga. Hanya saja.. Kalau kamu ga tau mau pulang dengan siapa,
kamu bisa bareng aku.”
“Oh..”
Aren mengangguk mengerti dan tersenyum berterima kasih, “Terima kasih
tawarannya. Tapi mereka sudah menjemput aku dan Oik.”
^^^
Pagi-pagi
sekali, keesokan harinya, ketika Aren sedang memakai sepatu di teras rumahnya,
ada seseorang yang berdiri di sana dengan membawa sebuket bunga. Aren memincingkan
matanya bingung dan bangkit untuk membuka pagar.
“Cari
siapa, Mas?” tanya Aren seraya membuka pagar.
Lelaki
itu mengintip secarik kertas yang ia ambil dari sakunya, “Mba’ Arenmya ada?”
Aren
mengangguk dan menunjuk dirinya sendiri, “Iya, saya sendiri.”
“Ini
ada kiriman bunga,” lelaki itu mengangsurkan sebuket rose pada Aren lengkap dengan bolpoin dan tanda terima, “Sekalian
ditanda tangani, ya, Mba’, tanda terimanya.”
Aren
menerima rose itu dan memeluknya
dengan tangan kiri. Tangan kanannya sibuk membubuhkan tanda tangan. Setelah itu
mengembalikan tanda terima beserta bolpoin kepada kurir itu.
“Dari
siapa, ya, Mas?” tanya Aren.
Kurir
itu menggeleng tak tau, “Mungkin di dalamnya ada suratnya, Mba’.”
Aren
mengangguk. Kurir itu pun beralih pergi. Aren menutup kembali pagar rumahnya
dan masuk ke dalam. Ia bertemu mamanya di ruang tamu yang sedang bersiap akan
mengantarnya. Aren membuka surat yang diselipkan di antara rose itu.
Mata
Aren meneliti setiap huruf yang tertera di sana, “Ray.” desah Aren.
^^^
Bel
pulang sekolah sudah berbunyi dari sejam yang lalu. Dan sayangnya, tinggal Aren
yang belum dijemput. Kesembilan sahabatnya telah pulang semenjak bermenit-menit
yang lalu. Aren tertunduk lesu di depan gerbang SMP Mariskova.
Aren
menatap sekeliling dan kembali mendesah, “Mama ke mana, sih? Mama lupa jam
menjemput aku, ya?” tanyanya, entah kepada siapa.
Tiba-tiba
saja, ketika Aren sedang memainkan ponselnya, sebuah motor berhenti di
depannya. Aren pun mendongak. Seorang laki-laki sedang melepas helm fullfacenya. Aren terlihat kaget ketika
mengetahui siapa yang kini tengah berada di hadapannya.
“Ray?”
pekik Aren.
Ray
tersenyum lebar lalu turun dari motornya, “Kenapa belum pulang, Ren?” tanyanya,
lalu Ray mengeluarkan setangkai rose
yang masih segar dan menyerahkannya pada Aren.
“Terima
kasih.” Aren kembali terlihat kesal ketika ingat mamanya tak kunjung menjemput,
“Mamaku belum menjemput. Apa mungkin dia lupa jam menjemputku? Ditelpon juga ga
bisa.” dumelnya.
“Aku
antar pulang, ya?” tawar Ray.
Aren
menggeleng, “Ga usah! Iya, ga usah! Mamaku sebentar lagi pasti datang.” pekiknya.
Ray
mengusap-usap telinganya, “Ga usah teriak, Ren.” Ray tertawa dibuatnya, “Yakin
ga mau aku antar saja?” tawar Ray, sekali lagi.
“Ga
usah. Sudah, sana. Kamu pulang saja. Ini kan sudah sore.” Aren mendorong Ray
untuk naik ke motornya dan memakaikan helmnya, “Bye, Ray!” Aren melambaikan tangannya pada Ray.
“Mamamu
ga bisa ditelpon, kan? Mau sampai kapan kamu menunggu di sini?” tanya Ray,
mencoba membujuk Aren kembali.
Aren
terlihat sebal. Tanpa berkata apa-apa lagi, akhirnya Aren naik ke boncengan
motor Ray. Ray pun melajukan motornya. Dengan senyum yang tersungging di balik
helmnya ketika melihat wajah masam Aren melalui kaca spion.
