Shilla
baru saja keluar dari kamar mamanya dengan wajah ditekuk. Ia menutup daun pintu
ruangan tersebut dengan keras. Bunyi berdebam menggema di seluruh penjuru
istananya. Shilla berjalan cepat menuju ruang keluarga, mengambil sebuah kunci
mobil yang tergantung di dekat televisi, dan berjalan menuju pekarangan
istananya. Mobilnya terparkir di sana.
Shilla
masuk ke dalam mobilnya lalu menyalakan mesinnya dengan cepat. Begitu mesin
mobilnya menyala, Shilla segera memacunya menuju rumah Cakka. Tak peduli dengan
bayangan mamanya yang sedang berlari menyusulnya. Samar-samar Shilla mendengar
teriakan mamanya.
“SHILLA!
KEMBALI! KAMU ADA JADWAL NYANYI HARI INI! KAMU GA BISA MEMBATALKANNYA BEGITU
AJA! KAMU BISA DITUNTUT, SHILL! SHILLAAA!!”
^^^
Oik
sedang membubuhkan setangkai kecil peterseli dan sebuah cherry merah di atas pastel tutupnya ketika terdengar sebuah
ketukan dari pintu utama apartemennya. Cepat-cepat ia lepas celemeknya dan
berlari untuk membukakan pintu.
Tubuh
Alvin berada hanya beberapa jengkal dari tubuh Oik, “Pagi, peri kecil!” Alvin
bergerak untuk mencium pipi kiri Oik.
Oik
mengangguk dan terkekeh, “Kamu ini, ya!” Oik melayangkan tinjunya ke lengan
Alvin, “Aku lagi finishing pastel
tutup, tau ga? You’re so annoying,
Vin!”
“Pastel
tutup?” Alvin pun berlari menuju dapur dan mendapati seloyang pastel tutup
berada di atas meja makan.
Oik
bergegas menghampiri Alvin dengan berkacak pinggang. Begitu telah berada di
samping Alvin, Oik semakin kesal ketika mendapati lelaki bermata sipit itu sedang
meniup-niup pastel tutupnya. Oik pun mencubit pinggang Alvin dengan keras.
“Apa,
sih, Ik?” tanya Alvin, lelaki itu meringis kesakitan.
Oik
mengambil alih seloyang pastel tutup tersebut, “Ini untuk tetangga baru itu,
yang di sebelah. Aku khusus masak untuk mereka! Enak aja kamu mau comot-comot.”
Alvin
memanyunkan bibirnya, “Aku juga mau, Ik..”
“Iya,
iya.. Nanti aku masak untuk kamu. Nanti, ya. Setelah kita pulang. Kamu ga lupa,
kan, kalau hari ini kita ada jadwal motret?” cerocos Oik.
Alvin
hanya mengangguk-angguk mendengarkan kata-kata berderet dari Oik. Keduanya
beranjak menuju ruang tengah. Alvin segera duduk di sofa empuk Oik.
“Ya
sudah, kamu tunggu sini aja dulu. Aku mau kasih ini ke tetangga baru itu.
Jangan kemana-mana. Jangan berantakin apartemenku.” pesan Oik, Alvin kembali
mengangguk.
Oik
pun berjalan menjauh. Alvin mengiringi kepergian Oik dalam diam. Ia menatap
punggung gadis chubby itu dengan
pandangan yang sulit diartikan...
^^^
Begitu
sampai, Oik segera mengetuk perlahan pintu di hadapannya dengan tangan kiri
–tangan kanannya memegang seloyang pastel tutup–. Tak selang lama, pintu pun
terbuka. Oik tersenyum lebar pada lelaki berbehel yang membukakan pintu
untuknya itu.
“Cari
siapa, ya?” tanya lelaki berbehel tersebut dengan bingung.
Oik
terkesiap. Ia pun memindahkan seloyang pastel tutup tersebut ke tangan kirinya.
Ia segera mengulurkan tangan kanannya pada lelaki itu, “Gue Oik. Apartemen gue
di sebelah itu.” Oik menunjuk ruangan apartemennya.
Lelaki
itu menyambut uluran tangan Oik dengan tersenyum, “Gue Ozy. Gue baru di sini.
Kemarin baru sampai. Ini aja masih beres-beres. Sorry, deh, belum bisa kenalan sama lo dan yang lainnya.”
