Bel pulang sudah berbunyi sedari tadi. Namun tampaknya Cakka dan Oik masih betah berebut sesuatu di dalam kelas. Padahal kelas sudah sepi. Bahkan, hanya tinggal mereka berdua. Siswa-siswi lain sudah pasti pulang ke rumah ataupun berkumpul bersama teman di café maupun sibuk mengikuti kegiatan ekskul.
“Cakkaaaa!!!! Balikin kunci motor gue!! Gue mau pulang, Cakka!!!!” Oik merengek pada Cakka yang kini tengah tersenyum senang sembari menyembunyikan kunci motornya dibalik punggung.
“Coba ambil dong, Ik,” tantang Cakka dengan senyum mengejek.
“Cakka Kawekas Nuraga. Gue capek. Gue mau istirahat. Gue mau pulang.” Oik menghembuskan napasnya dan memandang Cakka tajam.
Cakka memindahkan tangannya dari balik punggung ke hadapan Oik, mengacungkan sebuah kunci motor. “Ambil, Ik,” tawarnya.
Secepat apapun pergerakan tangan Oik, tetap saja Cakka berhasil kembali menyembunyikan kunci motor itu pada tangan kiri di belakang punggungnya. Sedangkan tangan kanannya menangkap tangan Oik.
“Cakka, lepas.” Oik berkata lirih dengan wajah tertunduk malu.
Oik lalu melihat sebuah jam tangan hitam keluaran terbaru bertengger diatas meja Cakka. “Kka, itu punya lo?” tanyanya.
Cakka–yang masih belum connect–hanya mengangguk acuh. Kesempatan itu digunakan Oik untuk mengambil jam tangan tersebut dan menggenggamnya erat-erat. Ia tertawa puas begitu melihat Cakka yang melongo.
“Kalau gue nggak bisa pulang, elo juga!” Oik menimang-nimang jam tangan Cakka dan tersenyum penuh kemenangan.
“Balikin jam tangan gue,” ujar Cakka memelas. Melihat Oik menggelengkan kepalanya, Cakka semakin merengek. “Balikin, please. Itu oleh-oleh bunda gue dari Madrid bulan lalu, Oik. Balikin, dong. Ya?”
“Balikin dulu kunci motor gue!” sergah Oik.
“Iya, iya.” Cakka mengeluarkan kembali kunci motor Oik. Sayangnya, kuncinya masih berada dalamgenggaman tangan kirinya. “Tapi, buka dulu genggaman tangan gue.” Cakka tersenyum jail.
Oik mengantongi jam tangan Cakka lalu berusaha sekuat tenaga membuka genggaman tangan lelaki itu. Ia sadar, seberapa keras pun ia berusaha, sepertinya ia tetap takkan berhasil ‘mengalahkan’ Cakka. Jadi....
“Oik, ampuuuuunnnn!!!! Iya! Iya! Iya! Gue balikin kunci motor lo! Ampun, Oiiiikkkk!!!!” Cakka berteriak seperti orang kesetanan ketika Oik mulai menyerang perutnya.
Begitu Cakka mengibarkan bendera putih tanda menyerah, Oik menghentikan serangannya dan menengadahkan telapak tangannya–meminta Cakka mengembalikan bendanya. Dengan berat hati, Cakka meletakkan kunci motor Oik di telapak tangan gadis itu.
Oik tersenyum puas. Lalu, ia mengembalikan jam tangan Cakka dan memakaikannya pada tangan kiri lelaki itu. Setelahnya, ia membalikkan badan dan bermaksud untuk pulang.
“AAAAAA!!!! CAKKAAAAAA!!!!!”
Oik berteriak heboh ketika Cakka memeluknya dari belakang dan mengangkat hingga beberapa senti diatas tanah. Beberapa detik kemudian, lelaki itu menggelitiki perut Oik hingga gadis itu tertawa sambil mengeluarkan air mata.
“Ampun, Cakka!” seru Oik disela-sela tawanya.
“Rasain pembalasan dendam gue!” bisik Cakka ditelinga Oik.
“Ih, Cakkaaaa!!! Berhenti!” rengek Oik semakin keras.