^^^
Keesokan
harinya, kesepuluh sahabat karib itu sedang duduk-duduk di kantin sekolah. Kebetulan,
bel pulang baru saja berbunyi. Langsung saja kesepuluhnya berlari menuju kantin
karena tak sempat makan pada saat jam istirahat kedua tadi.
Aren
baru saja kembali dari toilet dan segera duduk di samping Shilla. Aren melihat
kesembilan sahabatnya itu telah memesan makanan dan sibuk dengan makanan
masing-masing. Aren pun mencubit pelan lengan Shilla.
“Apa,
sih, Ren?” Shilla mengalihkan pandangannya dari makanannya pada Aren.
Aren
menampakkan wajah sebalnya, “Kenapa sudah pesan makanan semua?”
“Kamu
lama, sih! Sudah, pesan makanan dulu sana. Keburu sore.” Shilla pun kembali
sibuk dengan makanannya.
Aren
menatap sebal kesembilan sahabatnya itu dan bangkit untuk memesan makanan. Untung
saja kantin saat itu tidak terlalu ramai. Jadi Aren tidak perlu mengantri lama
dan membiarkan cacing di perutnya berteriak-teriak terus.
^^^
Ray
memarkirkan motornya di salah satu sudut parking
area SMP Mariskova. Ia pun mematikan mesin motornya, melepas helmnya, dan
berjalan menyusuri setiap sudut SMP Mariskova dengan masih mengenakan
seragamnya yang terbalut dengan jaket berwarna biru tua. Alhasil, ia sukses
menjadi tontonan siswa-siswi SMP Mariskova lainnya.
Kebetulan,
ketika ia melewati kantin, ia melihat Oik dan kedelapan sahabat Aren lainnya
sedang melahap makanan. Dan, ada tas Aren di sana. Langsung saja Ray
menghampiri kesembilannya dan menepuk bahu Oik.
“Ray?
Ada apa? Kok, ke sini?” tanya Oik.
“Aren
mana?” tanya Ray balik.
Oik
mengedik pada tempat memesan makanan, “Lagi pesan makanan. Cari Aren, ya?”
Ray
mengangkat bahunya dengan cuek. Ia mengeluarkan setangkai rose dari dalam tasnya dan memasukkannya pada tas Aren, “Ik, kalau
Aren tanya ini rose dari siapa,
bilang kalian ga tau, ya!”
Oik
dan kedelapan sahabat Aren itu pun mengangguk. Ray tersenyum lega. Setelahnya,
ia membisikkan sesuatu kepada kesembilan gadis itu. Pada akhir bisikannya, ia
tersenyum lebar yang disambut acungan jempol kesembilan gadis itu.
“Oke.
Aku duluan, ya!” pamit Ray, ia tersenyum pada kesembilan gadis itu dan berlalu
pergi.
Ray
berjalan menuju parking area dan melajukan motornya ke suatu tempat. Sebuah nama
tempat yang telah ia sebutkan tadi ketika membisikkan sesuatu kepada kesembilan
sahabat Aren. Lagi-lagi, senyum tersungging dari bibirnya.
^^^
“Aren
beruntung, ya!” celetuk Acha.
Ify
membekap mulut Acha ketika mengetahui Aren tengah berjalan ke arah mereka
dengan membawa makanan dan minumannya, “Sssstt!! Ada Aren!”
Aren
pun duduk di samping Shilla dan segera melahap makanannya. Ia tak menyadari
bahwa kesembilan sahabatnya itu sedang saling lirik dan sesekali memandanginya
penuh arti. Dalam sepuluh menit pun, makanan kesepuluhnya telah ludes.
Aren
membuka tasnya, ia mencari ponselnya. Tak sengaja, ia menemuka setangkai rose
di sana. Ia mengambilnya keluar bersamaan dengan ponselnya. Ia menatapi
kesembilan sahabatnya satu persatu dengan curiga.
“Siapa
yang taruh ini di tasku?” tanyanya, kesembilan sahabatnya hanya menggeleng,
Aren mendengus kesal.
