Ify,
Oik, dan Sivia baru saja turun dari rumah pohonnya. Kini ketiganya sedang
berjalan beriringan menuju bangunan utama Witchy School of Art untuk
siswa-siswi tingkat pertama. Kebetulan, kelas Sivia dan Oik bersebelahan. Hanya
kelas Ify saja yang terpencar. Kelas Ify berjarak empat kelas dengan kedua
sahabatnya itu.
“Ini
hari pertama kita sekolah. Semangat!” seru Sivia, tangannya mengepal dan
meninju udara.
Ify
meliriknya, “Semangat, sih, semangat.. Tapi, kan, ini masih pagi. Masih
mengantuk! Apalagi jam tidur kita berkurang gara-gara pembagian kelas itu!”
sungutnya.
“Cuman
berkurang sedikit, Fy..” ralat Oik.
Ify
berancang-ancang untuk membantah, “Iya, tapi---”
“Sudah.
Sssssttt! Daripada ribut soal jam tidur, mending kita ngomongin soal kelas.
Kelas kita di mana?” celoteh Sivia.
“Kelas
Seni Suara dan Seni Lukis bersebelahan,” sahut seseorang, dari belakang mereka.
“Kelas
Seni Musik ada di ujung,” sahut seorang lagi.
Ify,
Oik, dan Sivia segera menengok ke belakang. Ada Irsyad, Alvin, dan Lintar di
belakang. Lintar sendiri, sedang menampakkan cengiran terlebarnya. Rupanya
Irsyad dan Alvin yang bersuara tadi.
“Hey,
kalian!” sapa Oik dengan riang.
“Halo,
Oik, Sivia, Ify!” sapa Lintar balik.
“Guten morgen, siswi Kelas Seni Suara!”
sapa Irsyad dan Alvin pada Sivia.
“Sugeng enjing, Irsyad, Alvin..” sapa
Sivia balik, ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju tawanya.
Alvin
hanya mengangguk dan sedikit tersenyum, matanya semakin sipit ketika itu.
“Bahasa
planet mana itu, Siv?” tanya Irsyad.
“Bahasa
planet saturnus,” jawab Ify, wajahnya terlihat sangat meyakinkan.
Irsyad
terbelalak kaget, “Hebat kamu, Siv, bisa tau bahasa planet lain..”
Ganti
Alvin, Sivia, Ify, dan Oik yang kini terbelalak. Irsyad sangat polos rupanya.
Keempatnya lantas tertawa nyaring. Hanya Irsyad dan Lintar yang melongo hebat
mendengar kenyaringannya.
“Mereka
ini kenapa, Syad?” tanya Lintar, alisnya terangkat sebelah.
“Jika
kamu tanya aku, lantas aku tanya siapa?” tanya Irsyad balik.
Alvin
menepuk pundak Lintar dan Irsyad bergantian. Begitupula dengan Ify, Oik, dan
Sivia. Keempatnya lantas kembali berjalan, disusul dengan Irsyad dan Lintar di
belakang yang masih kebingungan.
Sivia
menengok ke belakang, sekedar untuk melihat Irsyad dan Lintar. Seketika itu
pula, wajah Sivia mendadak memucat. Laju tawanya pun langsung berhenti. Ia
menahan napas dan kembali menghadap depan.
“Kenapa,
Siv?” tanya Oik.
Sivia
menggeleng, “Ga. Bukan apa-apa. Hanya..... Pokoknya ga apa-apa, kok,”
“Yakin?”
selidik Ify.
“Yakin
seyakin-yakinnya,” Sivia mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya ke atas.
Ify
dan Oik hanya mengangkat bahu. Rupanya Sivia belum mau bercerita banyak pada
keduanya. Tapi keduanya yakin, seiring berjalannya waktu, Sivia akan bercerita
pada mereka. Dan waktu itu, tak akan lama lagi..
“Sivia
kapan check up lagi?” bisik Ify.
“Nanti
sore saja, ya? Kalian bisa?” tanya Sivia, mengedik pada Ify dan Oik.
“Bisa,
kok..” jawab Ify langsung.
“Ke
mana?” tanya Oik.
