Sore itu, Oik sudah membuat janji
dengan Cakka dan Shilla di apartemennya. Oik menunggu keduanya sambil mengobrol
dengan Gabriel di depan pintu apartemen laki-laki jangkung itu. Karena galeri
Oik sedang dibenahi dan Alvin sedang mengurus kamera, akhirnya Oik membutuskan
untuk mengundang Cakka dan Shilla ke apartemennya.
“Jadi, lagi sibuk sekarang lo, Gab?”
tanya Oik. Keduanya baru saja selesai membicarakan soal spot-spot menarik di
pinggiran Jakarta untuk objek foto Oik dan Alvin.
“Lagi sibuk nyari seseorang, Ik,”
jawabnya, matanya menerawang jauh entah kemana.
Oik mengernyit bingung, “Temen
lama?”
Gabriel menggeleng pelan dan
tersenyum hambar, “She was my everything...
until that accident happened. Gue
nyesel banget waktu itu. Gue gagal ngejaga dia. And now, she’s around me but I feel like she’s different
now. So much different.”
“Lambat laun dia pasti berubah jadi
dia yang dulu, kok, Gab. Itupun kalau lo mau bantu dia untuk berubah.” Oik
mengusap lengan Gabriel, tak tega melihat teman barunya itu terguncang seperti
ini.
Gabriel tersenyum tipis. Semoga, Ik.. batinnya. Gabriel
termenung, menyadari sengatan aliran listrik yang menjalari tubuhnya ketika
tangan Oik menyentuhnya tadi. Gabriel pun tenggelam dalam imajinasinya.
“Oik?”
Suara lembut seorang wanita kembali
menarik Gabriel kedunia nyata. Gabriel mendongak, begitu pula Oik, dan menengok
ke arah sumber suara. Oik tersenyum tipis, melambai pada sang empunya suara.
“Shilla?” suara Gabriel tercekat di
tenggorokan.
Shilla terkesiap begitu menyadari
kehadiran Gabriel, “Gabriel? Lo...”
Shilla mendadak pucat pasi. Ia
menengok pada Oik yang terlihat sangat akrab dengan Gabriel. Shilla menggeleng
tak percaya. Ga boleh.. Ga boleh.. Ga
akan terjadi.. Gue ga bakalan rela..
“Bisa mulai sekarang, Ik? Gue masih
ada jadwal recording setelah ini.”
Shilla memusatkan fokusnya pada Oik, mengabaikan Gabriel yang sedang menatapnya
tajam.
“Bisa,” Oik mengangguk lalu beralih
pada Gabriel, “Gue masuk duluan, Gab. Jangan nyerah! Tetep cari temen lama lo
itu, ya. Bantuin dia balik jadi dia yang dulu.” Oik menepuk-nepuk pundak
Gabriel sejenak lalu masuk ke dalam apartemennya bersama Cakka dan Shilla.
Meninggalkan Gabriel yang termangu hebat.
**
Oik duduk pada sebuah kursi kayu. Ia
terus berteriak-teriak memberikan arahan pada anak buahnya pagi itu. Oik
beralih menatap Alvin. Rupanya laki-laki itu sedang mengatir kameranya pada
sebuah tripod. Oik tersenyum melihatnya. Lalu, pandangannya beralih pada Cakka
dan Shilla.
“Lama banget, sih, mulainya?
Anginnya kenceng, nih! Gue bisa masuk angin lama-lama!” Shilla terus menggerutu
sejak tadi.
Oik menatapnya tak suka, “Gue, kan,
udah bilang.. Pake kostum biasa aja! Angin pantai pagi itu dingin, kenceng. Lo
aja yang ga ngedengerin gue!”
“Tap––,” Shilla sudah hendak protes
lagi ketika Cakka menahan lengannya dengan lembut.
“Maafin Shilla, Ik..” kata Cakka.
Oik hanya mengangguk tak acuh.
Tak lama kemudian, Alvin menghampiri
mereka bertiga dengan senyuman lebar, “Kameranya udah selesai gue setting. Lo berdua cepet ke tepi, biar
gue potret sekarang. Anginnya makin kenceng soalnya.”
Shilla mengangguk. Ia segera
menggamit lengan Cakka, menarik lengan calon suaminya itu agar berjalan
beriringan ke tepi. Keduanya sudah berdiri dengan kaku di tepian, menghadap ke
Alvin dan kameranya.