Cakka tertawa dan menghentikan gelitikannya pada gadis itu. Oik berhenti tertawa. Ia menghembuskan napasnya lega. Ia kembali tegang begitu menyadari Cakka masih memeluknya dari belakang. Ia nervous setengah mati!
“Cakka genit! Peluk-peluk segala!” jerit Oik–pura-pura–sebal.
Cakka mendengus. “Gue nggak meluk elo. Gini nih, kalau meluk.” Cakka mengeratkan pelukannya pada Oik hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Oik tertawa gugup.
“Udahan dong, Kka. Di sekolah, nih. Nggak enak kalau ada yang lihat.” Oik bergerak-gerak tidak nyaman dalam pelukan Cakka.
“Hm?” Cakka tersenyum tipis. “Berarti kalau lagi nggak di sekolah, elo mau?”
“Mau apa?” tanya Oik pura-pura tak mengerti.
“Mau gue peluk.” Cakka pun melepaskan pelukannya dan berjongkok di depan Oik. “Naik. Ayo! Gue gendong lo sampai parkiran. Tenang aja, sekolah udah sepi. Nggak bakal banyak yang ngelihat adegan India-Indiaan kita.” Cakka mengedipkan sebelah matanya. Bagaimana Oik bisa menolak?
“Serius lo?! YEEESSS!!” Oik berseru heboh kemudian naik ke punggung Cakka.
Cakka kemudian berdiri dan melangkah keluar kelas–dengan Oik berada di punggungnya.
Oik masih saja berceloteh mengenai segala hal sampai ia menyadari bahwa Shilla dan anggota ekskul fotografi lainnya tengah berkumpul di koridor depan kelas 11 IPA 3. Oik langsung panas-dingin melihat ekspresi terluka dari wajah Shilla.
Ia kemudian menepuk pundak Cakka dan berbisik, “Turunin gue dong, Kka.”
“Kenapa?” tanya Cakka tak acuh–masih tak menyadari keberadaan Shilla.
Baru saja Oik akan mengatakan bahwa ada Shilla disana, gadis itu kemudian teringat kalau Cakka tak suka ia mengungkit-ungkit soal mantannya itu. “Gue... bisa jalan sendiri, kok.”
“Udah, gue gendong aja! Nggak usah pakai gengsi segala sama gue.” Cakka menolak mentah-mentah.
Oik kembali menatap Shilla yang memandang mereka kosong. Oik meringis dengan perasaan bersalah. Ia hanya bisa berkata dalam hati bahwa ia meminta maaf pada Shilla karena telah membuatnya cemburu, sedih, kecewa, dan kesal.
Shill, maafin gue..
**
Keesokan harinya, Shilla benar-benar menjadi pendiam. Ia tak akan berbicara dengan Oik jika Oik tidak memulai duluan. Oik paham betul mengapa Shilla menjadi begini. Oleh karena itu, Oik agak menjaga jarak dengan Cakka.
Saat istirahat tiba, Oik segera melesat menuju bangku Acha dan Keke.
Acha–yang memang selalu peka–hanya menatap Oik dengan salah satu alis terangkat.
“Shilla kemarin ngelihat gue sama Cakka.” Oik meringis takut-takut melihat Acha yang menatapnya dingin. “Kemarin Cakka ngegendong gue.”
Acha mendengus kesal. “Gue bilang apa sih, kemarin, Oik? Kalau begini kan, mereka–Sivia sama Angel–bener-bener bisa bilang elo temen makan temen!”
“Yah, Ik.. Minta maaf aja deh, sama Shilla,” Keke tersenyum memberi semangat.
“Masalahnya, Ke,” Oik menghela napas. “Gue harus bilang apa sama Shilla? ‘Shill, maafin gue karena udah ngerebut mantan lo, ya!’ gitu?”
“Gue nggak ngerti lagi deh, Ik, sama kalian berdua. Udah jelas-jelas kalian berdua tuh, suka sama suka. Tapi kenapa nggakada yang fight? Mau nge-stuck terus, emang? Friendzone terus? Cakka juga sih, nggak mau ngomong empat mata sama Shilla. Gue yakin masih ada yang belum selesai di antara mereka.”