Check up, bibir Ify terbuka. Mengisyaratkan
sesuatu pada Oik. Tanpa suara sedikitpun. Oik hanya mengangguk dan mengacungkan
ibu jarinya pada Sivia dan tersenyum lebar.
“Nah!
Sudah sampai! Terima kasih sudah mengantar aku!” seru Ify.
Kelimanya
pun mengangguk. Ify segera berbalik dan memasukki kelas tersebut. Sivia dan Oik
baru saja akan melongok ke dalam kelas itu ketika wajah seorang gadis tiba-tiba
saja muncul di depannya.
“Hay!”
sapa gadis itu.
“Eh,
Zevana.. Hehe,” Sivia dan Oik kembali menarik kepala masing-masing dan nyengir
lebar.
“Kok
di sini, Ze?” tanya Alvin, tangannya segera bergerak untuk meraih pinggul
Zevana dan merangkulnya.
“Tadi
habis ngantar teman kemari,” jawabnya, wajahnya terlihat berseri.
“Ya
sudah, aku antar ke kelasmu, ya..” ajak Alvin, Zevana pun mengangguk.
Keduanya
segera berbalik dan meninggalkan Oik, Sivia, Lintar, dan Irsyad di depan pintu
Kelas Seni Musik. Keempatnya hanya menatap punggung Zevana dan Alvin yang
perlahan menjauh, menuju kelas Zevana. Tiba-tiba saja kepala Zevana menengok ke
belakang dan tersenyum kepada mereka semua.
“Kami
duluan, ya!” pamitnya dengan riang.
“Iya!”
balas Sivia, tak kalah riangnya.
Zevana
kembali berbalik. Ia dan Alvin pun semakin berjalan menjauh. Sivia, Oik,
Irsyad, dan Lintar segera kembali berjalan menuju kelas masing-masing. Kelas
mereka berempat searah dan bersebelahan.
Tak
sampai lima menit berjalan, keempatnya telah menemui dua kelas yang berjejeran.
Oik dan Lintar segera masuk ke kelas Seni Lukis. Sedangkan Sivia dan Irsyad
harus kembali berjalan beberapa langkah menuju kelas Seni Suara.
^^^
Ify
baru saja memasukki kelasnya. Ada empat deret meja di depannya, dengan lima
baris ke belakang. Ify melongok, mencari tempat yang kosong. Pandangannya
terantuk pada meja paling belakang, di samping seorang gadis berambut pendek.
Ify pun melangkah ke sana.
“Hay!
Boleh aku duduk di sini?” tanya Ify.
Gadis
berambut pendek tadi mendongak dan mendapati Ify yang tersenyum ke arahnya,
“Boleh.. Kosong, kok,” ia lantas tersenyum pula.
“Terima
kasih,”
Ify
melebarkan senyumannya. Ia pun meletakkan tasnya di atas meja dan mendudukki
kursi itu. Ia mengedarkan pandangannya. Kelasnya cukup luas. Tadi, ketika ia
masuk ke dalam, ia langsung menyapu bagian timur kelas –tempat bangku-bangku
ini berada- dan menghiraukan bagian barat kelas.
“Wow,”
gumam Ify.
“Ada
apa?” tanya gadis itu.
Ify
mengedik padanya, “Tadi aku tidak sempat melihat ke arah sana,” telunjuk Ify mengarah
ke bagian barat kelas, “Peralatan di sana lengkap sekali, ya!”
“Iya,”
gadis itu mengangguk, “Kakakku pernah bercerita kalau kelas ini tidak melulu
mempelajari soal teori dari musisi-musisi terkenal. Namun juga
mempraktikkannya. Dalam sehari, kita pasti menyentuh alat-alat musik itu.”
Ify
mengangguk mengerti, “Jadi, kakakmu siswa di sini juga? Oh! Atau siswi?”
“Kakakku
laki-laki. Dia siswa tingkat kedua sekarang,” jawabnya.
Ify
membulatkan mulutnya, tanda mengerti. Ketika itu juga, masuklah seorang guru
dengan jubah hitam pekatnya. Keadaan kelas berangsur-angsur sepi. Tak terdengar
lagi celotehan-celotehan seperti sebelumnya.
“Ah,
ya! Kita daritadi sudah mengobrol panjang-lebar tapi aku belum mengetahui
namamu,” bisik gadis itu.