Oik berdecak kesal, “Jangan diem
doang! Shill, lo artis, kan? Gaya, dong! Pose! Apa bedanya, sih, pemotretan ini
sama pemotretan lo biasanya? Payah!” teriak Oik dari tempatnya duduk.
Shilla tak menyahut. Ia sudah
berkonsentrasi agar tetap terlihat cantik di depan kamera. Cakka sudah terlihat
lebih santai, walaupun tak kunjung terukir senyum di bibirnya. Alvin menggeleng
pada Oik. Kalau begini caranya, harus Oik sendiri yang turun tangan.
Oik bangkit dari duduknya. Dengan
setengah berlari, ia menghampiri ketiga orang di tepian itu. Oik berkacak
pinggang menatap Cakka dan Shilla. Matanya menatap kedua sosok itu lurus-lurus.
Berpikir pose apa yang cocok untuk kedua orang itu.
“Gini aja deh..” Oik bergerak maju. Tangannya
mendorong Cakka agar lebih dekat dengan Shilla, mempersempit jarak keduanya.
Oik juga meletakkan kedua tangan Cakka di pinggang Shilla. Tak lupa, ia
menyuruh Shilla memeluk leher Cakka. “Lihat ke arah matahari, jangan lihat ke
kamera!” Cakka dan Shilla menurut. Oik mengangguk puas. “Vin..”
Tanpa ba-bi-bu, Alvin segera
memotret Cakka dan Shilla. Setelahnya, Oik kembali mengatur pose lalu Alvin
memotretnya. Begitu seterusnya hingga Alvin mengangguk puas menatap hasil
jepretannya.
Kini, keempatnya sedang duduk-duduk
di sebuah warung tepi pantai seraya melihat-lihat hasil jepretan Alvin. Seperti
biasa, Alvin duduk bersebelahan dengan Oik dan berhadap-hadapan dengan Cakka
serta Shilla. Sebuah es kelapa muda tersaji di depan masing-masing dari mereka.
“Softcopy
pemotretan hari ini bisa lo kirim ke email gue ga?” tanya Shilla, menatap Alvin
dan Oik bergantian.
Alvin mengangguk, “Bisa. Ntar biar
Ify yang ngirim.”
“Hey!” Oik menyenggol pelan lengan
Alvin dan menatapnya bingung. “Kamu lupa Ify masih ambil cuti, bareng Rio?
Mereka masih honey moon, Vin!”
“Oh, iya,” Alvin bergumam lirih. “Ya
udah, biar nanti gue atau Oik aja yang ngirim.”
“Oke,” Shilla tersenyum tipis pada
keduanya.
“Tunggu,” Cakka segera
mengobrak-abrik tasnya dan mengeluarkan empat batang SilverQueen dari dalamnya.
“Untung belum leleh,” desahnya lega. Kemudian, dibagikannya cokelat batangan
itu pada Shilla, Oik, Alvin, dan –tentunya– dirinya sendiri. Cakka menyeringai
menatap Shilla dan Oik.
“Thanks,”
kata Oik dengan cueknya.
Cakka membuka cokelatnya sembarangan
lalu melahapnya perlahan. Ia terus memperhatikan Shilla dan Oik dari sudut
matanya. Kedua gadis itu telah membuka kemasan cokelatnya masing-masing dan
bersiap melahapnya.
Cakka terkesiap begitu melihat
Shilla langsung melahap cokelat tersebut. Berbeda dengan Oik... gadis mungil
itu membuang terlebih dahulu kacang mede yang terkandung di dalamnya. Kenapa ga dari dulu aja gue ketemu dia?
Kenapa ga dari kemarin-kemarin aja?
“Lala...” Cakka bergumam lirih.
Shilla –yang merasa nama kecilnya
disebut– segera menengok ke arah Cakka, “Kenapa, Kka? Tumben kamu manggil aku
Lala.”
Cakka menatap Shilla tajam, “Ga.
Bukan apa-apa.”
**
Gadis berambut pendek itu berjalan
di antara gundukan tanah liat bernisan dengan membawa sebuket mawar putih di
tangan kanannya. Ia mengenakan pakaian serba hitam, selendang hitam, dan kaca
mata hitam.
Ia berhenti di depan sebuah gundukan
tanah dengan nisan bertuliskan Andryos Aryanto. Gadis berambut pendek itu jatuh
terduduk dengan air mata yang mengucur deras dari kedua bola matanya. Perlahan,
diletakkannya buket mawar putih itu di dekat nisan.