Oik
mengangguk, “Oh ya, ini gue ada sesuatu buat lo dan temen-temen seapartemen lo.”
Oik menyerahkan pastel tutup tersebut pada Ozy.
Ozy
menerimanya dengan senyuman lebar, “Wah, thanks,
ya! Masuk dulu, yuk! Gue kenalin sama temen-temen gue yang lain.”
Oik
kembali mengangguk. Ia pun melangkah masuk ke dalam ruangan apartemen itu. Suasana
di dalam masih berantakan. Baru beberapa perabot saja yang sudah terletak di
tempatnya. Wallpaper dengan motif
garis-garis berwarna hitam dan putih terhampar di seluruh dinding ruangan
apartemen tersebut.
“Duduk
dulu, Ik. Gue panggilin yang lainnya dulu.” Ozy mengedik pada sofa berwarna
abu-abu di dekatnya.
Oik
tersenyum, “Oke..”
Ozy
pun berlalu seraya berteriak keras-keras, “Woy! Bocah-bocah! Kemari, cepet!
Kenalan sama tetangga, dong!”
Ozy
kembali dengan tangan yang sudah kosong. Entah ia letakkan dimana pastel tutup
dari Oik. Lalu, ada empat laki-laki lain yang berjalan di belakang Ozy. Sejauh
ini, Oik masih menyimpulkan bahwa mereka berlima bersahabat karena wajah
kelimanya tidak mirip sama sekali.
“Ik,
kenalin.. Ini temen-temen gue.” Ozy melihat keempat lelaki lainnya dengan
tersenyum.
Oik
pun berdiri, menatap keempat lelaki itu dengan tersenyum lebar. Seorang dengan
rambut gondrong, seorang dengan mata belo, seorang dengan tubuh kurus dan
tinggi, lalu seorang lagi dengan kulit hitam manisnya. Oik melambaikan
tangannya pada keempat lelaki itu.
“Hay!
Gue Oik! Sorry, deh, ganggu acara lo semua beres-beres.” Oik menampilkan
cengiran lebarnya.
“Iya,
ga apa-apa. Sekali lagi, thanks
pastel tutupnya!” sahut Ozy.
“Gue
Ray. Salam kenal, Oik!” Oik berjabat tangan dengan lelaki berambut gondrong
itu.
“Gue
Deva. Kalau mau ke Bali, calling gue
aja. Ntar gue temenin lo keliling Bali.” lelaki bermata belo itu tersenyum
lebar pada Oik.
Oik
kini ganti menyalami lelaki berkulit hitam manis itu, “Panggil gue Patton. Sorry, ya, belum sempet ke apartemen lo.
Kan, kita yang ornag baru di sini, eh, malah lo yang ngunjungin kita-kita.”
“Lo
bisa panggil gue Gabriel. Iel juga boleh.” Oik tersenyum pada lelaki yang ia
salami paling akhir.
“Eh,
sorry, nih. Gue ga bisa lama-lama di
sini. Gue ada jadwal motret.” sesal Oik.
“Lo
fotografer, Ik?” tanya Ray, ia terlihat kaget.
Oik
mengangguk. Kelima lelaki itu pun mengantar Oik sampai depan ruang
apartemennya. Oik melambaikan tangan pada mereka semua. Tak sengaja, pandangan
Oik bertabrakan dengan pandangan Gabriel. Oik menyipitkan matanya, merasa kenal
dengan bola mata hitam legam milik Gabriel.
^^^
Seorang
gadis berambut pendek sedang membuka halaman demi halaman sebuah album foto
yang telah usang di sebuah ruangan yang sangat gelap. Ruangan itu hanya
disinari oleh sebuah lilin kecil yang dibawa gadis itu. Di sampingnya, ada
sebuah kardus berisikan album-album foto usang yang sengaja ia letakkan di
sini. Ia sembunyikan.
“Ini
semua gara-gara lo!” pekiknya, telunjuknya menunjuk seseorang yang tertangkap
kamera sedang bermain-main di taman bersama dua orang lainnya.
Emosi
gadis itu telah sampai di ubun-ubun, “Untung aja gue bisa hentiin lo. Kalau ga
gue ga tau apa yang udah terjadi.”