“Aku
Ify. Kau?” Ify mengulurkan tangannya.
“Keke.
Salam kenal, Fy!” gadis itu, Keke, menyambut uluran tangan Ify.
“Oh,
ya, Ke.. Itu siapa?” tanya Ify, ia mengedik pada seorang guru di depan sana.
“Beliau
Madam Winda. Ia guru tetap kelas ini..” jelas Keke.
Lagi-lagi
Ify hanya membulatkan mulutnya, “Soal kakak kamu tadi, namanya siapa?”
“Namanya---”
“Nona
Alyssa, Nona Gabriel.. Kalian berdua tidak diperkenankan berbicara ketika saya
berada di depan sini!” suara Madam Winda menggelegar.
“Iya.
Maaf, Madam!” sahut keduanya, berbarengan.
^^^
“Kau
duduk di mana, Ik?” tanya Lintar.
Kini
keduanya sedang terbengong-bengong di depan kelas ketika menyadari kelas ini
sudah hampir penuh. Tinggal sebuah bangku di pojok belakang, di depan bangku
tersebut, di sampingnya, dan paling depan.
“Di
belakang saja, lah. Kedua dari belakang. Iya,” jawab Oik.
“Ya
sudah. Aku duduk di sini, ya!” balas Lintar, Oik hanya mengangguk.
Lintar
pun bergegas duduk di bangku paling depan. Sedangkan Oik, berjalan ke belakang.
Ada dua bangku saling bersebelahan yang kosong, kedua dari belakang. Akhirnya
Oik memutuskan untuk duduk di bangku sebelah kanan.
Oik
segera menempati bangku pilihannya tersebut. Ia menelungkupkan kepalanya di
atas meja dan menggunakan tasnya untuk sandaran. Tadi ia sempat melihat Nadya
sedang duduk di bangku kedua dari depan. Ingin mengajaknya mengobrol untuk
membunuh waktu jika saja Nadya sedang tidak bergurau heboh dengan temannya yang
lain.
“Hey!
Siapa yang menyuruhmu duduk di situ?” pekik sebuah suara.
Oik
mendongak. Ia mendapati seorang gadis berambut panjang bergelombang sedang
berkacak pinggang di depannya. Oik melongo untuk beberapa saat.
“Hah?”
hanya itu yang mampu Oik ucapkan.
“Siapa
yang menyuruhmu duduk di situ.....” gadis itu memincingkan matanya untuk
melihat name tag Oik, “.....Oik Cahya
Ramadlani?” pekiknya, sekali lagi.
Oik
menggeleng pelan, “Tidak ada.. Lagipula bangku ini kosong,”
Bola
mata gadis itu membulat sempurna, “Siapa bilang bangku ini kosong, Nona Oik?
Tidakkah kau melihat tasku?” telunjuknya mengarah ke kaki Oik, “Dan kau
menginjaknya!” pekiknya, lagi.
Oik
menengok ke bawah. Ia melompat kaget. Rupanya benar, ia menginjak tas gadis
itu. Oik pun segera mengambilnya dan menepuk-nepuknya, sekedar untuk
melenyapkan debu-debu yang menempel di tas itu karena injakannya.
“Maaf,
ya!” kata Oik, ia menyerahkan tas itu pada sang empunya.
“Hn,”
gadis itu merebutnya dengan judes.
“Maaf
juga karena sudah mengambil tempatmu,”
“Hn,”
“Aku
akan pindah,”
“Hn,”
Dengan
takut-takut, Oik mengambil tasnya dan kembali meletakkannya di bangku dekat
tembok, tepat di depan bangku kosong itu. Oik duduk. Ia mengerling pada gadis
tadi. Ia merasa sangat bersalah. Sungguh.
“Hey..
Kau memaafkan aku, kan?” tanya Oik, ragu-ragu.
Gadis
tadi menengok padanya dan tersenyum paksa, “Tentu saja. Maafkan aku juga, ya,
karena tadi sudah memakimu. Aku hanya tidak suka diperlakukan seperti itu,”
“Baiklah,”
Oik
mengulurkan tangannya yang juga disambut baik oleh gadis berambut gelombang
itu. Keduanya saling tersenyum lebar.