“Hay, Deb..” sapanya. Ia menyeka air
matanya sejenak. “Apa kabar kamu di Surga sana?” senyum getirnya pun muncul.
“Maaf, ya, aku baru bisa kemari hari
ini. Sebenernya kemarin aku mau ke sini. Kamu ingat, kan? Kemarin tepat sepuluh
tahun kamu pergi.”
Angin berhembus pelan, membantu
gadis itu mengeringkan air matanya. Walaupun begitu, kristal-kristal itu masih
terus luruh tak terkendali.
“Aku kangen kamu, Debo,”
Gadis itu menunduk dalam. Mengingat
kembali kejadian sepuluh tahun lalu. Debo –sapaan akrab Andryos Aryanto– pergi
meninggalkannya untuk selama-lamanya tanpa berpamitan dulu kepadanya. Rindunya
pada laki-laki berwajah kalem itu sudah membuncah. Juga dendamnya pada
seseorang yang –ia anggap– membunuh Debo.
**
Seorang lelaki dan seorang gadis
sedang bersitegang di teras sebuah kediaman mewah. Terlihat sang gadis yang
terus berkeras kepala dan tak mendengarkan ucapan lelaki di hadapannya. Tak
ketinggalan, sang lelaki pun juga berkeras kepala menuntut sang gadis menuruti
perkataannya.
“Lo harus berhenti! Berhenti lakuin
ini semua!” sang lelaki kembali melancarkan aksi memaksanya.
Gadis itu menggeleng keras, “Ga
akan! Jangan mimpi lo! Sampai kapanpun, gue ga akan turutin perkataan lo itu!
Lo gila!”
“Lo yang gila!” lelaki itu mulai
kehilangan kontrol. “Lo mau berhenti dan mundur teratur atau gue buka semuanya?
Pilih!”
“Ga dua-duanya!” desis gadis itu.
“Gue ga akan begitu aja mundur! Dari awal gue udah janji kalau gue ga akan
ngelepasin gitu aja.”
Lelaki itu menatapnya tak percaya,
“Lo sadar ga, sih, kalau lo udah bikin keadaan jadi kacau?!”
Gadis itu tertawa sengau, “Salah?
Gue cuman berusaha buat ngerebut balik semuanya yang harusnya udah gue miliki
sejak dulu!”
“Kalian itu sahabat!”
“Stop! Gue bilang stop!” Gadis itu
tiba-tiba saja mengeluarkan sebilah pisau dari balik punggungnya lalu
mengacungkan benda tajam itu pada lelaki di hadapannya. “Kalau lo masih
berani-berani ngusik urusan gue, pisau tajem ini yang bakalan bikin lo diem.
Untuk selamanya.”
Tangan lelaki itu menepis pisau yang
hampir mendekati pipinya dengan gusar, “Psycho!
Dasar!”
Lelaki itu pun angkat kaki dari
kediaman mewah sang gadis dengan perasaan campur aduk. Sang gadis tersenyum
sinis. Pisau di tangannya segera ia buang jauh-jauh. Ia bisa membeli yang baru
nanti jika lelaki itu masih saja mencampuri urusannya.
**
Alvin sedang membereskan
berkas-berkas di ruang utama Oicagraph ketika gadis berwajah riang itu datang
dan memeluknya dari belakang dengan sangat erat seraya terkekeh pelan. Alvin
tersenyum lebar.
“Kenapa baru dateng, sih?” tanya
Alvin, badannya sudah berputar dan sekarang ia tengah berhadapan dengan gadis
berwajah riang itu.
“Aku beliin kamu ini dulu, Vin,”
jawabnya, ia mengacungkan sebuah tas plastik dari kedai restoran Jepang di
dekat sini. “Aku tahu kamu pasti belum makan.”
Alvin tersenyum lembut dan mengecup
pipi gadis itu, “Thanks, dear.”
Gadis itu balas tersenyum. Ia
membimbing Alvin untuk duduk di sebuah kursi lalu mengeluarkan makanan untuk
lelaki itu, meletakkannya di meja. Setelahnya, ia pun duduk di hadapan Alvin.
“Dragon
roll? Kamu memang yang paling ngerti aku,” gumam Alvin seraya tersenyum. Ia
pun segera melahap sushi di hadapannya.