Setelahnya, Acha pun berlalu bersama Keke, entah ke mana, meninggalkan Oik yang terdiam dengan wajah ditekuk. Belum lagi ketika ia melihat ke arah bangkunya. Shilla bisa kembali periang jika tak ada dirinya. Huh!
“Ik?”
Oik terkesiap dan segera menoleh. “Eh, Cakka..”
“Ngapain? Kok sendirian aja? Acha sama Keke mana?” tanya Cakka beruntun. Lelaki itu mengobok-obok tasnya lalu berdiri di samping Oik.
“Nggak tahu,” Oik menggeleng lemas.
“Lagi sedih lo, ya?” Cakka menggeret tangan Oik ke kantin, melewati Shilla yang kembali terdiam menatap kedekatan keduanya. “Gue traktir es krim deh, biar lo nggak sedih lagi. Oke?”
Oik terduduk di salah satu meja kantin bersama Riko yang tengah menyantap semangkuk soto ayam dengan lahapnya. Beberapa menit kemudian, Cakka kembali dengan se-cone es krim rasa coklat favoritnya lalu mengangsurkannya padanya.
“Makasih,” Oik pun melumat es krim tersebut dengan malas-malasan.
“Lo kenapa, sih?” tanya Cakka pelan.
Riko–yang merasa menjadi orang yang tidak diharapkan kehadirannya–cepat-cepat menandaskan sotonya dan bangkit meninggalkan Oik serta Cakka setelah sebelumnya berpamitan mau antri membeli jus.
“Gue nggak enak sama Shilla,” Oik menyadari raut wajah Cakka yang berubah sebal ketika Oik menyebut nama mantannya itu.
“Emang Shilla kenapa?” tanya Cakka basa-basi.
“Dia hari ini jadi diem banget. Nggak mau ngomong sama gue. Dia kemarin ngelihat elo ngegendong gue, Kka.” Oik menundukkan kepalanya, sedih.
“Oh, ya?”
Oik kembali mengangkat kepalanya mendengar reaksi Cakka yang kelewat biasa tadi. “Elo kenapa sih, Kka? Kenapa lo jadi anti-pati gini sama Shilla? Lo berdua putusnya nggak baik-baik, ya?” cecar Oik.
“Udah deh, Ik. Nggak penting bahas ginian.” Cakka mengalihkan pandangannya agar tak berserobok dengan pandangan Oik.
“Cakka, jawab gue!” Oik menggoyangkan lengan Cakka. “Gue janji ini terakhir kalinya gue sebut-sebut Shilla di depan lo. Gue janji, Kka.”
Cakka akhirnya lulus. “Gue udah kelewat sakit hati sama dia, Ik. Dulu, awal-awal kami jadian, dia perhatian banget sama gue. Gue ngaku. Dulu gue cuek banget sama dia. Sampai akhirnya dia mau ada lomba fotografi tingkat nasional bulan Januari kemarin. Wajar kan, kalau gue jadi perhatian sama dia? Dia jadi jarang istirahat gara-gara nyiapin segala tetek-bengek.”
Oik serasa ditikam hatinya mendengar nada terluka Cakka. “Iya, terus?”
“Ya, gitu..” Cakka menerawang. “Sejak itu, Shilla nggak perhatian lagi sama gue. Dia makin cuek sama gue sejak pulang perlombaan itu. Gue lama-lama capek kalau harus fight sendiri buat hubungan kami. Akhirnya ya, gue putusin dia.”
“Kayaknya Shilla masih nggak rela putus sama elo, ngelepas elo,” Oik bercicit pelan, takut Cakka kembali marah karena ia menyebut nama Shilla.
Cakka menggeleng tak acuh dan menggandeng tangan Oik untuk berlalu dari kantin. “Nggak usah ngebahas Shilla lagi, ya.”
**
Oik
PING!!!
RaissaAcha
Ap??
Oik
Mreka pts gk baik2
Lampu LEDnya kembali berkedip-kedip. Ada sebuah chat baru dari Cakka. Oik melirik jam wekernya dan menguap lebar. Sudah jam sebelas malam tapi Cakka masih saja mengajaknya ngobrol lewat BBM.