Dengan
amarahnya, gadis itu menutup album foto usang di tangannya dengan keras. Lalu
ia mengembalikannya, bersama dengan album-album yang lainnya. Ia mengambil
lilin kecil tersebut dan meninggalkan ruangan gelap itu dengan emosi yang masih
membara.
^^^
Shilla
memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Cakka. Ia pun mematikan mesinnya dan
turun. Ia disambut hangat oleh kakak Cakka. Keduanya berpelukan sejenak dan
cipika-cipiki. Mereka berdua melenggang menuju dapur rumah Cakka. Kebetulan
kakak Cakka sedang membuat cake.
“Gila,
ya. Ga kerasa aja lo bakalan jadi adik ipar gue bentar lagi.” desis kakak
Cakka.
Shilla
mengangguk bersemangat, “Iya, Mba’. Gue juga ga nyangka bakalan secepat ini.
Gue juga ga nyangka Cakka nurut aja pas gue ajakin married.”
“Eh,
Shill, lo ngapain kemari? Bukannya ada jadwal nyanyi?”
Shilla
mendadak berubah kesal, “Udah gue batalin semuanya, Mba’. Khusus buat hari ini.
Gue sempat adu mulut sama nyokap juga tadi. Gue mau ajak Cakka keliling.”
Kakak
Cakka mengangguk, “Ingat, ya, Shill.. Lo jangan bilang kalau lo cancel semua jadwal nyanyi lo ke Cakka.
Apalagi lo sampai bilang lo sempat adu mulut sama nyokap. Jangan sampai. Ntar
Cakka ilfeel.”
Shilla
mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya, “Sip, Mba’! Sekarang, Cakkanya mana?”
“Ada
di kamarnya. Gue panggilin dulu, deh. Lo tunggu sini aja. Cobain cake gue juga.”
Shilla
tersenyum lebar, menyertai kepergian kakak Cakka. Ia mencomot sepotong cake buatan kakak Cakka dan memakannya
perlahan. Matanya menerawang, menatap sebuah bingkai foto yang terpajang di
hadapannya. Ia, Cakka, dan seorang lagi. Semasa mereka kecil. Shilla tersenyum
penuh arti.
^^^
Gadis
itu membuka pintu kamar Cakka perlahan. Ia mendapati adiknya itu sedang
tersenyum kecil memandang sebuah foto. Ada tiga orang di dalamnya. Seorang
laki-laki kecil yang diapit oleh dua orang perempuan kecil. Ia pun memutuskan
untuk menghampiri Cakka, memeluk lengan adiknya itu dari samping.
“Lo
ngapain, Kka?” tanyanya.
Cakka
menengok padanya dan tersenyum, “Eh, Mba’ Agni. Ga ngapain-ngapain, Mba’. Lala
lucu, ya?”
Kakak
Cakka –Agni– tersenyum samar, “Iya, lo benar. Shilla memang lucu. Tapi itu
dulu. Sekarang dia cantik banget.”
Cakka
mendengus kesal, mendapati kakaknya yang sengaja mengalihkan pembicaraan. Agni
meliriknya sekilas. Mulutnya sudah akan terbuka, namun urung. Ia simpan dulu
rahasia itu rapat-rapat. Tunggu saja nanti. Ia akan memberitahu Cakka kalau
waktunya sudah tepat.
“Ada
Shilla, tuh. Di dapur. Dia mau jemput lo. Katanya dia mau ajak lo keliling.
Gih, susul dia.” Agni menggeret lengan Cakka menuju dapur.
Cakka
pasrah. Ia membiarkan kakaknya itu menariknya hingga ke dapur. Namun, ia masih
memandangi foto itu. Dan, dengan berat hati, ia berhenti memandangnya ketika ia
sudah beranjak keluar dari kamarnya.
Benar
kata kakaknya. Ada Shilla di sana. Gadis semampai itu sedang menyantap cake buatan kakaknya dengan tersenyum
sendiri. Cakka berdiri di hadapannya. Mengucek lembut puncak kepala gadis itu
dan ikut tersenyum.