“Aku
Oik, kau?”
“Aku
sudah tau kau adalah Oik. Bukankah tadi aku sempat menyebut namamu?” celoteh
gadis itu, “Ah, ya! Aku Larissa Safanah Arif dan kau wajib memanggilku Acha!”
“Baiklah.
Salam kenal, Acha!”
“Salam
kenal juga, Ik!”
Keduanya
pun melepaskan jabat tangan masing-masing ketika terdengar teriakan dari depan
sana. Keduanya lantas menengok dan mendapati Lintar sedang mengacungkan sebuah
kanvas dan berbagai macam peralatan lukis lainnya.
“Ada
apa, Lin?” tanya Oik.
“Kau
sudah mengambil peralatan-peralatan melukis?” tanyanya balik.
Oik
menengok pada Acha, keduanya menggeleng bersamaan.
“Segera
ambil di ruangan sebelum Caffetaria!
Sepuluh menit lagi kelas akan dimulai!” katanya.
Tanpa
berkata apa-apa lagi, Oik dan Acha pun bangkit. Keduanya akan menuju ruangan
yang dimaksud Lintar tadi. Ketika melewati bangku Nadya, keduanya berhenti
sejenak karena Nadya memanggil.
“Ada
apa, Nad?” tanya Oik.
“Boleh
bareng mengambil peralatannya?” Nadya menampakkan wajah memelasnya.
Oik
dan Acha mengangguk, “Tentu saja!”
Ketiganya
pun berjalan beriringan menuju tempat yang dimaksud. Beruntung, jarak kelas
mereka ke ruangan tersebut tidak terlalu jauh.
“Cakka
ke mana, Nad? Aku tidak melihatnya sama sekali hari ini,” tanya Oik, tiba-tiba.
Nadya
menatapnya penuh tanya, “Dia ada di kamar. Kebetulan sedang sakit. Sepulah
sekolah nanti aku langsung ke sana, rencananya.. Memang kenapa, Ik?”
“Ga
kenapa-kenapa,” jawab Oik langsung.
^^^
“Bagus!
Aku duduk di mana ini?!” dumel Sivia.
“Di
sebelah Aren, mau?” tawar Irsyad.
“Siapa
dia?” tanya Sivia.
“Ayo,
aku kenalkan!”
Tiba-tiba
saja, Irsyad sudah menyeret Sivia pada seorang gadis berambut sebahu dengan
behel berkaret hijau muda yang duduk di bangku kedua dari depan pada deret
pertama. Rupanya gadis ini yang bernama Aren.
“Ren,
bangku di sampingmu itu kosong, kan?” tanya Irsyad.
“Kosong,
Syad. Kenapa? Kau mau duduk di sini? Apa..... Dia yang mau duduk di sini?”
tanya gadis itu, beruntun.
“Aku
duduk di samping Alvin, di depan sana..” kata Irsyad, ia mengedik pada Alvin,
“Dia yang akan duduk di sini. Boleh?”
“Tentu
saja!” jawab Aren, dengan riang.
“Ya
sudah, kau duduk di sini, Siv. Aku tinggal dulu. Dah, Ren!” pamit Irsyad, Aren
mengangguk bersemangat.
“Hay!
Duduk saja! Sini!” ajak Aren, tangannya menepuk bangku kosong di sampingnya.
“Permisi,”
kata Sivia.
Sivia
pun duduk. Ia disambut dengan senyuman lebar Aren. Keduanya lantas berbincang
seru. Tentu saja dengan berkenalan terlebih dahulu tadinya. Mereka terus
berbincang sampai seorang guru masuk.
“Morning!” sapa guru tersebut.
“Morning, Madam!” seluruh penghuni kelas berkoor.
“Can we start the lesson? Sure, we can, I think. Now, I
want you all to make a group contains five students on it. I give you five minutes. Starts from now!”
Guru
tersebut pun duduk di tempatnya seraya mengawasi seluruh muridnya yang sedang
sibuk membuat kelompok. Ialah Madam Eva. Guru tetap di kelas Seni Suara.
“Kurang
satu lagi!” desis Sivia.