Cakka Nuraga
Hahahaha bs aja lo!
Pgn bgt ditmbak ik?:-p
Oik
Kagaaakkk!! Gw mati dong kl ditmbak:-o
Cakka Nuraga
Ykn???:-p
Oik
Gmn yaa
Cakka Nuraga
Mw gk?
Oik
Apaan sih
Cakka Nuraga
Oik, km mw gk jd pcrnya cakka?:-)
Oik
Cakka, gk lucu. Udh mlem, tdr sana!
Oik mendadak terkena serangan jantung. Ia memegang dadanya yang berdebar-debar. Setelah mematikan ponselnya dan meletakkannya di nakas, Oik menarik selimutnya hingga menutupi seluruh bagian tubuhnya dan mulai tertidur. Sebuah senyum terukir di bibirnya.
**
Paginya, Oik datang ke sekolah dengan wajah lesu. Ia tidak menghiraukan Cakka yang sedari tadi mengganggunya serta mencoba menarik perhatiannya. Ia takut kalau sampai sekali saja Cakka mendapat perhatiannya, lelaki itu akan mengungkit pembicaraan mereka via BBM semalam. Oik masih belum siap menjawab.
Setelah meletakkan tas begitu saja di bangkunya, Oik bergegas menuju bangku Acha. Ia melewati Cakka begitu saja hingga membuat lelaki itu menatapnya sendu.
“Cha, temenin gue ke toilet, yuk,” ajak Oik.
Acha mengangguk. Gadis itu dapat melihat dari mata Oik bahwa ia ingin bercerita, tapi tidak di sini tempatnya. Acha meninggalkan Keke bersama Riko dan Cakka lalu berlalu ke toilet bersama Oik.
“Lo kenapa? Lesu banget?” tanya Acha begitu keduanya telah sampai di toilet yang masih sepi.
Oik menyandarkan punggungnya di dinding toilet. Gadis itu menunduk, memain-mainkan ujung sepatu Amanda Jane’s miliknya. “Cakka semalem nembak gue.”
Acha–yang tengah menyuci tangan di wastafel–mendadak terdiam. Ia melirik pantulan bayangan Oik pada cermin di hadapannya dengan mulut menganga. “Apa lo bilang?!”
Oik menghentakkan kakinya, sebal. “Cakka semalem nembak gue, Acha!”
“Terus lo jawab apa?” Acha kembali bersuara setelah pulih dari kekagetannya.
“Itu jam sebelas malem, Cha. Jadi ya, gue bilang kalau itu sama sekali nggak lucu. Gue suruh dia tidur aja daripada ngomong ngelantur begitu. Terus, gue matiin HP gue.”
Acha menghembuskan napas–sedikit–lega. Ia menggamit lengan Oik untuk berjalan keluar dari toilet karena bel masuk baru saja berbunyi dan mereka ada jadwal praktikum fisika pagi ini. “Gue saran aja, sih. Jangan terima Cakka kalau masalah dia dan Shilla belum kelar.”
Begitu keduanya sampai di kelas, kelas sudah ramai. Mereka semua ribut mengenai teman sekelompok untuk praktikum. Oik dan Acha segera kembali ke bangkunya untuk mengambil buku, alat tulis, serta jas lab.
“Ik, lo mau sekelompok sama gue, kan?” tanya Cakka yang tiba-tiba saja sudah menghampiri Oik di bangkunya.
Oik menggigit bibirnya. Rupanya Shilla baru saja berlalu bersama Angel dan Sivia. Praktikum kali ini memang mengharuskan berkelompok dengan tiga anggota pada masing-masingnya.
“Gue...” Oik melihat Ray dan Riko yang jalan bersama hendak keluar kelas. “Ray! Riko! Gue sekelompok sama kalian, ya!”
Ray dan Riko hanya mengangguk bingung. Oik segera menyusul keduanya, meninggalkan Cakka yang terdiam.
“Kka, lo sama kita aja.”
Cakka menengok ke belakang dan mendapati Keke serta Acha yang memandangnya simpati. Cakka menghembuskan napasnya lalu mengangguk. Ketiganya pun menjadi orang terakhir yang meninggalkan kelas menuju laboratorium fisika.