Agni
memandang keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti ada ‘sesuatu’
di sana. Ya, sesuatu. Sesuatu yang ia sembunyikan. Seiring dengan terdengarkan
percakapan sejoli itu, Agni berangsur menyingkir. Ia bergegas menuju kamarnya
dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Shilla
berdiri. Keduanya berjalan ke pekarangan rumah Cakka. Shilla bergelayut manja
di lengan lelakinya itu. Cakka duduk di belakang kemudi dan Shilla duduk manis
di sampingnya. Cakka mengemudikan mobil Shilla sesuai dengan instruksi gadis
itu.
“Kamu
ga ada jadwal nyanyi hari ini?” tanya Cakka, melirik Shilla sekilas.
Shilla
menggeleng pelan, “Ga ada. Aku sengaja kosongin hari ini.” Shilla menjawab
dengan menunduk.
“Oke.
Kita ke mana sekarang?” tanya Cakka lagi.
“Oicagraph.
Agent fotografi yang akan kita pakai
untuk wedding nanti.” Shilla menatap
Cakka dengan senyum mengembang.
^^^
Oik
dan Alvin baru saja rampung memotret di Bukit Bintang. Seluruh krunya sudah
membereskan perlatan dan memasukkannya ke dalam mobil. Klien pun sudah pulang.
Kini tinggal mereka berdua yang masih ada di sana, bersandar di mobil Alvin.
“Kamu
kapan bisa temani aku ke Bandung lagi?” tanya Oik, memandang Alvin dari ekor
matanya.
Alvin
tersenyum kecil, “Kamu kapan bisa temani aku ke Malang lagi?” tanyanya balik.
Oik
memukul lengan Alvin, “Kamu ini!”
Oik
ngambek. Ia segera masuk ke dalam mobil Alvin, duduk di samping kemudi. Alvin
terkekeh pelan. Ia pun ikut masuk ke dalam mobil. Alvin menyalan mesin mobilnya
dengan senyum tertahan. Oik memang selalu begini.
“Jangan
ngambek, dong, peri kecil..” bisiknya, sesaat setelah mencium pipi gadis di
sampingnya itu.
Wajah
Oik pias. Ia memalingkan pandangannya ke samping agar Alvin tak melihatnya.
Alvin tertawa keras. Ia segera mengemudikan mobilnya menuju kantor mereka,
Oicagraph Studio.
^^^
Cakka
dan Shilla memasukki Oicagraph Studio dengan pandangan kagum. Foto-foto apik
terpampang di kiri dan kanan mereka. Itu semua foto-foto yang diambil oleh Oik
dan Alvin. Mata Shilla menyapu seluruh lobby
dengan mata berbinar.
“Lihat,
Kka.. Aku ga salah pilih agent
fotografi, kan? Kamu bisa lihat sendiri foto-foto mereka ga ada yang jelek.”
desis Shilla, Cakka mengangguk lugas.
“Permisi,
Mas, Mba’.. Ada yang bisa saya bantu?” sebuah suara menyadarkan keduanya.
Keduanya
terkesiap, Cakka dan Shilla mendapati seorang gadis berdagu tirus berdiri di
belakang sebuah meja yang penuh dengan album foto tester Oicagraph. Cakka dan Shilla memandangnya dengan senyum.
Lalu, keduanya duduk pada kursi yang telah disediakan. Gadis berdagu tirus itu
juga duduk.
“Ada
yang bisa saya bantu?” tanyanya ulang.
Shilla
mengangguk bersemangat, “Iya, iya. Ini.. Saya butuh jasa fotografer untuk foto
pre-wedding kami.”
Ketiganya
pun mulai berbicara serius soal kesepakatan tempat, harga, dll. Ditengah-tengah
perbincangan seru tersebut, pintu utama Oicagraph kembali terbuka. Ada Oik dan
Alvin di sana. Keduanya tertawa riang dengan tangan kiri Alvin yang bertengger
di pundak Oik.
“Ify!”
sapa Oik, dengan sisa-sisa tawanya.
Gadis
berdagu tirus itu menengok dan tertawa lebar, “Ssstt! Ada klien baru! Kalian
duduk dulu aja sana!” usirnya.
Oik
dan Alvin terkekeh. Keduanya duduk tak jauh dari Ify, menatap Ify yang sedang
bernegosiasi dengan klien baru mereka. Beberapa menit setelahnya, akhirnya
mereka mencapai kata sepakat. Seluruhnya telah disetujui. Harga, tempat,
pakaian, perlengkapan, dll. Mengetahui itu, Oik dan Alvin akhirnya memutuskan
untuk bergabung.