Kini
Sivia, Aren, Irsyad, dan Alvin telah duduk mengelompok. Keempatnya beserta
ketiga kelompok lain sedang duduk melingkar di lantai kayu yang dikelilingi
perabotan nyaman khas anak muda di bagian barat kelas.
“Lihat!
Ketiga kelompok lain sudah beranggotakan lima orang. Tinggal kelompok kita
saja,” gumam Irsyad.
“Berarti
ada satu orang yang tidak masuk. Atau, belum datang..” sahut Aren.
Alvin
segera mengangkat tangannya. Dan ketika Madam Eva telah mempersilahkannya untuk
berbicara, ia pun berbicara, “Excuse me,
Madam. My group isn’t full yet. We
need one more. Besides, there’s no one here who hasn’t had a group,”
Tok
tok tok..
“Maaf,
Madam. Saya baru saja dari toilet,” kata seorang siswi.
“Nah!
Silahkan kamu bergabung dengan kelompokmu. Ada Alvin, Aren, Irsyad, dan Sivia
di sana..”
Gadis
itu pun segera duduk di antara Irsyad dan Aren. Ia nyengir lebar.
“Hay!
Hehe,” sapanya.
“Agniiiiiiiiii!!!”
sapa Sivia, dengan gemas.
“Sorry, sorry! Tadi aku ke toilet. Biasa, panggilan alam..” lagi-lagi, Agni
nyengir lebar.
“Kalian
belum kenalan, kan?” tanya Irsyad, ia menatap Agni dan Aren bergantian.
“Belum,”
jawab keduanya, bersamaan.
“Aku
Agni,”
“Aren..”
Keduanya
pun berjabat tangan.
Madam
Eva pun berdiri lalu menuju ke tengah-tengah kelas bagian barat, dimana seluruh
muridnya sedang berada sekarang.
“Tugas
pertama kalian adalah menyanyikan lagu secara acapella dengan kelompok kalian yang ini. Buat sebagus mungkin. Ini
tes. Saya ingin tau seberapa mahir kalam dalam bidang ini. Besok, kita mulai
tesnya. Jadi, hari ini kalian full
berlatih!”
Begitu
selesai memberikan pengumuman, Madam Eva pun keluar dari kelas. Seluruh
siswa-siswinya hanya terbengong-bengong. Kenapa beliau malah meninggalkan
mereka? Mereka ini butuh bimbingan!
“Sudah,
sudah! Tidak usah ramai! Cepat berlatih! Ingat, besok kita sudah tes!” lerai
Agni.
“Memangnya
siapa yang ramai, Ag? Bukan kami! Itu, kelompok sebelah!” balas Alvin.
“Ga
usah ribut! Cepat cari lagu!” suruh Sivia.
“iPod
mana iPod..” gumam Aren, tangannya mengobrak-abrik tas dengan brutal.
“Ayo,
cari referensi lagu!” gumam Irsyad.
Kelimanya
pun sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing, mencari lagu yang cocok untuk
mereka bawakan secara acapella
keesokan harinya.
Sepuluh
menit berlalu. Kini kelimanya telah menggenggam judul lagu pilihan
masing-masing yang akan dirundingkan bersama-sama.
“A Thousand Years,” kata Aren.
“Firework,” kata Irsyad.
“Home is in Your Eyes,” kata Alvin.
“Jar of Hearts,” kata Sivia.
“Jet Lag,” kata Agni.
“Kalau
untuk A Thousand Years, mungkin ga.
Terlalu mellow. Kalian tau sendiri
kalau lagu mellow itu susah dibawakan
secara acapella,” kata Irsyad.
“Iya
juga, sih..” gumam Sivia.
“Oke.
A Thousand Years, dicoret!” kata
Aren.
“Gimana
dengan Home is in Your Eyes?” tanya
Alvin.
“Kalau
aku pribadi, takut bawain lagu itu. Suara si Greyson sudah melekat banget sama
lagunya. Lebih baik, kita bawakan yang lain..” saran Agni.
“Home is in Your Eyes, coret!” kata Aren.
“Dari
tiga yang tersisa, kalau kata aku, mending Jet
Lag. Lagipula, itu juga lagu duet. Bukan lagu mellow. Kalau lagu duet, menurut aku, lebih gampang untuk pembagian
suaranya saja,” celoteh Alvin.