“Laper apa doyan, Vin?” tanya gadis
itu, kembali terkekeh pelan.
“Laper karena belum sempet makan
dari pagi. Doyan karena kamu yang ngebeliin,” rajuk Alvin. “Kamu ga makan?”
tanya Alvin balik.
“Tadi aku makan di kedainya sama
Mama.” Gadis berwajah riang itu tersenyum lembut pada Alvin.
Alvin menggerakkan sumpitnya,
mengambil sepotong dragon roll, lalu
mengarahkannya pada bibir gadis di hadapannya. “Nih..”
“Aku sudah makan, Vin,” tolaknya.
Alvin menggeleng tak mau tahu.
“Makan atau aku cium lagi?”
Gadis itu tersenyum malu-malu. Ia
pun melahap sushi suapan Alvin dengan menahan senyumnya. Setelahnya, ia
buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Hujan sedang turun dengan
lebatnya rupanya.
“Udah malem, Vin. Cepet beresin,
deh. Abis itu pulang. Kasihan pacar kamu nanti nungguin.” Gadis itu berkata
setengah bercanda.
“Pacar aku? Siapa?” tanya Alvin
sambil kembali melahap sushinya.
“Oik,” jawabnya.
“Pacar aku cuman kamu.” Alvin
menatap gadis di hadapannya dengan penuh sayang.
**
Oik sedang menonton televisi di
ruang apartemennya ketika hujan turun dengan derasnya. Ia menatap gusar ke arah
jam dinding. Sudah pukul delapan lewat tapi Alvin tak kunjung kembali dari
galeri. Ke mana dia? Pergi bersama gadis berwajah riang itu? Sungguh, membayangkannya
saja Oik sudah panas-dingin sendiri.
Tiba-tiba saja, terdengar ketukan
dari pintu apartemennya. Oik bangkit dan menuju pintunya dengan riang. Itu
pasti Alvin. Ya. Siapa lagi kalau bukan Alvin? Tidak mungkin, kan, kalau itu––,
“Cakka?!” pekik Oik heran.
Begitu pintu terbuka, sosok Cakka
segera memeluk Oik dengan erat. Ia terus meracau. Oik terbengong-bengong
sendiri dalam pelukan Cakka.
“Lala! Kamu pasti Lala! Iya, kan,
Ik? Kamu Lala. Iya, aku yakin.” Cakka kembali meracau.
Oik berusaha melepaskan pelukan
Cakka, “Lo apa-apaan, sih, Kka?! Malem-malem dateng ke apartemen gue,
hujan-hujanan, main peluk pula! Gue basah, Kka! Dingin!” bentak Oik.
Cakka melepaskan pelukannya pada Oik
lalu mengecup keningnya lama. “Aku tahu kamu itu Lala. Iya, kan? Jangan ngelak,
Ik. Aku yakin kamu itu Lala.”
Oik menengok pada koridor apartemen.
Sepi. Dengan segera, Oik menarik Cakka masuk ke dalam apartemennya lalu menutup
pintu apartemennya. Tak lupa, ia kunci rapat-rapat pintu tersebut. Oik
membimbing Cakka agar duduk di sofa.
“Aku rela hujan-hujanan ke sini demi
kamu, La. Cuman demi kamu. Cakka kangen Lala,” racau Cakka. Dalam sekejap, Oik
sudah kembali berada dalam pelukan lelaki itu.
Oik mendesah putus asa. Ia mendorong
dada Cakka agar melepaskan pelukannya. “Lo ngapain, sih, Kka? Gue Oik, bukan
Lala! Lala ada di rumahnya. Lala itu Shilla, bukan gue. Nama gue ga ada Lala-Lalanya
sama sekali!”
Cakka melepaskan pelukannya lalu
memegang bahu Oik dan menatap gadis mungil itu lekat-lekat. “Jangan bohong, Ik.
Aku tahu kamu itu Lala.”
“Berhenti meracau, Kka!” Oik
memegang kedua pipi Cakka dan menatap lelaki itu tepat pada manik matanya.
“Dengerin, gue ini Oik. Bukan Lala.”
Oik bangkit. Ia meraba dahi Cakka.
“Panas,” desisnya.
Oik pun membawa Cakka ke kamar
mandinya. Mendorong Cakka agar masuk ke dalam. “Lo keringin badan lo dulu. Suhu
badan lo panas. Setelah itu, lo minum obat.”