Mereka melihat Oik melambaikan tangan dari meja laboratorium urutan kedua dari depan. Oik tersenyum, bermaksud memanggil ketiganya agar duduk semeja dengan ia, Ray, dan Riko. Melihat tak ada lagi meja yang kosong, ketiganya berjalan menghampiri gadis itu dan duduk semeja dengannya.
Oik tersnyum pada Acha yang duduk tepat bersebelahan dengannya. Namun, senyumnya langsung pudar begitu melihat wajah Cakka muncul dari balik wajah Acha. Mendadak, Oik serius mendengar penjelasan Pak Dave mengenai praktikum kali ini.
“Oik udah cerita ke gue,” Acha berkata pelan pada Cakka.
“Oh, ya?” Cakka mengangkat sebelah alisnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari Pak Dave yang masih bercuap-cuap di depan sana.
Acha tersenyum sinis. “Gue seneng Oik nggak nerima lo.”
“Cih.” Cakka mendesis lalu tersenyum miring. “Ngapain sih, lo–––,”
“Gue nggak mau sahabat gue dibilang temen makan temen sama genk hip itu.” Acha mendesis tajam. Ekor matanya tertuju pada tiga gadis yang duduk tak jauh dari mereka–Shilla, Sivia, dan Angel.
“Shilla lagi, Shilla lagi.” Cakka memutar bola matanya, malas.
“Selesaiin dulu masalah lo sama Shilla.” Acha meliriknya sekilas.
“Harus?” tanya Cakka ragu-ragu.
“Ya!”
**
“Shil, masih ada yang belum selesai ya, antara lo sama Cakka?” tanya Oik penasaran.
Shilla mengedikkan bahunya dan tersenyum tipis. “Gimana, ya?”
“Tinggal jawab gue aja kali, Shill!” Oik cekikikan melihat wajah Shilla yang sudah merah padam.
“Sebenernya–––,”
Ucapan Shilla terpotong oleh bel pulang yang berbunyi nyaring. Gadis itu melihat jam tangannya. Sudah menunjukkan pukul tiga sore. Guru yang tengah mengajar seketika langsung berhenti. Siswa-siswi pun bersiap pulang.
“Sebenernya apa?” tanya Oik begitu kelas telah lengang–meninggalkan dirinya, Shilla, dan segelintir siswa lainnya.
“Gue masih pingin ngobrol sama Cakka. Soal kami.” Shilla terdiam sejenak. Setelahnya, ia langsung buru-buru membereskan barang-barangnya dan bersiap pulang kalau saja tidak dicegah oleh Oik.
“Gimana kalau kalian ngobrol sekarang aja?” tawar Oik.
“Bisa?” Shilla menatap Oik dengan mata berbinar penuh harap.
Oik mengedipkan sebelah matanya.
Oik berdiri, melenggang meninggalkan Shilla yang tengah harap-harap cemas dibangku mereka. Gadis itu melewati bangku Acha dan Keke yang setia menunggunya. Ia hanya memberikan isyarat pada keduanya untuk menunggu sebentar.
“Kka?”
Cakka–yang merasa namanya disebut–menengok ke sumber suara dan menemukan Oik disana. “Apa, Ik?”
“Ada yang... pingin ngobrol sama kamu.”
“Siapa?” Cakka mendadak bersemangat.
Oik membalikkan badan, menatap Shilla dan memberinya isyarat untuk datang menghampiri. Perlahan, Shilla berjalan menuju keduanya. Cakka mendadak sesak napas begitu tahu Shilla adalah orang yang Oik maksud.
“Gue bukannya mau ikut campur masalah kalian. Tapi masalah nggak akan bisa selesai kalau kalian biarin berlarut-larut.” Oik mendudukkan Shilla di hadapan Cakka. “Selesaiin, ya. Gue nggak bakala ganggu, kok.”
“Tapi, Ik–––,” Cakka dan Shilla menyela bersamaan.