“Ya
sudah. Deal, ya?” tanya Aren.
“Deal!” seru Sivia, Irsyad, Agni, dan
Alvin berbarengan.
Kelimanya
pun lantas membagi bagian masing-masing. Lirik lagunya pun sudah ada.
Masing-masing dari mereka telah memegang secarik kertas bertuliskan bagian
masing-masing. Agni mendapat bagian intro.
Sivia dan Alvin bagian reff. Irsyad
dan Aren, sisanya.
Agni
segera menuju sudut ruangan, berlatih sendirian.
Aren
dan Irsyad pun menuju salah satu sofa dan mulai berlatih bersama.
Sivia
dan Alvin memilih untuk tetap duduk di atas lantai kayu tersebut.
Mengulang-ulang bagian reff
bersama-sama.
Diam-diam,
Sivia mengambil dua carik kertas kecil. Satu untuk Ify, dan satu untuk Oik.
Mulai menorehkan tintanya di sana. Pesan yang sama untuk Ify dan juga Oik.
Maaf y! Hr ini kt gk jd check up. Aku
ada tgs kelompok. Maaf!:-):-):-)
Setelahnya,
ia pun segera melipat dua carik kertas tersebut lalu menyerahkan pada sang
burung mungil. Burung mungil itu pun terbang, menembus kaca cendela dan menuju
kelas Oik, lalu kelas Ify.
^^^
Oik,
Acha, dan Nadya baru saja akan memasukki kelas ketika Oik tak sengaja menangkap
sosok kakak manisnya sedang berada di seberang sana. Oik membeku seketika.
Nadya, yang tidak menyadari perubahan Oik, langsung saja masuk ke dalam kelas.
Berbeda dengan Acha.
“Kamu
kenapa, Ik?” tanya Acha.
Oik
hanya menggeleng. Wajahnya telah merah padam melihat kakak manisnya itu.
Telunjuknya mengarah ke sana, ke kakak manis itu. Mau tak mau, Acha mengikuti
arah pandang Oik.
“Kamu
tau siapa nama dia, Cha?” tanya Oik, suara tercekat.
Wajah
Acha mendadak berubah tak bersahabat, “Tau, Ik..” Acha segera menarik lengan
Oik agar masuk ke dalam kelas, “Sudahlah. Ayo kita masuk ke dalam kelas.
Sebentar lagi pasti Sir Dave datang!”
Dengan
berat hati, Oik menyeret kakinya masuk ke dalam. Pasalnya, Acha menariknya
sangat kuat. Begitu telah sampai di bangku masing-masing, Acha pun melepaskan
cengkramannya pada lengan Oik.
“Kamu,
kok, mendadak jadi aneh gini, Cha..” celetuk Oik.
“It’s not the right time for me to tell you
about this, Ik..” jawab Acha, lesu.
Oik
hanya mengangguk. Walaupun sebenarnya ia masih sangat penasaran tentang ini.
Mungkin nanti Acha akan memberitahunya. Oke. Tinggal bersabar sedikit, Oik..
“Cha,
kamu bilang tadi kalau kamu tau nama kakak manis itu. Benar?” tanya Oik,
keantusiasannya terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Acha
mengangguk pelan, “Namanya---”
“Selamat
pagi! Saya Sir Dave, guru tetap kalian di kelas ini. Saya tidak suka
berbasa-basi, jadi sekarang kalian cepat menuju meja lukis masing-masing yang
menurut kalian nyaman dan lukis apapun itu, yang ada di benak kalian. Waktu
kalian dua jam, dari sekarang!”
Kelas
mendadak riuh. Seluruhnya segera menuju meja lukis yang menurut mereka paling
nyaman dan mulai menyiapkan segala sesuatunya. Meletakkan kanvas pada
tempatnya. Mulai mengisi palet-palet dengan cat air yang diinginkan. Dan mulai
berkreasi di atas hamparan kanvas putih kecokelatan tersebut.
Sir
Dave mulai berkeliling untuk sekadar mengintip karya anak didik barunya
tersebut. Kali ini, Oik kembali duduk berdekatan dengan Acha. Keduanya kembali
mengobrol seraya melukis.