Tiba-tiba
saja, Zahra –yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya- angkat bicara, “Kalian
mau ikut aku?” tanyanya.
“Ke
mana?” tanya Sivia.
Zahra
tersenyum lebar, “Ad ataman yang baru selesai dibangun. Dekat rumahku. Bagus,
deh. Mau, ya?” ajak Zahra.
“Boleh.”
Aren mengangguk, kedelapan gadis lainnya pun ikut mengangguk.
^^^
Aren
dan yang lainnya memandang sekeliling. Taman di dekat rumah Zahra itu memang
masih baru. Buktinya, belum ada sampah tercecer dimana-mana. Dan lagi, belum
ada pengunjung lain selain mereka. Aren tersenyum lebar ketika mengetahui ada
berbagai tanaman rose di salah satu
sudut taman itu.
“Ayo
ke sana!” ajak Aren, kesepuluhnya pun melenggang.
Ketika
telah sampai di area khusus rose itu, Aren pun duduk di hamparan rerumputan dan
memandangi rose-rose itu dengan mata
berbinar. Kesembilan sahabatnya masih tetap berdiri di belakang Aren.
Tak
sengaja, mata Aren tertuju pada siluet seorang lelaki yang sedang memotret. Masalahnya,
lelaki itu membelakanginya. Aren menatap lelaki tiu tak berkedip. Ia merasa
mengenali siluet itu. Aren pun berdiri dan berjalan menghampiri siluet itu.
Aren
menepuk pundak laki-laki itu hingga membuatnya menengok pada Aren. Aren terlihat
kaget bercampur senang, “Ray?”
“Eh,
ada Aren..” Ray pun menghentikan aktivitas memotretnya.
Aren
duduk lalu menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya, “Duduk sini, Ray.” Ray pun
duduk, “Motret apa?” tanya Aren.
“Banyak.
Kamu lihat saja sendiri.” kata Ray.
Ray
melepaskan kalungan camera dari
lehernya dan mengangsurkannya pada Aren. Aren terlihat serius menatapi bidikan camera Ray. Ray melihatnya sekilas dan
tersenyum. Lalu Ray kembali menatap lurus ke depan.
Foto
pertama. Hamparan rose berwarna
kuning. Setelah Aren memincingkan matanya, ada rose berwarna merah di tengah hamparan rose kuning tersebut yang membentuk huruf ‘I’. Foto kedua membentuk
huruf ‘L’ dan foto ketika membentuk huruf ‘Y’. Aren melirik Ray sekilas dan
kembali melihat foto-foto selanjutnya.
Masih
ada lima belas foto lagi yang formatnya sama persis dengan tiga foto terdahulu.
Aren mencoba merangkai huruf-huruf di kelima belas foto tersebut dengan dahi
berkerut bingung.
‘W’
‘O’ ‘U’ ‘L’ ‘D’ ‘Y’ ‘O’ ‘U’ ‘B’ ‘E’ ‘M’ ‘I’ ‘N’ ‘E’ ‘?’
Would you be mine?
“Ray..”
Aren terperangah. Ia menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Ia mengerjap tak
percaya. Beberapa detik kemudian, tangan kirinya ia turunkan dari mulutnya, “Kamu..”
Ray
mengalihkan pandangannya kepada Aren dengan santai, “Kenapa, Ren?”
“Ini---,”
Aren masih tak percaya.
“Serius,
kok. Gimana? Bagus?” tanya Ray.
Aren
mengerjap tak percaya, “Iya, bagus. Tapi, kamu tau, bukan itu yang ku maksud.”
Ray
mengangguk dan tersenyum tipis, “So, what’s tour answer?”
Aren
pun meletakkan camera Ray di
sampingnya dan menatap Ray untuk sesaat. Berikutnya, Ray telah merasakan tangan
gadis itu memeluknya.
“Ray..”
rengek Aren.
“Apa
ini artinya iya?” tanya Ray, sekedar untuk memastikan.
Aren
mengangguk. Semburat pink mulai muncul di kedua pipinya. Ray tersenyum lebar. Kesembilan
sahabat Aren di belakang sana pun berteriak kegirangan. Pasalnya, mereka adalah
bagian dari skenario yang Ray buat tadi.