Oik tersenyum dan menggeleng. “Udah, nggak ada tapi-tapian. Gue keluar, ya. Gue tunggu di luar. Apa pun keputusan kalian nanti–balikan atau jadi temen baik–gue bakal terima dengan senang hati. Gue capek ngelihat Cakka yang ngehindarin Shilla abis-abisan.”
Oik berbalik. Tiba-tiba saja, Cakka menahan lengannya. Dengan hati yang hancur berkeping-keping dan tanpa menengok padanya, Oik melepaskan cekalan itu.
Gadis itu menghampiri Acha dan Keke yang melihatnya dalam diam. Ia pun menyeret keduanya keluar agar tak mengganggu obrolan Cakka dan Shilla. Rupanya, Ray dan Riko masih setia menunggu mereka di sana.
“Gimana? Besok jadi, kan? Dufan?” tanya Riko dengan bersemangat.
“Jadi!” Keke mendadak jadi bersemangat juga. “Besok kita kumpul di rumah siapa?”
“Rumah gue, ya!” Ray mengacungkan tangannya. “Besok gue yang bawa mobil.”
“Cakka sama Shilla ngapain di dalem?” tanya Riko–menyadari hanya kedua orang itu saja yang masih berada di dalam kelas.
“Ngobrol.” Oik mengedikkan bahunya. “Eh, gue balik duluan, ya. Agak nggak enak badan, nih. Biar besok gue nggak tepar.”
Acha menatapnya cemas. “Lo bawa motor sendiri?” Oik mengangguk pelan. “Mau nebeng gue aja? Lo pucet, Ik.”
“Nggak usah! Terus motor gue gimana kalau gue nebeng elo?” Oik tertawa. “Udah, ah. Gue balik dulu, ya. Bye!”
Begitu bayangan Oik hilang di balik tikungan lorong, Cakka dan Shilla keluar. Keduanya memasang wajah bersahabat.
“Oik mana?” tanya Cakka begitu menyadari Oik sudah menghilang.
“Balik duluan. Nggak enak badan dia.” Keke menyahut. Cakka hanya mengangguk.
“Kka, jadi nebengin, kan?” tanya Shilla malu-malu.
“Oke!” Cakka dan Shilla berlalu, meninggalkan keempat temannya berspekulasi macam-macam mengenai hubungan mereka berdua yang mendadak ayem kembali.
**
Matahari tengah menduduki puncak tahtanya ketika mereka berenam tengah beristirahat sejenak di area food and beverage Dufan. Cakka, Acha, Keke, Ray, dan Riko sedang mengobrol seru mengenai wahana-wahana yang akan mereka coba setelah ini. Sedangkan Oik hanya menatap mereka dalam diam sambil menyantap es krimnya.
“Pokoknya gue mau naik tornado. Titik!” Ray berseru heboh ketika tak ada satu pun dari lawan bicaranya yang mendukung.
Oik mengusap sisa-sisa es krim disekitar bibirnya dengan selembar tisu, kemudian ikut mengobrol. “Tornado? Yuk, sama gue.”
“Serius?” Ray menatap Oik tak yakin.
“Nggak mau? Ya udah, gue sendirian aja.” Oik mendadak bangkit dari duduknya dan berjalan santai menuju wahana tornado.
“Eh, Ik!!! Gue ikut!!!!!” Acha berseru. Ia dan Keke menyusul Oik yang telah berjalan duluan.
Ray, Cakka, dan Riko segera menyusul ketiganya. Mendadak, Ray dan Riko beserta Acha dan Keke berlomba untuk sampai di pada Kawasan Indonesia. Mereka meninggalkan Cakka dan Oik yang berjalan santai.
“Lo kemarin nyariin gue, ya?” tanya Oik begitu mendapati Cakka tengah berusaha menyamai langkahnya.
“Nggak.” Cakka menjawab singkat.
“Oh.” Oik mendadak diam mendengar jawab Cakka.
“Siapa yang bilang?” tanya Cakka balik.
“Keke. Lewat BBM.” Oik menjawab ketus, membuat Cakka menahan senyumnya mati-matian.
“Bohong tuh, dia.” Cakka menggigit bibirnya ketika melihat Oik mengumpat.
Dasar masih polos! Cakka tersenyum.
“Gimana Shilla?” tanya Oik.