“Excuse me! Kenapa ada satu bangku yang
kosong?” tanya Sir Dave.
“Cakka’s absent, Sir. Dia sakit,” jawab
Oik.
“Cieeeeeeeeee.....”
kelas mendadak rame dengan godaan-godaan untuk Oik.
“Apakah
dia pacarmu, Nona Oik?” tanya Sir Dave.
Oik
cepat-cepat menggeleng, “Bukan, bukan! Dia pacar Nadya!” telunjuknya mengarah
pada Nadya.
Kooran
itu berangsur hilang. Dengan tak sengaja, Acha menengok pada Nadya. Ia melihat
gadis berambut agak pirang itu tengah menatap Oik dengan sinisnya. Acha mengerjap
kaget.
“O-ow!
I think she’s jealous, Ik!” bisik
Acha.
“Siapa,
Cha?” tanya Oik, dengan tetap memenuhi kanvasnya dengan bermacam-macam warna.
“Tuh,”
Acha mengedik pada Nadya.
Oik
menengok sekilas kepadanya. Tepat ketika Nadya tengah memasang senyum
termanisnya untuk Oik. Mau tak mau, Oik membalas senyuman itu dan kembali
menatap Acha dengan wajah bingung.
“See! Dia senyum ke aku, Cha..” bantah
Oik.
“Cepat
sekali berubah ekspresinya,” gumam Acha.
“Sudahlah!
Kita bicarakan hal lain saja,” sela Oik, sebelum Acha berbicara yang aneh-aneh
lagi.
“Kau
sedang melukis apa, Nona Oik?” tanya Sir Dave, tiba-tiba saja beliau sudah ada
di belakang Oik.
“Abstrak,
Sir..” jawab Oik, sekenanya.
“Mengapa?”
tanya Sir Dave lagi.
“Entahlah.
Sepertinya pikiran saya sedang kacau,” kata Oik.
“Karena
Cakka tak masuk hari ini?” goda beliau.
Oik
menepuk keningnya, “Bukan, Sir! Sudah saya bilang, pacar Cakka itu Nadya. Bukan
saya!” elak Oik.
“Baiklah,
baiklah..” gumam beliau, beliau pun kembali berkeliling.
“Jahil
sekali Sir Dave,” dumel Oik.
“Begitulah
dia, Ik..” sahut Acha.
“Sudah!
Jangan ikut menggodaku!” ancam Oik, tangannya terkepal erat.
Acha
mengibaskan tangannya, “Siapa bilang aku akan menggodamu? PD sekali!”
“Kau
sudah punya pacar, Cha?” tanya Oik, mengalihkan pembicaraan.
“Sudah,
namanya Ozy. Dia satu tingkat dibawah kita. Dia sedang di Junior High School sekarang. Rencananya, tahun depan, dia akan
mendaftar di sini..” Acha menjelaskan tentang pacarnya, tanpa Oik minta.
Usaha
Oik untuk mengalihkan pembicaraan berhasil!
^^^
Madam
Winda sedang memelototi buku absen yang beterbangan di hadapannya, mencari-cari
nama yang cocok untuk ia panggil ke depan. Suasana sangat hening. Masing-masing
sedang berdoa dalam hati agar namanya tidak disebut.
“Alyssa
Saufika Umari..” panggil beliau.
Mata
Ify membulat, “Saya, Madam?” tanyanya, beliau mengangguk saja.
“Aduh!
Bawain lagu apa aku?” rutuk Ify, ketika dirinya akan bangkit dari bangku.
“Lagu
favorit kamu aja, Fy!” bisik Keke.
“Safe and Sound?” gumam Ify, Keke hanya
mengangguk.
Ify
pun berdiri. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Dengan
senyum mengembang, ia berangsur maju ke depan kelas. Setelahnya, ia menuju
hamparan alat music di bagian barat kelas.
“Akan
memainkan apa, Nona Alyssa?” tanya Madam Winda.
“Can I use this?” tanya Ify, ia menunjuk
sebuah piano klasik berwarna putih.
“Sure,” jawab Madam Winda.