Setelah itu, Oik meninggalkan Cakka.
Ia segera berjalan menuju kamarnya. Dimana lagi Cakka akan beristirahat sejenak
setelah meminum obatnya selain di kamarnya? Kamar di apartemennya hanya ada
satu. Mana tega ia membiarkan orang sakit tidur di sofa?
Begitu Cakka kembali sepuluh menit
kemudian –dengan badan yang sudah kering–, Oik telah selesai menyiapkan obat
dan makanan di kamarnya. Oik pun mengantarkan calon suami Shilla itu ke
kamarnya dan mendudukkannya di ranjangnya. Ia duduk berhadapan dengan Cakka.
“Lo makan dulu, baru minum obat,”
kata Oik.
Cakka terduduk di ranjang Oik.
Punggungnya bersandar pada dinding. Oik segera menyelimuti sebagian tubuh Cakka
dengan selimutnya.
Oik memperhatikan Cakka dalam diam.
Setelah selesai makan dan minum obat, Cakka mulai menidurkan badannya. Oik
bangkit, hendak menuju sofa dan tidur di sana. Tapi, tangan Cakka sudah lebih
dulu menahan lengannya.
“Apa lagi?” tanya Oik dengan nada
yang tidak bersahabat.
“Duduk sini,” pinta Cakka, ia
menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya. Dengan terpaksa, Oik duduk di
sampingnya. “Aku mau nanya sesuatu. Boleh?”
“Tanya aja,” lagi-lagi Oik membalas
dengan jutek.
“Kamu Lala, kan?” tanya Cakka.
Oik menatap Cakka sebal. “Sudah
berapa kali gue bilang, sih, kalau gue ini bukan Lala? Lo ngotot banget, sih!
Gue ini Oik, Cakka!”
“Nama galeri kamu –Oicagraph–
diambil dari nama kita berdua, kan? Oica, Oik-Cakka.” Cakka pentang menyerah,
ia kembali menanya-nanyai Oik.
“Jangan GR!” dengus Oik. “Oica itu
Oik Cahya. Itu nama gue. Sama sekali ga ada sangkut-pautnya sama nama lo.”
“Tapi kamu punya banyak kesamaan
sama Lala, Ik.” Cakka berkata lirih.
Oik menatap Cakka tak percaya.
“Maksud lo apa, sih? Itu bisa aja cuman kebetulan. Udah, deh, Kka, jangan mikir
macem-macem! Lo masih demam. Semakin cepat lo sembuh, semakin cepat lo bisa
angkat kaki dari apartemen gue!”
“Kamu ga suka aku ada di sini, La?”
tanya Cakka, ia menatap Oik sendu.
“Stop!” Oik berteriak. “Stop panggil
gue Lala! Gue ini Oik!”
Cakka menggenggam kedua tangan Oik
dan meremasnya lembut. “Aku tetap yakin kamu ini Lala, Ik. Aku yakin Lala itu
kamu, bukan Shilla.”
Oik menepis genggaman Cakka dengan
kasar. “Lo ini calon suaminya Shilla. Jangan pegang-pegang tangan gue!”
“Aku bisa ngebatalin pernikahan aku
dan Shilla, Ik.” Cakka menatap mata Oik dengan yakin.
Oik menggeleng. “Lo gila.”
“Kalau kamu mau ninggalin Alvin, aku
akan ninggalin Shilla.”
“Lo itu demam, Cakka. Jelas-jelas lo
lagi meracau sekarang ini. Lo istirahat aja, deh. Besok lo pasti udah sembuh
dan ga perlu meracau ga jelas gini lagi.”
Oik bangkit. Kembali membenarkan
selimut yang menyelimuti tubuh Cakka. Lagi-lagi, Cakka menahan lengannya.
“Apa lagi, sih, Kka?” tanya Oik
dengan jengkel.
“Temenin aku di sini,” Cakka menatap
Oik dengan wajah memelas.
Oik menahan kekesalannya dalam hati.
Ia pun menyingkap selimut Cakka, berbaring di samping lelaki itu, dan
menyelimuti tubuh keduanya dengan selimutnya. Oik berbaring membelakangi Cakka.
Perlahan, lengan Cakka mulai melingkari pinggang Oik. Bukannya tak sadar, Oik
hanya membiarkannya. Karena, tiba-tiba, rasa nyaman menjalari setiap inchi
tubuhnya...