“Nggak gimana-gimana.”
Setelah mengantri selama dua kali permainan, keenamnya pun mendapat giliran untuk bermain. Mereka duduk bersebelahan. Begitu permainan dimualai dan badan mereka dibolak-balikkan di ketinggian, teriakan terdengar dari keenamnya dan para pengunjung lain.
“Mampuuuuuusssss!!!” Riko berteriak. Kepalanya pening. Mereka semua ditahan beberapa detik di ketinggian dengan posisi–yang bisa dibilang–terbalik.
“Aduh, Maaaakkk!!! Mati aja gue!” Acha berkomat-kamit dengan mata tertutup.
Oik melirik ke kanan dan kiri. Kelima temannya yang lain tengah menjerit histeris karena ketakutan dan itu membuat tawanya meledak. Oik sih, fine fine saja karena ia sudah sering diminta sepupunya menemani naik wahana-wahana esktrim yang ada disini.
“Oik! Sarap lo! Dasaaaarrrr!!!!! Sempet-sempetnya ketawa!” Keke menatapnya sekilas dan kembali menutup matanya rapat-rapat.
“AAAAAAAAAAA!!!!!!!”
Teriakan kembali terdengar ketika wahana kembali bergerak mengombang-ambingkan mereka di ketinggian. Ray tertawa lepas, menikmati adrenalinnya yang dipacu habus-habisan. Begitu juga dengan Oik.
Ketika wahana berhenti, Ray dan Oik langsung berdiri tegak. Berbeda dengan Cakka, Riko, Acha, serta Keke yang berjalan sempoyongan. Keduanya setia menunggu hingga keempat temannya yang lain kembali siap untuk diajak berkeliling.
“Mau naik apa lagi, sih?” tanya Cakka yang masih berkeringat dingin.
“Apa ya, Ray?” Oik dan Ray berhadapan, berpikir mencari wahana yang kembali dapat memacu adrenalin.
“Hysteria?” tanya Ray, meminta pendapat Oik.
“Boleh!” Oik menyahut dengan bersemangat.
“LO MAU NGEBUNUH GUEEEE?!” Riko menarik-menarik lengan Ray dengan wajah pucat dan badan yang masih sempoyongan.
“Kicir-kicir aja,” saran Acha.
“Ih, cupu!” ledek Oik.
“Ya udah,” Cakka rupanya sudah kembali sehat. “Yuk, hysteria.”
“SARAAAAPPPP!!!!” Keke berteriak, tak setuju.
“Lo mau nunggu di bawah aja? Nggak usah ikutan naik, gitu.” Ray menawarkan.
Oik dan Ray tertawa senang begitu melihat tak ada antrian yang mengular panjang di depan wahana tersebut. Maklum, sinar matahari sangat menyengat saat ini. Hampir tak ada orang yang mau merelakan kulitnya menjadi lebih gelap hanya untuk naik wahana ini.
Mereka berlima langsung naik ke wahana. Meninggalkan Keke yang tengah duduk di dekat tempat mengantri karena masih sempoyongan. Keke menikmati teriakan histeris Acha dan Riko. Ia melongok melihat Ray. Rupanya lelaki itu senang-senang saja dan tak merasa takut.
“Oik?” Cakka berteriak tepat di telinga gadis itu.
“Ya?” tanpa menoleh, Oik menjawab. Ia tengah asyik menatap area Dufan dari ketinggian dan tak terlalu memperdulikan omongan Cakka.
“Oiiiikkkk!” Cakka merengek sebal karena tak berhasil mendapat perhatiannya.
Wahana berhenti tepat di ketinggian maksimumnya. Angin berhembus kencang. Mau tak mau, Oik menengok pada Cakka agar lelaki itu tak merengek lagi dan mengganggu yang lainnya.
“Apa, sih?” tanya Oik sebal.
“Oik, lo mau jadi cewek gue, kan?”
Dan...
“AAAAAAAAAAA!!!!!”
Mereka kembali dihempaskan ke bawah. Kali ini, Oik berteriak nyaring. Tentu saja, dengan sebuah senyum yang terukir di bibirnya.
“Mau, Kkaaaaa!!!!”
THE END