Ify
pun segera duduk di kursi tanpa sandaran itu. Jemarinya mulai memencet-mencet
asal tuts piano, sekedar untuk pemanasan. Kembali, Ify menghirup napas panjang
dan menghembuskannya perlahan. Ia tutup kelopak matanya. Jemarinya mulai menari
lincah di atas tuts-tuts piano klasik itu. Suaranya ikut mengalun merdu bersamaan
dengan lantunan melodi indah yang ia bawakan.
Once upon a time, I believe it was a
Tuesday
When I caught your eye
And we caught onto something, I hold on to the night
You looked me in the eye and told me you loved me
Were you just kidding? 'Cause it seems to me
This thing is breaking down, we almost never speak
I don't feel welcome anymore
Baby, what happened? Please tell me
'Cause one second it was perfect
Now you're halfway out the door
And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said, forever and always
Oh, oh
Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
Was I out of line? Did I say something way too honest
That made you run and hide like a scared little boy?
I looked into your eyes, thought I knew you for a minute
Now I'm not so sure
So here's to everything, coming down to nothing
Here's to silence that cuts me to the core
Where is this going? Thought I knew for a minute
When I caught your eye
And we caught onto something, I hold on to the night
You looked me in the eye and told me you loved me
Were you just kidding? 'Cause it seems to me
This thing is breaking down, we almost never speak
I don't feel welcome anymore
Baby, what happened? Please tell me
'Cause one second it was perfect
Now you're halfway out the door
And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said, forever and always
Oh, oh
Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
Was I out of line? Did I say something way too honest
That made you run and hide like a scared little boy?
I looked into your eyes, thought I knew you for a minute
Now I'm not so sure
So here's to everything, coming down to nothing
Here's to silence that cuts me to the core
Where is this going? Thought I knew for a minute
But I don't anymore
And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said forever and always
Oh, oh
Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, I don't think so
Oh, oh
Oh, back up, baby, back up, did you forget everything?
Back up, baby, back up, did you forget everything?
'Cause it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
Oh, I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when we said forever and always
And it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, you said forever and always
And I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when he said forever and always
Oh, oh
Oh, and it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, I don't think so
Oh, oh
Oh, back up, baby, back up, did you forget everything?
Back up, baby, back up, did you forget everything?
'Cause it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
Oh, I stare at the phone and he still hasn't called
And then you feel so low, you can't feel nothin' at all
And you flashback to when we said forever and always
And it rains in your bedroom, everything is wrong
It rains when you're here and it rains when you're gone
'Cause I was there when you said forever and always
You didn't mean it, baby, you said forever and always
(Forever
and Always – Taylor Swift)
Selesai.
Ify menahan napas. Senyumnya perlahan merekah. Ia membuka matanya. Untuk
sejenak, ia berusaha memfokuskan pandangannya.
Ia
terlihat kaget ketika melihat reaksi seluruh temannya dan Madam Winda. Mereka
semua terbius dengan lantunan melodi dan alunan suara Ify. Senyum gadis cantik
itu semakin merekah saja.
“Awesome! Good! Perfect! Well done, Alyssa!” puji Madam Winda.
Ify
pun bangkit dari kursi itu. Perlahan, ia berjalan menuju bangkunya diiringi
dengan tepukan tangan yang membahana di Kelas Seni Musik. Sampai-sampai, Madam
Winda pun ikut bertepuk tangan.
“Keren,
Fy!” puji Keke, ketika Ify telah duduk kembali di sampingnya.
“Terima
kasih, Ke!” balas Ify, wajahnya merah padam.
“Oke!
Kita istirahat dulu untuk tiga puluh menit kedepan!” seru Madam Winda.
Kelas
kembali riuh ketika Madam Winda tiba-tiba saja hilang dari pandangan mereka.
Ify dan Keke pun bangkit. Keduanya berjalan keluar kelas. Niatnya, mereka akan
menuju Caffetaria untuk membeli
camilan.
“Ify!”
panggil sebuah suara.
Ify
dan Keke menengok pada sumber suara. Wajah Ify mendadak berbinar.
“Kak
Debo!” sapa Ify balik, “Ke, kamu bisa ke Caffetaria sendiri? Aku mau bicara
dengan Kak Debo,” Ify beralih pada Keke.
Keke
hanya mengangguk. Ify pun lantas menghampiri Debo. Meninggalkan Keke yang
menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.