Oik
dan Alvin berdiri di samping Ify. Oik segera menyingkirkan tangan Alvin dari
pundaknya. Sebagai gantinya, ia memeluk pinggang Alvin dari samping.
“Yoooooo!!
Undangannya mana?” Ify berteriak, memanggil seseorang.
Tak
lama kemudian, seorang laki-laki berwajah manis datang dengan tergopoh-gopoh.
Ia membawa dua buah undangan.
“Fy,
undangannya sisa satu. Untuk siapa lagi?” tanyanya.
“Ya
untuk Alvin dan Oik, dong, Yo! Kamu gimana, sih?” pekik Ify tertahan.
Lelaki
manis itu menyerahkan selembar undangan pada Alvin dan Oik, “Nih! Masih sisa
satu, Ifyku yang cantik jelita!” ia menunjukkan lagi selembar undangan pada
Ify.
“Aduh,
untuk siapa lagi?” Ify bergumam.
“Kenapa
ga untuk kami aja?” sahut Shilla, lalu dirasakannya Cakka menyodok perutnya
pelan, “Ga apa-apa, kan?”
Lelaki
itu menatap Ify, Ify hanya mengangguk dengan berat hati. Akhirnya, selembar
undangan itu pun sampai di tangan Shilla. Shilla tersenyum, membukanya
perlahan.
“Oh,
kalian akan menikah?” tanya Cakka, ketika ia baru saja mengintip sekilas isi
undangan tersebut.
Ify
dan lelaki manis itu mengangguk bersamaan dan tersenyum tipis, “Sempatkan
datang, ya.” Ify menimpali.
Cakka
dan Shilla mengangguk, “Alyssa Saufika Umari dan Mario Stevano Aditya Haling.”
Shilla bergumam, membaca setiap huruf pada undangan tersebut.
Setelah
mengobrol beberapa menit, akhirnya Shilla dan Cakka pun memutuskan untuk pamit.
Masih banyak tempat-tempat yang mereka harus datangi sehubungan dengan
pernikahan mereka. Cakka dan Shilla menyalami Oik, Alvin, Ify, dan Rio
satu-persatu. Oik mendadak terhuyung, pandangannya kabur. Untung saja Cakka
menangkap tubuhnya. Rio, Ify, Cakka, dan Shilla mendadak panik.
“Kamu
terlalu capek, Ik. Istirahat dulu, ya. Biar aku yang ngantar Cakka dan Shilla
ke depan.” Alvin memandang Oik dalam.
Oik
hanya mengangguk dengan sesekali memijit pelipisnya yang terasa ngilu. Alvin
pun mengantar Cakka dan Shilla ke depan. Cakka menyeret kakinya yang mendadak
berat meninggalkan tempat itu. Cakka mengedik ke belakang, mendapati Rio dan
Ify yang sedang mengurus Oik.
Begitu
sampai di pelataran parkir, keduanya segera masuk ke dalam mobil dan melesat.
Meninggalkan Alvin yang melambaikan tangan pada mereka dengan rahang mengeras.
Begitu
Alvin menyadari Cakka dan Shilla sudah bergerak menjauh serta Oik yang telah
diurus Rio dan Ify, lelaki bermata sipit itu segera menghampiri sebuah mobil
yang terparkir. Pengemudinya segera membuka kaca mobil ketika menyadari ada
Alvin di luar.
^^^
Keadaan
Oik berangsur membaik. Pandangannya sudah tak kabur lagi. Ify duduk di
sampingnya, mengelus lengannya dengan wajah khawatir. Rio sedang ke belakang,
mengambilkannya minuman dan obat.
“Makanya,
Ik.. Jangan terlalu diforsir kalau bekerja. Jadinya begini, kan.” Ify berdecak.
Oik
sama sekali tak menghiraukan perkataan Ify. Ia sibuk memandang Alvin yang
sedang berbicara dengan seseorang di luar sana. Oicagraph memang berdindingkan
kaca tembus pandang. Alhasil, Oik dapat melihat Alvin dan seorang gadis
berwajah riang di luar. Mendadak Oik merasa gelisah.
Dia siapa? Alvin lagi ngomong sama siapa?